Kamis, 11 Februari 2010

Perkembangan dan Pertumbuhan Negara dan Hukum
Oleh : Dr. Syaiful Bakhri, SH., MH

A. Makna Ilmu Negara Dalam Ilmu Hukum.
Ilmu Negara, sebagai salah satu mata kuliah dasar pada semester pertama. Penempatannya di¬sesuaikan dengan tugas mata kuliah pengantar terhadap mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang akan diberikan pada semester berikutnya. Ilmu Hukum pada umumnya dapat dibagi dalam dua lapangan yang besar seperti Hukum Publik dan Hukum Privat, maka Ilmu Negara akan memberikan pemahaman, pengertian kepada para mahasiswa untuk mempelajari Hukum Publik, khususnya Hukum Tata Negara dan Hukum Admi¬nistrasi Negara. Ilmu negara sebagai salah satu mata pelajaran dalam Fakultas hukum dan pengetahuan masyarakat ini, yang dalam zaman penjajahan dahulu tak ada mata pelajaran Ilmu negara. Timbulnya setelah berkobarnya api revolusi kemerdekaan sejak proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Istilah Ilmu negara terbagi menjadi; Ilmu negara, Ilmu kenegaraan, Ilmu politik. Ketiganya mempunyai objek yang sama yakni negara.
Dalam tugasnya sebagai penghantar maka,Ilmu Negara akan bermanfaat guna memudahkan para mahasiswa yang baru, untuk menerima beberapa mata kuliah utama atau pokok lainnya yang diberikan pada semester berikutnya. Beberapa mata kuliah yang diberikan pada Fakultas Hukum, terdiri dari Mata kuliah persiapan atau mata kuliah dasar keahlian, serta mata kuliah keahlian. Di antara mata kuliah tersebut masih terdapat beberapa mata kuliah tambahan yang tugasnya menambah dan memperluas pengetahuan para mahasiswa menghubungkan hukum sebagai salah satu gejala dalam masyarakat dengan gejala-gejala lainnya ataupun sebaliknya. Yaitu mata kuliah, Sosiologi, Ekonomi, Hukum Islam, Anthropologi Budaya, Hukum lingkungan, Ilmu Perundang-undangan Kriminologi, Viktimologi, Ilmu Ilmu Forensik dan lainnya. Manfaatnya adalah mahasiswa sebagai calon sarjana hukum yang akan menghadapi segala persoalan kemasyarakatan, yang memerlukan pemecahan yang adil dan bijaksana. Sebagai negara yang menganut prinsif demokrasi, maka hukum sebagai salah satu gejala di dalam masyarakat tidak berdiri sendiri dan sangat erat hubungannya dengan gejala-gejala lainnya, serta saling pengaruh dan mempengaruhi. Oleh karena itu, para ahli hukum tidak dapat membuat suatu peraturan yang baik tentang pengendalian harta, bilamana tidak mengetahui seluk-beluk perekonomian masyarakatnya, termasuk pelaksanaan penegakkan hukumnya.
Maka diperlukan mempelajari ilmu ekonomi guna mampu membuat peraturan-peraturan hukum yang baik. Ilmu pengetahuan mengadakan penyelidikan-penyelidikan khusus tentang perkembangan suatu masyarakat dari tingkatannya yang masih sederhana atau mengadakan penyelidikan-penyelidikan terhadap kepercayaan (agama) yang berpengaruh dalam masyarakat, maka hasil penyelidikan, penelitian tersebut dapat digunakan oleh ahli hukum bagi masyarakatnya yang menganut kepercayaan tertentu. Sehingga peraturan hukum yang baik selalu memperhatikan faktor-faktor yang hidup dalam masyarakatnya, guna mencerminkan kebutuhan masyarakat tersebut. Tanpa memperhatikan faktor-fak¬tor itu peraturan hukum merupakan peraturan yang mati, yang hanya berisi pasal pasal sebagai hiasan belaka yang tidak bisa berlaku karena, karena tidak rasional dan bahkan bertentangan dengan asas universal dan tidak bisa diterima oleh rakyat. Berkecenderungan untuk dilakukan yudisial review, oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi (MK), karena bertentangan dengan Konstitusi terhadap undang undang maupun Mahkamah Agung (MARI). Karena peraturan yang berada di bawah undang-undang tidak mencerminkan wawasan keadilan, dan menimbulkan korban dan kerugian masyarakat.
Pembahasan Ilmu negara, erat hubungannya dengan teori-teori negara, asal usulnya, perkembangan dan lenyapnya negara. Ilmu negara mempelajari negara, secara umum, mengenai asal usul, lenyapnya, perkembangannya dan jenis-jenisnya. Sehingga objek penyelidikannya adalah, negara-negara secara umum, sehingga disebut juga sebagai Ilmu Negara secara umum. Negara pada umumnya dianggap sebagai gejala sosial politik. Dimulai dengan Zaman Yunani, Romawi, abad pertengahan hingga zaman modern. Tentang Hukum Romawi, Hoetink dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar menyampaikan tema "Achtergrond van het Romelns recht" telah menunjuk¬kan bahwa Hukum Romawi tidak dapat dipelajari tersendiri lepas dari pengaruh-pengaruh lainnya, akan tetapi Hukum Romawi harus dipelajari dari latar belakangnya. Ada suatu aliran yang menganggap bahwa Hukum Romawi itu sudah lengkap dan telah mencakup segalanya, sehingga Hukum Ro¬mawi disebut sebagai Ratio Scripta (akal tertulis), karena Hukum Romawi merupakan hasil pemikiran yang lengkap dan sempurna. Hukum Romawi telah menyumpangkan himpunan-himpunan pera¬turan hukum yang diumumkan (publikasi) dan kodifikasi yang dikenal sebagai kodifikasi Justinianus. .
Kodifikasi Justianus, dikenal juga sebagai Corpus Iuris Civilis, yang dibagi dalam empat buku; yakni buku pertama, tentang Institutiones, Kedua, tentang Pandecta, Ketiga, tentang Codex dan keempat, tentang Novellae. Pada masa Romawi, timbul penerimaan kembali hukum yang lampau disebut sebagai Receptie. Sehubungan dengan itu, maka seorang Glossator dan Commentator, yang mengolah karya itu untuk disesuaikan dengan situasi yang ada pada saat itu. Tugas Glossator terutama adalah mempelajari Corpus Iuris Civilis. Para Glassator adalah para dosen di fakultas hukum Universitas Bologna, kurikulumnya mempelajari teks Digesta. Dosen membaca dan mengoreksi bahasa teks yang ditulis tangan dan para mahasiswanya menyimak salinan naskah dengan sesekali membetulkan jika memang dosen membuat kesalahan. Karya ini seperti sebuah Alkitab, dan sangat menghormati teksnya, dan bahkan tidak memberikan penilaian terhadap teks teks tersebut. Pada abad ke 18 Glassator digantikan oleh Commentator yang bekerja keras atas dasar dasar yang diletakkan oleh para Glassator. Selanjutnya kurikulum Fakultas Hukum di Universitas Bologna, Paris, Oxford dan Universitas universitas lainnya. Di Erofah diperluas bukan hanya yang terdapat pada Corpus Iuras Civilas saja, melainkan meliputi hukum Kanonik yang ditetapkan oleh Paus. Penyelidikan sejarah hukum Romawi, ditemukan empat macam zaman di mana hukum itu berlaku yaitu: Zaman Kerajaan, Zaman Republik, Prinsipaat, Dominaat. Dari segi politik yang dikatehui bahwa sejarah negara Romawi, selama empat zaman tersebut, Hukum Romawi pernah dan senantiasa mengalami perubahan-pe¬rubahan yang berhubungan dengan tujuan-tujuan politik pada masanya, mempunyai hubungan fung¬sional timbal-balik dengan masyarakat, maka Hukum Romawi tidak dapat dipelajari secara tersendiri tanpa memperhatikan faktor -faktor lainnya yang hidup dalam masyarakat. Harold J. Laski mengemukakan dalam "Jurispru¬dence is the law" yang maksudnya bahwa ilmu pengetahuan hukum itu menyelidiki hubungan hukum dengan masyarakat. Aliran baru yang dinyatakan oleh Hoetink, hendak menunjukkan pentingnya Hukum Romawi untuk dipelajari.
Dari segi lain manfaat yang dapat ditarik dari mata kuliah tambahan, adalah guna memenuhi kebutuhan yang bersifat praktis. Sebagai pelaksana hukum, ahli hukum hendaknya jangan terikat kepada pandangan yang sempit. Sebagai hakim dituntut untuk bersikap objektif, arif dan adil. Kesempatan dalam pandangan hakim bisa mempengaruhi keputusannya, karena dapat dipengaruhi oleh golongan-golongan tertentu yang bisa mengakibatkan keputusannya kurang adil. Di dalam masyarakat yang kapitalis/liberalis yang mempunyai prasangka terhadap pandangan hidup lainnya atau se¬baliknya, maka sifat hakim yang memihak itu akan menghasilkan keputusan-keputusan yang tidak memuaskan bagi pihak yang lain. Inilah yang disebut oleh Hans Kelsen dengan istilahnya "Klasse Justiz" Yang maksudnya bahwa hakim itu mewakili golongan tertentu yang berpengaruh dalam masyarakat dan dalam keputusan-keputusan se¬lalu menguntungkan bagi golongan-golongan. Oleh karena itu, sangatlah penting dan bermanfaat bagi para mahasiswa untuk diharuskan mempelajari mata kuliah tamba¬han untuk memenuhi kebutuhan teoritis maupun praktis.
Ilmu Negara sebagai mata kuliah pengantar mempunyai kedudukan sama dengan pangantar ilmu hukum, bedanya pengantar ilmu hukum mempunyai bidang yang lebih luas. Karena sifatnya sebagai mata kuliah persiapan maka pelajaran yang diperoleh dari Ilmu Negara tidak mempunyai nilai-nilai yang praktis melainkan mempunyai nilai yang teoritis, artinya dari pelajaran Ilmu Negara tidak dapat menggunakan hasilnya secara langsung di dalam praktek. Berbeda dengan mata kuliah pokok se¬perti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum acara dan praktek peradilan. Dihubungkan dengan pandangan Rengers Hora Siccama dalam bukunya Natuurlijkewaarheid en historische bepal heid yang maksudnya hendak membedakan kebenaran hakikat dan kenyataan sejarah maka dapat dikelompokan tugas Ahli hukum dalam dua golongan yaitu : Ahli hukum bertugas sebagai penyelidik yang hendak menda¬patkan kebenaran-kebenaran secara objektif dan untuk itu hukum tidak dapat dilaksanakan secara sendiri. Ahli hukum sebagai "de jurist als toeshhower". Sebagai pemain mengetahui kekurangan, kesalahan dari pihak pe¬main, dan mencoba untuk mencari sebab-musababnya dengan mengadakan analisa-analisa tentang peristiwa untuk menemukan cara yang lebih baik dan sempurna, dalam hal bagai¬mana hukum itu dilaksanakan. Ahli hukum bertugas sebagai pelaksana yang akan mempergu¬nakan hukum dalam keputusan-keputusannya. berbentuk : Undang-undang (Legislatif), Vonnis (Yudikatif), Eksekutif (Beschiking). disebut sebagai "de jurist als nedespeler". Berhubung keputusan-keputusan ini tergantung kepada pelak¬sananya.
Sedangkan mata kuliah, Hukum Tata Negara, Pidana, Perdata, serta hukum acaranya, berbasis pada nilai-nilai praktis, karena hasil penyelidikannya lang¬sung dapat dipergunakan di dalam praktek di mana para ahli hukum itu, sebagai pelaksana pemerintahan dalam bagiannya masing-masing. Hal ini terjadi karena objek yang diselidiki adalah hukum positif, yang berlaku pada suatu waktu di suatu tempat atau keadaan negara pada khususnya, sedangkan Ilmu Negara tidak mempunyai objek terbatas pada hukum positif tetapi menyelidiki negara pada umumnya. Dalam Ilmu Negara yang dipentingkan adalah nilai teoritisnya, maka ilmu pengetahuan ini merupakan sein¬wissenschaff sedangkan Hukum Tata Negara, Hukum Adminsitrasi Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dan sebagainya merupakan Norm-wissenscahft. Para mahasiswa yang sudah mulai mempelajari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, sudah tidak di¬terangkan lagi secara mendalam akan pengertian-pengertian dan sendi-sendi pokok tentang negara oleh karena pembahasannya sudah dianggap diketahui ketika mempelajari Ilmu Negara.
Di sinilah tugas Ilmu Negara sebagai suatu mata pelajaran pengantar yang memberikan pengertian- pengertian dan sendi-sendi pokok negara. Sehubungan dengan pendapat Reugers Hora Siccama tersebut maka dapatlah disamakan perumpamaan yang pertama sebagai tugas Ilmu Negara yang tidak mementingkan bagaimana caranya hukum itu seharusnya dijalankan melainkan mementingkan nilai teoritisnya. Ilmu Negara tidak hanya terbatas pada penguraian filosofis, politis, historis. Dalam beberapa hal penguraian politis memang diperlukan di mana keputusan-keputusan politik dalam kenyataannya seringkali menda¬hului perumusan-perumusan yuridis. Inilah sebabnya mempelajari negara dan hukum tidak dapat dipisahkan dengan keputusan-kepu¬tusan politik, karena tidak akan dapat mengetahui latar belakang dari negara dan hukum itu. Dalam beberapa uraian perlu dipergu¬nakan secara filosofis dalam persoalan yang menyinggung pandangan hidup dari suatu masyarakat yang menjadi falsafah negaranya, karena negara dan hukum berkembang dari taraf yang sederhana ke taraf yang lebih modern sehingga diperlukan penyelidikan secara historis, dan akhirnya karena sebagian besar dari pembahasan Ilmu Negara berkisar pada negara dan hukumnya, maka penyelidikannya bersifat teoritis.
Ilmu Negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian pokok tentang negara dan hukum. Maka pertama-tama yang harus dijelaskan ialah arti daripada ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan adalah hasil pemikiran manusia yang objek¬tif dan disusun secara sistematis. Suatu pengetahuan semata-mata belum merupakan suatu karya ilmiah oleh karena syarat yang per¬tama yaitu syarat objektif, tetapi ilmu pengetahuan harus dapat mengejar kebenaran yang dapat diterima umum. Syarat kedua adalah syarat sistematis, di mana pengertian-pengertian yang diperolehnya tidak boleh bercerai-berai melainkan merupakan satu kesatuan yang erat. Karena itu suatu ilmu pengetahuan dapat dikatakan ilmiah jika kedua syarat itu dapat dipenuhi. Ilmu pengetahuan itu dalam garis besarnya dapat dibagi dalam dua bagian: Ilmu pengetahuan alam (Natuunvissenschaft), Ilmu pengetahuan kerohanian (Geisteswissenschaft). Kedua ilmu pengetahuan tersebut mempunyai objek-objek penyelidikan yang berbeda. Ilmu pengetahuan alam mempunyai objek penyelidikan benda-benda mati, maka ilmu pengetahuan kemanusiaan mempunyai objek penyelidikan benda-benda hidup (manusia) yang mempunyai kehendak, pikiran, dan perasaan. Objek dari ilmu pengetahuan alam adalah benda-benda mati, maka ilmu pengetahuan itu dapat memperoleh hasil yang pasti, berbeda dengan ilmu pengetahuan kemanusiaan, maka untuk men¬capai hasil yang pasti sangat sukar sekali. Metode yang dipergunakan pada ilmu pengetahuan alam yang sifatnya nomotetis, sedangkan pada ilmu pengetahuan kemanusiaan adalah me¬tode versetehen, metode ini mempergunakan dua cara yaitu : Introspeksi atau pemeriksaan terhadap kerohanian diri sendiri. Einfulen atau ikut serta merasakan bagaimana perasaan orang lain.
Metode kedua dipakai setelah metode pertama dija¬lankan untuk diri sendiri dan kemudian menempatkan dirinya pada objek yang diselidikinya dan ikut serta merasakan. Kemajuan-kemajuan yang diperoleh ilmu pengetahuan alam membawa kepada hasil-hasil yang rnemuaskan. Pada masa sekarang, ilmu alam dipergunakan untuk menyelidiki pengetahuan kerohanian atau kemanusiaan. Aliran yang memper-gunakan metode ilmu alam dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan disebut aliran naturalisme. Aliran ini banyak terdapat di Amerika Serikat yang mempergunakan metode dan eksperimen-eksperimen (percobaan). Kegagalan pada aliran ini justru disebabkan oleh karena banyak objek yang diselidiki adalah benda-benda hidup yang mempunyai kehendak, pikiran dan perasaan. Selanjutnya tentang asas dan pengertian. Antara asas dan pengertian terdapat perbedaan dan dapat diketahui dari pandangan Van Vollenhoven mengenai Yormen Inhoud van het International Recht yang membedakan vorm sebagai bentuk atau pengertian dari hukum internasional dan inhoud sebagai isi atau asas daripada Hukum In¬ternasional. Selain Van Vollenhoven, juga Ter Haar dalam bukunya yang berjudul Begisel en Stelsel van het Adatrecht hendak menunjuk¬kan perbedaan tersebut. Begmsel diartikan sebagai asas dari hukum adat. Juga dalam karangan penulis lainnya seperti Logemann dalam Hukum Tata Negara telah membedakan antara kedua hal tersebut. la menyebutkan Formeele Stelselmatigheid sebagai pengertian ¬pengertian Hukum Tata Negara sedangkan Materieele Stelselma¬tigheid adalah sebagai asas daripada Hukum Tata Negara. Bahwa asas dan pengertian itu terdapat perbedaan hanya penguraian selanjutnya masih diperlukan. Sebagai contoh kita ambil suatu peraturan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
Suatu peraturan hukum, terbagi dua segi kehidupan manusia. Pertama berasal dari kerohanian manusia sedangkan segi lainnya berasal dari perkem¬bangan hidup masyarakatnya. Masing-masing segi itu tidak berdiri sendiri tetapi saling pengaruh mempengaruhi berjalin menjadi satu bentuk peraturan hukum. Bilamana kedua hal itu hendak dibedakan, maka perbedaan itu terletak pada sumbernya. Segi kemanusiaan bersumber pada diri manusia sendiri yang berupa pikiran dan perasaan, sedangkan segi yang lainnya terletak diluar manusia. Den¬gan kata lain kedua segi itu merupakan bahan yang diperlukan bagi pembuat undang-undang untuk membuat peraturan hukumnya. Setelah peraturan hukum terbentuk maka segi yang pertama disebut sebagai segi idiel karena sifatnya tidak nyata (abstract) dan yang kedua disebut sebagai unsur riel karena sifatnya nyata (concrete) misalnya keadaan alam sekitarnya di mana manusia itu hidup dan tradisi yang dibawa oleh masyarakat sepanjang hidupnya sebagai suatu kebiasaan atau pembawaan yang dibawa oleh manusia sejak ia dilahirkan ke dunia dalam bentuk dan jenis yang berbeda-beda sep-erti jenis laki-laki dan jenis perempuan. Keadaan alam di sekitar manusia hidup tidak senantiasa sama, misalnya dcngan adanya ma¬cam-macam musim yang terdapat di benua Eropa yang tidak terdapat di Indonesia. Karena perbedaan manusia ini, kita akan melihat per¬bedaan-perbedaan dalam peraturan hukum dalam mengatur masyarakatnya, sehingga suatu peraturan hukum yang berlaku bagi daerah yang bermusim salju tidak berlaku untuk suatu daerah yang hanya terdiri atas gurun pasir yang sepanjang tahun hanya ada panas saja. Demikian pula halnya dengan kebiasaan yang berbeda-beda menurut keadaan waktu dan tempat serta masyarakatnya.
Unsur-unsur idiel dapat bersumber pada akal pikiran manusia atau pada perasaannya. Suatu bangunan hukum, bersumber pada akal pikiran maka disebut sebagai pengertian-pengertian hukum. Dan jika bangunan hukum itu bersumber pada perasaan maka hukum itu disebut sebagai asas-asas hukum. Demikian pula dalam ilmu Negara dikenal pula asas-asas dan pengertian-pengertian mengenai Negara dan Hukum Tata Negara. Pengertian-pengertian dalam Ilmu Negara pada umumnya bersifat tetap sedangkan asasnya seringkali berubah-ubah. Perubah¬an-perubahan dalam asasnya disebabkan oleh pandangan hidup dan keduniaan dari masyarakat yang berbeda-beda. ga dalam studi lainnya, yang memasukkan negara sebagai bagian dari objek penelaahan. Ilmu negara memandang, Negara sebagai suatu sifat dari pengertiannya yang abstrak, umum dan universal yang berarti objeknya terlepas dari tempat , keadaan dan waktu, kapan dinamakan sebagai negara, bagaimana hakekatnya, dalam penyelidikan yang meliputi asal usul negara, hakekat negara, serta bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Para sarjana berbeda pandangan dalam melihat Ilmu Negara dalam pengertian yang abstrak, umum dan universal, karena perhatiannya tidak hanya bertumpu pada suatu negara tertentu saja, yang telah mempunyai objek tertentu. Namun demikian seorang sarjana Jerman George Jellenik, dalam bukunya yang sangat terkenal Algemeine Staatslehre. Dengan suatu sistematik yang teratur, meliputi yakni pertama disebutnya sebagai Staatswissenschaft (pengertian sempit), dikenal juga sebagai ilmu kenegaraan., dibagi dalam dua bagian yakni, a) Algemeine Staastlehre (ilmu negara umum), masih dibagi lagi dalam dua bagian yakni Algemeine Soziale Staatslehre. Menyelidiki negara sebagai gezala sosial, dan dapat disamakan dengan perkumpulan-perkumpulan sosial, sehingga negara mempunyai sifat sosial. Algemeine Staatsrechtslehre. Yakni menyelidiki negara dalam artian yuridis. b) Besondere Staatslehre (ilmu negara khusus). Rechtswissenschaft (pengertian luas), dibagi dalam dua bagian, yakni 1) Indivuduelle Staatslehre. Penyeledikannya ditujukan kepada suatu negara tertentu, yang konkrit, dari negara itu dapat dipelajari lembaga lembaga negaranya, Peradilan serta beberapa ciri khas lainnya. 2) Spezielle Staatslehre. Penyelidikannya ditujukan kepada negara dalam pengertian umum, serta lembaga-lembaga perwakilannya yang dipelajari secara khusus. Dengan demikian maka George Jellenik, yang pertama sekali menemukan Ilmu negara sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri, dan kerapkali juga disebut sebagai Bapak Ilmu Negara, karena Klisifikasi yang diperkenalkannya.
B. Ilmu Negara dan Ilmu Lainnya.
Ilmu negara sejak dahulu telah diajarkan, dan baru pada permu¬laan abad ke XX, disusun sebagai ilmu pengetahuan secara sistematis oleh George Jellinek di Jerman dalam bukunya Allgemeine Staatslehre. karena karyanya itulah mendapat sebutan sebagai Bapak dari Ilmu Negara yang merupakan pedoman (legger dan standardwork) bagi para sarjana untuk mengetahui keadaan negara pada masa yang silam dan merupakan sandaran bagi penyelidikan tentang keadaan negara pada masa yang datang. Apakah sebelum Jellinek, Ilmu Negara itu sudah diajarkan secara ilmiah, orang masih meragukan, karena sebelum itu ilmu negara belum merupakan suatu ilmu penge¬tahuan yang berdiri sendiri dan sifatnya masih discriptief atau men-cakup segala pengetahuan yang berhubungan dengan negara. Per¬soalan yang menyangkut dengan agama, politik, kebudayaan, moral, ekonomi dan sebagainya yang berhubungan dengan negara dimasuk¬kan dalam pembicaraan Ilmu Negara. Hal ini dapat diketahui dari karangan Plato dan Aristoteles dalam bukunya berjudul Politea dan Politica yang membicarakan segala persoalan-persoalan negara di dalamnya. Keadaan ini dapat dimengerti mengingat objek dari penyelidi¬kan ilmu pengetahuan itu masih terbatas pada negara kota (polis) yang penduduknya mempunyai jumlah masih kecil dan tujuan dari ilmu pengetahuan itu pun didasarkan atas kebutuhan masyarakatnya yang bclum kompleks. Segala persoalan-persoalan yang berhubung-an dengan agama, moral, kesenian, perekonomian rakyat, kebuda¬yaan, pendidikan dan sebagainya, dapat dimasukkan di dalamnya dan hasil daripada ilmu pengetahuan itu hendak mendidik setiap warga negara kota agar mereka dapat melaksanakan eclessia dengan baik. Jelas bahwa pemisahan akan ilmu pengetahuan menjadi ilmu penge¬tahuan yang berdiri sendiri masih belum terasa benar sebagai kebu¬tuhan pada waktu itu. Akan tetapi dengan makin luasnya wilayah negara serta makin banyak jumlah penduduknya yang akan mem¬bawa akibat banyaknya kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang me¬merlukan penyelidikan khusus yang lebih teliti dalam bidangnya masing-masing, maka timbullah kebutuhan akan mengadakan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Perubahan¬perubahan dalam masyarakat telah diajarkan oleh Herbert Spencer dengan teori revolusinya yaitu bahwa perkembangan masyarakat dari tingkat yang masih sederhana ke tingkat yang modern akan melalui tahap-tahap sebagai berikut : Differensiasi, Determinasi, Spesialisasi, Integrasi. Masyarakat yang masih sederhana belum memerlukan banyak pembagian kerja dalam memenuhi kebutuhannya dan setiap orang dapat melaksanakan beberapa bidang pekerjaan. Makin maju masyarakat itu makin banyak kebutuhan-kebutuhan yang terasa olehnya karena masyarakat itu menjadi semakin kompleks. Akibat¬nya untuk dapat memenuhi kebutuhannya agar lebih efektif, maka diakanlah pembagian kerja di dalam masyarakat. Agar dalam pembagian kerja masing-masing dapat dicapai hasil yang memuaskan, maka ilmu pengetahuan mengadakan penyelidikan-penyelidikan Lhusus dan sejak itulah dimulai dan munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan (diforerrsinsi). Cabang-cahang ilmu pengetahuan itu pada hakikatnya hendak meningkatkan efisiensi tenaga kerja manusia dalam memenuhi ke¬butuhannya lebih sempurna. Karena itu dalam masyarakat yang se¬dang berkembang nampak seperti sudah ditentukan bidang peker¬jaannya masing-masing, misalnya : bidang produksi, distribusi dan sebagainya. Objek Ilmu negara umum, adalah negara sebagai buah penyelidikan Ilmu negara umum, dan mencoba untuk mengikuti tumbuh, wujud dan bentuk-bentuk negara, dan juga tentang negara yang khusus terjadi pada negara tertentu.
Masyarakat yang telah mencapai taraf perkembangan itu dise¬but determinasi, tetapi kemudian oleh negara karena makin pesatnya kemajuan masyarakat maka masih terasa bahwa determinasi dalam organisasi masyarakat itu masih belum memuaskan, sebab dalam pembagian pekerjaan masih perlu diadakan pemisahan lagi yang berbentuk spesialisasi. Dengan demikian rnasyarakat menjadi lebih terperinci lagi dalam bidang-bidang peker¬jaan yang memerlukan keahlian yang khusus. Kemungkinan karena bidang-bidang pekerjaan sudah menjadi banyak, maka akibat yang dapat ditimbulkan ialah bahwa hubungan antara bagian-bagian yang kecil dengan yang pokok menjadi kabur. Karena itu timbul usaha dari masyarakat untuk mengadakan penyatuan (integrasi) dari bagian¬-bagian yang bercerai-berai itu. Dengan membenarkan ajaran Herbert Spencer, maka dalam ilmu pengetahuan juga dialami perkembangan ke arah pcrincian dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, sebagai contoh dapat diambil perkembangan dalam ilmu pengetahuan hukum. Waktu hukum Romawi sangat berpengaruh di Eropa, maka orang hanya mengenal hukum yang berlaku sebagai hukum privat saja. Hukum Romawi belum mengenal hukum publik sebagai ilmu yang mengatur hubungan antara pihak penguasa de¬ngan rakyatnya; dan hubungan hukumnya bersifat pcrseorangan. Sifat keperdataan dari hukum Romawi itu mempengaruhi jalan piki¬ran dari para sarjana hukum di Eropa sehingga sistematik dan metode yang dipergunakan dalam menyelidiki hukum tata negara dengan mempergunakan metode dari hukum perdata. Baru Sesudah aliran Deutsche Publizisten Schule yang dipe¬lopori oleh Paul Laband dan Von Gerber, maka orang mulai sadar bahwa dalam ilmu hukum perlu diadakan pemisahan antara hukum publik dan hukum perdata. Aliran Deutsche Publizisten Schtrle yang timbul di Jerman sebagai akibat dari paham kedaulatan negara meng¬anggap bahwa negara adalah satu-satunya badan yang berdaulat yang merupakan sumber dari semua peraturan hukum yang berlaku di dalam negara. Karena sifat peraturan hukumnya yang menunjukkan tendensi ke arah pemerintah (Bevelsrecht), maka sejak itu diperlukan adanya pemisahan antara pengertian hukum publik dan hukum per¬data.
Walaupun dalam tinjauannya Jellinek melihat negara dari sudut sosiologis dan yuridis, namun sebagian besar dari uraiannya berkisar di bidang yuridis, tinjauan terhadap negara itu tidak terbatas pada dua segi saja, tetapi bisa ditinjau dari banyak segi seperti kebudayaan, agama, moral dan sebagainya. Selain itu pandangan Jellinek tidak dinamis, karena kurang memperhatikan perkembangan negara sebagai salah satu bangunan masyarakat yang hidup dan saling pengaruh-mempengaruhi dengan bagunan lainnya. Dalam judul bukunya Allgemeine Staatslehre, diperoleh pengertian-pengertian umum dan khusus yang berlaku bagi negara-negara di seluruh dunia. Justru segi inilah Jellinek menunjukkan kelemahannya oleh karena kurang mem¬perhatikan faktor-faktor lain yang hidup dalam negara yang mem¬pengaruhi pertumbuhan negara. Lebih-lebih faktor-faktor lain ber¬sifat khusus yang sifatnya berbeda-beda pada tiap negara, sehingga pengaruhnya pun berbeda pula bagi masing-masing negara. Penger¬tian umum yang berlaku bagi setiap negara tidak mengakui adanya faktor-faktor khusus yang justru penting dalam mempengaruhi perkembangan negara. Dalam buku Herman Heller yang berjudul Staatslehr-e itu lebih menitikberatkan pengertian ilmu negara dari sesuatu negara yang lebih menyesuaikan dirinya dengan perkem¬bangan dan mempunyai ciri-ciri yang khusus yang mungkin tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Dalam hal ini Herman Heller menunjukkan pengaruh-pengaruh alam serta kebudayaan sekitar negara itu dengan ucapannya Natur und Kulturbendingungen. Akibat dari pengaruh paham August Comte dalam filsafatnya yang positif itu maka banyak para sarjana yang mengubah cara penyelidikannya dalam ilmu pengetahuan masyarakat yang semula bersifat deduktif spekulatif menjadi empiris analitis yang melihat kepada kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Metode ini yang mendorong penyelidikan ilmiah secara sosiologis. Juga dalam penyelidikan negara, metode ini dipergunakan. mengingat negara sebagai bangunan masyarakat yang nyata serta mempunvai hubungan fungsional dengan masyarakat, karena tidak mungkin negara hanya diselidiki dari sudut yuridis semata-mata. Sejak Her¬man Heller maka banyak para sarjana didorong untuk mengadakan penyelidikan terhadap negara vang disebut ilmu politik, dan ilmu pengetahuan ini merupakan ilmu pengetahuan politik menurut pa-ham Jellinek. Suatu aliran yang menyelidiki negara dan hukum dengan hanya mempergunakan satu metode saja yaitu metode yuridis adalah aliran yang dipimpin oleh Hans Kelsen, mengemukakan bahwa ilmu penge¬tahuan hukum telah merosot disebabkan metode syncretismus (suatu metode yang mencampuradukkan macam-macam metode), oleh karena metode yang dipakai seharusnya ditentukan oleh sifat dari¬ objek yang diselidiki. Bagi ilmu pengetahuan negara dan hukum, metode yang harus dipakai adalah metode yuridis normatief dan metode lainnya tidak bisa dipergunakan. Inilah maksud Hans Kelsen untuk membersihkan ilmu pengetahuan dari metode ¬metode yang tidak sesuai dengan sifat hukum yang menjadi objek penyelidikan.
Hans Kelsen, berkesimpulan bahwa negara itu identik dengan hukum. Di sinilah letak kelemahan dari ajaran Hans Kelsen yang dikecam olch E. Niemeyer dengan pendapatnya : Stnntslehre ohne Slaw dan Rechtislehreohne Recht. Maksud dari kecaman yang ditujukan kepada Hans Kelsen ialah bagaimana orang dapat membuat ilmu pengetahuan negara tanpa negara dan ilmu pengetahuan hukum tanpa hukum. Niemeyer hendak menunjukkan bahwa hukum dan negara, mempunyai hubungan yang erat sekali dengan masyarakat dan tidak bisa diselidiki dengan melepaskan diri dari faktor masyarakat. Sejak pe¬ngaruh dari Herman Heller. Menurutnya bilamana berpegangan pada ajaran Hans Kelsen, maka Ilmu negara sebenarnya terlalu abstrak, tidak konkrit, seolah olah tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Ajaran Kelsen mendapat kritikan dari Nelson. Dikemukakan bahwa ajaran Hans Kelsen terlampau mengenyampingkan keadilan, walaupun tinjauan yuridis juga bermanfaat.
Maka di Eropa mulai timbul ilmu penge¬tahuan politik yang berdiri sendiri. Di Negeri Belanda telah didirikan fakultas ketujuh (Zeven de fnkultns) atau juga disebut sebagai Fnkrtlteit der socicrle en politieke wetenscilnppen dan ilmu politik merupakan salah satu matapelajaran pokok. Dalam salah satu pernyataan dari Barents yang berjudul Wetenschapterderpolitiek telah merumuskan ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki kehidupan dari negara. Hoetink telah menulis dalam kata pengantarnya yang menye¬butkan bahwa ilmu politik itu adalah semacam sosiologi dari negara. Karena menganggap ilmu politik sebagai bagian dari ilmu sosiologi. Selanjutnya dikatakan olehnya bahwa ilmu negara dan hukum tata negara menyelidiki kerangka yuridis dari negara, sedangkan ilmu politik menyelidiki bagian-nya yang ada di sekitar kerangka itu. Dengan perumpamaan itu Hoetink telah menunjukkan betapa eratnya hubungan antara ilmu negara dengan ilmu politik, oleh karena kedua-duanya itu mempunyai objek penyelidikan yang sama yaitu negara, hanya bagiannya terletak dalam metode yang dipergunakan. Ilmu negara mempergu-nakan metode yuridis sedangkan ilmu politik mempergunakan me¬tode sosiologis.Menurut paham Eropa Kontinental, ilmu politik itu merupakan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari Ilmu Kenegaraan (Applied Science) dan kemudian ilmu politik menjadi ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri terpisah daripada ilmu negara dan ilmu kenegaraan karena pengaruh dari sosiologi. Bagaimanakah keadaan ilmu politik di negara Anglo Saxon. Di Inggris ilmu pengetahuan politik (political science) lebih terkenal dari ilmu negara dan ilmu negara itu asing sama sekali bagi negara-negara Anglo Saxon dan istilah-istilah yang dipergunakan juga adalah lain. Seperti ilmu negara dipakainya istilah General Theory of State dan Ilmu Kenegaraan dipakainya istilah General Science. Istilah ini dapat dijumpai dalam buku Contemporary of Po¬litical Science yang dikeluarkan oleh Unesco. bagi negara ¬negara Anglo Saxon yang sentral adalah Political Science dan bukan Ilmu Negara atau Ilmu Kenegaraan.
Mengenai perbedaan antara ilmu politik dan ilmu negara terdapat bermacam-macam pendapat. Herman Heller telah menyimpulkan pelbagai pendapat dalam Encyclopaedia of the Social Sciences: Sebagian sarjana menganggap ilmu politik sebagai "suatu ilmu pengetahuan praktis yang membahas keadaan dalam kenya-taan" (realistis), sedangkan ilmu negara dinamakan ilmu pe¬ngetahuan teoritis yang sangat mementingkan segi normatif (normatif berarti memenuhi norma-norma dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan). Menurut Herman Heller perbedaan ini hanya perbedaan tekanan saja, sebab ilmu politik tidak dapat menjauhkan diri dari teori, dan juga memperhatikan segi normatif, sekalipun tidak sedalam ilmu negara. Ada segolongan sarjana yang menganggap bahwa ilmu politik mementingkan "sifat-sifat dinamis dari negara", yaitu proses¬ kegiatan dan aktivitas negara; perubahan negara yang terus-menerus yang disebabkan oleh golongan-golongan yang memperjuangkan kekuasaan. Subyek ilmu politik ialah gerakan-gerakan dan kekuatan-kekuatan di belakang evolusi yang terus-menerus. Sebaliknya, oleh sarjana-sarjana itu ilmu negara dianggap lebih mementingkan "segi-segi statis dari negara" seolah-olah negara adalah beku, dan membatasi diri pada penelitian lembaga kenegaraan yang resmi.
Sains politik (political science) merupakan ilmu pengetahuan yang mencakup persoalan yang berhubungan dengan negara, jadi sama halnya dengan paham Yunani Kuno. Oleh karena itu, ilmu politik disebut sebagai Master of Science. Antara paham Inggris dan paham Amerika Serikat terdapat perbedaan dalam metode. Metode yang terkenal menurut paham Inggris masih tradisional dan konser¬vatif karena menganut sistem Universitas Sorbonne di Perancis yang dipengaruhi oleh paham Yunani Kuno. Sedangkan sistem Amerika Serikat sudah mempergunakan metode modern yang terdiri atas metode empiris analistis dan eksperimen. Berbeda dengan di Inggris, maka ilmu politik di Amerika Serikat sudah mempunyai pengertian yang lebih khusus lagi oleh karena objek penyelidikannya itu sudah ditunjukkan terhadap gejala-gejala tertentu yang berhubungan de¬ngan negara-negara lain. Gejala-gejala ini adalah perebutan kekuasaan yang sangat menonjol di Amerika Serikat antara partai-partai dan grup dalam usaha untuk mempengaruhi haluan dari Negara. Kemajuan tersebut menyebutkan bertambah kompleksnya kehidupan di dalam¬nya yang mendorong manusia untuk mengadakan penyelidikan khu¬sus terhadap gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat. Demikian¬lah ilmu politik menurut paham Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris dan objek dari penyelidikannya itu sudah dipersempit, karena terbatas pada perjuangan untuk memperoleh kedudukan dalam Negara untuk dapat menentukan haluan dari negara. Di Indonesia kedudukan ilmu politik telah berkembang ke arah ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Hal ini terutama dise¬babkan oleh kehidupan politik di Indonesia sangat pesat perkem-bangannya sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Juga ilmu politik sudah menjadi populer di Indonesia dengan timbulnya fakultas-fakultas sosial dan politik yang memberi kesem¬patan sebaik-baiknya bagi bangsa Indonesia untuk mempelajarinya sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Terkait dengan Ilmu politik, dan kehidupan politik, maka dapat diikuti pandangan Djokosoetono, bahwa pandangan hidup atau keyakinan atau ideology, sangat mempengaruhi pendapat dan buah pikiran seseorang. Penggunaan ideology dalam lapangan politik yang pertama kali adalah Napoleon, selanjutnya Karl Marx.
Dalam sejarah ketatanegaraan pengertian tentang negara senantiasa berubah-ubah. Hal ini disebabkan oleh karena pengertian itu dilahirkan menurut panggilan zamannya dan juga karena alam pikiran dari penciptanya tidak bebas dari kenyataan-kenyataan hidup di sekitarnya. Kenyataan-kenyataan itu dapat berupa agama, aliran-aliran atau paham-paham lainnya yang mempengaruhi manusia dalam pandangan hidupnya. Dari pandang¬an hidupnya itu muncul pengertian-pengertian tentang negara. Oleh karena pengertian-pengertian itu dilahirkan dari berbagai-bagai ma¬ram aliran atau paham maka tidak heran lagi jika pengertian tentang negara itu berbeda-beda sepanjang perkembangan se¬jarah yang berbeda-beda. Negara itu diadakan bukan dengan sendirinya berdiri, tetapi karena manusia yang menghendakinya, dari berbagai peristiwa. Karena Negara adalah bentuk dari pergaulan hidup manusia. Berdasarkan kemauan rakyatnya, maka Negara itu lahir, dengan syarat-syarat lainnya yakni ada daerah dan kekuasaan yang berdaulat.
Pada zaman Yunani Kuno para ahli pikir telah mencari perumusan itu dan diantaranya adalah Aristoteles yang hidup pada tahun 384-322 Sebelum Masehi yang telah merumuskan arti negara dalam buku yang berjudul Politica. Dalam perumusannya itu pan¬dangan Aristoteles masih terikat pada wilayah yang kecil yang disebut polis (negara menurut paham sekarang). Sedangkan negara menurut paham sekarang telah mempunyai wilayah yang luas sekali dan de¬ngan jumlah penduduk yang besar. Karena Aristoteles terikat pada negara kota yang kecil dan mempunyai jumlah penduduk yang kecil, maka ia merumuskan negara sebagai negara hukum yang di dalamnya terdapat sejumlah warga negara yang ikut serta dalam permusya-waralan negara (ecclesia). Yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum, yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat hagi terca¬painya kebahagiaan hidup warga negara yang baik. Demikian pula dengan hukum yang sebenarnya di mana peraturan itu mencer-minkan keadilan bagi pergaulan hidup antara warga negaranya. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil sedang penguasa sebenarnya hanya pe¬megang hukum dan keseimbangan saja. Morallah yang akan menentukan baik dan tidaknya sesuatu peraturan undang-undang, dan membuat undang-undang adalah se¬bagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu, menurut Aristoteles, yang penting ialah mendidik rnanusia menjadi warga negara yang baik karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya. Ajaran Aristoteles ini sampai sekarang masih menjadi idam-idaman bagi para negarawan untuk menciptakan negara hukum. Sejak zaman Yunani maupun Romawi, ditemukan makna Civitas, hal ini disebabkan Romawi sudah berubah, dengan sistim Gubernur, Provinsi. Istilah Res Publica, bermakna sebagai kedaulatan rakyat. Pada masa itu dimaksudkan adalah tentang negara. Dengan segala aktivitasnya.
Kewibawaan yang menyebabkan negara sebagai organisasi da¬pat hidup abadi. Dengan perkataan lain, kewibawaan itu tidak tergantung kepada siapa yang memerintahkannya, apakah yang memer¬intah itu bangsa lain ataukah yang memerintah itu bangsa sendiri, yang menjadi pokok ialah bahwa negara itu berwibawa dan buktinya segala perintahnya itu dipatuhi dan ditaati oleh rakyatnya. Dalam arti lain Logemann dapat dibenarkan karena arti dari¬pada kewibawaan ialah kekuasaan yang dapat diterima oleh rakyat¬. Akan tetapi tidak boleh kita lupakan bahwa dibalik kekuasaan negara-negara jajahan itu tersembunyi tujuan-tujuan yang tidak dapat dibenarkan sehingga kewibawaan itu hanya sekedar sebagai ke¬dokk menutupi/menghalalkan tujuan yang sebenarnya.
Dalam hal ini paham daripada Kranenburg adalah lebih pro¬gresif, dalam bukunya Algemeine Staatlehre. Kranenburg meru¬muskan arti negara sebagai suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan/bangsanya sendiri. Pengertian ini rnencerminkan kepada negara-negara nasional. Memang dapat dihenarkan apa yang dikatakan oleh Kranenburg itu, oleh karena itu Hidup dalam lingkungan negara-negara merdeka di Eropa. Peru¬musannya itu bisa diterima oleh negara-negara yang baru merdeka atau negara-negara yang masih dijajah, lebih-lebih dalam abad ke XX, ini di mana di seluruh pelosok dunia ini sedang berkobar gerakan kemerdekaan. Kemudian beberapa pengertian negara dari beberapa sarjana terkenal lainnya adalah sebagai berikut :
1. Roger H. Soltau
"Negara adalah alat agency atau wewenang/authority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat" (The state is an agency or authority managing or controlling these (Common) affairs on behalf of and in the name of the community).
2. Harold J. Laski
"Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang meru¬pakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk men¬capai terkabulnya keinginan- keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi diten¬tukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengi¬kat" (The state is a society which is in integrated by possesing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society. A society la a group of human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society is a state when the way of life to which both individuals and associations must conform is defined by a coercive authority binding upon them all).
3. Max Weber
"Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah" (The state is a human society that (succesfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory).
4. Robert M. Mac Iver
"Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan ber¬dasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pe¬merintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan me¬maksa" (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order).
5. Miriam Budiardjo
"Negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diper¬intah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan pe¬rundang-undangannya meialui penguasaan (kontrol) mono-polistis dari kekuasaan yang sah.

Negara merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Alat itu berupa organisasi yang berwibawa. Organisasi di sini diartikan sebagai bentuk bersama yang bersifat tetap. Kewibawaan menunjukkan bahwa organisasi itu ditaati oleh rakyat, akan tetapi tidak cukup kiranya jika negara itu hanya meru¬pakan alat semata-mata untuk meneapai suatu tujuan. Jika tujuan itu telah tercapai, maka negara itu tidak berarti lagi. Hal ini tidak bisa dibenarkan, jika kita masih menghadapi kesatuan¬-kesatuan bangsa yang hidup di dalam dunia ini. Bangsa- bangsa ini memerlukan tempat di mana mereka harus bernaung dan berlindung. Untuk menjamin warga negaranya maka negara itu merupakan alat untuk mempersatukan bangsanya sebagai tempat berlidung. Wood¬row Wilson telah memberi perumusan sebagai berikut: A State is n people organised forif within a define territory. Perumusan ini adalah lengkap karena mengandung unsur-unsur seperti organisasi kewi¬bawaan dan tempat. Terlepas dari pengertian-pengertian tentang negara, perlu ki¬ranya diketahui apakah sifat hakekat daripada negara. Sifat hakikat daripada negara senantiasa sama walau bagaimanapun coraknya negara itu. Sebagai organisasi di dalam masyarakat ia dibedakan daripada organisasi-organisasi lainnya karena negara mempunyai sifat-sifat yang khusus. Kekhususannya terletak pada monopoli dari kekuasaan jasmaniah yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lainnya seperti gereja, partai, perserikatan-perserikatan lainnya. Negara dapat menjatuhkan hukuman mati. Selain itu negara dapat mewajibkan warga negaranya untuk mengangkat senjata kalau negeri itu diserang oleh musuh. Kewajiban itu berlaku juga bagi warga negara yang ada di luar negeri. Juga negara dapat memungut pajak dan menentukan mata uang yang berlaku di dalam wilayahnya.
Miriam Budiardjo, lebih jelas menguraikan sifat hakekat negara sebagai berikut Sifat Memaksa. Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penerbitan dalam masyarakat tercapai serta timbul¬nya anarki dapat dicegah, maka dengan memiliki sifat me¬maksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai ke¬kerasan fisik secara legal. Sarana untuk itu adalah polisi, ten¬tara, dan sebagainya. Organisasi dan asosiasi yang lain dari negara juga mempunyai aturan; akan tetapi aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara lebih mengikat. Di dalam masyarakat yang bersifat homogen dan ada konsen¬sus nasional yang kuat mengenai tujuan-tujuan bersama, bia¬sanya sifat paksaan ini tidak perlu begitu menonjol; akan tetapi di negara- negara baru yang kebanyakan belum homogen dan konsensus nasionalnya kurang kuat, seringkali sifat paksaan ini akan lebih tampak. Dalam hal demikian di negara demokratis tetap disadari bahwa paksaan hendaknya dipakai seminimal mungkin dan sedapat-dapatnya dipakai persuasi (meyakin¬kan). Lagi pula pemakaian paksaan secara ketat selain memer¬lukan organisasi yang ketat juga memerlukan biaya yang tinggi. Unsur paksa dapat dilihat misalnya pada ketentuan tentang pajak. Setiap warganegara harus membayar pajak dan orang yang menghindari kewajiban ini dapat dikenakan denda, atau disita miliknya atau di beberapa negara malahan dapat dikenakan hukuman kurungan. Sifat Monopoli. Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan ber¬sama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat me¬nyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan, oleh karena diang¬gap bertentangan dengan tujuan masyarakat. Sifat Mencakup Semua (all-encompassing all-embracing).
Tujuan Negara pada masa lalu adalah untuk menjaga agar warganya dapat aman dari berbagai gangguan, serangan baik hewan, maupun manusia kelompok lainnya. Hal demikian telah bergeser sejak makna organisasi Negara diabad pertengahan, yakni Negara bertujuan dan berkewajiban untuk mensejahterakan warganya. Dikenal juga sebagai Walfare State. Dalam upaya percepatan kesejahteraan rakyat itulah, maka telah muncul model Self Government.
Suatu perkembangan terkini di Eropa dan Amerika Serikat, pemahaman baru mengenai “Self Government”, diselenggarakan oleh suatu state/provinsi dalam suatu negara. Walaupun demikian, dalam kenyataannya ternyata mampu dan berhasil melaksanakan sistem parlementer beraja seperti berlaku di Monaco di bawah pimpinan Raja (symbol negara)dan Menteri utama: yang pelaksanaannya persis seperti pimpinan pemerintahan suatu negara. Dengan paksa status penguasa di daerah provinsi yang menyelenggarakan Self Government, dipangku oleh Perdana Menteri, seperti yang berjalan di Greenland dan Faero (Denmark). Demikian juga di Skotlandia ,sebelum diubah kepada sebutan Menteri utama pada Tahun 1998. Jabatan Presiden, seperti yang berjalan di Palestina dan Bougainville. Wujud bentuk pemerintahan tersebut, dimaksudkan sebagai wadah untuk mengatur kehidupan bernegara agar tercipta rasa harmonis, aman-sentosa, makmur dan sejahtera, walaupun ada sebagian penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan.
Dalam sejarahnya, bentuk pemerintahan yang paling dibenci rakyat adalah pemerintahan monarki; karena raja/ratu merumuskan legal system, sistem perekonomian dan politik semata-mata untuk kepentingan melindungi dan menguntungkan diri dan kerabatnya. Keadaan ini berlaku dalam rentang masa yang panjang dan baru bertukar, setelah terjadi perubahan mendasar (mengurangi kuasa raja/ratu, diadakan pembagian dan pemisahan kekuasaan) dan mengamalkan sistem demokrasi di pertengahan tahun 1800-an. Pada gilirannya setelah pemerintahan monarki menerapkan sistem parlementer beraja (tetap menghidupkan institusi raja/ratu) ternyata membanggakan. Ini terbukti dari keberhasilan beberapa negara di kawasan Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia, Island) dalam mensejahterakan rakyatnya. Beberapa tahun kebelakangan ini, negara, negara di Scandinavia selalu menempati rangking lima besar dalam rekor PBB, sebagai negara terbaik dunia dalam hal menjalankan roda administrasi pemerintahan dan kejayaan mereka untuk mensejahterakan rakyat. Misalnya saja, UNDP telah mendeklarasikan 10 negara di dunia secara berurut, yakni Norwegia, Australia, Island, Kanada, Iralandia, Belanda, Swedia, Prancis, Swiss dan Jepang dinilai sebagai negara-negara yang paling berhasil dalam mengurus administrasi negara dan mensejahterakan rakyatnya. Dari sepuluh negara, tiga negara diantaranya terdapat di wilayah Scandinavia. Hanya Denmark saja, yang pada tahun 2009 ini menempati urutan ke-16. Sebelumnya selalu masuk dalam rangking 5 besar sebagai negara yang paling harmonis, aman dan sejahtera di dunia. Di lihat dari kacamata Eropa, 7 dari 10 negara terbaik di dunia berdasarkan rekor tahun 2000, terdapat di Eropa.
Salah satu kuncinya adalah pelaksanaan sistem ekonomi bebas dan demokrasi, yang memberi kebebasan kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri. demokrasi terhubung langsung dengan Self Government. Dalam konteks inilah, Pierre Manent mengatakan dalam: “Democracy without Nations? The Fate Self-Government in Europe” bahwa “Self-Government adalah demokrasi yang bisa diwujudkan tanpa negara (Democration without Nations?)” dengan mengambil studi banding. Terlepas dari pertimbangan apapun, pelaksanaan Self-Government yang disaksikan sekarang, tidak bisa dilupakan sejarahnya dalam kancah penyelenggaraan administrasi pemerintahan suatu negara. Ia hanya hadir atas dasar desakan-desakan dari lapisan bawah (politisi daerah) kepada pemerintah pusat yang diinginkan perubahan mendasar tentang kebijakan politik, hukum dan ekonomi dalam menjalankan roda pemerintahan. Untuk maksud ini, diisyaratkan perlunya pengetahuan dan pemahaman tentang demokrasi, Hak-hak manusia yang mengakui kebebasan mengeluarkan pendapat dan berorganisasi dan hak-hak warga negara. Bahkan maksud dan hakikat dari falsafah negarapun harus ditafsirkan lebih fleksibel, demi menghargai dan menghormati nilai-nilai demokrasi yang universal dan manusiawi. Sebagai contoh, Self-Government untuk penduduk asli di Kanada, yang boleh dikatakan sebagai penyelenggaraan Self-Government pertama (bukan yang pertama di negara Kanada). Inggris memberlakukan “British Columbia Treaty” di Kanada, “Undang-undang Waka Umanga” di New Zealand, serta “Akta pengorganisasian kembali suku Indian” di Amerika yang memberi ruang gerak kepada etnik masing-masing dalam negerinya untuk bebas mengatur diri-sendiri tanpa ikut campur dari pemerintah pusat. Hak tersebut baru terwujud setelah terjadi desakan-desakan hebat kepada pemerintah pusat (rezim London). Tentang pemberian izin dari pemerintah Inggris kepada Amerika, dalam literature sejarah Amerika, diungkapkan secara lain yang bahwasanya: “ide Self-Government di USA dan Newe Zealand mengadopsi falsafah dan teori bernegara di Eropa umumnya yang diperuntukkan kepada koloni Inggris di Amerika dan New Zealand.
Pada masa kini, demokrasi nampaknya telah mencatat kemenangan historis atas bentuk-bentuk pemerintahan yang lain. Dewasa ini hamper setiap orang mengaku sebagai seorang demokrat. Semua jenis rezim politik di seluruh dunia mengklaim sebagai rezim demokrat. Dalam suatu masa di mana cara cara tradisional dalam memecahkan pertentangan nilai diperlakukan dengan sangat hati hati. Demokrasi memberikan pancaran legitimasi pada kehidupan modern. Hukum, undang undang dan politik kelihatan absah, ketika semua itu bersifat demokratis. Tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Mayoritas pemikir politik dari Yunani Kuno, hingga dewasa ini sangat kritis terhadap teori dan praktek demokrasi. Sepanjang abad ke 19 dan ke 20 para teoritikus demokrasi cenderung mengasumsikan suatu hubungan”simetris dan sebangun” antara para pembuat keputusan politik dan penerima penerima keputusan politik. Sejalan dengan tujuan Negara diabad modern, maka setiap Pemerintahan suatu negara, dapat diketahui telah menerapkan suatu konsep yang modern yang disebut “reinventing gobernment” yang dikemukakan oleh Osborne dan Gabler, yakni;
1. Pemerintahan Katalis: Fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah daerah harus menyediakan (providing) beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Sebaiknya pemerintah daerah memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (LSM dan nonprofit lainnya).
2. Pemerintahan milik masyarakat: memberi wewenang (pada masyarakat) daripada melayani. Pemerintah daerah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang mandiri (community self-help).
3. Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik. Kompensasi adalah salah satu cara untuk menghemat biaya sekaligus untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
5. Pemerintah yang berorientasi hasil: membiayai hasil bukan masukan.
6. Pemerintah yang berorientasi pada pelanggan, yakni pelayanan yang diberikan adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan birokrat.
7. Pemerintah wirausaha yang mampu memberikan pendapatan bukan hanya sekedar membelanjakannya.
8. Pemerintahan yang antisipatif, yaitu berupaya untuk mencegah daripada mengobati.
9. Pemerintahan desentralisasi menuju partisipatif dan tim kerja.
10. Pemerintahan yang berorientasi pada (mekanisme) pasar yang mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insetif) dan bukan dengan mekanisme administrasi (sistem prosedur dan bukan pemaksaan).
Negara Islam Dalam Perspektif Negara Madinah
Oleh: Dr. Syaiful Bakhri, S.H.,M.H
A. Agama, Negara dan Hukum Menurut Islam.
Hubungan agama dengan negara dilihat dari Islam maupun pemikiran barat, menurut teori “lingkaran Konsentris”. Yakni Iaslam sebagai suatu agama, sebagaimana yang ditentukan oleh Al Quran Surah Al Imran (3) 19, “Sesungguhnya agama yang di Ridhoi di sisi Allah Hanyalah Islam. Selanjutnya dalam Surah Al Maidah (5) 3. “Pada hari ini kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan nikmat Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu”. Para Sarjana Muslim, membagi Al din al islam menjadi tiga komponen yakni Aqidah, Syariah dan Akhlag, ketiganya totalitas yang tidak dapat dip[isahkan, dan terdapat factor yang berkaitan dengan posisi Allah, Manusia baik sebagai pribadi maupun kelompok, masyarakat dan alam lingkungan. Aqidah diartikan sebagai suatu keyakinan yang bersifat Monotheist murni yang hanya ada dalam islam. Syariah adalah hukum Allah, maknanya adalah sebagai pelembagaan kehendakNYA, dengan mana manusia harus hidup secara pribadi dan bermasyarakat.

Tentang konsep negara dalam perspektif Islam, para ahli selalu merujuk tentang Negara madinah. Kota ini sebelum kedatangan Muhammad, disebut sebagai Yasrib, sebagai daerah Oasis, penghasil kurma unggul dan gandum, dikunjungi oleh peziarah dan pedagang. Dalam sejarahnya setelah mesir dan yerussalem dikuasai oleh Romawi timur, maka bangsa Yahudi, palestina banyak yang menetap di Madinah. Sehingga Piagam Madinah adalah suatu kondisi bangsa Arab, yang damai dalam rentang sejarah yang panjang, sebagai suatu negara yang majemuk. Maka dapatlah diketahui Piagam Madinah tersebut, yakni sebagai berikut;

1. Piagam Madinah Sebagai Titik Awal Negara Islam.
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang; Ini adalah piagam dari Muhammad Nabi SAW; dikalangan mukminin dan dan muslimin yang berasal dari Quraisy dan Yasrib, dan orang orang yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka; Sesungguhnya mereka yang satu umat, lain dari komunitas dari manusia lainnya; Kaum Muhajirin dan Quraysy, sesuai keadaan(kebiasaan), mereka bahu membahu membayar diat diantara mereka, dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil diantara mukmin; Banu ‘Awf, sesuai keadaan(kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diat diantara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil diantara mukminin; Banu Saidah, sesuai kesediaan(kebiasaan), mereka bahu membahu membayar diat diantara mereka, seperti semula dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil diantara mukminin; Banu Al Hars, Sesuai keadaan(kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diat, diantara mereka seperti semula dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik, dan adil diantara mukminin;

Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayardiat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap susku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin; Banu al-Najjar, sesuai kadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin; Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin; Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin; Banu al-Aws, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin; Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat. Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan dari padanya;

Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang diantara mereka; Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk membunuh orang beriman. Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain; Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang olehnya; Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka; Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain; Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus; Orang musyrik [Yasrib] dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraysy, dan tidak boleh campur tangan melawan orang beriman; barang siapa membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat).
Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya; Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya kepada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang member bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan; Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW; Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan; Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adakah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga [kebebasan ini berlaku] bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri keluarga; Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf; Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf; Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf; Kaum Yahudi Banu al-‘Aws diperlakukan sama seperti Yahudi ‘Awf; Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Kecuali orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarga; Suku Jafnah dari Sa’labah [diperlakukan] sama seperti mereka [Banu Sa’labah]; Banu Syuthaybah [diperlakukan] sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesungguhnya kebaikan [kesetiaan] itu lain dari kejahatan [knianat]; Sekutu-sekutu Sa’labah [diperlakukan] sama seperti mereka [Banu Sa’labah]; Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka [Yahudi]; Tidak seorang pun dibenarkan [untuk perang], kecuali seizing Muhammad saw. Ia tidak boleh dihalangi [menuntut pembalasan] luka [yang dibuat orang lain]. Siapa berbuat jahat [membunuh], maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan [ketentuan] ini; Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimim ada kewajiban biaya.

Mereka [Yahudi dan muslimin] bantu membantu dalam menghadapi musuh warga piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat [kesalahan] sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya; Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan; Sesungguhnya Yasrib itu tanahnya “haram” [suci] bagi warga piagam ini; Orang yang mendapat jaminan [diperlakukan] seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat; Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizing ahlinya; Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut [ketentuan] Allah ‘azza wa jalla dan [keputusan] Muhammad saw. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi piagam ini; Sungguh tidak ada jaminan perlindungan bagi Quraysy [Mekah] dan juga bagi pendukung mereka; Mereka [pendukung piagam] bahu-membahu dalam menghadapi penyerangg kota Yasrib; Apabila mereka [pendukung piagam] diajak berdamai dan mereka [pihak lawan] memenuhi perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan [kewajiban] masing-masing sesuai tugasnya; Kaum Yahudi al-‘Aws, sekutu dan dirir mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan [kesetiaan] itu berbeda dari kejahatan [pengkhianatan]. Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi piagam ini; Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar [bepergian] aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Muhammad Rasulullah saw. Prinsif yang terkandung di dalam piagam Madinah, adalah sebagaimana yang terkandung di dalam Al Quran, yang berkaitan dengan pembinaan kehidupan kemasyarakatan dan politik. Adapun prinsip-prinsip hak asasi dan politik pemeritahanapiagam Madinah dikaitkan dengan Al-Quran meliputi:
a. Prinsip umat
b. Prinsip persatuan dan persaudaraan
c. Prinsip persamaan
d. Prinsip kebebasan
e. Prinsip hubungan antar pemeluk agama
f. Prinsip pertahanan
g. Prinsip hidup bertentangga
h. Prinsip tolong-menolong dan membela yang lemah dan teraniaya
i. Prinsip perdamaian
j. Prinsip musyawarah
k. Prinsip keadilan
l. Prinsip pelaksanaan hukum
m. Prinsip kepemimpinan
n. Prinsip ketakwaan, Amar Maruf dan Nahi Munkar

Maka dapatlah diketahui, suatu Negara dengan bentuk Teokrasi, dimana otorisasi kekuasaan dianggap berasal dari Tuhan. Penguasa bertanggungjawab langsung kepada Tuhan, dan diadili oleh Tuhan. Kehendak Raja sebagai kehendak Tuhan. Sehingga ukuran Negara Teokrasi, dimana dominasinya adalah Tuhan, susunanan pemerintahan ditujukan untuk melaksanakan aturan Tuhan, dan pengukur bagi kebijakan dan putusan-putusan politik adalah norma aturan Tuhan. Pandangan Barat tentang “religion”, negara dan hukum adalah bagaimana gambaran tentang hakikat religion dalam pengertian umum di Eropa atau sejarah Eropa dan konsep negara serta hukum menurut pendekatan Barat. Dalam hubungan ini dengan al-din al-Islami, perlu diperhatikan perbedaan-perbedaan konsep al-din al-Islami menurut al-Qur’an dan konsep religion.

2. Pengertian Religion
Perkataan religion atau religi berasal dari kata latin relgio Atau relegere yang berarti mengumpulkan atau membaca. Perkataan ini dapat pula diartikan “mengikat”. Karena itu hakikat religion tidak mencakup seluruh bentuk kehidupan manusia. Konsep religion sebagaimana dipahami dalam sejarah Barat memiliki luas lingkup yang terbatas seperti dijelaskan oleh Khursid Ahmad: “ confining its scope to the private life of man”. Dengan demikian konsep religion membatasi ruang lingkupnya terutama pada soal-soal pribadi manusia. Keterbatasan substansi religion dilukiskan oleh Bernard Lewis, misalnya dalam pemahaman Barat terhadap agama Kristen sebagai, sektor atau segmen kehidupan, mengatur beberapa hal, sementara yang lainnya tersingkirkan. Karena itu, konsep religion mengandung pengertian yang terbatas.Religion tidak merupakan suatu totalitas, sedangkan al-din al-Islami adalah suatu totalitas karena itu ia bersifat komprensif. Keterbatasan konsep religion dapat pula dipahami dari rumusan Clifford Geerts.

Disini Geerts menafsirkan religion sebagai sistem symbol dan semata-mata berkaitan dengan individu atau pribadi manusia. Religion dalam pandangan Geertz berperan hanya dalam diri manusia. Maka dapat disimpulkan di luar diri manusia, misalnya, aspek kehidupan negara dan aspek hukum serta aspek kemasyarakat lainnya, peran religion menjadi terbatas hanya adalam urusan pribadi seseorang seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Kecuali itu, Geertz memandang bahwa kepastian hakiki yang diberikan religion akan tampak jelas pada saat manusia berada dalam suasana kacau atau chaos. Tampaknya Geertz memahami religion sebagai suatu yang sangat erat kaitannya dengan aspek kewajiban manusia sebagai pribadi. Pemahaman Geertz seperti itu tidaklah mengherankan, karena konsep religion menurut pemahaman Barat lebih menekankan pada urusan pribadi. Karena itu, urusan kenegaraan dan institusi-institusi politik berada di luar kompetensi religion.

Perkataan religion itu sendiri tidak berasal atau bersumber dari sesuatu kitab suci. Hal ini sangat berbeda dengan al-din al-Islami, kedua perkataan ini (yang berasal dari bahasa Arab) jelas tercantum dalam al-Quran. Karena itu tepat sekali pandangan Wilfred Cantwell Smith, seorang ahli Islamic Studies dari Canada yang cukup terkenal, tentang al-din al-islami. Smith berpendapat bahwa Islam adalah agama yang unik. Dibandingkan dengan agama-agama yang lain Islam bersifat sui generis (memiliki karakteristik tersendiri), antara lain tentang nama Islam itu sendiri. Nama agama ini tidak pernah dikaitkan dengan nama Nabi Muhammad, seperti misalnya dalam agama Kristen. Nama ini dikaitkan dengan Jesus Christ sebagai orang pertama dalam pandangan agama Kristen yang mengajarkan. Demikian pula dalam penamaan Budhism, dikaitkan dengan Budha Gautama sebagai pendirinya. Tetapi, dalam al-din al-Islami maka penamaan Khaliq sendiri yaitu Allah, sebagaimana tercantum dalam al-Quran. Segi lain yang patut diperhatikan ialah luas lingkup religion sangat terbatas, dan arena itu tidak merupakan suatu totalitas. Sebaliknya, konsep al-din al Islami memiliki luas lingkup yang komprensif, karena itu ia merupakan suatu yang totalitas. Al-din al-Islami bukan hanya suatu sektor atau segmen kehidupan saja seperti halnya dalam agama Kristen, tetapi ia mencakup aneka ragam sektor kehidupan manusia.

3. Negara dan Agama
Banyak gagasan yang telah dikemukakan oleh para ahli dalam pemikiran kenegaraan di negeri Barat. Untuk itu, dibatasi hanya beberapa ahli yang relevan, dalam kaitan agama dengan negara. Penulis mencoba mengulas tiga amacam teori masing-masing dari Augustinus (354-330), Nicolo Machiavelli (1469-1527), dan Hugo de Groot atau Grotius (1583-1645). Di antara para ahli yang menulis tentang negara dengan menggunakan pendekatan teologis (agama) ialah Augustinus yang hidup pada abad pertengahan. Meskipun dalam doktrin Gereja sejak lahirnya agama Kristen dianut dengan kuat prinsip “persembahan kepada kaisar apa-apa yang menjadi milik kaisar dan kepada Tuhan apa-apa yang menjadi milik Tuhan”. Namun, untuk kepentingan membela agama Kristen dan untuk memberikan landasan kebenaran terhadap kekuasaan gereja, Augustinus menulis suatu buku berjudul De Civitas Dei. Dalam buku ini Augustinus membentangkan teori tentang negara Tuhan. Augustinus membagi negara ke dalam dua jenis, yaitu Civitas Dei (negara Tuhan) dan Civitas Terrena atau diabolic (negara Iblis). Ia berpendapat bahwa jenis negara yang pertama itu adalah terbaik dan ideal, karena itu ia melontarkan kritik yang tajam terhadap jenis negara yang kedua. Ia meniolak dengan keras negara Iblis, karena keadilan hanya dapat ditegakkan dalam negara Tuhan. Negara Iblis yang ia kritik itu mungkin dapat disamakan dengan negara sekuler yang sama sekali mengabaikan agama. Augustinus memandang agama memiliki kedudukaan yang lebih tinggi dari negara. Memang ada kaitan yang erat antara agama dan negara, tetapi negara hanyalah sekedar alat bagi Gereja untuk melenyapkan musuh-musuhnya. Karena Augustinus hidup pada Abad pertengahan yang telah memberikan kedudukan tinggi dan peran banyak pada agama Kristen dalam kehidupan negara, maka pandangan Augustinus itu telah pula dipengaruhi oleh keadaan ketika itu. Teorinya dengan latar belakang pemikiran teologis (Kristen) merupakan suatu pemikiran yang sangat teokrasi tentang negara. Karena itu disebut teokrasi mutlak. Teori Augustinus tentang negara yang bersifat sangat teokrasi itu kemudian secara perlahan-lahan mengalami pergeseran dan perubahan. Perubahan itu dimulai dengan lahirnya pendapat bahwa kedudukan negara sama seperti kedudukan Gereja sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Sebaliknya, Marsilius berpendirian bahwa kedudukan negara lebih tinggi daripada kedudukan gereja. Marsilius telah pula mengadakan pemisahan yang tegas antara negara dan gereja.

Proses pemikiran kenegaraan di negeri Barat itu dilanjutkan oleh banyak ahli pikIr Eropa, misalnya pada masa pencerahan (renaisans). Nicolo Machiavelli. Kiranya, selain Marsilius, juga pemikiran Machiavelli tentang negara dapat dinilai telah berpengaruh dalam pembentukan sekularisme di kemudian hari. Secara langsung, maupun tidak langsung, pemikiran Machiavelli itu telah melahirkan para pemikir di bidang kenegaraan yang di landasi oleh gagasan-gagasan sekuler. Seorang di anatara para sarjana di Eropa yang berorientasi seperti itu antara lain adalah Hugo de Groot (Grotius) dari Negara Belanda. Sekularisme, dalam pandangan Islam adalah pemisahan Islam dan Negara. Pemisahan islam dan negara hanya dimengerti, sebagai pengasingan islam sepenuhnya menjadi wilayah pribadi dan dikeluarkannya islam dalam kehidupan kebijakan publik.

Hugo de Groot. “Hukum alam itu adalah suatu peraturan dari akal murni dan arena itu demikian tetapnya, sehingga Tuhan sendiri tidak akan mengubahnya. Sebab bagaimanakah bisa terjadi bahwa Yang Maha Esa dapat bertindak bertentangan dengan apa yang patut menurut akal. Dalam kekuasaan pikiran itu manusia mendapati kunci untuk pedoman hidup yang bernilai moril. Bahkan, seandainya Tuhan itu tidak ada, atau tidak mempedulikan manusia, maka akal itu akal dapat memimpin manusia. Akal itu berlaku dengan tiada bergantung pada kekuasaan yang ghaib”. Hugo de Groot menafsirkan bahwa antara hukum alam dan rasio sangat erat hubungannya. Namun, konsep hukum alam menurutnya, adalah “suatu peraturan dari akal murni” yang berdiri sendiri tanpa ada kaitan sama sekali dengan Sang Pencipta (Allah) sebagai sumber dari hukum alam dan rasio manusia. Dengan demikian, Hugo de Groot telah melepaskan sama sekali pendekatan teologis yang selama berabad-abad di zaman pertengahaan itu di anut orang. Melalui universitas-universitas Islam di Andalusia, secara langsung orang-orang Eropa mulai berkenalan dengan pemikiran negara dari ahli filsafat Yunani seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Secara tidak langsung melalui Perang Salib, perkembangan di negara-negara lain telah membuka cakrawala baru bagi para ahli pikir tentang negara di negeri Barat. Faktor lain yang juga merupakan salah satu sebab terjadinya pergeseran dan perubahan konsep negara di Eropa ialah adanya gerakan reformasi dalam agama Kristen yang menentang hierarki gereja atau susunan organisasi gereja yang ada ketika itu, dan penyalahgunaan kekuasaan gereja. Maka pada akhirnya dalam situasi sosial seperti itu, Eropa sampai pada tahapan berikut dalam proses pemikiran kenegaraan yaitu anti teokrasi dan nilai-nilai transedental (keagamaan). Proses inilah yang kemudian dikenal sebagai proses sekularisasi atau sterilisasi kehidupan masyarakat dan negara dari pengaruh agama dan nilai etika.Dengan ringkas proses pemikiran tentang negara di Barat dapat dilukiskan sebagai berikut: Pertama. Keadaan vakum konsep negara dalam agama Kristen. Kedua. Teori teokrasi dengan berbagai variasinya dari Augustinus, Thomas Aquinas dan lain-lain. Ketiga. Reaksi terhadap teori teokrasi (mulai proses sekularisasi). Keempat. Negara sekuler.

4. Negara dan Hukum.
Konsep hukum dalam pemikiran di negara Barat. Seperti halnya dalam pemikiran kenegaraan, para ahli pikir di Barat telah mengemukan berbagai gagasan dan teori sesuai aliran yang mereka anut yaitu sejak aliran hukum alam sampai aliran hukum alam pada abad modern. Pendekatan teologis yang pernah digunakan oleh para ahli pikir utama pada abad pertengahan, sejak lahirnya teori hukum alam dari Hugo de Groot, mulai ditinggalkan orang. Misalnya pendekatan teologis dari Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa sumber hukum tertinggi adalah Tuhan dan arena itu, membagi hukum menjadi empat kategori yaitu; partama, hukum abadi, Kedua, hukum alam, ketiga, hukum positif dan keempat, hukum Tuhan. Namun, menurut Thomas Aquinas hukum alam tidak dapat dipisahkan dari kodrat Tuhan, sekalipun ada kaitannya dengan rasio manusia sebagai makhluk berfikir ciptaan Tuhan. Sedangkan hukum Tuhan berfungsi mengisi kekosongan-kekosongan pikiran manusia dan memimpin manusia dengan cara yang tidak mungkin salah untuk menuju kehidupan akhirat. Hukum Tuhan dijumpai dalam kitab-kitab suci. Pendekatan yang sama telah pula dilakukan oleh Johannes Althusius (seorang Calvinis) yang hidup antara tahun 1568-1638. Menurut Althusius hukum alam itu berasal dari Tuhan. Dengan demikian, baik Aquinas maupun Althusius mengakui adanya sumber hukum yang berasal dari Tuhan. Tetapi Hugo de Groot berpendapat lain. Menurutnya, hukum alam ialah “segala ketentuana yang benar dan yang baik menuruut rasio, dan tidak mungkin salah, lagi pula adil”. De Groot mengemukakan beberapa contoh hukum alam yaitu (1)kewajiban menghormati milik orang lain, (2)kewajiban menghormati orang lain, (3) kewajiban mengganti kerugian akibat kesalahan seseorang, (4)kewajiban menepati janji dan (5)kewajiban mengembalikan milik orang lain yang diperoleh secara tidak sah. De Groot berpendirian bahwa hukum alam itu adlah bersumber pada raiso manusia. Dengan demikian telah melepaskan pendekatan teologis dalam bidang hukum.

Kecuali itu, aliran positivisme yang semula dari Jeremy Bentham (1748-1832) dan kemudian dikembangkan oleh John Austin (1790-1859) sangat mempengaruhi dan, itu telah mewarnai pula pemikiran hukum di Barat sampai sekarang. Bentham berpendapat: “baik tidaknya sesuatu hukum dapat ditengok dari pada sudut manfaatnya (utility). Jika ada konflik antara hukum dan moral, maka manfaatlah yang memutuskan. Tetapi, orang harus tunduk kepada hukum”. Dengan demikian yang menjadi “tolok ukur” hukum adalah kegunaan dari hukum itu sendiri, sekalipun hukum itu harus bertentangan dengan moral, tetap mempunyai kekuatan mengikat. Ini berarti hukum menempati posisi yang lebih tinggi dari moral. Karena pandangan Barat tentang konsep hukum yang telah memisahkan antara hukum dari agama dan moral, maka hukum memiliki sifat dan ciri tersendiri pula. Hukum semata-mata berkaitan dengan kehidupan duniawi dan karena itu memiliki sifat keduniaan saja. Hukum diperlukan dan berguna hanya dalam kehidupan manusia dalam masyarakat dan negara. Dengan demikian konsep Barat tentang hukum telah melekatkan satu sifat yang sekuler, artinya bebas dari pengaruh agama dan moral.

B. Prinsip Negara Islam Menurut Al Quran dan Sunnah.

1. Prinsip Kekuasaan Sebagai Amanah

Perkataan amanah tercantum dalam al-Quran surah an-Nisa/4:58. Apabila ayat tersebut dirumuskan dengan menggunakan metode pembentukan garis hukum sebagaimana diajarkan oleh Hazairin dan dikembangkan oleh Sayjuti Thalib , maka dari ayat tersebut dapat ditarik dua garis hukum, yaitu: Garis hukum pertama: Manusia diwajibkan menyampaikan amanah atau amanat kepada yang berhak menerimanya. Garis hukum kedua: Manusia diwajibkan menetapkan hukum dengan adil. Perkataan amanah yang dalam bahasa Indonesia disebut “amanat dapat diartikan “titipan” atau “pesan”. Dalam konteks “kekuasaan negara” perkataan amanah itu dapat dipahami sebagai suatu pendelegasian atau pelimpahan kewenangan dan arena itu kekuasaan dapat disebut sebagai “mandat” yang bersumber atau berasal dari Allah. Rumusan kekuasaan dalam nomokrasi Islam adalah: “Kekuasaan adalah suatu karunia atau nikmat Allah yang merupakan suatu amanah kepada manusia untuk dipelihara dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Sunnah Rasulullah. Kekuasaan itu kelak harus dipertanggungjawabkan kepada Allah”. Negara adalah sebuah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi institusi, dan proses proses, yang semestinya menerapkan kebijakan-kebijakan yang diambil, melalui proses politik dalam setiap masyarakat. Dengan demikian maka negara adalah semestinya sebagai unit swakelola, pemerintahan yang dijalankan secara lebih mantap dan terencana, sedangkan politik adalah proses dinamis dalam memilih diantara pilihan-pilihan kebijakan yang salaing bertentangan. Untuk menjalankan semuanya, maka negara harus memiliki monopoli penggunaan kekuatan yang sah, yaitu kemampuan untuk memaksakan kehendaknya pada seluruh penduduk tanpa resiko menghadapi perlawanan rakyat yang tunduk di bawah kekuasaannya. Dengan demikian maka, dapt dipahami, bahwa generasi islam sejak awal hingga sekarang, teks Alquran dan Sunnah, selalu diterima oleh umat islam kapan saja, Dalam nomokrasi Islam kekuasaan adalah suatu karunia atau nikmat Allah. Artinya, ia merupakan rahmat dan kebahagiaan baik bagi rakyatnya. Ini dapat terjadi, apabila kekuasaan itu diimplementasikan menurut petunjuk al-Qur’an dan tradisi Nabi Muhammad. Sebaliknya, kalau kekuasaan itu diterapkan dengan cara yang menyimpang atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam al-Qur’an dan tradisi Nabi, maka akan hilangkah makna hakiki kekuasaan yaitu merupakan karunia atau nikmat Allah. Dalam keadaan seperti ini, kekuasaan bukan lagi merupakan karunia atau nikmat Allah, melainkan kekuasaan yang semacam ini akan menjadi bencana dan laknat Allah.

Karena dalam nomokrasi Islam kekuasaan adalah amanah dan setiap amanah wajib disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya, kekuasaan wajib disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya, dalam arti dipelihara dan dijalankan atau diterapkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip-prinsip nomokrasi Islam yang digariskan dalam al-Qur’an dan dicontohkan tradisi Nabi. Penyampaian amanah dalam konteks kekuasaan mengandung suatu implikasi bahwa ada larangan bagi pemegang amanah itu untuk melakukan suatu abuse atau penyalahgunaan kekuasaan yang ia pegang. Apapun bentuk penyalahgunaan terhadap kekuasaan dapat dianggap melanggar garis hukum yang pertama dan yang kedua sebagaimana disebutkan di atas. Kecuali itu, garis hukum yang kedua berkaitan erat dengan garis hukum yang pertama. Menegakkan keadilan adalah suatu perintah Allah, apabila kekuasaan itu dihubungkan dengan keadilan, maka dalam nomokrasi Islam implementasi kekuasaan negara melalui suatu pemerintahan yang adil merupakan suatu kewajiban penguasa. Dalam nomokrasi Islam yudikatif, kepolisian dan lain-lain, dengan keadilan merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Kekuasaan harus selalu didasarkan kepada keadilan, karena prinsip keadilan dalam Islam menempati posisi yang sangat berdekatan dengan takwa. Sedangkan takwa adalah merupakan suatu tolok ukur untuk menempatkan seorang manusia yang beriman (muslim) pada posisi yang paling tinggi dalam pandangan Allah yang Dia namakan sebagai “orang yang termulia di antara manusia” sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an, Surah al-Hujarat/49:13: Rasulullah dalam suatu ucapannya kepada seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar. Nabi berkata: “Hai Abu Dzar, engkau yang lemah dan sesungguhnya jabatan sebagai pemimpin adalah amanah yang berat dan kelak pada hari kiamat ia akan menjadi penyebab kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang telah mengambilnya dengan cara yang benar dan melunasi kewajiban-kewajiban yang harus dipikulnya”.Hadist lain yang berbunyi : “Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan dimintai pertanggungjawaban mengenai orang yang dipimpinnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin bagi rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai rakyatnya”.

Secara eksplisit dalam hadist di atas nabi mengkualifisir bahwa setiap muslim adalah pemimpin dalam arti formal dan non-formal. Dalam arti formal yang dimaksud dengan pemimpin ialah setiap orang yang menduduki suatu jabatan dalam struktur pemerintahan. Dalam arti non-formal setiap orang yang memegang pimpinan, baik sebagai kepala keluarga (seora Dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa makna kekuasaan dalam nomokrasi Islam adalah kewajiban dan kewenangan (otoritas). Jadi, kekuasaan tidak hanya mengandung makna sempit yaitu otoritas atau kewenangan belaka, namun kekuasaan adalah kewajiban disamping kewenangan. Dalam implementasinya, kewajiban harus didahulukan dari kewenangan yang merupakan hak-hak penguasa. Yang dimaksud dengan hak-hak penguasa di sini ialah hak-hak yang timbul atau lahir dari kewenangannya. Dalam nomokrasi Islam kewajiban dan kewenangan penguasa harus ditempatkan secara proporsional, sehingga terjamin suatu implementasi kekuasaan yang di pegangnya secara adil dan jujur. Salah satu tolok ukur untuk menentukan hal ini ialah sejauh mana seorang penguasa telah melakukan tugasnya untuk kepentingan umum. Dalam nomokrasi Islam setiap masalah yang menyangkut kepentingan umum selalu diputuskan dengan menggunakan prinsip musyawarah atau musyawarat. Maka dalam melaksanakan kekuasaan yang identik dengan amanah, seorang penguasa yang beriman (muslim) diwajibkan untuk memperhatikan dan menerapkan pula prinsip musyawarah sebagaimana digariskan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh tradisi Nabi. Tentang musyawarah ini akan dibahas pada paragraph berikut.

2. Prinsip musyawarah Dalam Menjalankan Kekuasaan.
Dalam al-Qur’an ada dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar dalam nomokrasi Islam. Ayat yang pertama dalam surah al-Syura(42)38. Ayat ini menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum Nabi Muhammad, selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya. Dalam sebuah hadist nabi digambarkan sebagai orang yang paling banyak melakukan musyawarah. Beliau melakukan hal ini, Karena prinsip musyawarah adalah merupakan suatu perintah dari Allah sebagaimana digariskan dalam ayat yang kedua yang dengan tegas menyebutkan perintah itu dalam al-Qur’an, Surah Ali Imran(3) 159.

Maknanya umat islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan maslah kenegaraan. Kewajiban ini terutama dibebankan kepada setiap penyelengara kekuasaan negara dalam melaksanakan kekuasaannya itu. Musyawarah dapat diartikan sebagai suatu forum tukar menukar pikiran, gagasan ataupun idea, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan sesuatu masalah sebelum tiba, pada suatu pengambilan keputusan. Dalam nomokrasi Islam yang wajib dilaksanakan dalam suatu pemerintahan, dengan tujuan untuk mencegah lahirnya, keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat. Sebagai suatu prinsif konstitusional. Musyawarah berfungsi sebagai “rem” atau pencegah kekuasaan yang absolute, dari seorang penguasa atau kepala negara. Prinsif musayawarah bertujuan melibatkan atau mengajak semua pihak untuk berperan serta, dalam kehidupan bernegara. Pada masa kini, musyawarah dapat dilaksanakan melalui lembaga pemerintahan yang disebut dewan perwakilan. Dalam hukum Islam, manusia dibenarkan melakukan musyawarah hanya dalam hal hal yang maruf atau kebaikan. Karenanya musyawarah dilarang untuk digunakan dalam hal-hal yang mungkar.

3. Prinsip Keadilan Dalam Negara.
Keadilan, yang bersumber pada Alquran, sebagaimana ditentukan dalam Surah An Nisa (4) 135.” Wahai orang orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar beriman, penegak keadilan, menjadi saksi karena ALLAH, biarpun terhadap dirimu sendiri, atau ibu, bapak, kaum kerabat. Jika kaya atau miskin, maka ALLAH lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya ALLAH Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. Dalam Surat Al-Maidah (5:8): Hai orang-orang yang beriman, hendaknya kamu menjadi manusia yang lurus karena Allah, menjadi saksi yang adil dan janganlah kebencianmu terhadap satu kaum menyebabkan kamu tidak adil. Bersikaplah adil, karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah sangat mengetahui yang kamu lakukan. Selanjutnya dalam Surah An Nahl (16) 30. Sesungguhnya ALLAH memerintahkan kamu bersikap adil dan berbuat kebaikan.Memberi kepada kaum kerabat dan ALLAH melarang perbuatan keji, kemungkaran daqn permusuhan. Dia member pengajaran kepadamu, agar kamu dapat mengambil pelajaran. Prinsif keadilan dalam nomokrasi islam, harus selalu dikaitkan dengan fungsi kekuasaan, yakni kewajiban menerapkan kekuasaan negara, dengan adil, jujur dan bijaksana. Kewajiban untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman dengan seadil adilnya. Kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu tujuan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera di bawah keridhoan ALLAH. Hal ini berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan sosial., yakni untuk membayar zakat, sadakah, infaq dan hibah.

4. Prinsif Persamaan Dalam Negara.
Sebagaimana ditentukan dalam Al quran, al Hujarat (49) 13. “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi ALLAH ialah orang orang yang bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya AllAH Maha Mengetahui dan Maha Mengenal. Ayat ini melukiskan bagaimana proses kejadian manusia. Allah telah menciptakannya dari pasangan laki-laki dan wanita. Pasangan yang pertama adalah Adam dan Hawa. Kemudian dilanjutkan oleh pasangan-pasangan lainnya melalui suatu perkawinan atau keluarga. Jadi, semua manusia berasal dari proses kejadian yang sama. Ia dilahirkan dari pasangan ibu dan ayahnya. Prinsip persamaan telah ditegaskan pula dalam Sunnah Rasul. Ada dua hadits beliau yang perlu diperhatikan dalam konteks ini. Pertama, ketika Nabi menunaikan haj yang terakhir beliau menyampaikan pidato perpisahan antara lain: “Sesungguhnya leluhurmu adalah satu yaitu Adam. Karena itu tidak ada perbedaan antara orang Arab dan bukan Arab, antara orang yang berkulit merah dengan yang berkulit hitam, kecuali karena takwanya kepada Allah”. Hadist yang kedua berbunyi: “Sesungguhnya manusia itu sama rata seperti gerigi sisir”.

5. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia
Prinsip-prinsip itu secara tegas digariskan dalam al-Qur’an antara lain dalam surah al-Isra/17:70: Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam Kami tebarkan mereka di darat dan dilaut serta Kami anugerahi mereka rezeki yang baik-baik Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna daripada kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. Yang dimaksud dengan anak-anak Adam di sini adalah manusia sebagai keturunan Nabi Adam. Ayat tersebut diatas dengan jelas mengekspresikan kemuliaan manusia yang di dalam teks al-Qur’am disebut karamah (kemuliaan). Proklamasi al-Qur’an melalui ayat-ayat tersebut di atass mengandung prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai hak-hak dasar yang dikaruniakan Allah kepadanya. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar yang dikaruniakan Allah kepadanya. Pengakuan dan perlinsungan terhadap hak-hak tersebut dalam nomokrasi Islam ditekankan pada tiga hal yaitu (1)persamaan manusia; (2)martabat manusia; dan (3) kebebasan manusia.

6. Prinsip Peradilan Bebas
Al-Qur’an menetapkan suatu garis hukum:.bila kamu menetapkan hukum di antara manusia maka hendaklah kamu tetapkan dengan adil. Prinsip peradilan bebas dalam nomokrasi Islam tidak boleh bertentangan dengan tujuan hukum Islam, jiwa al-Qur’an dan sunnah. Dalam melaksanakan prinsip peradilan bebas hakim wajib memperhatikan pula prinsip amanah, karena kekuasaan kehakiman yang berada di tangannya adalah pula suatu amanah dari rakyat kepadanya yang wajib ia pelihara dengan sebaik-baiknya. Sebelum ia menetapkan putusannya hakim wajib bermusyawarah dengan para koleganya agar dapat dicapai suatu putusan yang seadil-adilnya. Putusan yang adil merupakan tujuan utama dari kekuasaan kehakiman yang bebas.

7. Prinsip Perdamaian
Islam adalah agama perdamaian. Al-Quran dengan tegas menyeru kepada yang beriman agar masuk ke dalam perdamaian: “wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu semua dalam perdamaian”.
Nomokrasi Islam harus ditegakkan atas dasar prinsip perdamaian. Hubungan dengan negara-negara lain harus dijalin dan berpegang pada prinsip perdamaian. Pada dasarnya sikapnya bermusuhan atau perang merupakan sesuatu yang terlarang dalam al-Qur’an. Perang hanya merupakan suatu tindakan darurat dan bersifat defensive atau membela diri. Al-Qur’an hanya mengizinkan tindakan kekerasan atau perang apabila pihak lain memulai lebih dahulu melancarkan atau mencoba ajaran Islam. Al-Qur’an mengatur hukum perang dan menggariskannya dalam surah al-Baqarah (2):194 dan 190: Dan terhadap orang yang menyerangmu, maka seranglah ia seperti ia menyerang kamu.Berperang demi Allah melawan orang-orang yang memerangi kamu tetapi janganlah kamu memulai permusuhan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang memulai permusuhan.

8. Prinsip Kesejahteraan
Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam bertujuan mewudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat atau rakyat. Tugas itu dibebankan kepada penyelenggara negara dan masyarakat. Pengertian keadilan sosial dalam nomokrasi Islam bukan hanya seksdar pemenuhan kebutuhan materil atau kebendaan saja, akan tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual dari seluruh rakyat. Negara berkewajiban memperhatikan dua macam kebutuhan itu dan menyediakan jaminan sosial untuk mereka yang kurang atau tidak mampu. Al-Qur’an telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan sosial bagi anggota masyarakat dengan berpedoman pada prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Sumber-sumber dana tersebut antara lain adalah: zakat, infaq, sadaqah, hibah, dan wakaf, dengan tidak menutupi kemungkinan bagi pendapatan-pendapatan negara dari sumber-sumber lain, seperti pajak, bea, dan lain-lain.

9. Prinsip Ketaatan Rakyat
Prinsip itu ditegaskan di dalam surah an-Nisa/4:59 yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, taati Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta orang-orang yang berwenang di antara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Hazairin menafsirkan “mentaati Allah” ialah “tunduk kepada ketetapan-ketetapan Allah”, “mentaati Rasul” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan Rasul yaitu Nabi Muhammad saw. dan “mentaati ulil amri” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan petugas-petugas kekuasaan masing-masing dalam lingkungan tugas kekuasaannya. Ketetapan Allah dijumpai dalam al-Quran dan ketetapan-ketetapan Rasul dijumpai dalam sunnah. Hazairin menamakan ketetapan-ketetapan Rasul sebagai supplement bagi ketetapan-ketetapan Allah.

Dengan demikian, maka dapatlah diketahui, bahwa Prinsif Piagam Madinah, adalah suatu bentuk Konstitusi Negara yang pertama, dan paling modern, karena telah menjaga dan menghormati hak asasi manusia. Bahkan diatur sangat terang dan jelas di dalam Al Quran dan Hadist, sebagai Kitab yang lengkap, sempurna dan terjaga, selanjutnya menjadi pedoman bagi umat Islam diberbagai penjuru dunia. Selanjutnya adalaha prinsif Pluralistis, Emansipasi, dan berbagai bentuk penghormatan kemanusiaan lainnya. Maka Konstitusi Madinah yang diletakkan oleh Nabi Muhammad.SAW. Adalah melengkapi kajian tentang negara, bentuknya, asal mula timbulnya, dan perkembangan ketatanegaraan yang masih sangat relevan dalam kaidah bernegara hingga terkini. Lebih jauh mengandung juga Prinsif-prinsif negara hukum modern, dengan mengelaborasi kepastian dan keadilan secara universal.
Hukum dan Kebijakan Publik Di Era Otonomi Daerah
Oleh:Dr. Syaiful Bakhri S.H.,MH
A. Prolog
Hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mengatur dengan cara cara umum yang serba luas dan rumit, pengaturan itu disebut pengambilan keputusan politik yang dituangkan dalam aturan formal diundangkan dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik. Setidak-tidaknya yang menyangkut kekuasaan legislative dan eksekuif, yang bertalian dengan peradilan kurang diperhatikan, walaupun kekuasaan yudikatif sedikit banyak hubungan-hubungan dan pertimbangan-pertimbangan politik maupun sebagai opsi kemasyarakatan yang ikut berproses di dalam suatu pergaulan hidup tertentu. Fungsi-fungsi hukum hanya mungkin dilaksanakan secara optimal, jika hukum memiliki kekuasaan dan ditunjang oleh kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum, hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat politik.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan hubungan hukum dengan kekuasaan dalam masyarakat, di mana hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Dengan demikian hukum dan kekuasaan merupakan suatu unsur mutlak dalam suatu masyarakat hukum dalam satu masyarakat yang diatur oleh dan berdasarkan hukum. Kekuasaan adalah suatu fungsi dari masyarakat yang teratur. Selanjutnya Hans Kelsen mengemukakan bahwa efektivitas hukum dalam realita, adalah kekuasaan hukum dan merupakan hak dan kekuasaan. Oleh karenanya hukum tidak bisa hadir tanpa kekuasaan. Hukum adalah suatu tata organisasi kekuasaan yang spesifik. Sehungan dengan itu, maka kebijakan publik adalah putusan politik, yang telah menjadi produk hukum, untuk ditaati dan menimbulkan pelbagai konsekwensi kewajiban dan hak serta sanksinya. Kebijakan publik yang menuai konsekwensi, paling banyak terjadi disektor pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan bergulirnya era reformasi sejak tahun 1988, yang selanjutnya melahirkan Undang-undang tentang Pemerintahan daerah, maka telah dimulailah era otonomi daerah yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemerintahan daerah beserta masyarakat daerahnya untuk berpartisipasi membangun daerahnya sesuai dengan kemampuan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Dengan demikian maka tugas percepatan pelayanan kesejahteraan masyarakat yang selama ini diambil alih oleh pemerintah pusat, telah bergeser/berimbang dan banyak yang telah diambil alih oleh pemerintah daerah, sesuai dengan otonomi yang dimilikinya.
Prinsip otonomi daerah dalam hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu cara, untuk mengimplementasikan prinsif demokrasi. Artinya prinsif demokrasi itu dipencarkan melalui kekuasaan secara horizontal, dengan melahirkan lembaga negara ditingkat pusat yang sejajar dengan mekanisme “check and balance”, sedangkan pemencaran pemerintah secara vertikal melahirkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom yang memikul hak desentralisasi. Senada dengan itu, Jimly Asssiddiqie. Mengemukakan bahwa dari sisi kelembagaan negara, perubahan UUD Tahun 1945 menempatkan pengorganisasian kedaulatan rakyat melalui sistem pemisahan kekuasaan yang bersipat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi. Dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara sehingga dapat terhindar dari terjadinya dominasi cabang kekuasaan tertentu. Itulah ciri konstitusionalisme sehingga kesewenang-wenangan dapat diminimalisir.
Perubahan UUD Tahun 1945, telah mengubah kekuasaan membentuk undang-undang dari yang semula dipegang oleh Presiden, beralih menjadi wewenang DPR, sehingga undang-undang yang dibentuk mampu menampung pelbagai kebutuhan dan perubahan yang cepat, dalam pelaksanaan pembangunan. Undang-undang merupakan landasan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan dari seluruh kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah yang menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang memuat kebijaksanaan yang hendak dicapai pemerintah untuk mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru. Fungsi legislasi DPR yang kuat adalah salah satu bagian penting dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang kredibel dan berwibawa. Merespon tuntutan publik yang semakin kritis, maka DPR harus mampu meningkatkan kinerjanya sehingga realisasi penyusunan undang-undang dapat memenuhi target yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas 2005-2009 bisa dijadikan tolak ukur bagaimana kinerja fungsi legislasi DPR. Di sisi lain, tuntutan publik ini pada dasarnya sejalan dengan pemberian kewenangan yang semakin besar kepada DPR dalam proses penyusunan undang-undang. Berdasarkan amandemen UUD 1945 Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. DPR dituntut mampu menghasilkan rancangan undang-undang inisiatif yang berkualitas baik dalam format maupun substansinya, khususnya rancangan undang-undang yang benar-benar menjadi prioritas dalam mendukung kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya mengejar aspek kuantitasnya. Selain itu, undang-undang yang dihasilkan juga harus memenuhi unsur-unsur filosofis, sosiologis dan yuridis. Kewenangan penyusunan undang-undang yang semakin luas, memungkinkan DPR memainkan peranan check and balances dengan lebih efektif untuk setiap kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Namun demikian, harus disadari bahwa DPR tidak akan mampu mencapai kinerja yang diharapkan jika tidak mendapat dukungan yang memadai, professional dan berkualitas dari supporting system yang ada.
Program legislasi nasional (proglenas) dan program legislasi daerah (proglegda) dapat disebut sebagai sebagai penjabaran politik untuk mencapai tujuan negara dalam periode tertentu. Menurut Yuliandri, ketidakmampuan untuk program legislasi menimbulkan problematik. Misalnya untuk tahun 2005-2009, pembahasan undang-undang yang dilakukan DPR. Kenyataannya jauh dari yang direncanakan. Sehubungan dengan pencegahan tindak pidana korupsi, yang selalu menjadi Isu terkini dalam hukum pidana pada dasawarsa terakhir, maka masalah korupsi sangat mendapatkan perhatian dan pemberitaan yang sangat dasyat. Berantas korupsi, berpikirlah luar biasa. Ungkapan ini dikutip dari pidato Presiden 9 Desember 2004 yang menyatakan bahwa bangsa ini sudah sampai pada puncak atas kesabaran menghadapi korupsi yang menggerogoti hampir seluruh aspek kehidupannya. Batas kesabaran itu diutarakan dalam bentuk keinginan untuk bertindak luar biasa, seperti yang dinyatakan oleh Presiden pada pencanangan Hari Anti Korupsi. Hal ini dikemukakan pula dalam puncak peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Monumen Nasional, disebutkan terdapat delapan wilayah rawan korupsi, meliputi wilayah pendapatan negara dan daerah, belanja negara dan daerah, hubungan pejabat dan pengusaha, bisnis keluarga pejabat terkait APBN dan APBD, pengadaan barang, pajak dan bea cukai, pendaftaran pegawai, dan pengurusan perizinan.
Cara-cara luar biasa dalam pencegahan tindak pidana korupsi bukan tanpa batas, karenanya hukum akan selalu menjadi penuntun dalam segala prosesnya. Komunitas hukum dimanapun di dunia ini adalah komunitas yang kolot, esoterik dan anti perubahan. Mereka bersikap sangat submisif terhadap hukum positif, tidak kreatif, apalagi berani mematahkan aturan yang ada (rule breaking). Tetapi dalam peradaban modern, hukum telah mengungguli bentuk bentuk manifestasi tatanan yang lain. Hukum merupakan tatanan yang unggul (exellent), disebabkan bentuknya yang sangat tajam dan penetratif, maka sejak kemunculannya hukum modern terjadilah suatu revolusi diam- diam di dunia. Berpikir luar biasa dalam hukum, harus berani membebaskan diri dari konsep, doktrin serta asas yang berlaku. Kejaksaan, advokat, pengadilan harus berani berpikir dan bertindak bebas dan kreatif tidak submisif demi untuk menyelamatkan bangsanya dari keambrukan karena korupsi. Korupsi juga menjadi perhatian di dalam UUD Tahun 1945, pada perubahan ketiga, dalam Pasal 7A yaitu Presiden dan/wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, oleh MPR-RI atas usul DPR-RI, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Kebijakan penanggulangan korupsi di Indonesia sejak zaman kemerdekaan lebih banyak dicurahkan pada pendekatan penal. Hal ini nampak secara historis dari perangkat hukum yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, menunjukkan adanya keinginan yang ditujukan guna memberantas korupsi sejak Proklamasi Kemerdekaan RI. Pertama, Peraturan Penguasa Militer No Prt/PM/06/1957, No Prt/PM/03/1957, No Prt/PM/011/1957. Kedua, Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No.prt/Perpu/013/1958. Ketiga, Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No Z/1/1/7 Tahun 1958. Keempat, UU No 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Kelima, UU No 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keenam, UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketujuh, UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedelapan, UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kesembilan, UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Serta UU No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption 2003.
Dengan demikian maka dapat ditelaah beberapa fungsi DPRD dalam pencegahan tindak pidana korupsi, dalam rangka menyongsong pemberlakuan UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Khususnya mengenai Kebijakan Publik, yang kerapkali dilakukan oleh Pemerintahan Pusat maupun daerah. Kebijakan Publik, yang berhubungan dengan hukum, pada umumnya, berhubungan dengan upaya yang rasional dalam rangka pembaharuan hukum,penegakkan hukum dan kebijakan sosial, guna menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat, untuk menunjang atau mencapai tujuan nasional. Sehingga terus menerus untuk melalakukan upaya peninjauan dan penilaian kembali (Reorientasi dan reevaluasi), pokok pokok pemikiran, idea idea dasar atau nilai nilai sosial, politik, kulotural yang melandasi kebijakan publik.

B. Eksekutif dan Legislatif Di Era Otonomi Daerah.
Hubungan antara Pemerintah pusat dan Daerah mencakup isu yag sangat luas, bisa terkait dengan isu nasionalisme dan nation building, bisa pula dengan isu demokrasi nasional dan demokrasi lokal, dan oleh karena itu terkait pula dengan isu hubungan antara negara dan masyarakat. Hubungan antara Pusat dan Daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan, karena masalah tersebut dalam praktiknya sering menimbulkan upaya tarik menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintah. Terlebih dalam negara kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintah sangat jelas. Hubungan Pusat Daerah dalam negara kesatuan menarik untuk dikaji, karena kelaziman negara yang berbentuk kesatuan pemegang otoritas pemerintahan adalah Pusat, atau dengan kata lain kekuasaan bertumpu di pusat pemerintahan. Kewenangan yang diberikan oleh Pusat kepada Daerah biasanya sangat terbatas. Seringkali disebut karakter negara kesatuan itu sentralistis. Pada tataran yang lebih praktis, pendefinisian Pusat juga seringkali dijabarkan secara kontekstual yang mencerminkan hubungan kekuasaan yang timpang. Pusat dijabarkan sebagai pemonopoli kekuasaan negara dan pasar, sementara daerah digunakan untuk menggambarkan komunitas yang tertindas.
Dalam sejarah politik Indonesia, Pusat dijabarkan tidak semata-mata sebagai pemerintah pusat, tetapi juga dengan Jakarta, dan bahkan Jawa, yang dianggap sebagai kelompok sosial dan ekonomi yang mampu memanfaatkan kekuasaan negara di tingkat Nasional. Sementara itu, daerah bukan semata menggambarkan pemerintah daerah, tetapi juga sebagai masyarakat dan wilayah luar Jakarta, dan bahkan luar jawa. Pemberontakan daerah sepanjang dekade 1950-an dan juga teriakan daerah di tahun 1998 mencerminkan gambaran ini. Dalam rangka menjalankan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan, maka pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi alokasi sumber sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa. Fungsi distribusi yang meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat. Fungsi stabilitasi yakni pertahanan dan keamanan ekonomi dan moneter.
Dengan demikian maka dapatlah diketahui bahwa otonomi daerah , pada hakekatnya adalah hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, yang bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan, penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Sejalan dengan itu, dapat diketahui suatu konsep yang modern yang disebut “reinventing gobernment” yang dikemukakan oleh Osborne dan Gabler, yakni;
1. Pemerintahan Katalis: Fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah daerah harus menyediakan (providing) beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Sebaiknya pemerintah daerah memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (LSM dan nonprofit lainnya).
2. Pemerintahan milik masyarakat: memberi wewenang (pada masyarakat) daripada melayani. Pemerintah daerah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang mandiri (community self-help).
3. Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik. Kompensasi adalah salah satu cara untuk menghemat biaya sekaligus untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
5. Pemerintah yang berorientasi hasil: membiayai hasil bukan masukan.
6. Pemerintah yang berorientasi pada pelanggan, yakni pelayanan yang diberikan adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan birokrat.
7. Pemerintah wirausaha yang mampu memberikan pendapatan bukan hanya sekedar membelanjakannya.
8. Pemerintahan yang antisipatif, yaitu berupaya untuk mencegah daripada mengobati.
9. Pemerintahan desentralisasi menuju partisipatif dan tim kerja.
10. Pemerintahan yang berorientasi pada (mekanisme) pasar yang mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insetif) dan bukan dengan mekanisme administrasi (sistem prosedur dan bukan pemaksaan).

Suatu perkembangan terkini di Eropa dan Amerika Serikat, pemahaman baru mengenai “Self Government”, diselenggarakan oleh suatu state/provinsi dalam suatu negara. Walaupun demikian, dalam kenyataannya ternyata mampu dan berhasil melaksanakan sistem parlementer beraja seperti berlaku di Monaco di bawah pimpinan Raja (symbol negara)dan Menteri utama: yang pelaksanaannya persis seperti pimpinan pemerintahan suatu negara. Dengan paksa status penguasa di daerah provinsi yang menyelenggarakan Self Government, dipangku oleh Perdana Menteri, seperti yang berjalan di Greenland dan Faero (Denmark). Demikian juga di Skotlandia ,sebelum diubah kepada sebutan Menteri utama pada Tahun 1998. Jabatan Presiden, seperti yang berjalan di Palestina dan Bougainville. Wujud bentuk pemerintahan tersebut, dimaksudkan sebagai wadah untuk mengatur kehidupan bernegara agar tercipta rasa harmonis, aman-sentosa, makmur dan sejahtera, walaupun ada sebagian penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan.
Dalam sejarahnya, bentuk pemerintahan yang paling dibenci rakyat adalah pemerintahan monarki; karena raja/ratu merumuskan legal system, sistem perekonomian dan politik semata-mata untuk kepentingan melindungi dan menguntungkan diri dan kerabatnya. Keadaan ini berlaku dalam rentang masa yang panjang dan baru bertukar, setelah terjadi perubahan mendasar (mengurangi kuasa raja/ratu, diadakan pembagian dan pemisahan kekuasaan) dan mengamalkan sistem demokrasi di pertengahan tahun 1800-an. Pada gilirannya setelah pemerintahan monarki menerapkan sistem parlementer beraja (tetap menghidupkan institusi raja/ratu) ternyata membanggakan. Ini terbukti dari keberhasilan beberapa negara di kawasan Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia, Island) dalam mensejahterakan rakyatnya. Beberapa tahun kebelakangan ini, negara, negara di Scandinavia selalu menempati rangking lima besar dalam rekor PBB, sebagai negara terbaik dunia dalam hal menjalankan roda administrasi pemerintahan dan kejayaan mereka untuk mensejahterakan rakyat. Misalnya saja, UNDP telah mendeklarasikan 10 negara di dunia secara berurut, yakni Norwegia, Australia, Island, Kanada, Iralandia, Belanda, Swedia, Prancis, Swiss dan Jepang dinilai sebagai negara-negara yang paling berhasil dalam mengurus administrasi negara dan mensejahterakan rakyatnya. Dari sepuluh negara, tiga negara diantaranya terdapat di wilayah Scandinavia. Hanya Denmark saja, yang pada tahun 2009 ini menempati urutan ke-16. Sebelumnya selalu masuk dalam rangking 5 besar sebagai negara yang paling harmonis, aman dan sejahtera di dunia. Di lihat dari kacamata Eropa, 7 dari 10 negara terbaik di dunia berdasarkan rekor tahun 2000, terdapat di Eropa.
Salah satu kuncinya adalah pelaksanaan sistem ekonomi bebas dan demokrasi, yang memberi kebebasan kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri. demokrasi terhubung langsung dengan Self Government. Dalam konteks inilah, Pierre Manent mengatakan dalam: “Democracy without Nations? The Fate Self-Government in Europe” bahwa “Self-Government adalah demokrasi yang bisa diwujudkan tanpa negara (Democration without Nations?)” dengan mengambil studi banding. Terlepas dari pertimbangan apapun, pelaksanaan Self-Government yang disaksikan sekarang, tidak bisa dilupakan sejarahnya dalam kancah penyelenggaraan administrasi pemerintahan suatu negara. Ia hanya hadir atas dasar desakan-desakan dari lapisan bawah (politisi daerah) kepada pemerintah pusat yang diinginkan perubahan mendasar tentang kebijakan politik, hukum dan ekonomi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Untuk maksud ini, diisyaratkan perlunya pengetahuan dan pemahaman tentang demokrasi, Hak-hak manusia yang mengakui kebebasan mengeluarkan pendapat dan berorganisasi dan hak-hak warga negara. Bahkan maksud dan hakikat dari falsafah negarapun harus ditafsirkan lebih fleksibel, demi menghargai dan menghormati nilai-nilai demokrasi yang universal dan manusiawi. Sebagai contoh, Self-Government untuk penduduk asli di Kanada, yang boleh dikatakan sebagai penyelenggaraan Self-Government pertama (bukan yang pertama di negara Kanada). Inggris memberlakukan “British Columbia Treaty” di Kanada, “Undang-undang Waka Umanga” di New Zealand, serta “Akta pengorganisasian kembali suku Indian” di Amerika yang memberi ruang gerak kepada etnik masing-masing dalam negerinya untuk bebas mengatur diri-sendiri tanpa ikut campur dari pemerintah pusat. Hak tersebut baru terwujud setelah terjadi desakan-desakan hebat kepada pemerintah pusat (rezim London). Tentang pemberian izin dari pemerintah Inggris kepada Amerika, dalam literature sejarah Amerika, diungkapkan secara lain yang bahwasanya: “ide Self-Government di USA dan Newe Zealand mengadopsi falsafah dan teori bernegara di Eropa umumnya yang diperuntukkan kepada koloni Inggris di Amerika dan New Zealand.
Tentang Pengawasan. Kata “pengawasan” yaitu sebagai salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan, adalah termasuk pengendalian. Pengendalian mengandung arti mengarahkan, memperbaiki, kegiatan yang salah arah dan meluruskannya menuju arah yang benar. Dalam perspektif Islam, pengawasan adalah satu cabang dari amar ma’ruf nahi munkar dalam politik dan perkara-perkara umum. Prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan tujuan dari semua kewenangan dalam islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Timiyah. Sedangkan Imam Ghazali mengemukakan bahwa pengawasan adalah salah satu kutub terbesar dalam agama, maka tugas pengawasan atas orang-orang yang memiliki kekuasaan sebagai “kutub terbesar” sistem hukum dalam islam. Menurut Henry Fayol, berarti pengujian yang berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditentukan melalui instruksi yang telah ditentukan, bertujuan menunjukan kelemahan dan kesalahan dengan maksud untuk memperaikinya.
Peraturan daerah sebagai subsistem Perundang undangan nasional. Hal demikian tercermin dalam kemandirian berotonomi, tidak berarti daerah dapat membuat peraturan perundang-undangan atau keputusan yang terlepas dari sistem perundang-undangan secara nasional. Peraturan perudang-undangan tingkat daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangan nasional, karenanya tidak boleh ada peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya atau atas kepentingan umum. Kepentingan umum yang harus diperhatikan, bukan saja kepentingan rakyat banyak daerah yang bersangkutan, tetapi kepentingan daerah dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Suatu peraturan daerah mengenai investasi harus dalam rangka kepentingan daerah lain, berbagai prosudur dan persyaratan investasi yang diatur dalam suatu peraturan daerah dapat menjadi penghambat dan mahalnya suatu investasi.
Dengan demikian maka pembuatan peraturan perundang-undangan tingkat daerah bukan sekedar melihat batas kompetensi formal, atau kepentingan daerah yang bersangkutan tetapi harus dilihat pula kemungkinan dampaknya terhadap daerah lain atau kepentingan nasional secara keseluruhan. Sehingga pentingnya peraturan daerah sebagai perujudan otonomi dan pengejewantahan beberapa sendi ketatanegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945, yakni sendi negara berdasarkan atas hukum, sendi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, sendi Kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Berkenaan dengan di undangkannya UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam konsederans menimbang dapat diketahui, makna dan latar belakang pentingnya UU ini, dalam suatu proses demokrasi, sebagaimana dinyatakan :
a. bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara;
b. bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c. bahwa untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu mewujudkan lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama dengan pemerintah daerah yang mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa dalam rangka peningkatan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

Adapun fungsi DPR sebagaimana ditentukan dalam pasal 69 adalah dibidang Legislasi, Anggaran dan Pengawasan. Ketiga fungsi tersebut dalam rangka representasi rakyat. Fungsi legislasi adalah perujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU Tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Fungsi Pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan UU dan APBN. Adapun tugas Badan Legislasi. Yakni;
a. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan masukan dari DPD;
b. mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan Pemerintah;
c. menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
d. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR;
e. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas rancangan undang-undang tahun berjalan atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional;
f. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah;
g. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
h. memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang usul DPD yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan
i. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.

Badan Anggaran bertugas ;
a. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;
b. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait;
c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga;
d. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
e. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan
f. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, dengan tugas pokok, yakni;
a. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;
b. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait;
c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga;
d. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
e. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan
f. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

Sehubungan dengan sistem keuangan pemerintah pusat dan daerah, setidaknya dapat diikuti pendapat Machfud Sidik, yakni; a) memberikan distribusi kekuasaan yang rasional mengenai penggalian sumber dana, dan pembagiannya sesuai dengan pola umum desentralisasi; b) pembiayaan ditujukan untuk pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah; c) mendistribusikan pengeluaran pemerintah secara adil diantara daerah-daerah; d) pajak dan retribusi yang dikenakan pemerintah daerah harus sejalan dengan distribusi yang adil atas beban keseluruhan pengeluaran pemerintah dalam masyarakat.
Dengan demikian maka, permasalahan yang sangat peka terhadap adanya dugaan tindak pidana korupsi, adalah bidang keuangan daerah, biasanya meliputi; Penghasilan Daerah melalui Badan Usaha; Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang syah; Pinjaman daerah dan implikasinya; Obligasi daerah dan Implikasinya; Bagian daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan negara; Investasi Daerah dan Dana Alokasi umum dan alokasi khusus. Beberapa hal ini adalah masuk dalam daerah rawan korupsi yang terjadi di Pemerintahan Daerah.

C. Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
Korupsi, adalah penyebab utama mengapa tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia tidak bisa ditingkatkan melalui kebijakan pemerintah. Fenomena korupsi juga menjelaskan mengapa krisis multi dimensional di Indonesia yang terjadi sejak tahun 1988 terjadi berkepanjangan dan tak kunjung bisa ditanggulangi. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi adalah akar dari semua masalah (the root of all evils). Pelaku korupsi adalah orang-orang yang terdidik dan relatif memiliki jabatan, dan pelakunya adalah paling rasional dibandingkan dengan pelaku dari jenis-jenis kejahatan lainnya dengan memperhitungkan prinsif untung rugi (benefit cost rasio). Dalam korupsi terdapat suatu prediksi adanya kejahatan dengan tipologi yang baru dan jarang diketahui aktivitasnya. Melibatkan gerak profesionalitas yang tinggi dari pihak yang mempunyai publik power maupun economic power. Sehingga kejahatan ini sangat sulit dibuktikan kesesuaiannya dengan rumusan tindak pidana yang ada dalam perundang-undangan, karena pelakunya disebut pelanggaran-pelanggaran di luar jangkauan hukum (offences beyond the reach of the law). Oleh karenanya, tugas dan tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial memberikan justifikasi moral bagi negara untuk melakukan upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Teori keadilan sosial memberikan landasan moral bagi justifikasi pengembalian aset oleh negara seperti yang dikemukakan oleh Michael Levi, yaitu: Pertama, alasan pencegahan (prohylatic) yaitu untuk mencegah pelaku tindak pidana memiliki kendali atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk melakukan tindak pidana lain di masa yang akan datang; Kedua, alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak punya hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah tersebut; Ketiga, alasan prioritas/mendahului yaitu karena tindak pidana memberi prioritas kepada negara untuk menuntut aset uang diperoleh secara tidak sah daripada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana; Keempat, alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena aset tersebut diperoleh secara tidak sah, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik aset tersebut. Pengembalian aset dapat dikatakan sebagai suatu sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana dan perdata, aset hasil tindak pidana korupsi, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri, dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan, dan dikembalikan kepada negara korban tindak pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya, dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon pelaku tindak pidana korupsi.
Dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi, maka perlu diketahui beberapa Komisi Pemberantasan Korupsi di Singapura, Malaysia dan Hongkong. Keberhasilan Singapura dalam pemberantasan korupsi yang paling utama adalah karena adanya kemauan politik untuk memberantas korupsi yang diartikan sebagai adanya kemauan dan pernyataan untuk memberantas korupsi, adanya peraturan perundang-undangan yang kuat yang dibuat untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, dan adanya contoh konkrit dari pejabat di Singapura untuk melakukan peraturan pemberantasan korupsi. Melalui strategi yang bersifat komprehensif dan terintegrasi secara nasional, mencakup aspek represif maupun preventif melalui suatu badan Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB). Attorney General Chamber (AGC). Commercial Affair Departement (CAD). Auditor General Office (AGO). Public Service Division (PSD).
Melalui UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dalam penjelasannya menyatakan penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi yang selama ini terbukti manghadapi berbagai hambatan. Oleh karenanya diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan Badan Khusus Negara, yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, profesional serta berkesinambungan. UU ini telah mengamanatkan dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi, yang bertugas dan berfungsi serta berwenang untuk memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi di mana penuntutannya diajukan oleh KPK. KPK dapat menerobos prosedur khusus, untuk meminta keterangan saksi dan atau tersangka yang menduduki jabatan pejabat negara maupun dalam hal rahasia bank berkaitan dengan rekening tersangka. Pembentukan badan khusus KPK. Kehadiran lembaga ini dilatarbelakangi beberapa fakta yang berkembang dalam masyarakat, yakni: Pertama, perkembangan korupsi di Indonesia sudah merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi dan hak sosial; Kedua, intensitas dan kualitas korupsi sangat tinggi dan bersifat sistemik serta meluas ke seluruh lapisan masyarakat; Ketiga, pencegahan dan pemberantasan harus dilaksanakan oleh lembaga khusus, cara-cara khusus dan spesifik; Keempat, karakteristik dan kualitas korupsi di Indonesia merupakan pelanggaran hak ekonomi dan sosial sejalan dengan Pasal 29 Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB); Kelima, oleh karenanya suatu komisi yang kuat dan berwibawa tanpa ada kendala baik dari segi hukum, manajemen dan politik.
KPK. Dalam pelaksanaan tugasnya, berwenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan penegak hukum yang lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan, maka kewenangan KPK meliputi tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelanggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Juga perkara korupsi yang mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau menyangkut kerugian negara yang paling sedikit Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
Pemberantasan korupsi menurut Andi Hamzah harus ditunjang dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan syarat: adanya cek terhadap kekuasaan eksekutif, perundang-undangan, serta garis jelas akuntabilitas antara pemimpin politik, birokrat, dan rakyat. Kemudian sistem politik yang terbuka yang melibatkan masyarakat sipil, sistem hukum yang tidak memihak, peradilan pidana dan ketertiban umum yang menjunjung hak-hak politik dan sipil yang fundamental, melindungi keamanan pribadi dan menyediakan aturan yang konsisten, transparan untuk transaksi yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi, sosial yang modern. Pelayanan publik yang profesional, kompeten, kapabel dan jujur yang bekerja dalam kerangka akuntabel dan memerintah dengan aturan dalam prinsip merit dan kepentingan publik. Kapasitas untuk melaksanakan rencana fiskal, pengeluaran manajemen ekonomi, sistem akuntabilitas finansial dan evaluasi aktivitas sektor publik. Kemudian juga, perhatian kepada atribut dan kapasitas penguasa pemerintah lokal dan masalah transfer politik serta desentralisasi administratif. Setiap strategi anti korupsi yang efektif harus mengakui hubungan antara korupsi, etika, pemerintahan yang baik dan pembangunan berkesinambungan.
Dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi melalui sarana penal perlu pula diketahui beberapa faktor penyebab korupsi, yakni disebabkan oleh lemahnya pendidikan agama dan etika. Akibat dari kolonialisme, kurangnya pendidikan walaupun kenyataannya kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang, sehingga alasan ini dianggap kurang tepat. Alasan kemiskinan sebetulnya juga lebih pada keserakahan, karena korupsi dilakukan oleh para konglomerat. Selanjutnya tidak adanya sanksi yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku korupsi. Struktur pemerintahan juga perubahan radikal pada sistem nilai, sehingga korupsi adalah gejala penyakit transisional. Kemudian keadaan masyarakat yang diakibatkan oleh suatu birokrasi sehingga mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.
Masalah korupsi itu sendiri tidak bersandar pada limitasi kebijakan hukum, tetapi juga terkait dengan masalah ekonomi dan politik. Pembentukan aturan hukum dalam rangka memberantas korupsi tidak begitu saja dapat dipisahkan dari soal ekonomi dan politik. Dalam implementasi di Indonesia, kebijakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak dapat dipisahkan dengan political and socio-economic setting. Masalah kebijakan hukum korupsi tidak akan terlepas dengan kekuasaan ekonomi dan politik suatu negara. Upaya penanggulangan korupsi lewat kebijakan perundang-undangan dan penegakan hukum pidana sebenarnya telah lama dilakukan. Namun harus diakui bahwa korupsi itu masih tetap ada dan sulit untuk diberantas. Hal itu disebabkan korupsi berkaitan dengan berbagai kompleksitas masalah lainnya seperti masalah sikap mental atau moral, masalah pola atau sikap hidup dan upaya sosial, masalah kebutuhan atau tuntutan ekonomi, struktur atau sistem ekonomi, struktur budaya atau politik, masalah peluang yang ada di dalam mekanisme pembangunan dan sekaligus kelemahan birokrasi atau prosedur administrasi, termasuk sistem keuangan dan pelayanan umum. Mengingat kompleknya masalah tersebut, kebijakan penanggulangan korupsi memang tidak dapat diatasi secara fragmentaris, tetapi harus dilakukan secara utuh dan integral. Harus ada upaya dengan terapi kausatif dengan melihat semua faktor peluang ataupun penyebab yang terkait dengan korupsi dan bukan hanya melalui penyembuhan simptomatik yang terbatas hanya pada gejala dan bagian permukaan saja.
Menurut Barda Nawawi Arief, strategi kebijakan penanggulangan tindak pidana korupsi harus terfokus pada upaya pembaharuan undang-undang (law reform). Upaya pembaharuan undang-undang merupakan langkah yang sepatutnya dilakukan. Namun karena masalah korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah, maka sebaiknya kebijakan penanggulangan tindak pidana korupsi ditempuh melalui pendekatan integral. Dalam arti tidak hanya melakukan pembaharuan hukum, tetapi juga disertai dengan pembaharuan sosial, ekonomi, budaya, moral, dan administrasi. Dalam rangka penguatan Legislator, guna penyempurnaan sanksi dalam UU Korupsi, maka perlu didayagunakan cara eksekusi atas pidana denda, yang tidak terbayar dengan menghilangkan mekanisme kurungan pengganti sebagaimana yang dimaksudkan dalam sistem KUHP sekarang, dengan pelaksanaan pembayaran denda dari harta kekayaan koruptur maupun keluarganya.
Sehubungan dengan, efektivitas penanggulangan korupsi tidak dapat dicapai hanya dengan perangkat hukum pidana yang tersedia, suatu pemerintahan yang bersih di mana tidak terdapat atau setidak-tidaknya tidak banyak terjadi perbuatan-perbuatan korupsi, tidak bisa diwujudkan hanya dengan peraturan-peraturan hukum, meskipun itu hukum pidana dengan sanksinya yang tajam. Jangkauan hukum pidana adalah terbatas. Usaha pemberantasan secara tidak langsung dapat dilakukan melalui usaha-usaha non penal, dengan memperbaiki kondisi sosial tertentu, penyantunan dan pendidikan sosial, dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan pengawasan terus menerus oleh polisi, aparat penegak hukum dan sebagainya. Sehingga tujuan utama non penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, dan mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Termasuk pemberian keteladanan yang baik bagi kepemimpinan pemerintahan dalam arti yang luas.

D. Epilog
Pertama. Fungsi-fungsi legislator yang utama, telah terakomodasi melalui UU No 27 Tahun 2009, merupakan suatu kewenangan yang utama, berbasis demokrasi dan penguatan kedaulatan berada ditangan rakyat, dan tidak lagi pada sentralisasi kekuasaan Pemerintahan. DPRD mempunyai kewenangan yang sama dengan legislatif tingkat pusat, bahkan adanya bantuan dari DPD dalam upaya percepatan implementasi atas kebutuhan daerah. Demikian juga dalam fungsi Pengawasan dan anggaran, maka peranan DPRD begitu kuat, terhadap mitranya, yakni Kepala Daerah. Hingga kontrol atas Kepala Daerah atas pilihan langsung rakyat dapat berenergi dan berkolaborasi untuk percepatan kesejahteraan rakyat. Eksekutif di daerah, dapat dikontrol dengan peraturan daerah yang kuat, bernuansakan akan kebutuhan daerah setempat serta penguatan pengawasan dalam pelaksanaan peraturan daerah tersebut. Kesewenangan Eksekutif di daerah dapat diminimalisasi, melalui penyebaran kontrol oleh DPRD sebagai pengejawantahan rakyat, melalui refresentasi partai politik yang terpilih di DPRD.
Kedua. Pentingnya menerapkan prinsif kehati-hatian, Pengelolaan administrasi pemerintahan yang bersih, terbuka, sehingga dapat menghindari berbagai sorotan wilayah korupsi yang sedang menjadi target yakni dibidang pendapatan dan belanja negara atau daerah, perilaku bisnis bernuansa nepotisme, kolusi, perpajakan, bea cukai, belanja barang dan jasa, rekruitmen pegawai. Untuk itu diperlukan penyesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang terkait tentang hal tersebut. Aktivitas penggunaan mata keuangan negara atau daerah diperuntukan guna pencapaian kesejahteraan rakyat, serta percepatan pembangunan manusia Indonesia guna dapat bersaing dengan warga dunia. Seni untuk mencapai keputusan publik harus sesuai dengan norma dan tatanan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi, maka diperlukan suatu kebijakan kriminalisasi dan penalisasi yang rasional. Penegakan hukum yang luar biasa terhadap tindak pidana korupsi, harus menjadikan pelaksanaan kebijakan publik, baik oleh kepala daerah, maupun pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD, berhati-hati dan proforsional dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga hiruk pikuk terhadap kepala daerah maupun anggouta DPRD yang diproses pada lembaga Penyidikan Kejaksaan, Kepolisian maupun KPK dapat menjadi kontrol khusus, dalam upaya pencegahannya.
Ketiga, pentingnya pemerintah daerah melaksanakan prinsip-prinsip Good Government, Clear Government, yang telah mendapatkan secara legal di berbagai peraturan perundang-undangan dalam upaya melakukan pencegahan tindakan korupsi. Demikian pula prinsip Self Gevernment sebagai upaya dalam administrasi modern guna mempercepat tujuan nasional yakni masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur (Walfare State). Pemerintah daerah, harus menjadi pelopor, terjadinya kreativitas, yang maju, dalam upayanya untuk pencapaian tujuan nasional.