*Dr.
Syaiful Bakhri, SH. MH[1]
Prolog
Dalam perjuangan menegakkan dan mewujudkan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya Muhammadiyah memiliki berbagai amal
usaha dalam berbagai bidang kehidupan. Secara tegas rumusan usaha tercantum
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADRT) Muhammadiyah Bab III
pasal 7 tentang usaha sebagai berikut:
1.
Untuk
mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah melaksanakan dakeah amar ma'ruf nahi
munkar dan tajdid yang diwujudkan dalam usaha disegala bidang kehidupan.
2.
Usaha
Muhammadiyah diwujudkan dallam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan yang
macam dan penyelenggaraan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
3.
Penentu
kebijakan dan penanggung jawab amal usaha, program, dan kegiatan adalah
Pimpinan Muhammadiyah.
Muhammadiyah dalam mengelola amal usahanya
didasarkan pada mencari ridlo Allah semata demi kemaslahatan masyarakat, bergemanya
syri'ah Islam. Hal ini dapat dibuktikan banyaknya sekolah, madrasah, rumah
sakit, rumah yatim, pesantren, masjid, musholla, poliklinik, penerbit buku, Baitul Mall wa Tanwil (BMT), serta
berbagai amal usaha lain yang tersebar diseluruh Indonesia. Gerakan dakwah Islamiyah
melalui amal usaha ini secara langsung telah dirasakan dan dikenyam manfaatnya
oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Segala amal usaha Muhammadiyah berjalan
dengan landasan untuk beramal dan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya.
Keikhlasan, kesabaran, serta ketekunan menjadi model utama para pengelola amal
usaha Muhammadiyah ini. Namun di kemudian timbul pertanyaan batas manakah amal
usaha muhammadiyah memiliki interelasi dengan penanaman modal dalam rangka
pengembangan atau dan lain sebagainya.
Perubahan
Ideologi Kepemilikan Rumah Sakit di Indonesia
Dalam suatu proses pelayanan kesehatan, terdapat tiga
komponen yang terlibat yaitu, pelayanan
yang berfokus pada kualitas yang diberikan, pihak yang melakukan pelayanan, serta masyarakat pengguna
jasa pelayanan kesehatan untuk menilai
suatu pelayanan melalui harapan yang diinginkannya.[2] Pihak
yang melakukan pelayanan kesehatan dibedakan dalam
2 (dua) kategori, yaitu pertama badan
usaha berbentuk rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan institusi pelayanan kesehatan lainnya; dan kedua, adalah orang
perseorangan yaitu tenaga kesehatan.[3]
UU Kesehatan menyatakan bahwa tenaga kesehatan adalah
setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.[4] Tenaga kesehatan dibedakan ke dalam beberapa jenis,
yaitu tenaga medis, tenaga keperawatan,
tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, dan tenaga
keteknisian medis.[5] Perkembangan
zaman mempengaruhi perkembangan aspek-aspek pada rumah
sakit[6], yang salah satunya adalah
perkembangan aspek kepemilikan rumah
sakit.[7] Paradigma
kepemilikan rumah sakit di Indonesia mengalami perubahan.
Pada awalnya rumah sakit dipandang sebagai lembaga sosial yang dibangun oleh institusi pemerintah, institusi
keagamaan dan yayasan sosial.[8]
Namun, sejak kemajuan teknologi kedokteran dan
meningkatnya kemampuan ekonomi
masyarakat Indonesia, yang ditandai dengan munculnya golongan menengah ke atas, mulai bermunculan rumah
sakit milik swasta yang berorientasi
mencari keuntungan.[9]
Prediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sangat diperlambat akibat krisis minyak tahun 1985,
ternyata tidak menjadi kenyataan karena
Pemerintah mengubah strategi ekonomi negara, dari sangat bergantung pada minyak dan gas bumi, menjadi
berorientasi ekspor produk-produk nonmigas.[10] Pertumbuhan
ekonomi tersebut melahirkan golongan-golongan baru orang dengan tingkat ekonomi menengah ke atas
dengan daya beli yang kuat.[11]
Sebenarnya, pendirian rumah sakit swasta dimulai sejak
jaman Belanda, dimana pihak swasta diberi
peran yang cukup signifikan untuk turut serta dalam
pembangunan rumah sakit.[12] Dengan
demikian, sejak awal berdirinya, sebenarnya
Indonesia sudah mempunyai ideologi yang berbasis pasar.[13]
Ideologi berbasis pasar ini semakin tampak pada masa orde
baru yang semakin lama
semakin mengurangi peran pemerintah, misalnya berkurangnya subsidi negara dan didorongnya “kemandirian” dan
peran serta masyarakat dalam membiayai
pengobatan sehingga RS boleh memungut tarif dari masyarakat langsung.[14] Besarnya pengaruh ideologi berbasis pasar
juga menyebabkan pergeseran
orientasi, dari pelayanan kesehatan beralih ke industri kesehatan.
Kemajuan teknologi kedokteran semakin memperkuat industri
kesehatan.[15] Tahun 1990 merupakan tahun yang bersejarah
bagi perumahsakitan Indonesia
karena pada saat itu terbit SK Menkes No. 24/Menkes/Per.II/1990 yang mengizinkan pengelolaan rumah sakit oleh
perseroan sehingga istilah industri
perumahsakitan dan investasi suatu rumah sakit dapat digunakan dan diterima.[16] Faktor-faktor yang mendorong pendirian rumah
sakit swasta adalah untuk memacu
investasi, untuk membuka lapangan kerja dan untuk menambah
pendapatan negara dari pajak.[17]
Pengelola
Rumah Sakit
Pada dasarnya rumah sakit merupakan suatu organisasi yang kompleks.[18] Kompleksnya organisasi
rumah sakit adalah karena adanya keterlibatan
sumber kekuasaan dan otonomi dari beberapa pihak, yaitu keterlibatan Pemerintah untuk memastikan
terpenuhinya kesehatan masyarakat,
keterlibatan pemilik rumah sakit dengan misi mulia mendirikan dan menjaga nama baik rumah sakit miliknya,
keterlibatan para professional seperti
dokter dengan tanggung jawab mengutamakan kesehatan dan keselamatan pasien, keterlibatan direksi
rumah sakit sebagai organ yang mendorong
terciptanya manajemen yang lebih baik dalam rumah sakit, keterlibatan masyarakat sebagai pengguna jasa
pelayanan kesehatan dan keterlibatan
para pelaku bisnis khususnya bisnis alat kesehatan, obat, dan lainlain yang mendukung penyelenggaraan kesehatan.[19]
Dari enam sumber kekuasaan dan otonomi tersebut, terdapat
hubungan antara tiga pihak yang menjadi komponen
penting organisasi rumah sakit yang menjadikan
karakteristik organisasi rumah sakit unik. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan yang terjadi antara governing
body[20],
direktur rumah sakit, dan staf medis, yaitu ketiganya
harus saling mengisi dan mengontrol sesuai dengan fungsi dan wewenangnya.[21] Namun,
dalam prakteknya, seringkali terjadi tumpang tindih
kewenangan dan tanggung jawab antara governing body,
direksi dan staf medis dalam suatu rumah sakit. Untuk menjaga agar hubungan ketiganya berjalan
harmonis sehingga tidak timbul konflik
dibentuklah hospital by laws atau yang lebih dikenal di Indonesia dengan peraturan internal rumah sakit untuk
mengaturnya.[22] Peraturan internal rumah sakit dapat memberikan
kepastian hukum dalam pembagian kewenangan
dan tanggung jawab antara governing body, direksi dan staf medis tersebut.
Definisi governing body menurut Black’s Law adalah
“a group of officers
or persons having ultimate control”.[23] Dari
definisi tersebut, jelas terlihat
bahwa karakteristik governing body adalah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi (ultimate control)
dari suatu organisasi. Selanjutnya, Black’s
Law mendefinisikan
bahwa yang dimaksud dengan governing body dari suatu corporation adalah board
of director atau biasa disingkat dengan board, yaitu the governing body of a
corporation, elected by the shareholders to establish corporate policy, appoint executive officers[24],
and make major business
an financial decisions.[25]
Selain Black’s Law, Donald J. Griffin juga
memberikan definisi governing
body/board of trustees/board of directors/board of governors suatu rumah sakit sebagai the organized
entity that bears the ultimate responsibility for all decisions made within the
hospital.[26] Menurut
Donald, governing body menyerahkan
kewenangan dan tanggung jawab untuk mengurus kegiatan utama rumah sakit sehari-hari dengan
tetap memegang ultimate responsibility atas segala yang terjadi di dalam rumah sakit.[27] Jika
menghubungkan antara definisi board of director/board dengan
pernyataan Donald J. Griffin tersebut, dapat
dilihat bahwasannya dalam menjalankan fungsinya sebagai governing body, board menunjuk
seorang executive officer yaitu CEO, untuk melaksanakan kegiatan operasional
sehari-hari dan untuk mewujudkan hal-hal yang
telah dirancang oleh board tersebut. Jika menghubungkan governing body dengan pihak
penyelenggara rumah
sakit, governing body adalah pemilik rumah sakit.[28] Kepmenkes
No. 772/MENKES/SK/VI/2002 juga menyatakan
bahwa governing body dalam rumah
sakit di Indonesia adalah pemilik[29] rumah
sakit. Namun, hal yang harus
diperhatikan adalah bahwa Kepmenkes tersebut menyandingkan kata “atau yang mewakili”.
Adapun fungsi dari governing body rumah sakit,
tidak diatur secara khusus
dalam suatu peraturan. Namun, terdapat literatur-literatur yang menguraikan fungsi governing body.
Salah satu literatur yang menguraikan fungsi
tersebut adalah buku karangan Donald J. Griffin yang menyatakan bahwa “the basic function of the
governing body is to protect and guide the hospital’s mission in accordance with the institution’s
structure and the needs of
the community”.[30] Literatur
lainnya adalah artikel yang dibuat oleh Jeffrey Alexander dan Laura L. Morlock, yaitu
mereka mengemukakan bahwa:[31] In
the freestanding hospital, the governing board generally is involved with the operation of a set of
services that supports the hospital
and medical staff. The board's attention frequently is directed to facilities development,
financial decisions, and other boundary-spanning
activities, while hospital management is concerned primarily with day-to-day operations of the
hospital.
Berdasarkan
pernyataan dari Jeffrey dan Laura tersebut, fungsi governing body adalah sebagai
organ yang memperhatikan hal-hal seperti pengembangan fasilitas rumah sakit, mengambil
keputusan dalam persoalan keuangan rumah sakit
dan kegiatan terkait lainnya yang bukan merupakan kegiatan pokok/kegiatan sehari-hari rumah sakit,
yang bertujuan untuk menyokong rumah
sakit dan staf medis.
Konstitusionalitas Badan
Hukum Rumah Sakit Muhammadiyah
Berkaitan
dengan Muhammadiyah dan Amal Usaha Muhammadiyah, maka melalui UU No. 44 Tahun
2009 yang merumuskan mengenai manajemen Rumah Sakit, maka diperkenalkan konsep
badan hukum khusus di bidang perumahsakitan yang kemudian dianggap merugikan
Muhamamdiyah. Pada akhirnya Muhammadiyah mengajukan judicial review
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit kepada Mahkamah
Konstitusi. Muhammadiyah menganggap dirugikan hak konstitusionalnya disebabkan
ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit yang menyebutkan rumah sakit yang
didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya
di bidang perumahsakitan.
Untuk
itu, Muhammadiyah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar Pasal 7
ayat (4) dan pasal-pasal terkait dibatalkan karena bertentangan dengan hak
pemohon yang dijamin Pasal Pasal 28D ayat (1) dan 28I UUD 1945. Atau Pasal 7
ayat (4) UU Rumah Sakit sepanjang mengenai frasa “yang kegiatan usahanya hanya
bergerak di bidang perumahsakitan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada dasarnya apan yang menjadi latar
belakang ketentuan harus berbadan hukum khusus bidang perumahsakitan:
1.
Sebagai
subyek hukum. Dengan ketentuan harus berbentuk badan
hukum, maka Rumah Sakit atau swasta pengelola dapat menjadi subyek hukum
sendiri sebagaimana layaknya manusia. Sebagai Korporasi dapat melakukan tindakan
dan tanggung jawab hukum. Dengan kata lain, pada badan hukum yang bertindak
sebagai subjek hukum adalah perkumpulannya sehingga jika terjadi masalah hukum
yang dituntut adalah perkumpulannya bukan kepada masing-masing orang anggotanya
2.
Harta
kekayaan terpisah. Sebagai badan hukum, kekayaan rumah
sakit terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus/anggotanya. Ini wujud
transparansi dan akuntabilitas. Sehingga jika terjadi akibat yang tak
diinginkan, misalnya pailit, maka yang terkena sita hanyalah harta perusahaan
saja. Sementara harta pribadi pengurus atau anggotanya tetap bebas dari sitaan.
3.
Mencegah
aliran arus modal. Mempertimbangkan karakteristiknya yang
uncertainly (ketidakpastian), kegawatdaruratan dan life saving (penyelamatan
nyawa), mengharuskan rumah sakit harus siap dan aman secara modal. Jika dalam
sebuah badan hukum mengelola lebih dari satu bisnis inti (core business) dikhawatirnya
terjadi subsidi silang dan arus modal diantaranya. Misalnya, sebuah badan hukum
mengelola pendidikan dan rumah sakit. Jika terjadi kerugian dalam bisnis
pendidikannya, apakah modal yang semestinya untuk operasional rumah sakit tidak
tersedot untuk menyelamatkan bidang pendidikan? Dan bagaimana pada saat yang
sama, rumah sakit harus membeli obat dan bahan habis pakai untuk pasien? Untuk
itulah, rumah sakit harus dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis yang sehat
dengan mencegah adanya pencampuran modal dan kekayaan perusahaan.
4.
Tanggung
jawab korporasi. Sebagai subyek hukum, rumah sakit dapat
melakukan hubungan hukum dengan subyek hukum lainnya dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan. Oleh karena itu rumah sakit wajib menanggung segala
konsekuensi hukum yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya atau perbuatan
orang lain yang berada dalam tanggung jawabnya. Ini diantara yang dimaksudkan
dengan tanggung jawab korporasi (corporate liability) dimana tanggung jawab
hukumnya mencakup aspek administratif, perdata, perdata dan pidana.
Dalam hal ini, contoh kasus terjadi pada
Muhammadiyah; Jika sebuah Rumah Sakit milik Muhammadiyah terjadi gugatan
perdata dan dinyatakan pailit, apakah Muhammadiyah juga akan dipailit-kan? Jika
pada RS Muhammadiyah terjadi kasus pidana yang melibatkan korporasi dan harus
dilakukan penutupan atau pembubaran atas perintah Pengadilan, apakah
Muhammadiyah juga ikut dibubarkan?
Sebagai
pemilik dan pengelola sekitar 78 rumah sakit yang tersebar di berbagai wilayah
Indonesia, Muhammadiyah berhak mengajukan hak konstitusionalnya. Yang menarik
diantara argumentasi yang disampaikan oleh kuasa hukum Muhammadiyah bahwa
ketentuan mewajibkan untuk membentuk badan hukum khusus telah mereduksi hak
konstitusional pemohon, sebagai persyarikatan yang berstatus badan hukum yang
telah diakui negara sejak sebelum kemerdekaan. Sebagai contoh, Bahwa
Ketentuan pasal 7 ayat ayat (4) UU Rumah Sakit, yang menyatakan bahwa : (4) Rumah Sakit yang didirikan oleh
swasta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di
bidang perumahsakitan. ketentuan Pasal 7 ayat (4)
Undang-Undang Rumah Sakit diatas, adalah bertentangan dengan ketentuan pasal 28
UUD Negara RI Tahun 1945, karena mereduksi hak konstitusional Muhammadiyah
sebagai persyarikatan yang telah mempunyai status Badan Hukum
yang tidak bertentangan dengan ketentuan Perundang-undangan
yang berlaku. Karena mewajibkan membentuk badan hukum khusus tentang
perumahsakitan maka sama dengan halnya tidak mengakui hak berserikat dan
berkumpulnya dalam wujud persyarikatan Muhammadiyah yang telah diakui oleh Negara sejak sebelum
kemerdekaan sampai dengan kemerdekaan; selain itu ini juga
menunjukan bahwa Hak konstitusional Muhammadiyah untuk memajukan diri dalam
memperjuangkan hak secara kolektif dalam wujud persyarikatan Muhammadiyah yang
sudah diakui oleh negara sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan jaman
kemerdekaan untuk membangun masyarakat, Bangsa dan Negara melalui pelayanan kesehatan dijamin
konstitusi.
Muhammadiyah yang
mempunyai amal usaha Muhammadiyah dalam bentuk Rumah Sakit diakui, dijamin,
dilindungi, dan mendapatkan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum dalam konstitusi. Karena persyarikatan Muhammadiyah yang
diakui sebagai Badan Hukum merupakan hak kebebasan berserikat berkumpul yang juga dijamin
konstitusi. Sebagai wujudnya kebebasan, maka bebas mempunyai hak untuk mendirikan amal
usaha yang berbentuk Rumah Sakit. Hal ini sesuai dengan: Pasal 28 C ayat (2) UUD
Negara RI Tahun 1945: “(2)
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, Bangsa
dan Negaranya”. Pasal
28 D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945: “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal
28 E ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945: “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Epilog
Amal usaha Muhammadiyah yang berbentuk Rumah Sakit
Muhammadiyah selain dimaksudkan untuk mencapai
maksud dan tujuan, Muhammadiyah melaksanakan dakeah amar ma'ruf nahi munkar dan
tajdid yang diwujudkan dalam usaha disegala bidang kehidupan. Namun juga untuk
menuju tercapainya tujuan negara Indonesia. Dikarenakan adanya khususan bentuk
badan hukum Rumas Sakit Muhammadiyah yang demikian itu, maka dalam pengelolaan
dan dalam hal pengembangan Rumah Sakit, maka terdapat kekhusuan pula dalam
pemahaman mengenai Investasi. Bahwa penanaman modal kepada Rumah sakit
muhammadiyah tidak diperkenankan kecuali dalam hal pemberian modal yang tidak
mengikat dan merubah kepemilikan rumah sakit, maka sejauh itu dimungkinkan. Posisi
yang demikan itu dikarenkan muhammadiyah tidak melihat rumah sakit sebagai
perusahaan laba, namun sebagai sarana dakwah amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid
melalui berbagai sarana kehidupan.
*******
Curicullum Vitae
Dr Syaiful Bakhri. S.H.,MH. Dosen Profesional bersertifikat. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Lahir 20 Juli 1962
di Kotabaru Kalimantan
Selatan. Pendidikan terakhir Doktor dalam Ilmu Hukum. Jurusan hukum pidana dan
sistem peradilan pidana
pada Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta (2009). Pengampu mata kuliah hukum pidana formiil
dan materiil. Wakil Ketua Majelis Hukum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode
2010-2015. Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah 2012-2016.
[1] Wakil Ketua Majelis
Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Jakarta, disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional Majelis Kesehatan PP
Muhammadiyah, tanggal 4 Mei 2014, di Yogyakarta
[2] Titik Triwulan Tutik
dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, (Jakarta: PT. Prestasi
Pustakaraya, 2010), hlm. 1.
[3] Ibid, hlm. 18.
[4] Pasal. 1 angka 6, UU No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan
[5] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Tentang Tenaga Kesehatan No. 32 Tahun 199,
[6] Aspek-aspek rumah sakit yang
berkembang selain aspek kepemilikannya adalah perkembangan fungsi dan ruang lingkup rumah sakit.
Perkembangan fungsi rumah sakit, yaitu fungsi
rumah sakit dari sekedar tempat menyembuhkan orang sakit menjadi suatu pusat
kesehatan dan memiliki fungsi
sebagai tempat pendidikan. Sementara perkembangan ruang lingkup rumah sakit, yaitu rumah sakit dulunya
memiliki ruang lingkup kegiatan yang bersifat sosial seperti tempat peristirahatan musafir, tempat
mengasuh anak yatim atau para jompo, tetapi kini membatasi pada aspek pelayanan kesehatan saja.
Azrul Azwar, op.cit, hlm. 89.
[7] Ibid.
[8] Ni’matullah, “Pola Hubungan Kerja
Dokter Spesialis dengan Rumah Sakit Swasta di Beberapa Rumah Sakit Swasta Di Wilayah Jawa Barat dan
Jakarta.” (Tesis Magister Administrasi Rumah
Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997), hlm. 22.
[9] Ibid, hlm.
23.
[10] Wahyu Andrianto, “Malpraktik Medis di
Rumah Sakit, Implikasi pada Tanggung Jawab Hukum dan Orientasi Bisnis Rumah
Sakit.” (Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2005),
hlm. 107.
[11] Ibid.
[12] Laksono Trisnantoro, “Ideologi Apa
yang Dianut oleh Kebijakan Kesehatan di Indonesia?”
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan No. 4, (Desember 2010), hlm. 167.
[13] Ibid.
[15] Yusuf Shofie, Perlindungan
Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, cet. 2, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 120.
[16] Ibid, hlm.
120.
[17] Soedarmono Soejitno, Ali Alkatiri dan
Emil Ibrahim, Reformasi Perumahsakitan Indonesia (Jakarta: Bagian Penyusunan Program
dan Laporan Ditjen Pelayanan Medik Depkes RIWHO, 2000), hlm. 136.
[18] Organisasi rumah sakit dikatakan
kompleks karena biasanya strukturnya merupakan gabungan dari organisasi fungsional (didasarkan atas input
untuk melakukan organisasi) dan organisasiproduct
divisional (didasarkan atas output yang dihasilkan oleh organisasi).
Suparto Adikoesoemo, op.cit,
hlm. 58.
[19] Boy S. Sabarguna dan Henny Listiani, Organisasi
dan Manajemen Rumah Sakit, cet. 2, (Yogyakarta:
Konsorsium Rumah Sakit Jateng-DIY, 2004), hlm. 12.
[20] Menurut Keputusan Menkes Nomor:
772/MENKES/SK/VI/2002 Tentang Pedoman Peraturan
Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws), Governing Board diistilahkan
sebagai Governing Body. Berdasarkan Keputusan ini, governing
body dalam rumah sakit di Indonesia adalah
pemilik rumah sakitnya atau yang mewakili governing body tersebut.
[22] Departemen Kesehatan (3), Keputusan
Menteri Kesehatan RI Tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit
(Hospital By Laws),
Keputusan Menkes Nomor: 772/MENKES/SK/VI/2002,
Tahun 2002, Bab Pendahuluan paragraf 3.
[23] Bryan A. Garner,
ed., op.cit, hlm. 715.
[24] Executive officer is a corporate
officer at the upper level of management. Executive officer juga diistilahkan sebagai executive
employee. Ibid, hlm. 610.
[25] Board of director memiliki
istilah-istilah lain seperti board of governors, board of managers, board of trustees (di organisasi sosial yang non-profit
seperti yayasan), dan executive board.
Ibid, hlm 184.
[26] Donald J. Griffin, Hospitals: What
They Are and How They Work, ed. 4, (Canada: Jones and Bartlett Learning, 2011), hlm. 35.
[27] Ibid, hlm.
40.
[28] Donald Snook, Jr, Hospital: What
They Are and How They Work, ed. 2, (Maryland: Aspen Publishers, Inc, 1992), hlm. 25.
[29] Pemegang kekuasaan tertinggi dari
suatu rumah sakit adalah pemilik atau yang mewakili,
yaitu lembaga/institusi atau badan hukum yang mengelola rumah sakit tersebut. Departemen Kesehatan (3), op.cit,
Bab II Poin 2.1. paragraf 5.
[30] Donald J. Griffin,
op.cit, hlm. 38.
[31] Jeffrey Alexander
dan Laura L. Morlock, “Multi-Institutional Arrangements: Relationships Between
Governing Boards and Hospital Chief Executive Officers,” Health Service
Research 19:6, (Februari 1985, Part I), hlm. 679.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar