*Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH
Prolog
Criminal Justice System, atau sistem peradilan pidana diartikan sebagai pemakaian pendekatan
administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem peradilan pidana sebagai
suatu hasil interaksi antara peraturan perundang undangan, praktek administrasi
dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem ini mengandung implikasi
suatu proses interaksi, yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara
efiesien, untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.[1]
Sistem peradilan atau sistem penegakan hukum, secara integral, merupakan satu kesatuan
berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari komponen “substansi hukum,
“struktur hukum dan budaya hukum”. Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses
peradilan/penegakan hukum terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma
hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substantif/ normatif),
lembaga/struktur/aparat penegak hukum (komponen struktural/ institusional
beserta mekanisme prosedural/administrasinya) dan nilai-nilai budaya hukum
(komponen kultural). Dimaksud dengan nilai-nilai “budaya hukum” dalam konteks
penegakan hukum, tentunya lebih berfokus pada nilai-nilai filosofi hukum,
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan kesadaran atau sikap perilaku
hukum atau perilaku sosial, dan pendidikan ilmu hukum.[2]
Keterkaitan erat antara antara ketiga komponen itu dapat diilustrasikan dengan
sistem “menjalankan mobil”. Apabila hukum diilustrasikan sebagai alat atau
sarana berupa mobil untuk mencapai suatu
tujuan tertentu, maka menegakkan/menjalankan hukum’ pada hakikatnya identik
dengan “menjalankan mobil”. Mobil atau kendaraan, identik dengan “legal
substance”, hanya dapat berjalan, bilamana ada “sopir”, yang identetik dengan
“legal structure”. Struktur hukum/aparat/lembaga penegak hukum, termasuk “legal
culture”. Patut ditegaskan, bahwa dengan Surat Ijin Mengemudi Hukum saja,
tentunya juga belum cukup. Pengemudi harus juga mengetahui dan menguasai ilmu
atau kondisi lingkungan. Agar tidak salah arah atau salah jalan. Hal ini berarti, penegakan hukum pidana harus
memperhatikan konteks ke-Indonesia-an, khusus kondisi lingkungan hukum Indonesia
,yaitu sistem hukum nasional. Pada sistem peradilan atau penegakan hukum, pada
hakikatnya merupakan kesatuan sistem sustansial, sistem struktural, dan sistem
kultural. Pada aspek integral, yaitu
sebagai sistem normatif; sistem
administrative dan sebagai sistem sosial. Bertolak dari pengertian sistem yang
integral, maka pengertian sistem peradilan, dapat dilihat dari berbagai aspek :[3]
- Aspek/komponen substansi hukum, sistem peradilan pada hakikatnya merupakan suatu penegakan substansi hukum di bidang hukum pidana meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana. Merupakan sistem peradilan atau penegakan hukum yang terpadu.( “integrated legal system” atau “integrated legal subtance”).
- Aspek/komponen struktural hukum, sistem peradilan pada dasarnya merupakan sistem bekerjanya/berfungsinya badan-badan/lembaga/aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya masing-masing di bidang penegakan hukum. Secara struktural, sistem peradilan merupakan “sistem administrasi/penyelenggaraan” atau sistem fungsi operasional” dari berbagai struktur/profesi penegak hukum. (“integrated criminal justice system” atau “the administration of criminal justice”)
- Aspek/komponen budaya hukum, sistem peradilan, pada dasarnya merupakan perwujudan dari sistem “nilai-nilai budaya hukum, yang dapat mencakup filsafat hukum, asas-asas hukum, teori hukum, ilmu hukum dan kesadaran atau sikap perilaku hukum. Pada sudut budaya hukum, sistem peradilan, dapat dikatakan merupakan “integrated cultural legal system”.
Pengertian sistem juga dapat dipahami sebagai batasan, yang merupakan yang merupakan bahasa managemen, yang berarti
mengendalikan atau menguasai atau melakukan pengekangan. Maka terkandung aspek
managemen dalam upaya penanggulangan kejahatan. Titik beratnya adalah rasionalisasi
peraturan perundang undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan
untuk mencapai kepastian hukum. [4]
Dalam hukum acara pidana Indonesia dikenal
KUHAP, sebagai landasan, dalam sistem peradilan pidana, menjadi dasar
dalam praktek, yakni sebagai, peraturan
hukum yang mengatur, menyelenggarakan dan mempertahankan eksistensi
ketentuan hukum pidana materiil, guna mencari dan menemukan, serta mendapatkan
kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya. Paraturan hukum yang
mengatur bagaimana cara dan proses pengambilan putusan oleh hakim., Serta
meliputi peraturan hukum yang mengatur tahap pelaksanaan terhadap putusan hakim
yang telah diambil.[5]
KUHAP, yang telah diundangkan pada tanggal 31 desember 1981, bertujuan
untuk mewujudkan kepastian hukum dan tertib hukum berdasarkan pada kebenaran
dan keadilan. KUHAP, telah menentukan jaminan terhadap terselengaranya asas
praduga tidak bersalah, mengatur tentang bantuan hukum, telah memberikan dasar
hukum terhadap tata cara penangkapan dan penahanan, serta mengatur tentang
ganti kerugian dan rehabilitasi, dimungkinkannya penggabungan perkara perdata
dan perkara pidana dalam hal ganti rugi, adanya upaya hukum, mengatur tentang
perkara koneksitas, pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan, serta pengaturan
adanya praperadilan.[6] Secara umum, bahwa warga masyarakat telah
diberi sejumlah hak oleh perundang-undangan, yang dapat menjaminnya untuk
memperoleh akses ke pengadilan. Hak hak yang diberikan itu, telah mengikuti
kepada pencari keadilan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, tidak
tertinggal dengan negara- negara lain, dan telah mengikuti norma-norma dan
prinsif-prinsif dalam instrumen-instrumen Internasional. Namun implementasinya
masih belum sesuai dengan harapan, seperti yang dapat dilihat dari temuan
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Sebagai berikut;
1. Masih ada warga masyarakat, yang tidak mengetahui kemana
harus melapor atau mengadukan tindak pidana yang dialaminya. Dan masih
beranggapan untuk melaporkan tindak pidana, adalah sesuatu yang membuang waktu,
serta biaya, dan berangapan polisi kurang tanggap terhadap laporan atau
pengaduan yang disampaikan.
2. Masih ada tersangka atau saksi yang mengalami perlakuan
kasar dan dipojokkan pada saat memberikan keterangan pada aparat.
3. Alasan yang bersifat subjektif, masih mendominasi
tindakan penahanan, dikabulkannya atau ditolaknya permohonan penangguhan
penahanan atau pengalihan jenis tahanan.
4. Masih ada tersangka maupun saksi yang mengalami perlakuan
kasar dan dipojokan pada saat memberikan keterangan pada aparat.
5. Jumlah tersangka atau terdakwa yang mendapat bantuan
hukum, dalam proses pemeriksaan masih relatif sedikit, karena tidak mengetahui
hak tersebut dan atau tidak mampu membayar penasehat hukum, dan tidak
mengetahui adanya bantuan hukum.
6. Masih ada aparat yang menyarankan agar tersangka maupun
terdakwa tidak didampingi penasehat hukum, atau mencabut kuasanya dalam hal,
sudah memiliki penasehat huium.
7. Msih terjadi saling lempar tanggung jawab, antar sub
sistem peradilan pidana dalam pemenuhan hak pencari keadilan.
8. Masih kurang kordinasi antar subsistem peradilan pidana.
9. Masih kurangnya perhatian aparat penegak hukum pada
korban sebagai pihak yang langsung dirugikan dalam tindak pidana.
10. Masih ada sikap inkonsistensi dari aparat penegak hukum, dalam
melaksanakan tugasnya.
11. Aparat terkadang masih berpikir secara parsial, dalam
bertindak, dan tidak melihat tujuan keseluruhan sistem.
12. Terjadi kelebihan kapasitas, yang sangat luar biasa di
lembaga pemasyarakatan.
13. Anggaran dan fasilitas yang sangat jauh dari memadai,
untuk pelaksanaan proses pemeriksaan dan pemenuhan hak hak pencari keadilan.
14. Lembaga hakim wasmat tidak berfungsi.
15. Rendahnya kinerja aparat penegak hukum, yang dipengaruhi
oleh kurangnya sarana dan prasarana yang tersedia.[7]
Hal terkini, KUHAP, yang berlangsung sekian lama, ternyata, mengandung
banyak kelemahan-kelemahan, terutama dalam penegakan hukum oleh para
aparaturnya. Maka diperlukan suatu rangkaian kebijakan hukum pidana yang
rasional, guna mengatur dan menata ulang, hukum pidana formiil, dengan lebih
mengokohkan sikap terhadap, perlindungan sosial, guna mencapai keadilan dalam
mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, sebagai hukum acara yang modern. Maka kelemahan perilaku
aparaturnya, harus senantiasa ditata dan dikaji secara terus menerus, dengan
pendekatan berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya.
Penguatan Sistem
Peradilan Pidana.
Komponen sistem peradilan pidana, yang diakui dalam praktek, dan diakui
dalam kebijakan hukum pidana, yakni terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan
dan pemasyarakatan, dan unsur yang juga sebagai daya dukung meliputi pembuat
undang undang. Karenanya peran pembentuk undang undang (Legislator) sangat
menentukan dalam politik kriminal (kriminal policy), yakni menentukan arah
kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana, yang hendak ditempuh
sekaligus menjadi tujuan dari penegakkan hukum. Karenanya diperlukan suatu
pandangan yang mengangkat semangat kebersamaan, bekerja dengan tulus dan ikhlas
secara positif diantara aparatur penegak hukum untuk menegakkan keadilan hukum. [8]
Penanganan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, maka pertama kali,
dilakukan oleh polisi, atas dasar pengaduan masyarakat ataupun yang diketahui
langsung, sedangkan kejahatan yang tidak dilaporkan, atau tidak diketahui, maka
lolos dari proses pidana. Setelah selesai dilakukan berbagai proses
dikepolisian, maka diteruskan pada kejaksaan guna melakukan penuntutan.
Pemeriksaan pada tahap di kepolisian maupun di kejaksaan, dimungkin pemeriksaan
itu tidak diteruskan, karena berbagai alasan, karena kurang bukti, atau alasan
oportunitas, demi kepentingan umum. Selanjutnya diteruskan ke pengadilan untuk
suatu persidangan, dan menjatuhkan putusan bersalah atau tidak bersalah, dan
diteruskan pada lembaga pemasyarakatan guna mendapatkan pembinaan. Keseluruhan
proses itulah dimaksudkan seperti ban yang berjalan dalam rangka penegakkan
hukum pidana.[9]
Fungsi dan peran sistem peradilan pidana Indonesia, selalu, menjadi sorotan
diberbagai kesempatan, dan berlangsung dari waktu kewaktu. Baik oleh para pakar
hukum pidana, maupun di bidang lainnya, para politisi, praktisi, bahkan
masyarakat, ikut memberikan sumbang sarannya, guna memberikan apresiasi, agar
sistem peradilan pidana, yang umumnya terdiri dari Kepolisian, kejaksaan,
peradilan, advokat dan lembaga pemasyarakatan, sebagaimana ditentukan oleh
Undang-undang masing-masing, berjalan secara independen, sesuai dengan
keterbatasan fungsinya, disertai tanggung jawab dalam menjalankan
profesionalisme yang diembannya. Keterpaduan sistem, dibutuhkan agar tidak
terjadi, persinggungan antar subsistem, sehingga tidak merugikan kepentingan
pencari keadilan yang masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia, dalam
menghadapi proses peradilan pidana, yang hingga saat ini, menjadi sesuatu yang
mahal, dan terkesan dapat direkayasa, sesuai kepentingannya.
Reformasi dalam penegakan hukum, adalah suatu upaya mengkonfirmasi ulang
model hubungan kekuasaan antara para pengemban kekuasaan pemerintahan dan
rakyat warga masyarakat sipil, dari modelnya yang otokratik ke modelnya yang
demokratik. Maka hukum dilihat sebagai sistem kontrol yang didaya gunakan oleh
para penguasa untuk menertibkan kehidupan masyarakat, dan keseputar penegakan
hukum, serta perubahan paradigmanya.[10]
Perkembangan hukum melalui
reformasi hukum, adalah suatu perkembangan ke tiga dari proses, yang terjadi,
karena perubahan kehidupan politik dan pemerintahan dari era orde baru ke era
orde reformasi, yang penuh dengan gejolak sosial dan kemasyarakatan. Reorganisasi
hukum yang berorientasi pada penataan kembali materi hukum dan proses penegakan
hukum, yang ditujukan pada seluruh produk kolonial daan peraturan
perundang-undangan nasional, yang sudah tidak relevan dengan perkembangan
kebutuhan nasional dan perlindungan HAM. Proses penataan kembali penegakan
hukum ditujukan terhadap mekanisme kerja seluruh aparatur penegak hukum. Baik
yang bersifat horizontal dan vertikal. Keduanya saling berkaitan. Sehingga
suatu produk hukum harus berkaitan dengan persyaratan filosofis, yuridis dan
sosiologis serta memiliki legitimasi sosial dan sekaligus legitimasi politik
untuk dapat berlaku secara efektif dan nyata.[11]
Dalam praktek pelaksanaan KUHAP,, dimana kerapkali terjadi tarik menarik
antara pihak penyidik kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan perkara
(pembuatan berita acara pemeriksaan), merupakan salah satu contoh pemikiran
yang bersifat pragmatis, dan masih mengendap dikalangan praktisi hukum
tersebut. Begitu pula dengan sikap hakim, pada umumnya seringkali terjadi
berlindung dibalik asas kebebasan kekuasaan kehakiman, dimana keputusan yang
dijatuhkan tidak jarang mengabaikan nota pembelaan para penasehat hukum atau
surat dakwaan pihak penuntut umum. Karenanya sistem peradilan pidana yang tulus
ikhlas, adalah suatu sistem yang sejalan dengan Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia.[12]
Pembaruan
Posisi Polisi Dalam Sistem Peradilan Pidana
Posisi kejaksaan dan POLRI di Indonesia sebenarnya masih dalam mencari
bentuk. Semula, karena hukum pidana dan hukum acara pidana Indonesia berasal
dari Belanda, maka posisi kejaksaan dan polisi sama dengan di negeri Belanda,
yaitu mengikuti sistem erofah kontinental.
Namun dengan lahirnya KUHAP, rupanya ada pergeseran secara tidak sengaja dari
kedua sistem tersebut. Terjadilah kerancuan karena pada umumnya hukum acara
pidana di dalam KUHAP masih bertumpu pada sistem erofah kontinental, namun ada bagian yang diambil dari sistem Anglo Saxon, yaitu pada prinsifnya jaksa
tidak berwenang menyidik. Tetapi monopoli penyidikan dinegara lain, tidak hanya
wewenang kepolisian, di RRC dan Thailand, bilamana polisi enggan menyidik, maka
korban dapat langsung membawanya kepengadilan.[13]
Mengamati perkembangan gagasan reformasi kepolisian, sejak pasca 1998
sampai saat ini, 2010, tetap tidak ada yang berubah mengenai semangat
mengeluarkan gagasan reformasi kepolisian. Kepolisian tetap memainkan peran
penting, bertanggung jawab memelihara perdamaian dan ketertiban, dengan
menegakan rule of law, dan
menjalankan tugas dengan kepekaan dan perhatian terhadap para anggouta
masyarakat. Kepolisian didefinisikan sebagai pasukan sipil suatu negara, yang
bertanggung jawab atas pencegahan dan pendeteksian kejahatan dan memelihara
ketertiban umum. Sebagai suatu organisasi yang profesional dan bertanggung
jawab, menerapkan gaya kepolisian yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat
setempat.[14]
Di Indonesia.Polri bertugas untuk melakukan fungsi pelayanan publik, karena
pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrem dapat
dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.
Masyarakat setiap waktu akan selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas
dari birokrat, meskipun tuntutan tersebut sering tidak sesuai dengan apa yang
di harapkan, karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini
masih bercirikan, berbelit-belit, lambat, mahal dan melelahkan.
Kecenderungan seperti itu terjadi karena masyarakat masih diposisikan
sebagai pihak yang “melayani” bukan yang dilayani. Oleh karena itu pada
dasarnya dibutuhkan suatu perubahan
dalam bidang pelayanan publik dengan mengembalikan dan mendudukkan
pelayanan dan yang dilayani pada masyarakat umum kadang dibalik menjadi
pelayanan masyarakat terhadap negara, meskipun negara berdiri sesungguhnya
adalah untuk kepentingan masyarakat yang mendirikannnya. Artinya, birokrat
sesungguhnya haruslah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.[15]
Tujuan negara diabad modern, dapat diketahui, pada setiap pemerintahan suatu negara cenderung
menerapkan konsep modern yang disebut reinventing
gobernment, sebagaimana yang dikemukan oleh Osborne dan Gabler, yakni;[16]
1. Pemerintah Katalis. Fokus pada pemberian pengarahan bukan
produksi pelayanan publik.
2. Pemerintah milik masyarakat; memberi wewenang pada
masyarakat, daripada melayani.
3. Pemerintah yang kompetitif; menyuntikan semangat
kompetisi dalam pemberian pelayanan publik.
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi
yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
5. Pemerintah yang berorientasi hasil; membiayai hasil bukan
masukan.
6. Pemerintahan yang berorientasi pada pelanggan; yakni
pelayanan yang diberikan adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukanlah
birokrat.
7. Pemerintah wirausaha, yang mampu memberikan pendapatan,
bukan hanya sekedar membelanjakannya.
8. Pemerintahan yang antisipatif, yaitu berupaya untuk
mencegah daripada mengobati.
9. Pemerintahan desentralisasi; menuju partisipatif dan tim
kerja.
10. Pemerintahan yang berorientasi pada mekanisme pasar yang
mengadakan perubahan, dan bukan memakai mekanisme administrasi.
Pemerintahan milik masyarakat akan tercipta jika pemerintah dapat
mendefinisikan ulang tugas dan fungsi mereka. Patut diduga bahwa banyak
pemerintah yang dalam hal ini para birokrat tidak memahami secara pasti atau
setidaknya tidak mengerti filosofi pelayanan yang akan diberikannya sehingga
pelayanan publik yang dimimpikan oleh masyarakat jauh dari kenyataan yang
mereka alami. Publik dipahami sebagai
sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berpikir, perasaan, harapan,
sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkna nilai-nilai norma yang ada.
Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
sejumlah manusia yang memiliki kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan
atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terkait pada
suatu produk secara fisik.
Menurut Keputusana menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Kepmenpan) No.63/
KEP/ M.PAN/ 7/ 2003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan menerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pelayanan publik ini dibagi dalam kelompok-kelompok :
1. Kelompok pelayanan administratif, yaitu pelayanan yang
menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik,
misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau
penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara
lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte kelahiran, Akte
Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Izin Mengemudi (SIM),
Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanaha dan sebagainnya;
2. Kelompok pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang
menghasikan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya
jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya;
3. Kelompok Pelayanan jasa, yaitu pelayanan yang
menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya
pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos dan
sebagainya.
Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan
masyarakat oleh penyelenggara negara, dalam hal ini negara didirikan oleh
publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah
(birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan ini harus
dapat dipahami bukanlah kebutuhan secara ndividual akan tetapi berbagai
kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat.[17]
Polisi, sebagai aparat penegak hukum terdepan dengan segala aktivitas yang
terjadi di masyarakat, khususnya mengenai masalah kejahatan yang terjadi dalam
masyarakat, kesan atau citra masyarakat terhadap kepolisian, khususnya petugas
polisi, hampir di semua daerah di Indonesia tetap masih belum membaik. Keadaan
ini tampaknya akan selamanya demikian. Sekalipun upaya pihak kepolisian untuk
memperbaiki citra negatif terus ditingkatkan, upaya tersebut tetap tidak akan
mengakibatkan citra terhadap polisi menjadi positif. Antara citra negatif
tentang polisi dan upaya memperbaiki citra dimaksud layaknya sebagai dua garis
sejajar yang tidak akan pernah bertemu, semakin negatif citra terhadap polisi,
semakin meningkat pula upaya mempositifkan citra dimaksud. Hal ini terjadi
ditenggarai karena beberapa hal yakni sebagai berikut;[18]
1. Polisi adalah petugas terdekat dan terdepan terhadap
kejahatan. Selain masyarakat, polisi adalah pihak pertama yang akan menerima
laporan tentang kejahatan atau mengetahui adanya kejahatan.
2. Kedudukan peran dan tugas serta tanggung jawabnya, berada
di tengah-tengah antara pelaku kejahatan, dan masyarakat. Kedududkan ini sangat
rawan dengan kegagalan yang ada di dalam masyarakat. Kedududkannya sangat rawan
sehingga menjadi sasaran kritik dan celaan masyarakat. Keberhasilan
menanggulangi kejahatan adalah suatu ancaman serius, baik fisik maupun fisikis,
terhadap polisi dan keluarganya.
3. Kecanggihan perkembangan tehnologi, selain memberikan
manfaat dan kesejahteraan masyarakat, juga telah terbukti merupakan prakondisi
bagi peningkatan modus operandi kejahatan yang berkembang dimasyarakat. Maka
kecepatan itu, tidak diikuti oleh polisi, baik peningkatan di bidang Sofware,hardwere, menyangkut prasarana,
sarana pisik kepolisian.
Adapun tugas dan peran kepolisian, yakni memberikan dan memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat. Menegakan hukum, dan memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.Terhadap tugas dan fungsi utama
kepolisian itulah, maka dari masa kemasa, telah menjadi perbincangan di
berbagai kalangan, yang terus menerus berusaha untuk menjadikan pencitraan
kepolisian lebih baik, dikarenakan kecintaan terhadap lembaga kepolisian,
sehingga fungsi kepolisian sebagai aparat penegak hukum dapat berjalan secara
ideal, dan pragmatis, guna mencapai tugas utamanya. Wajah kepolisian adalah
pantulan dari cermin wajah masyarakat
indonesia.
Tujuan reformasi adalah mengubah citra polisi dari militeristik ke polisi
sipil yang demokratis, profesional dan akuntabel dalam pelaksanaanya berpacu
pada tugas rutin. Harapannya reformasi yang dilakukan dapat mengubah wajah kepolisian
sesuai dengan citra negatif, yang melekat pada kepolisian, tidak mungkin
ditutupi dengan cara mengejar prestasi seperti dalam memngungkap kasus
terorisme, narkotika, illegal logging, korupsi, illegal minning dan money
loundering, tetapi harus melalui perubahan kelembagaan secara serius. Kondisi
kelembagaan di kepolisian tidak mendukung reformasi, karena birokrasinya masih
bersemayam wujudnya yang tambun,, malas, lambat tidak produktif dan korup. Hal
ini perlu direformasi agar penegakan hukum jauh lebih efektif, efisien,
transparan dan akuntabel. Sehingga memerlukan perubahan kultur sumber daya
manusia dan kelembagaan.Arah reformasi birokrasi secara umum, berdasarkan
pedoman yang dikeluarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara tahun 2008,
yakni dibidang kelembagaan, budaya organisasi, Ketatalaksanaan,
Regulasi-deregulasi birokrasi, sumber daya manusia.[19]
Peran kepolisian, secara normatif
diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan
pemahaman penyelidikan.[20]
Maka dapat diketahui bahwa penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri
sendiri, melainkan, merupakan sub fungsi dan bagian yang tidak terpisahkan dari
fungsi penyelidikan yang dilakukan di lingkungan POLRI dikenal sebagai kegiatan
Reserse, yaitu suatu metode atau cara, kegiatan yang mendahului tindakan upaya
paksa, yang dilakukan dalam penyelidikan, yakni suatu rangkaian, penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemanggilan dan lain-lain. Sebelum
dilakukan tindakan penyidikan, maka perlu dilakukan tindakan penyelidikan oleh
pejabat penyelidik, dengan tujuan untuk mengumpulkan bukti permulaan yang
cukup, agar dapat dilakukan tindak lanjut, berupa penyidikan.
Dengan dikenalnya upaya tindakan pengusutan (Opsporing), penyelidikan dan penyidikan, maksudnya adalah untuk
mencegah, terjadinya upaya penegakan hukum secara tergesa-gesa dan kurang
berhati-hati atau kurang cermat, yang seringkali petugas penegak hukum
tergelincir, dalam tindakan yang kurang menghargai harkat dan martabat manusia,
seperti halnya pada masa-masa yang lalu. Melalui serangkaian paksaan,
pemerasan, penyiksaan, yang merupakan tindakan yang sangat sewenang-wenang.[21]
Suatu tindakan dari penyidik yang selalu mendapatkan sorotan, adalah
penangkapan, sebagaimana ditentukan dalam KUHAP.[22]
Oleh karenanya sangat penting untuk mengetahui makna dari pasal-pasal yang
menentukan tentang penangkapan, berdasarkan bukti permulaan yang cukup, yang
selalu menimbulkan penafsiran dalam prakteknya. Persyaratan penangkapan yang
ditentukan oleh KUHAP yakni;
1. Tindakan penangkapan dilakukan untuk kepentingan
penyidikan/ penuntutan/ peradilan (pasal 1 butir 20);
2. Perintah penangkapan terhadap tersangka yang diduga keras
melakukan tindak pidana, baru dapat dilakukan apabila penyidik, memiliki alat
bukti permulaan yang cukup (pasal 1 butir 20 jo. Pasal 17)
3. Pelaksanaan penangkapan dilakukan dengan surat perintah
penangkapan, yang ditandatangani oleh kepala kesatuan /instansi
(KAPOLWIL,KAPOLRES atau WAKAPOLSEK selaku penyidik (pasal 1 butir 20 ,jo pasal
16 (2). Apabila yang melaksanakan penagkapan adalah penyidik/pembantu, maka
petugasnya cukup memberikan satu lembar surat perintah penangkapan kepada
tersangka dan satu lembar kepada keluarga tersangka yang ditangkap (pasal 12).
Jika pelaksana penangkapan dilakukan oleh penyelidik atas perintah
penyidik/penyidik pembantu, maka petugas tersebut selain memberikan surat
perintah penangkapan harus pula dapat menunjukan surat perintah tugas.
4. Surat perintah penagkapan berisi; pertimbangan dan dasar
hukum tindakan penagkapan, nama-nama petugas, pangkat, nrp, jabatan, indentitas
tersangka yang ditangkap, uraian singkat tentang tindak pidana yang
dipersangkakan, tempat/kantor dimana tersangka akan diperiksa, penagkapan(pasal
18 (1), jangka waktu berlakunya surat perintah penangkapan (pasal 19(1)
5. Setiap kali melaksanakana SPRIN penangkapan petugas
pelaksana membuat berita acara penangkapan (pasal 75);
6. Selain untuk kepentingan penyidikan, penyidik /penyidik
pembantu berwenang melakukan tindakan penangkapan terhadap tersangka /terdakwa
atas perintah Penuntut Umum untuk kepentinganpenuntutan atau atas permintaan
Hakim, untuk kepentingan Peradilan atau untuk kepentingan instansi /penyidik
lain atau Interpol (pasal 7(1) huruf j, jo pasal 1 butir 20);
7. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran, meskipun tidak
dapat ditangkap, akan tetapi apabila sudah dipanggil secara sah dua kali
berturut-turut tidak mau memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah, dapat ditangkap oleh Penyidik (pasal 19(2) KUHAP)
Tindakan Penahanan, adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat
tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam undang undang ini,(pasal 20 hingga 31
KUHAP). Dasar hukum penahanan, selain atas dugaan keras melakukan tindakan kejahatan,
juga didasarkan oleh alat bukti yang cukup, disertai persyaratan lainnya;
yakni;
1. Dasar hukum /dasar objektif. yakni tindakan penahanan
yang dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana
dan atau percobaan, maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, atau tindakan pidana sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 21(4) huruf b KUHAP; berdasarkan hal tersebut, maka
tidak setiap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana dapat ditahan,
apabila tindak pidana yang dilakukan tersebut di luar ketentuan pasal 21 (4).;
2. Dasar kepentingan /dasar subjektif, selain didasarkan
pada ketentuan hukum yang berlakunya sebagai dasar objektif, maka tindakan
penahanan terhadap tersangka/terdakwa, juga didasarkan pada kepentingan, yaitu
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, serta didasarkan pada keadaan, kekhawatiran, bahwa
tersangka/terdakwa, melarikan diri, merusak atau memghilangkan barang bukti dan
atau mengulangi tindak pidana (pasal 21(1).;
3. Dimaksud dengan bukti yang cukup sebagaimana diatur dakam
pasal 183 samapai dengan 189 KUHAP, yakni sekurangnya dua alat bukti yang sah,
yang bersesuaian, yakni; Keterangan, saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
keterangan tersangka;
4. Surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik/
penuntut umum dan penetapan perintah penahanan yang dikeluarkan/ ditandatangani
oleh hakim berisi; pertimbangan dasar subjektif, dan dasar objektif, indentitas
tersangka /terdakwa, alasan penahanan dengan ursisn singkatnya, jangka
waktunya;Adapun jenis penahanan meliputi; panahanan Rumah Tahanan Negara (Rutan); penahanan
rumah, penahanan kota.
Peralihan tanggung jawab yuridis terhadap Penahanan, merupakan babak nyata,
hubungan kerja antara Penyidikan dan Penuntutan, dengan beberapa model, yang
secara limitatif ditentukan oleh KUHAP. Melalui perkembangan ditingkat
penyidikan, untuk selanjutnya ke tingkat penuntutan.[23]
Pada tahap inilah ditenggarai, masih lemahnya kordinasi, dan bahkan
menimbulkan suatu ragam penyalahgunaan wewenang polisi dalam penyidikan dan
jaksa dalam penuntutan,yakni pembiaran terhadap tugas dugaan tindak pidana.
Menutup atau memproses perkara karena kolusi, rekayasa barang bukti, intimidasi
secara psikis maupun fisik, salah tangkap dan asal tangkap, penggunaan wewenang
menahan untuk memeras korban atau keluarganya, penyimpangan prosudur
penangguhan penahanan. Pada tahap penuntutan oleh jaksa, yakni tidak
melimpahkan perkara ke pengadilan, melakukan pemerasan, melepaskan tahanan
dengan tujuan mendapatkan imbalan.
Reformasi Lembaga Kejaksaan.
Kedudukan kejaksaan
sebagai suatu lembaga pemerintahan dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan
melakukan, penuntutan secara merdeka, maka terdapat kontradiksi dalam
pengaturannya (dual obligation).
Dikatakan demikian, adalah mustahil kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas,
dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan mungkin juga
pengaruh kekuasaan lainnya, karena kedudukannya kejaksaan berada di bawah
kekuasaan eksekutif. Kedudukan Jaksa Agung, sebagai pemimpin dan penanggung
jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan
wewenang kejaksaan, dan juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam
bidang penuntutan, adalah sebagai Pejabat Negara yang diangkat dan
diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam konteks Ilmu
Manajemen Pemerintahan, Jaksa Agung, sebagai bawahan Presiden, harus mampu
melakukan tiga hal, yaitu:[24]
1. menjabarkan instruksi, petunjuk
dan berbagai bentuk kebijakan lainnya dari Presiden dalam tugas dan wewenangnya
dalam bidang penegakkan hukum;
2. melaksanakan instruksi, petunjuk,
dan berbagai kebijakan Presiden yang telah dijabarkan tersebut; dan
3. mengamankan instruksi, petunjuk
dan berbagai kebijakan presiden yang sementara dan telah dilaksanakan
Dedikasi, loyalitas, kredibilitas Jaksa Agung di hadapan Presiden di ukur
dari sejauh mana Jaksa Agung mampu melakukan ketiga hal tersebut. Oleh
karenanya Jaksa Agung harus berusaha melakukan ketiga itu untuk menunjukkan
dedikasi, loyalitas, dan kredibilitas
sebagai pengemban kekuasaan negara di bidang penegakan hukum. Di sinilah
letak kecenderungan ketidakmerdekaan kejaksaan melakukan fungsi, tugas dan
wewenangnya. Implikasinya adalah keadilan, kepastian hukum, dan kegunaan
(kemanfaatan) hukum yang menjadi cita hukum bangsa Indonesia, sekaligus yang
menjadi tujuan hukum mestinya harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, hanya menjadi cita-cita dan jauh dari kenyataan.
Oleh karenanya kejaksaan harus diberi peran dan tanggung jawabnya secara
profesional, sehingga walaupun merupakan bagian dari pemerintahan, tetapi lepas
dan bebas dari campur tangan pemerintahan. Kepala Kejaksaan Agung, sebagai
refresentasi dari pemerintahan, harus dibebaskan dari campur tangan politik,
serta tarik menarik pengaruh politik. Agar fungsi dan tugas serta peran
utamanya yang ditentukan secara limitatif dalam perundang undangan dapat
dijalankan secara wajar dan rasional.[25]
Kejaksaan Republik Indonesia, selaku institusi penegak hukum, telah
berusaha meminimalisir problematika penegakan hukum, salah satunya dengan cara
melakukan pembenahan, baik melalui program pembaharuan maupun melalui reformasi
birokrasi, baik dalam koridor struktural maupun fungsional yang diarahkan
sejalan dengan perkembangan hukum, baik domestik maupun internasional, serta
tuntutan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum. Kejaksaan dalam
penegakan hukum, senantiasa mengacu pada tugas dan wewenang yang digariskan
undang undang sebagai dominus litis,
karena satu-satunya institusi yang menetapkan kebijakan penuntutan (single presecution), maka kejaksaan
merupakan gerbang masuknya sistem peradilan pidana, karena hanya jaksa yang
menentukan apakah suatu perkara akan dilimpahkan pada tahap persidangan atau
tidak. Posisi ini menunjukan kejaksaan sebagai filter penegakan hukum.
Kejaksaan dituntut untuk menjaga secara profesional dan proporsional, menjaga
kordinasi antar sub-sub sistem peradilan pidana, agar setiap sub sistem dapat
bergerak sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan (integrated crimanal justice sistem).[26]
Keterkaitan dengan reformasi birokrasi, maka salah satunya dapat diikuti,
dalam teori perilaku birokrasi yang berorientasi pada hukum, selain taat pada
nilai nilai moral masyarakat, juga pengemban amanat rakyat. Dengan dedikasi dan
loyalitas yang tinggi, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, tidak
mencari kesempatan. Segalanya berdasarkan atas hukum, sehingga kebijakan publik
mempunyai daya ikat yang kuat terhadap masyarakat secara keseluruhan. Karenanya
dimensi perilaku birokrasi yang berorientasi pada hukum meliputi; Kedisiplinan
aparatur birokrasi; Bertindak sesuai prosudur pelaksanaan program; Transparan
dalam pelaksanaan program;; Konsistensi pengawasan rutin terhadap jalannya
program.[27] Dalam menjaga hubungan
penuntut umum dan penyidikan yang dikordinasikan oleh kepolisian itulah,
menjadi suatu masalah kordinasi, yang selalu menjadi perhatian. Sehubungan
dengan penegakan hukum maka hubungan kejaksaan dan kepolisian harus segera
lebih diharmoniskan, dan diserasikan secara tuntas dengan asas hukum yang
berlaku secara global. Hal ini segera dapat dipecahkan dengan Hukum acara
pidana baru yang lebih modern.[28].
Sebagai institusi penuntutan,[29],
membuat surat dakwaan[30],
maka wewenang penuntut umum sebagaimana yang ditentukan secara limitatif dalam
KUHAP, yakni; menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik,
mengadakan pra penuntutan, apabila terdapat kekurangan dari penyidikan, dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan, memberikan perpanjangan penahanan,
melakukan penahanan dan atau mengubah status tahanan, setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik, membuat surat dakwaan, melimpahkan perkara ke
pengadilan, menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu, perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.
Melakukan penuntutan, menutup
perkara demi kepentingan hukum, mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas
dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang undang ini,
melaksanakan penetapan hakim. Adapun hak penuntut umum, untuk melakukan upaya
hukum, adalah suatu kontrol terhadap Hakim yang memutuskan perkara pidana, demi
kepentingan hukum dan keadilan. Dalam praktek bahwa bahwa penuntut umum dapat
melakukan upaya hukum dalam putusan
bebas, walaupun KUHAP telah mengaturnya, dan tidak diperkenankan dalam hal
tersebut.
Tetapi terhadap putusan yang bebas tidak murni (verkapte vrijspraak/niet zuivere vrijspraak). Telah diputuskan
dalam yurisprundensi, yakni Putusan MARI, regno;257K/Pid 1983, 15 desember
1983; regno.892 K/Pid 1983, 4 desember 1984. Regno; 532 K/Pid/1984, 10 Januari
1985.regno.; 449 K/Pid 1984, 2 september 1988. Regno. 41 K/KV/ 1968 7 juni
1969. Terhadap peninjauan kembali sebagaimana yang diatur dalam pasal 263
KUHAP. Pelaksanaannya masih menimbulkan hal hal yang kontraversial dalam
prakteknya, sebagaimana pendapat yang berkembang dari pakar hukum pidana maupun
praktisi, yang berpendapat, bahwa yang dapat mengajukan PK adalah hanya
terpidana atau ahli warisnya.Sedangkan penuntut umum tidak berhak.[31]
Advokat sebagai sarana Perlindungan Hak Asasi Manusia.
Salah satu asas yang penting,
bahwa seseorang yang terkena perkara, mempunyai hak untuk memperoleh bantuan
hukum, karena perlunya perlindungan yang sewajarnya , keterkaitannya dengan
seseorang tersangka wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya, telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.[32]
Bantuan hukum dalam
pengertian yang paling luas dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu
golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum.[33]
Penasehat hukum, adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh
atau berdasarkan undang undang, untuk memberikan bantuan hukum. Sehingga
penasehat hukum hanya dapat diberikan dengan persyaratan perundang undangan.
Advokat atau pengacara (Advocaat en
procrureoor), berasal dari warisan kolonial Belanda yang dikenal dengan
singkatan RO ( reglement op de rechteerlijke Organisatie en het beleid der
justice in Indonesia.). Staatsblad 1847 No. 23 jos 1848[34].
Pemberian bantuan hukum
bagi orang-orang yang tidak mampu samuanya dengan profesi hukum itu sendiri.
Hal ini dilakukan atas dasar amal dengan tujuan utama untuk memberikan kepada
orang-orang tak mampu kesempatan yang sama dalam usaha mereka untuk mencapai
apa yang dikehendakinya melalui jalan hukum. Keberadaan dan pelaksanaan program
bantuan hukum, sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan dengan sistem sosial yang
ada, dalam prakteknya ternyata turut
mewarnai dalam menentukan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat, khususnya
masyarakat yang tergolong miskin dan tidak mampu, demikian halnya, hukum yang
diharapkan dapat memberikan pengaturan secara adil.[35]
Bantuan hukum, berasal
dari istilah “Legal Asisstance dan Legal Aid”, biasanya digunakan untuk
pengertian bantuan hukum dalam arti sempit, berupa pemberian jasa di bidang
hukum kepada orang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma, yang
dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang
tidak mampu (miskin). Sedangkan “Legal
Asisstance” adalah istilah mereka yang mampu, yang menggunakan honorium.
dalam prakteknya keduanya mempunyai orientasi yang berbeda satu sama lainnya. Pelayanan hukum akan mencakupi
kegiatan pemberian bantuan hukum. Bentuk pemberian layanan oleh kaum profesi
hukum kepada khalayak dimasyarakat dengan maksud untuk menjamin agar tidak ada
seorangpun di dalam masyarakat yang terampas haknya untuk memperoleh
nasehat-nasehat hukum yang diperlukan hanya oleh karena sebab tidak dimilikinya
sumber daya finansil yang cukup.[36]
Profesi advokat dalam
Undang Undang Advokat ditegaskan sebagai penegak hukum, sehingga memberikan
ruang dalam sistem peradilan pidana, yang berkecenderungan monopolistik. Dalam
Undang Undang yang digunakan menurujuk pada bantuan hukum, ialah advokat, dan
bukanlah penasehat hukum ataupun pengacara. Sebagai penegak hukum, advokat
tugasnya ialah memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Dengan demikian maka tugasnya sejajar dengan penegak hukum lainnya, seperti
penyidik, penuntut umum dan hakim. Hak dari advokat adalah;
1. Memperoleh informasi, data dan dokumen lainnya, baik dari
instansi pemerintah maupun pihak lainnya yang berkaitan dengan kepentingan
menjalankan profesinya.
2. Atas hubungan kerahasiaan hubungan dengan kliennya.
3. Perlindungan atas berkas dan dokumen terhadap penyitaan
atau pemeriksaan.
4. Perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi
elektronik.
5. Bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan, dalam
membela perkara di dalam sidang pengadilan dan tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana selama dilakukan dengan itikad baik.
Pada kenyataannya advokat sebagai penegak
hukum, masih belum seharusnya, karena masih terdapatnya keterbatasan.[37]
Pada awalnya dalam penegakan hukum pidana, yang bekerja dikenal sebagai jalinan
sistem peradilan pidana, yakni Polisi, Jaksa, dan Hakim, tetapi tiap masyarakat
mengenal lembaga lembaga lainnya, seperti sheriff,
marshal di Amerika serikat, advokat dimasukan dalam sistem peradilan pidana
yang mencakup tiga komponen yakni; Penegak hukum, Proses peradilan ( hakim,
jaksa dan advokat). Pemasyarakatan (petugas lembaga pemasyarakatan, petugas pelepasan bersyarat, dan petugas
pengawas hukuman percobaan). Di Indonesia lembaga tersebut dimasukkan dalam
suatu lembaga penegakan hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga
advokat dapat dikatakan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana di
Indonesia.[38] Tentang bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat barat
sejak jaman romawi, pada waktu itu, bantuan hukum berada pada bidang moral dan
lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia khususnya untuk menolong
orang tanpa imbalan dan honorium, serta didorong oleh motivasi untuk
mendapatkan pengaruh dalam masyarakat. Keadaan berubah pada abad pertengahan di
mana bantuan hukum diberikan karena adanya sikap dermawan (Charity) sekelompok elit gereja terhadap pengikutnya. Bantuan hukum
pada masa itu belum ada konsep yang jelas, bantuan hukum belum ditafsirkan
sebagai hak yang memang harus diterima oleh semua orang. Bantuan hukum pada masa itu lebih bergantung kepada konsep Patron . Bermakna sebagai suri tauladan,
seorang dalam masyarakat. Setelah meletusnya revolusi Perancis bantuan hukum
menjadi bagian dari kegiatan dari para pengacara atau advokat, untuk memperluas
konsep bantuan dengan makna lebih dipertegas karena pemberian bantuan hukum
seolah-olah diberikan atas hak asasi manusia, dan merupakan pekerjaan utama
mereka dengan model komitmen profesi individual.[39].
Penegakan hukum, yang ideal, dengan melibatkan Advokat sebagai bagian dari
sistem peradilan pidana, maka akan berpulang pada sisi manusianya yang, menjalankan
penegakkannya secara lebih konkrit, dengan menghilangkan streotifis yang
kosong. Advokat telah hadir dan diakui dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
walaupun sisi gelap penegakan hukum, telah menarik profesi advokat ikut
terimbas oleh citra yang negatifnya.Posisi advokat sebagai bagian dari
penegakkan hukum, telah mendapatkan pengakuan dalam perundang undangan, tetapi,
sesungguhnya secara nyata, posisi advokat tetap mewakili tersangka, berdasarkan
pada kontrak yang bersifat keperdataan. Sehingga berlawanan dengan penuntut
umum, yang mewakili negara, dengan segala kepentingan hukumnya.
Epilog
Penegakan hukum pidana, selalu menuai
permasalahan yang belum juga dapat dipecahkan, hal ini berkaitan dengan sosial
budaya, dan pengaruh liberalisme, dan
pandangan masyarakat yang sangat materialistik,
sehingga pendekatan aparatur penegakan hukum,cenderung terkontiminasi dengan
budaya buruk, berakibat tidak dapatnya dilaksanakan seluruh komponen hukum dan
perundang undangan yang dibuat, sekalipun sudah sangat maju dan modern.
Penegakan hukum pidana, hingga sekarang, masih menuai permasalahan, dengan
suatu pendekatan keadilan, dan bahkan wacana pemberlakuan kearifan lokal, telah
mengalami kemajuan, dalam perspektif wacana.
Kesemuanya memfokuskan pada perbaikan
sistem peradilan pidana. Meliputi sub sistem penyidikan, penuntutan, peradilan,
advokat dan pemasyarakatan. Seluruh rangkaian sistem peradilan pidana, telah
berkembang dalam criminal justice science, yang tujuan
utamanya adalah, untuk suatu pencapaian keadilan. Sub sistem peradilan pidana
saling berkaitan, dan diatur oleh hukum dan perundang undangan, Sistem
digerakkan oleh hukum, dan bukan berdasarkan pada kekuasaan. Maka sangat
diperlukan suatu pengawasan, agar tidak terjadi kewenangan yang berlebihan dari
para penegak hukum bahkan menimbulkan suatu sikap korupsi lanjutan. Dalam
prakteknya, jalinan tugas profesional lembaga kepolisian dan kejaksaan,asih
terdapat pragmentasi, karena tarik menarik,sesuai dengan kepentingannya,
menimbulkan permasalahan yang belum mencapai pemecahannya. Karenanya dimasa
depan sebagai suatu pembaharuan hukum pidana, maka lembaga kepolisian ini,
diupayakan untuk berada di bawah Kementerian dalam negeri, sehingga lebih mudah
untuk mengawasinya dalam rangka kinerja birokrasinya. Demikian juga hakim
pidana, harus memiliki wawasan yang luas tentang keadilan yang diterapkan dalam
putusannya, yang tidak hanya berlindung pada ketentuan hukum dan perundang
undangan semata-mata.
Isyu yang sangat sensitif di era
reformasi, yang terus dikawal demi perbaikan dan pembaharuan hukum pidana
secara terus menerus. Setiap bangsa yang mempunyai
kewajiban moral, untuk menorehkan risalah peradabannya. Adalah bangsa yang
mampu menjadi saksi sejarah bagi eksistensi dan perjalanan umat manusia. Hukum
yang berlaku dalam suatu komonitas sosial suatu bangsa, menjadi guru yang
memberi pelajaran tentang interaksi antar insani, dan sekaligus memberi arahan
dinamika sosial bangsa tersebut. Pada kondisi terkini, peradilan pidana sangat memperihatinkan, penuh dengan
pemberitaan yang negatif, carut marut, dan kritikan tajam terus dilontarkan.
Semua itu, telah memberikan kesadaran bagi para ahli hukum dan politik, untuk
memperbaikinya, dengan suatu semangat hukum baru, yang modern sekaligus
humanistis. Perlahan meninggalkan sikap yang kuno dari sistem peradilan pidana
Indonesia, yang masih menyisakan pengaruh hukum kolonial, walaupun Hukum Pidana
Formiil, hukum acara pidananya, telah bersifat sangat nasional, tetapi
prakteknya, masih terjadi persoalan besar yang belum terpecahkan hingga
sekarang. Pengadilan pidana seakan-akan belum atau tidak berdaya dalam
mengatasi permasalahan, termasuk pergulatan kemanusiaan dalam mencapai dan
memperjuangkan keadilan.
Hukum pidana dan hukum acara pidananya, diperuntukan bagi
perlindungan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Fungsi
hukum acara pidana, adalah membatasi
kekuasaan negara, dalam bertindak terhadap warga masyarakat yang terlibat dalam
proses peradilan pidana. Berfungsi untuk melindungi para tersangka, terdakwa,
terhadap tindakan aparat negara, dalam menjalankan fungsi penegakan hukum.
Peradilan pidana, adalah tempat untuk menguji dan menegakkan hak hak asasi
manusia, yang dilindungi dengan hukum pidana dan hukum acara pidana. Adapun
tentang kompleksitas peradilan pidana, bukanlah sesuatu yang mudah untuk
dipahami oleh masyarakat awam. lembaga peradilan, masih menjadi andalan masyarakat, bahkan menjadi
tumpuan dan harapan terakhir bagi mereka yang mencari keadilan melalui hukum.
Agar mampu melihat menilai, serta memutuskan. Apakah benar peradilan telah
menjalankan misinya sebagai institusi keadilan bagi semua.
Pengadilan sebagai jantung hukum moderen telah dihinggapi
oleh penyakit hukum yang bersifat teknologis, sehingga pengadilan dalam
memecahkan perkara lebih berkonsentrasi pada hal hal yang sifatnya teknis dan
menjauh dari wacana moral. Lembaga kepolisian, kejaksaan, pemasyarakatan,
advokat, adalah suatu tali temali, dari perubahan sudut pandang, paradigma, dan
pendekatan yang lebih integratif, lebih mendekat, dan tidak semakin jauh
pancarannya, dalam memandang manusia sebagai objek dalam hukum pidana. Manusia
dengan segala seginya, telah mendapatkan perhatian dari berbagai sudutg
pandang, sehingga pergulatan pemikiran dalam pemidanaan, dapat diarahkan secara
adil, rasional dan sistimatis. Pembaharuan hukum terus dilakukan, dengan suatu
tata kelola yang baik melalui, serangkaian kebijakan kriminal yang terpadu,
rasional, berkeadilan secara universal, berdemensi keadilan kearifan lokal yang
humanistis. Pelaksanaan peradilan yang baik, logis, wajar, adalah dambaan suatu
bangsa yang beradab, maka Hukum pidana dan hukum acara pidana Indonesia, yang
sekarang berlaku seyogyanya dilakukan perobahan yang mendasar, seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, bahkan kondisi kolonialisme bidang
hukum pidana, yang belum juga mendapatkan perhatian.
*********
Curicullum Vitae
Dr Syaiful Bakhri. S.H.,MH. Dosen Profesional bersertifikat. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Lahir 20 Juli 1962
di Kotabaru Kalimantan
Selatan. Pendidikan terakhir Doktor dalam Ilmu Hukum. Jurusan hukum pidana dan
sistem peradilan pidana
pada Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta (2009). Pengampu mata kuliah hukum pidana formiil
dan materiil. Wakil Ketua Majelis Hukum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode
2010-2015. Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah 2012-2016.
[1] Anthon
F Susanto. Wajah Peradilan Kita,
Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas
Peradilan Pidana. (Bandung; PT. Refika Aditama, 2004) hlm 74
[2] Barda
Nawawi Arief.Reformasi Sistem Peradilan
(Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia. Dalam Bunga Rampai Potret Penegakan
Hukum Di Indonesia. (Jakarta; Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2009) hlm
181-183.
[6] H.M.A.Kuffal.
Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum.
(Malang; Universitas Muhammadiyah Malang Press, 2004) hlm 1-5.
[8]Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan
Pidana Kontemporer.Op cit, hlm 16-18.
[9] Rusli
Muhammad. Kemandirian Pengadilan
Indonesia. (Yogyakarta; FH, UII, Press, 2009) hlm 142-143.
[10] Soetandyo
Wignjosoebroto. Penegakan Hukum Di Era
Reformasi. Dalam Bunga Rampai;
Potret Pengakan Hukum di Indonesia. (Jakarta; Komisi Yudisial Republik Indonesia,
2009) hlm 231.
[11] Romli
Atmasasmita. Reformasi Hukum dan
Perlindungan HAM Dalam Konteks Penyususnan Peraturan Perundang Undangan Di
Indonesia. Dalam Reformasi Hukum di Indonesia Sebuah Keniscayaan.(Jakarta;
Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2000) hlm 5-7.
[12]Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan
Pidana Kontemporer.Op cit, hlm 19-20
[13] Andi
Hamzah. Hubungan Wewenang Kejaksaan dan
POLRI Dalam Penyidikan. Dalam Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan
Hukum Nasional.(Jakarta;Tim Pakar Hukum, Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002)
[14] Komisi
Hukum Nasional RI. Evaluasi Terhadap Pelaksanaan Reformasi
Kepolisian. Op cit, hlm 17-18. UU
No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, kepolisian ddidefinisikan sebagai segala
hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan
peraturan perundang undangan. Polisi didefinisikan juga sebagai pegawai negeri
pada kepolisian negara republik indonesia.
[18]Romli Atmasasmita.Teori dan Kapita
Selekta Kriminologi.(Bandung; Refika Aditama, 2005) hlm 117-118,
[19] Ibid.
[20] KUHAP, Pasal I (5), penyelidikan
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa, yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya, dilakukan penyelidikan menurut tata cara yang diatur dalam undang
undang.
[22] KUHAP.
Pasal 1 butir 20. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa, apabila terdapat cukup bukti
guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan., dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam UU ini. Pasal 17. Menentukan bahwa
perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang dduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
[23] KUHAP Pasal 8(3) huruf b. Menyatakan, bahwa dalam hal penyidikan
dianggap sudah selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti kepada Penuntut Umum.
[25] Marwan
Effendy. Peraqn Kejaksaan Agung Dalam
Membangun Sistem Peradilan dan Penegakan Hukum. Dalam Bunga Rampai;
Penegakan Hukum di Indonesia. Op cit,
hlm 279..
[27] Ahmad
Soemargono. Reformasi Birokrasi Menuju
Pemerintahan Yang Bersih.Telaah Kritis Terhadap Perjalanan Birokrasi Di
Indonesia. (Jakarta;PKSPP(Pusat Kjajian Strategi Politik dan Pemerintan,
2009) hlm 185-189.
[28] Andi Hamzah. Hubungan Wewenang Kejaksaan dan POLRI Dalam
Penyidikan. Dalam Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum Nasional.Opcit, halm 8.
[29] KUHAP,
Pasal 1 butir 7. Penuntutan adalah tindakan penuntu umum, untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim di sidang pengadilan.
[30] Surat dakwaan, adalah surat yang berisi rumusan tindak pidana yang
didakwakan terhadap terdakwa berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil
penyidikan dan merupakan dasar pemeriksaan di depan sidang pengadilan.(pasal
143,182(4) dan pts MARI.No. 68/k/kr/1973, 16 desember 1976)
[32] H.M.A.Kuffal. Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum. Op
cit, hlm 157. Bantuan hukum adalah pelayanan hukum (legal service), yang diberikan oleh penasehat hukum dalam
melakukan perlindungan hukum dan pembelaan terhadap hak asasi manusia, sejak
ditangkap, hingga putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
[33] Adnan
buyung Nasution, Bantuan Hukum di
Indonesia. (Jakarta; LP3ES, 1988), hlm: 8-9. upaya ini mempunyai tiga aspek
yang saling berkaitan, yaitu aspek perumusan aturan-aturan hukum, aspek
pengawasan terhadap mekanisme untuk menjaga aturan itu ditaati, dan aspek
pendidikan masyarakat agar aturan-aturan itu diahayati.
[35] Yesmil
Anwar dan Adang. Sistem Peradilan Pidana.
Op cit, hlm 245-246. Bantuan hukum
diatur oleh KUHAP, pasal 56, diwajibkan untuk didampingi penaeehat hukum, bagi
tersangka yang didakwa dengan ancaman pidana pidana mati, ancaman pidana
penjara 15 tahun, atau mereka yang tidak mampu, yang diancam pidana 5 tahun
atau lebih, yang kesemuanya tidak mempunyai penasehat hukum tersendiri.
[36] Ibid, hlm 250. pemberian bantuan hukum,untuk menekankan tuntutan agar sesuatu
hak yang telah diakuinya oleh hukum,dihormati, yang menyangkut kepentingan orang-orang
miskin, dapat diimplementasikan secara lebih positif,untuk meningkatkan
kejujuran serta kelayakan prosedur dipengadilan,menyelesaikan sengketa melalui
usaha perdamaian.
[37] Luhut
MP.Pangaribuan. Sistem Peradilan dan
Penegakan Hukum Dalam Perspektif Advokat. Dalam Bunga Rampai Potret;
Penegakan Hukum Di Indonesia. Op cit,
hlm 327-334.
[38] Topo
Santoso. Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim
dan Problem Penegakan Hukum Di Indonesia. Dalam Bunga Rampai Potret;
Penegakan Hukum Di Indonesia. (Jakarta; Komisi Yudisial RI,2009) hlm 359-361.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar