Melihat Masa Lalu
Trias Politika yang dimaknai dengan
hadirnya komponen eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam tatanan kehidupan
ketatanegaraan, kini telah mengalami pergeseran makna dan artikulasi. Bahwa
aktor penentu arah kehidupan berbangsa dan bernegara ditentukan oleh tiga aktor
penting yang memiliki peran dan sumbangsih yang sama besarnya terhadap
penciptaan kesejahteraan manusia yaitu negara (state), pasar (private sector)
dan masyarakat sipil (civil society).
Negara berperan untuk menata
regulasi yang memiliki keberpihakan terhadap rakyat melalui serangkaian
peraturan perundang-undangan dan juga memfasilitasi penciptaan iklim usaha yang
kondusif bagi pasar sebagai penggerak roda perekonomian bangsa.Pasar berperan
sebagai pencipta kesejahteran ekonomi dan pendistribusian nilai tambah bagi
warga negara.Sedangkan masyarakat sipil berperan sebagai kontrol atas dimanika
negara dan penyelahgunaan modal untuk akumulasi kesejahteran pribadi.
Dalam lintasan sejarah Indonesia,
pada masa pra-kemerdekaan, masyarakat sipil hadir sebagai penentang tirani
kekuasaan penjajahan terhadap rakyat Indonesia. Pada masa Orde Baru, masyarakat
sipil hadir sebagai penentang terhadap kekuatan hegemoni negara dan ekonomi
yang menjadikan rakyat sebagai obyek kekuasaan.Pada masa ini, organisasi
masyarakat sipil dianggap sebagai “lawan” dan eksistensinya dianggap mengamcam
kekuasaan negara.Oleh karenya, Orde Baru merespon keberadaan organisasi
masyarakat sipil dengan melakukan pembatasan dan pembungkaman terhadap
suara-suara kritisnya.
Pada masa itu pula, negara tidak
hanya melakukan kooptasi pada struktur organisasi tetapi juga pada fungsi dan
pengendalian internal yang menjadi wilayah pengaturan internal organisasi
masyarakat sipil itu sendiri. Lahirnya UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) tidak terlepas dari kepentingan rezim Orde Baru untuk
mengkonsolidasikan kekuasaan dan mengontrol kehidupan sosial
politik
masyarakat. Bagi rezim Orde Baru, masyarakat sipil pada satu sisi memiliki potensi
untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya. Namun pada sisi yang lain berpotensi
menghalangi dan bahkan menentang kekuasaannya. Oleh karenanya rezim Orde Baru
menyusun aturan untuk memudahkan melakukan kontrol eksistensi dan perannya. UU
No 8 Tahun 1985 lahir dengan semangat mengontrol dan merepresi dinamika organisasi
masyarakat. Bentuk Ormas sendiri adalah (bentuk) yang sebetulnya tidak memiliki
tempat dalam kerangka hukum di Indonesia, namun dipaksakan karena kebutuhan
rezim Orde Baru untuk menerapkan konsep “wadah tunggal” nya. Konsep wadah
tunggal ini bermaksud untuk melokalisir satu kelompok yang dianggap sejenis
dalam satu wadah yang “sah” sehingga mudah dikontrol karena nantinya hanya akan
ada satu wadah untuk setiap jenis kelompok. Selain itu, UU Ormas juga memuat
ancaman pembekuan dan pembubaran yang represif tanpa mensyaratkan proses
pengadilan yang adil dan berimbang.
Konteks Kekinian
Perubahan mendasar dalam kehidupan
organisasi kemasyarakatan di Indonesia telah terjadi seiring dengan bergulirnya
reformasi sejak 1998.Perubahan ini terjadi karena sebelum 1998, kehidupan
beroganisasi di Indonesia berada di bawah kendali pemerintah.Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) menjadi alat
penguasa untuk melakukan pengendalian
atas
kebebasan berorganisasi.
Secara yuridis formal, UU No 8 Tahun
1985 beserta peraturan pelaksananya masih berlaku, namun dilihat dari segi
implementasi sosiopolitik, sudah tidak efektif lagi, hingga kemudian, DPR dan Pemerintah sepakat untuk
mengganti aturan tersebut. Terbukti, Pemerintah dan DPR telah menempatkannya ke
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005-2009.Namun tak sedikit pun
materinya sempat dibahas saat itu. Prolegnas 2010-2014 memunculkan kembali
aturan pengganti UU Ormas, melalui RUU tentang Perubahan atas UU No 8 Tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas). Desakan untuk segera
dibahas RUU tersebut semakin kuat dalam rangka menindaklanjuti hasil rapat
gabungan antara DPR dan Pemerintah pada 30 Agustus 2010. Rapat gabungan
tersebut diselenggarakan, salah satunya adalah untuk merespon maraknya berbagai
tindak kekerasan yang dilakukan oleh beberapa Ormas.
Selain itu, penyikapan sejumlah
pihak, termasuk DPR dan Pemerintah yang diwakili Kementerian Dalam Negeri
terhadap eksistensi sebuah lembaga yang diidentifikasi sebagai “LSM asing”
merupakan perkembangan berikutnya yang dapat kita amati akhir-akhir ini. Bahkan
sudah ada ancaman pengusiran yang ditujukan kepada “LSM asing” tersebut, dengan
dalih keberadaannya dapat mengancam kedaulatan dan stabilitas nasional.Saat
ini, revisi UU Ormas sudah masuk dalam pembahasan di DPR sebagai RUU Usul
Inisiatif DPR dan rencananya akan disahkan pada medio bulan Oktober 2012
mendatang.Tak hanya RUU Ormas, Prolegnas 2010-2014 memuat pula sejumlah
regulasi sektor kemasyarakatan, antara lain:
1. RUU
tentang Lembaga Swadaya Masyarakat;
2. RUU tentang
Perkumpulan;
3. RUU
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;
dan
4. RUU
tentang Pemberdayaan Masyarakat.
Politik hukum Pengaturan Kemerdekaan Kebebasan
Berserikat
Menelusuri
kelahiran UU Ormas, bentuk “ormas” sendiri sesungguhnya tidak jelas posisinya
di dalam kerangka hukum karena ia adalah sebuah bentuk yang dicari-cari untuk
mengontrol dan merepresi kebebasan berorganisasi. Terkait Ormas sendiri, aroma
politik yang kental mewarnai kelahiran UU Ormas. Keberadaannya memang didesain
untuk menerapkan konsep “wadah tunggal”, yaitu konsep untuk menempatkan segala
jenis organisasi dengan kepentingannya masing-masing (kesamaan kegiatan,
profesi, fungsi, atau agama) ke dalam satu jenis format organisasi yaitu
Organisasi Kemasyarakatan sehingga lebih mudah untuk dikontrol.UU Ormas ini
jelas merupakan UU yang salah kaprah dan salah arah.Untuk itu, memang UU ini
seharusnya dicabut, bukan direvisi (seperti yang telah diusulkan
oleh
DPR melalui RUU Ormas).
Sedikit banyak UU Ormas ini
mengalami permasalahan dalam implementasinya, mulai dari pengaturan soal asas
tunggal, berbagai mekanisme kontrol, hingga kewenangan pembubaran.Dari
penggambaran di atas dapat dilihat secara sekilas bahwa Ormas sejatinya memang
lebih sebagai mahluk politik dibandingkan dengan mahluk hukum.Dari segi hukum,
Ormas sendiri sebetulnya masuk ke dalam wilayah Perkumpulan.
Kerangka Hukum
Ormas
adalah singkatan dari Organisasi Kemasyarakatan (bukan Organisasi Massa!) yang
merupakan bentuk yang dilahirkan oleh UU No.8 Tahun 1985 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan.Ormas bukanlah badan hukum, melainkan hanya status terdaftar
berdasarkan Surat Keterangan Terdaftar yang diterbitkan Direktorat Jenderal
Kesatuan Bangsa dan Politik, Kemendagri.Bentuk Ormas tidaklah dikenal dalam
kerangka hukum yang benar, ia merupakan kreasi rezim Orde Baru yang bertujuan
mengontrol dinamika organisasi masyarakat di Indonesia. Perlu dipahami bahwa
kerangka hukum yang ada untuk organisasi kemasyarakatan di Indonesia terbagi
menjadi 2 (dua) jenis.Untuk organisasi tanpa anggota, hukum Indonesia
menyediakan jenis badan hukum Yayasan yang diatur melalui Undang- Undang Nomor
28 Tahun 2004 tentang Yayasan (selanjutnya disebut UU Yayasan). Sementara untuk
organisasi yang berdasarkan keanggotaan, hukum Indonesia menyediakan jenis
badan hukum Perkumpulan yang masih diatur dalam peraturan Stb. 1870-64 tentang
Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid
van Verenegingen) yang dikeluarkan pada 28 Maret 1870. Perkumpulan tersebut
bersifat non-profit.Itulah sebabnya istilah yang digunakan ialah vereneging yang merupakan lawan dari maatschap atau vennootschap (perusahaan).Di Indonesia, perkumpulan jenis ini kerap
disebut dengan Perhimpunan, Ikatan, Persatuan, Perkumpulan, dll.
Kedudukan badan hukum dari
Perkumpulan tersebut diperoleh sesudah ada pengakuan dari Menteri Kehakiman
(konteks terkini Menteri Hukum dan HAM).Pengesahan dilakukan oleh Menteri
dengan menyetujui anggaran dasar Perkumpulan yang memuat maksud tujuan,
azas-azas, lapangan pekerjaan, dsb.Menteri dapat menolak jika ada alasan yang
bertentangan dengan kepentingan umum dengan memuat segala alasan penolakan
dalam keputusannya. Stb 1870-64 ini sebenarnya mengenai Perkumpulan-Perkumpulan
Berbadan Hukum.Namun demikian Stb 1870-64 ini tetap mengenal dan mengakui Perkumpulan
yang tidak berbadan hukum (Pasal 8). Contoh yang bisa kita ambil seperti forum
Majelis Taklim, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna,
bahkan kemunculan fans club ̧ atau komunitas tertentu berdasarkan hobi, termasuk
salah satu diantaranya. Rezim hukum terhadap perkumpulan inipun masih diberlakukan
hingga kini, berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945.
Definisi yang absurb
RUU
Ormas ini menggunakan definisi yang absurd.Di mana segala organisasi yang bersifat
nirlaba masuk kategori Ormas.Dari organisasi berdasarkan minat olahraga, seni/budaya,
profesi (advokat, notaris, dokter, wartawan, dll), hobi, keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, sosial, kepemudaan dan sebagainya (Pasal 7, ayat 2 RUU
Ormas).Apa pun istilah lain bagi ormas itu (lembaga swadaya masyarakat, organisasi
non-pemerintah, dan organisasi sosial, RUU Ormas memang serba mencakup.Padahal
semua pemilihan istilah tersebut tentunya memiliki alasan dan sudut pandang
tertentu.
Menjadi sebuah kompleksitas
tersendiri jika kita mencoba mendefinisikan masingmasing istilah di atas tanpa
tolak ukur yang jelas.Apa yang dimaksud dengan LSM?Apa bedanya dengan
Ornop/NGO?Kenapa pula ada yang disebut dengan OMS?Kesimpangsiuran terjadi
diakibatkan karena istilah-istilah tersebut (LSM, Ornop/NGO, dll) sesungguhnya
adalah istilah-istilah yang berada pada wilayah
praktis
sehingga pemaknaan maupun perspektif terhadap masing-masing istilah sangat
bergantung pandangan para pihak kepada organisasi yang bersangkutan.
Paradigma
Patrimonialisme Birokratik
Fenomena
anarkisme dalam masyarakat selama 10 tahun terakhir, sesungguhnya tidak
berkolerasi dengan akal-akalan RUU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang sebetulnya
didasarkan pada asumsi birokratik patrimonial.[2]
RUU Ormas mewajibkan semua ormas bukan berbadan hukum mendaftarkan diri ke
pemerintah (Pasal 16).Akibatnya, kalau tak mendaftar, ormas tak memiliki izin
kegiatan atau tidak dapat beroperasi.Seluruh organisasi ini nantinya akan
dikontrol oleh Kementrian Dalam Negeri yang diusulkan sebagai institusi yang
mengawasi keberadaan berbagai organisasi masyarakat ini.Ini adalah konstruksi
yang melanggar prinsip kemerdekaan bangsa untuk berserikat, sebagaimana
ditentukan pasal 28, 28C (2) dan 28E (3) UUD 1945, UU No 39/1999, ataupun
International Covenant on Civil and Political Rights (diratifikasi dengan UU No
12/2005).
Paradigma patrimonialisme birokratik
kental terasa, di mana RUU Ormas mengatur relasi negara dan
masyarakat.Seharusnya ormas tak wajib mendaftarkan diri kepadapemerintah.Ormas
dapat secara sukarela mendaftarkan untuk berhubungan dengan instansi pemerintah
berdasarkan kebutuhan dan sesuai jenis kegiatan ormas.Dengan demikian, tidak tepat
Menteri Dalam Negeri memonopoli definisi “menteri” (Pasal 1 Angka 7).
Hegemoni Negara
RUU Ormas yang tengah dibahas Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah saat ini masih mengandung muatan represi
yang tidak jauh berbeda dengan Undang Undang No. 8 Tahun 1985.Undang Undang ini
mengatur organisasi sampai dengan hal-hal yang bersifat internal. Misalnya: RUU
ini mengatur hal-hal yang dimuat dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah
Tangga (ART) sebuah organisasi, keuangan organisasi, pewajiban pendaftaran bagi
seluruh organisasi (seluruh organisasi sesuai dengan pasal 7, ayat 2) pada
Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Luar Negeri bagi yang masuk kategori
organisasi asing. Dengan sistem birokrasi yang ada saat ini, akan ada banyak
organisasi yang terganjal karena rumitnya persyaratan administratif. Ironisnya,
jika RUU ini disahkan, setiap orang yang akan berkumpul dengan orang lain
(minimal 2 atau 3 orang) harus mendaftarkan organisasinya terlebih dahulu pada
Kementrian Kementrian Dalam Negeri.
Ada beberapa organisasi yang akan
dilarang berdiri di Indonesia. Ukuran pelarangan ini masih sangat multitafsir,
misalnya: larangan menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau
paham yang bertentangan dengan Pancasila, melakukan kegiatan yang membahayakan
keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, melakukan kegiatan
yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan peraturan perundang-undangan (Pasal 50, ayat 2 RUU Ormas). RUU ini juga memberikan sanksi pembekuan
kepada organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, membahayakan
keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia, melakukan kegiatan yang
bertentangan dengan UUD 1945 atau Peraturan Perundang-undangan. Kewenangan
pembekuan (tanpa proses pengadilan) ada
pada pemerintah dan pemerintah daerah.
RUU Ormas dan Fenomena Kekerasan
Penyusun RUU Ormas juga
terkecoh.Terkait anarkisme perseorangan dan berkelompok, sesungguhnya Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita sudah lebih dari cukup untuk menjerat
pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun
yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara
terbuka di muka umum. Dengan demikian, (pengusulan) RUU Ormas sebenarnya tidak
relevan untuk memadamkan persoalan tersebut.
Pembiaran terhadap anarkisme
dianggap karena tak ada aturan yang mewajibkan masyarakat berorganisasi (ormas)
untuk mendaftarkan diri kepada pemerintah.Tak lebih sebuah argumentasi
akal-akalan dan tidak berdasar. Sebetulnya anggota ormas dapat meminta
pembubaran melalui rapat anggota atau ormas lain dapat menuntut pembubaran
melalui kepailitan. Atas nama ketertiban umum dan kepentingan masyarakat, Jaksa
Agung juga dapat menuntut pembekuan atau pembubaran badan
hukum
ormas melalui pengadilan.
Bantuan Asing
Dana atau bantuan asing acapkali
menimbulkan persepsi negatif, terutama dari pihak legislatif dan eksekutif. Mereka
menuduh bahwa jika suatu organisasi masyarakat menerima bantuan asing maka
mereka menjalankan agenda atau memajukan kepentingan pihak luar negeri. Ada
pula yang mengkhawatirkan bahwa dana asing merupakan sarana untuk
mengintervensi dinamika kehidupan sosial
politik
dalam negeri. Berangkat dari dugaan miring tersebut, beberapa pihak menuntut
pengaturan yang lebih ketat atas aliran dana asing. Mulai dari larangan hingga
yang lebih ekstrim lagi, tuntutan pembubaran organisasi masyarakat yang menerima
dana asing.
Bantuan asing merupakan instrumen
politik luar negeri suatu negara, khususnya untuk memajukan kepentingan
ekonomi-politik negara bersangkutan.Hal ini kiranya benar jika hanya didasarkan
pada argumen self-interest di mana
tindakan agen sosial (dalam hal ini negara) selalu didasarkan pada perhitungan
untung rugi. Sebagian yang lain, yang sering terlewatkan adalah argumen etis
yang mendasari
bantuan
luar negeri bahwa negara maju tidak boleh mendiamkan kemiskinan, kelaparan ,
ketidakadilan sosial di negara- negara berkembang, dilanda konflik, tertimpa
bencana, dan pasca perang. Dasar argumen etis ini bersandar pada setidaknya dua
pokok.[3]
Pertama, keadilan distributif, yakni
perlunya kompensasi negara-negara maju kepada negara-negara berkembang atas
ketidakadilan yang muncul dari dominasi politik dan eksploitasi ekonomi.Kedua,penyebaran atau distribusi
kekayaan alam yang secara global tidak merata sehingga kelebihan perlu dibagi
kepada yang kekurangan. Keadilan distributif menyatakan pula bahwa sebagian
keuntungan atau manfaat ekonomi yang dinikmati negara-negara maju bersumber
dari keuntungan yang didapatkan dari negara-negara berkembang.
Sumber Non-negara Sumber lain dana
pembangunan internasional yang mengalir secara global adalah filantropi.
Filantropi berasal dari penyisihan keuntungan atau kekayaan perusahaan atau
perorangan yang di beberapa negara maju diakui sebagai faktor pengurang pajak. Sumber
berikutnya adalah dana publik yang dikumpulkan langsung dari masyarakat (charity) oleh lembaga-lembaga non-profit
baik yang berbasis agama maupun non agama. Melalui pengelolaan secara
transparan serta memenuhi berbagai persyaratan, dana-dana masyarakat ini
disalurkan atau dibelanjakan untuk tujuan tertentu (ditetapkan sejak semula)
maupun untuk tujuan yang masih terbuka atau tidak spesifik.
Kerjasama Strategis Donors - Recepients Telah jamak dipraktekkan
bahwa pengucuran dana bantuan internasional mengikuti apa yang dikenal dengan kerangka
kerja strategis. Kerangka kerja ini pada dasarnya menjelaskan bahwa untuk mencapai
tujuan tertentu, harus disusun rencana strategis yang dibangun berdasarkan
analisis kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki dan tantangan dan kesempatan
yang tersedia dalam lingkungan eksternal (negara/daerah tempat dilaksanakannya
rencana).
Dalam prakteknya, penyusunan rencana
strategis lembaga donor tidak hanya didasarkan pada assessment dan konsultasi
dengan para pihak.Namun juga melibatkan para pihak yang potensial menerima atau
menindaklanjutinya.Lebih jauh, kerjasama antara donor dan recipient (penerima)
tidak didasarkan pada pesanan pekerjaan (job order) dari donor, tapi pada
kesamaan agenda strategis antara donor dan recipients.Pada kondisi yang
pertama, agenda datang dari pemberi pekerjaan (job offerer).Sementara yang kedua, agenda datang dari recipient dan diterima karena sesuai
dengan agenda strategis mereka (donor).
Dari paparan di atas dapat dilihat
bahwa bantuan luar negeri sebenarnya bukan alat penaklukan politik domestik
oleh kekuatan asing, tapi lebih sebagai instrumen pelaksanaan keadilan
distributif secara global dan sarana pencapaian tujuan keadilan sosial secara domestik.
Terkait dana atau bantuan asing, sebenarnya yang ingin diatur adalah
akuntabilitas organisasi masyarakat dalam hal keuangan. Kehadiran UU Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1 angka 3, menjadikan
pula organisasi masyarakat sebagai BADAN PUBLIK, yang dikenakan sejumlah
kewajiban. Salah satunya transparansi dan akuntabilitas serta kebijakan
organisasi masyarakat (Pasal 7).
Regulasi yang dikenakan oleh UU
Keterbukaan Informasi Publik rasanya sudah lebih dari cukup untuk mendorong
hadirnya transparansi dan akuntabilitas. Bahkan realitasnya, sebagian besar
organisasi di Indonesia karena kebutuhan administratif telah menata diri dalam
organisasi berbadan hukum Perkumpulan atau Yayasan. Pasal 16 Undang Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah memberikan
kewajiban kepada organisasi non pemerintah untuk menyediakan informasi publik
seperti asas dan tujuan, program, sumber dana, pengelolaan keuangan dan
lain-lain, sehingga organisasi akan mencantumkan informasi ini melalui website
masing- masing organisasi. Hampir seluruh organisasi yang berbadan hukum
sebagian besar diaudit keuangannya oleh akuntan publik karena hal ini menjadi
kewajiban lembaga sebagai wajib pajak.Sehingga tidak benar jika organisasi tidak
tertib secara administratif dan keuangan. Tanpa Undang Undang Ormas-pun telah
ada Undang Undang yang mengatur hal-hal administratif bagi organisasi seperti
Undang Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang Undang Yayasan, dan
Staatsblad tentang Perkumpulan.
Payung Hukum
Pengaturan
Ormas sebagai UU payung hanya akan menambah panjang birokrasi, perijinan, dan
mekanisme yang rumit yang pada ujungnya akan menciderai kebebasan berorganisasi
di Indonesia. Keberadaannya tidak diperlukan, karena Undang Undang Dasar 1945
telah memayungi undang undang dan memberikan jaminan kebebasan berserikat dan
berkumpul. Pendekatan represif politik-keamanan terhadap organisasi masyarakat
sipil harus ditinggalkan, dengan menghilangkan peran Kemendagri dan menggantinya
dengan pendekatan hukum melalui Kemenkumham dan pendekatan pemberian dukungan/fasilitasi
kegiatan melalui kementerian yang relevan (Kemensos, Kemendiknas, Kemenag dlsb)
sesuai bidang kegiatan organisasi. Selama urusan organisasi masyarakat sipil diserahkan
kepada Kemendagri, maka selama itu pula sektor organisasi masyarakat akan
selalu didekati dengan pendekatan politik keamanan yang represif (pembatasan,
pembubaran dlsb). Hal ini jelas berbanding terbalik dengan sektor swasta yang
didukung melalui berbagai fasilitas dan insentif.
Rekomendasi
Atas
dasar kajian di atas, rekomendasi ini kami ajukan agar menjadi perhatian dan mendapatkan
dukungan bersama dari seluruh elemen masyarakat. Yakni:
1. Meminta
Negara untuk memberikan perlindungan dan menghormati hak kebebasan berserikat
dan berkumpul serta berekspresi secara damai (peaceful association) sabagai hak asasi dari setiap warga negara.
2. Meminta
DPR dan Pemerintah untuk menghentikan pembahasan RUU Ormas yang secara
substansi tidak sesuai dengan kerangka hukum pengaturan organisasi masyarakat
sipil.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar