Rabu, 07 Maret 2012

TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
Oleh:
Dr. Syaiful Bakhri.S.H.,MH.

Bagian Pertama

PROLOG

Secara aktual, penyebaran narkotika dan psikotrapika, telah mencapai tingkat yang sangat memperihatinkan. Upaya pemberantasan kejahatan narkotika, psikotrapika dan prekursurnya, yang sudah dilakukan oleh pemerintah, namun disadari, bukanlah sesuatu yang mudah, untuk melaksanakan penegakan tindak pidana narkotika dan psikotrapika.Karena faktor ekonomi atau bisnis narkotika, psikotrapika sangat menjanjikan pertumbuhan yang cepat, dengan cara cara penyebarannya, yang semakin canggih dan komplek, Sehingga proses penegakannya, harus canggih dan terkait dengan cara cara yang diatur oleh hukum.
Negara Indonesia adalah negara hukum . Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum mempunyai ciri-ciri: Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia; Kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka; Legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/Negara maupun warga Negara dalam bertindak harus berdasar atas melalui hukum. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, dengan hukuman tertentu. Hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memiliki kedudukan yang penting. Cita hukum bangsa dan negara Indonesia adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, untuk membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita hukum itulah Pancasila”. Negara Indonesia dalam mencapai cita hukumnya, sesuai pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dengan begitu, bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk (warga negara dan orang asing) harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum.
Dalam upaya mewujudkan kehidupan yang damai, aman dan tentram, diperlukan adanya aturan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat agar sesama manusia dapat berperilaku dengan baik dan rukun. Namun, gesekan dan perselisihan antar sesama manusia tidaklah dapat dihilangkan. Maka, hukum pidana diberlakukan terhadap siapapun yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan.
Membedakan antara hukum pidana dengan bidang hukum lain, ialah sanksi hukum pidana, merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja. Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Hukum pidana terbagi menjadi dua (2), yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, beserta sanksi pidananya, sedangkan hukum pidana formil mengatur mengenai penegakan hukum pidana materiil. Maka Beccaria mengatakan, “hanya undang-undanglah yang boleh menentukan perbuatan mana sajakah yang dapat dipidana, sanksi-sanksi apakah dan atas perbuatan-perbuatan mana pula dapat dijatuhkan, dan bagaimana tepatnya peradilan pidana harus terjadi”. Hukum pidana dalam usahanya mencapai tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana, tetapi disamping itu juga dengan menggunakan tindakan-tindakan (maatregelen). Jadi disamping pidana ada pula tindakan. Tindakan inipun suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya. Penjatuhan suatu pidana maupun tindakan(maatregelen) kepada pembuat delik, merupakan proses akhir dari suatu peradilan pidana.
KUHP, Pasal (1) menyatakan, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Dalam rumusan ini dikandung asas yang disebut asas legalitas. Inilah asas tentang penentuan perbuatan apa sajakah yang dipandang sebagai perbuatan pidana. Asas ini merupakan teori yang dikemukakan Von Feuerbach yang terkenal dengan ucapan nullum delictum nulla poena sine praevia lege. Dengan asas legalitet ini dimaksudkan lebih lanjut bahwa: Tidak ada perbuatan yang dilarang yang diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; Untuk menentukan adanya perbuatan tidak boleh menggunakan analogi; Aturan aturan pidana tidak berlaku mundur. Roeslan Saleh menyatakan, “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang”. Simons mengatakan, “untuk dapat dipidana, perbuatan harus mencocoki rumusan delik dalam undang-undang”.
Mengenai tindak pidana, dan dapat dipidananya seorang pelaku tindak pidana. Maka, untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tersebut, harus melalui prosedur peradilan pidana sebagaimana hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Hukum acara pidana yakni dapat dirumuskan sebagai hukum yang menetapkan cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana. Juga biasa disebut sebagai hukum pidana In Concreto, karena mengandung peraturan bagaimana hukum pidana materiel atau hukum pidana In Abstracto dituangkan dalam kenyataan.
Dalam hukum acara pidana, memiliki pejabat penegak hukum di dalamnya, antara lain yaitu, hakim, penuntut umum, penasehat hukum. Hakim memiliki peran yang besar, karena hakim yang diberikan kewenangan oleh undang-undang utuk mengadili suatu perkara, hal ini dipertegas dalam ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 1 butir 8, yang berbunyi, “hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili”. Kewenangan hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya berawal dari ketentuan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Bismar Siregar mengatakan bahwa, “dipundak para hakim telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan ditegakkan itu, baik didasarkan tertulis atau tidak tertulis tidak boleh satu pun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini juga senada dengan penjelasan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang menyatakan: “Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang kepadanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis, untuk memutus berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara”.
Hakim merupakan sosok sentral dalam mengadili dan menjatuhan suatu sanksi terhadap pelaku tindak pidana. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Pada Pasal 5 ayat (2), “Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Berdasarkan pasal inilah yang menjadikan fondasi utama agar hakim dalam memutus suatu perkara dapat memberikan putusan yang objektif, berwibawa dan dapat diterima oleh masyarakat.
Mengadili itu adalah suatu yang bukannya merupakan monopoli dari hakim, walaupun keputusannya merupakan sesuatu dan saat yang sangat penting. Hakim dalam memutus perkara yang diadilinya, mempunyai karakteristik masing-masing sesuai dengan pemahaman dan ilmu yang dimilikinya, sehingga dapat mendasari pertimbangan-pertimbangan dalam putusannya. Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan tanpa hak dan melawan hukum yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, kurang teratur, dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental dan kehidupan sosial. Undang Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotrapika, adalah bagian dari undang undang yang berpasangan dengan undang undang narkotika, dan hingga saat ini, belum diperbaharui, berbeda dengan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.



BAGIAN KEDUA
TUJUAN PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA
NARKOTIKA DAN PSIKOTRAPIKA



E. PEMIDANAAN
Perkembangan tentang jenis, kualifikasi dan sistem pemidanaan, yang berputar disekitar perilaku manusia, yang dikenal sebagai kejahatan. Maka tujuan penjatuhannya dengan sanksi pidana, memiliki tujuan dan dan dasarnya yakni, pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Demikian juga tujuan pemidanaan untuk tindak pidana narkotika dan psikotrapika, setidaknya mendekatkan tujuan pemidaan oleh pembuat undang undang, maupun putusan hakim, dari berbagai putusan peradilan pidana, terhadap kasus kasus konkrit.
Seiring perkembangan zaman, diketahui terdapat beberapa aliran menemukan hukum oleh hakim, yaitu hakim positivis atau legisme, hakim otonom/bebas (begriffsjurisprudenz), dan hakim saat sekarang/progresif.
Ketiga aliran hakim tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Berdasarkan aliran-aliran menemukan hukum oleh hakim dalam memutus suatu perkara di atas, maka putusan hakim atas suatu perkara akan terlihat, apakah hakim tersebut menganut aliran positivis, aliran otonom/bebas ataukah hakim progresif. Aliran-aliran tersebutlah yang mengarahkan hakim dalam mempertimbangan putusan atas perkara yang diadilinya. Hakim positivis atau legisme merupakan hakim yang dipengaruhi oleh mazhab atau aliran positivisme hukum. H. L. A. Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:
Hukuman adalah perintah. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, historis, dan penilaian kritis. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan diinginkan. Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit. Undang-undang dan hukum diidentikkan. Hakim positivis dapat dikatakan sebagai corong undang-undang. Montesquieu, menyatakan, bahwa dalam suatu negara yang berbentuk Republik, sudah sewajarnya bahwa undang-undang dasarnya para hakim menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Para hakim dari negara tersebut adalah tak lain hanya merupakan mulut yang mengucapkan perkataan undang-undang, makhluk yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah, baik mengenai daya berlakunya, maupun kekerasannya.
Dengan pernyataan itu, legisme sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu, yang menyatakan bahwa, hanya apa yang dibuat oleh badan legislatif saja yang dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah, hakim dan kewenangan pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja.
Pada aliran hakim yang kedua, yaitu hakim otonom/bebas (begriffsjurisprudenz). Aliran hakim ini muncul sebagai reaksi penentangan terhadap aliran legisme, yang mendewakan undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum. Herman Kantorowicz, sebagai penganut terkemuka aliran ini, menganggap pemikiran mengenai stelsel hukum yang penuh itu menimbulkan tertawaan, undang-undang mengandung banyak kekosongan dan merupakan tugas hakim untuk memenuhinya. Aliran ini muncul pada abad ke 19 dan pada awal abad ke 20, yang mengajarkan tentang kebebasan hakim (Freirechtslehre) yang berpendapat bahwa hukum lahir karena peradilan. Titik tolak pandangan ini ialah bahwa undang-undang bukanlah satu-satunya sumber hukum. Undang-undang, kebiasaan dan sebagainya hanyalah sarana bagi hakim dalam menemukan hukumnya. Diutamakan disini kemanfaatannya bagi masyarakat bukanlah kepastian hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja, undang-undang bukan merupakan peran utama, tetapi sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum, dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
Selanjutnya yaitu hakim progresif, yang menganut pada aliran hukum progresif. Kata progresif berasal dari progressi yang berarti adalah kemajuan. Jadi di sini diharapkan hukum itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandar pada aspek moralitas dan sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Satjipto Raharjo dalam bukunya menyatakan, “Selain itu konsep hukum progresif tidak lepas dari konsep progresivisme, yang bertitik tolak pada pandangan kemanusiaan, bahwa manusia itu pada dasarnya adalah baik, memiliki kasih sayang kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun cara berhukum di dalam masyarakat”. Satjipto Raharjo menyatakan, ”paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia, pegangan, optik atau keyakinan dasar, tidak melihat hukum sebagai suatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”.
Dengan demikian karakteristik hukum progresif dapat ditandai dengan pernyataan sebagai berikut: Hukum ada untuk mengabdi pada manusia; Hukum progresif akan tetap hidup karena hukum selalu berada pada statusnya sebagai law in the making dan tidak pernah bersifat final, sepanjang manusia masih ada, maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat; Dalam hukum progresif selalu mendekati etika dan moralitas kemanusiaan yang sangat kuat, yang akan memberikan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan manusia serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan dan kepedulian terhadap manusia pada umumnya. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Artinya untuk melaksanakan peran tersebut, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam lingkup peradilan pidana, hakim tidaklah semata-mata atas kewenangannya menjatuhkan suatu putusan tanpa pertimbangan yang jelas, karena dalam setiap putusan diharuskan mempunyai tujuan yang mendasar atas pemidanaan yang dijatuhkan.
Menurut Gustav Radbruch terdapat tiga (3) unsur utama dalam penegakan hukum, yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit). Namun untuk mewujudkan keselarasan ketiga unsur tersebut tidaklah mudah. Hakim harus benar-benar bisa menjatuhkan suatu putusan dengan pemidanaan yang proporsional sesuai dengan dasar pertimbangan terhadap hal-hal yang memperberat dan memperingan dari sifat-sifat baik dan jahat terdakwa, serta mempertimbangkan pula fakta-fakta yang diperoleh selama persidangan. Berkaitan dengan keadilan dan kepastian hukum dalam pertimbangan hakim, Roeslan Saleh mengemukakan: “Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pada kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”. Kutipan di atas merupakan usulan yang diajukan Roeslan Saleh dalam penyusunan Rancangan KUHP, sekarang menjadi Pasal 12 dalam Rancangan KUHP, yang bunyinya, ”Dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”. Selain dua (2) unsur, baik keadilan dan kepastian hukum, maka masih ada unsur kemanfaatan yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan pemidanaan pada setiap putusan seorang hakim. Menurut aliran Utilitarianisme, pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan), dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat pidana, bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.
Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Pemidanaan itu harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan.
Hukum pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya terdapat”. Hukum pidana dalam arti objektif disebut jus poenale meliputi: Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan negara yang berwenang, peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh semua orang; Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan itu, dengan kata lain hukum penitentier atau hukum sanksi; Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan-peraturan itu pada waktu dan di wilayah negara tertentu. Hukum pidana berbeda dengan bagian hukum yang lain, yaitu terjadinya penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, dengan tujuan lain, yakni menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan, guna menjaga ketertiban, ketenangan dan kedamaian dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto mengemukakan empat (4) faktor yang menyebabkan seseorang mematuhi hukum, yaitu: Seseorang patuh kepada hukum karena penyesuaian diri terhadap kaidah-kaidah tersebut dengan mengharap imbalan tertentu, atau menghindari sanksi. Seseorang patuh kepada hukum karena identifikasi, yaitu ingin memelihara hubungan baik dengan sesama warga masyarakat atau dengan pemimpin-pemimpin kelompok. Seseorang patuh kepada hukum karena kepentingan-kepentingannya terpenuhi atau setidak-tidaknya terlindungi. Seseorang patuh kepada hukum karena penjiwaan dari norma-norma yang dianggapnya sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi pegangan masyarakat.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, terdapat poin penting bahwa, seseorang patuh kepada hukum yaitu untuk menghindari sanksi atau hukuman, yang dikenal dengan pidana. Pidana adalah suatu reaksi atas delik, dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik. Nestapa yang ditimpakan kepada pembuat delik bukanlah suatu tujuan yang terakhir dicita-citakan masyarakat, tetapi nestapa hanyalah suatu tujuan yang terdekat. Menurut Sudarto: Pemberian pidana dalam arti umum merupakan bidang dari pembentuk undang-undang. Hal ini dikarenakan adanya asas legalitas. Asas ini berasal dari istilah nullum crimen, nulla poena, sine preavia lege. Jadi, untuk mengenakan pidana diperlukan undang-undang (pidana) terlebih dahulu. Petunjuk undang-undang yang menetapkan peraturan tentang pidananya tidak hanya mengatur tentang crimen atau delictum¬-nya semata, tetapi juga mengatur tentang perbuatan yang dapat dikenakan pidana. Hukum pidana yang memiliki khas berupa penjatuhan nestapa kepada pembuat tindak pidana, Roeslan Saleh dalam bukunya mengatakan: Hukum pidana dalam usahanya mencapai tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana, tetapi disamping itu juga dengan menggunakan tindakan-tindakan (maatregelen). Jadi, disamping pidana ada pula tindakan. Tindakan inipun suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya. Ini ditujukan semata-mata pada prevensi khusus. Maksudnya tindakan ini adalah untuk menjaga keamanan daripada masyarakat terhadap orang-orang yang banyak sedikit adalah berbahaya, dan akan melakukan perbuatan pidana.
Hukum pidana dalam mencapai tujuannya mengenal adanya penjatuhan pidana maupun tindakan. Pemidanaan dalam hukum pidana, berfungsi sebagai alat penghukuman kepada pelaku tindak pidana, hal ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan hukum pidana. “Negara adalah badan yang mewakili Tuhan di dunia yang memiliki kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia. Para pelanggar ketertiban itu perlu memperoleh hukuman agar ketertiban hukum tetap terjamin”.
Berkaitan dengan penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana, Andi Hamzah dalam bukunya mengatakan: Masalah penjatuhan pidana sangat penting dibanding dengan teori-teori yang bersifat abstrak. Lebih-lebih karena tiadanya peraturan dalam KUHP yang mengatur cara bagaimana hakim menerapkan peraturan undang-undang dalam batas maksimum dan minimum ancaman pidana yang tercantum dalam suatu peraturan. Perbedaan yang kadang-kadang sangat menyolok antara hakim-hakim pidana dalam menjatuhkan pidana dalam kasus yang sama sering menimbulkan rasa tidak adil di kalangan rakyat.
Penjatuhan pidana dalam perkara-perkara yang serupa memang dimungkinkan dapat terjadi, karena hakim dalam menjatuhkan suatu pidana diberikan kebebasan untuk menentukan pidana maupun tindakan yang tepat berdasarkan perkara-perkara dan pertimbangan-pertimbangan yang ditemukannya. Hall membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan, sebagai berikut ini: Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup. Ia memaksa dengan kekerasan. Ia diberikan atas nama negara, ia “diotorisasikan”. Pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya, yang diekspresikan dalam putusan. Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya.
Penjatuhan pidana atau tindakan pada dasarnya haruslah memperhatikan tujuan pemidanaan. Barda Nawawi Arief, menyatakan: “Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka sudah barang tentu harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan umum tersebut. Barulah kemudian dengan bertolak atau berorientasi pada tujuan itu dapat ditetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan digunakan”.
Penjatuhan sanksi dalam suatu putusan, merupakan hasil dari pertimbangan-pertimbangan hakim, dengan keyakinan dan intuisinya untuk mencapai putusan yang dapat diterima oleh masyarakat. Oemar Seno Adji mengatakan: Dalam kerangka kebebasan hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman di mana ia dapat bergerak dalam batas-batas maxima hukuman ataupun untuk memilih jenis hukuman, maka dapat ditegaskan di sini bahwa alasan-alasan tersebut, baik ia dijadikan landasan untuk memberatkan hukuman ataupun meringankannya, tidak merupakan arti yang essentieel lagi. Berkenaan dengan hubungan tujuan pemidanaan dengan pidana atau tindakan yang dijatuhkan oleh hakim, Barda Nawawi Arief menegaskan pula mengenai individualisasi pidana mengandung beberapa karakteristik, antara lain: Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal). Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas, tiada pidana tanpa kesalahan). Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis atau berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.
Dengan demikian, apapun jenis pidana dan tindakan yang akan dijatuhkan oleh hakim, tujuan pemidanaan-lah yang harus menjadi patokan. Diketahui secara garis besar terdapat tiga (3) teori/tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut/pembalasan, teori relatif/tujuan (preventif, pembinaan dan perbaikan), dan teori gabungan.


F. BEBERAPA TEORI PEMIDANAAN
Teori pemidanaan yangdiketahui dalam rentang sejarahnya, dalam praktek setidaknya menggamnbarkan berbagai pikiran falsafah yang berkembang, yakni falsafah rehabilitasi, yang mengarah pada pemulihan, serta menghilangkan seminal mungkin derita, selanjutnya Falsafah refarasi, yang bertujuan untuk memperhatikan pada korban kejahatan serta pelaku. Falsafah Incapatation, atau pembatasan hak hak untuk bergerak, dari pelaku, untuk bertujuan melindungi masyarakat.
Tujuan pidana yang berkembang dari dahulu sampai saat ini telah menjurus ke arah lebih rasional dan humanis. Berawal dari bersifat pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam, baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan, dan yang berlaku saat ini ialah bentuk-bentuk penjeraan (deterrent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat, perbaikan kepada penjahat. Dalam hukum pidana terdapat tiga (3) golongan utama teori pemidanaan: Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) Teori relatif atau tujuan (doeltheorien) Teori gabungan (verenigings theorien). Teori-teori pemidanaan yang ada, merupakan hasil yang dikemukakan oleh ahli-ahli hukum sesuai pandangan dan keilmuannya. Teori-teori pemidanaan ini berkembang sejak abad 18 hingga saat ini. Selanjutnya, teori-teori pemidanaan di atas, akan dijelaskan sesuai dengan waktu berkembangnya diikuti dengan ahli-ahli yang menganutnya.

4. Teori absolut atau teori pembalasan (retributif / vergeldings theorien)
Teori absolut merupakan teori pemidanaan yang pertama kali muncul, yaitu sekitar abad ke 18. Penganut teori absolut ini, antara lain ialah Immanuel Kant, Simons, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan sudah tentu juga sarjana hukum Islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran Qisash dalam Al-Qur’an. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johannes Andenaes, tujuan utama dari pidana menurut teori absolut ialah,” untuk memuaskan tuntutan keadilan”, sedangkan pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.
Teori absolut atau teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana ada karena ada kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat penjatuhan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelaku. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat pidana ialah pembalasan. Di dalam hukum, pidana tidak dapat dijatuhkan hanya sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan umum. Hukuman atau pidana hanya dapat dijatuhkan pada seseorang karena ia bersalah melakukan kejahatan).
Sebagai peletak dasar aliran retributive, Immanuel Kant selalu berpangkal tolak bahwa pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku. Pemikiran Kant selanjutnya diikuti oleh para ahli lainnya dalam berbagai teori pembalasan.
Simons dengan mengikuti pandangan Immanuel Kant mengemukakan bahwa perbuatan melanggar hukum yang telah terjadi itu mendapat pembalasan. Hegel mengemukakan bahwa perbuatan melanggar hukum merupakan perbuatan tidak manusiawi, hukum itu adalah pembalasan. Julius Stahl mengemukakan bahwa, penguasa memiliki tugas memerangi kejahatan di dunia dengan cara ‘membalas’ kejahatan. Kejahatan harus dibalas oleh negara dan harus menderitakan pelakunya.
Vos mengemukakan hal berkaitan dengan teori pembalasan, bahwa: Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subyektif dan pembalasan obyektif. Pembalasan subyektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan obyektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Selanjutnya Vos menunjuk contoh pembalsan obyektif, dimana dua orang pelaku yang seorang menciptakan akibat yang serius dari yang lain akan dipidana lebih berat.
Variasi-variasi teori pembalasan itu diperinci oleh Leo Polak menjadi: Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan pemerintah negara (rechtsmacht of gezagshandhaving). Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie) Teori melenyapkan segala sesuatu menjadi akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan (onrechtfustering en blaam),Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum (talioniserende handhaving van rechtsgelijkheid),Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan (kering van onzedelijk neigingsbevredining),Teori mengobyektifkan (objectiverings theorie). Selanjutnya, dijabarkan lagi mengenai teori-teori yang telah dikemukakan oleh Leo Polak mengenai teori pembalasan tersebut. Teori yang pertama menggambarkan pidana sebagai paksaan belaka. Akibat teori ini siapa yang secara sukarela menerima putusan hakim pidana dengan sendirinya tidak merasa bahwa putusan tersebut tidak sebagai penderitaan.Penganut teori kedua ialah Herbart yang mengikuti Aristoteles dan Thomas Aquino yang mengatakan apabila kejahatan tidak dibalas dengan pidana maka timbullah perasaan tidak puas. Memidana penjahat adalah keharusan menurut estetika. Menurut estetika, penjahat harus dipidana seimbang dengan penderitaan korbannya.
Penganut teori ketiga adalah Hegel yang mengatakan bahwa etika tidak dapat mengizinkan berlakunya kehendak subyektif yang bertentangan dengan hukum. Sejajar dengan teori Hegel ini ialah teori Von Bart, yang mengatakan makin besar kehendak menentang hukum makin besar penghinaan yang dijatuhkan. Teori yang keempat, pertama kali dikemukakan oleh Heymans yang diikuti oleh Kant, Rumelin, Nelson, dan Kranenburg. Menurut teori ini asas persamaan hukum berlaku bagi semua anggota masyarakat menuntut suatu perlakuan menurut hukum yang sama terhadap setiap anggota masyarakat. Kranenburg menunjukkan pembagian syarat-syarat untuk mendapat keuntungan dan kerugian, maka terhadap hukum tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai suatu kedudukan yang sama dan sederajat. Teori yang kelima dikemukakan oleh Heymans yang mengatakan bahwa keperluan untuk membalas tidak ditujukan kepada persoalan apakah orang lain mendapat bahagia atau penderitaan, tetapi keperluan untuk membalas itu ditujukan kepada niat masing-masing orang. Niat-niat yang tidak bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh diberi kepuasan. Segala yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh didapatkan orang. Teori yang keenam diperkenalkan oleh Leo Polak sendiri, berpangkal pada etika.
Menurut Leo Polak pidana harus memenuhi tiga (3) syarat: Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi, pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil. Jan Remmelink menulis dalam bukunya, bahwa: Tujuan dari ajaran-ajaran absolut tidaklah semata-mata pembalasan. Maksud dan tujuannya kadang juga lebih ideal, misalnya berkenaan dengan mendemonstrasikan keberlakuan hukum terhadap mereka yang melanggarnya atau mengembalikan keseimbangan kekuatan-kekuatan sosial yang terganggu atau penderitaan korban maupun warga masyarakat lainnya.
Karl O. Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok dari teori retributif atau pembalasan, yakni: Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku, pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku.
Tujuan pemidanaan sebagai pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi orang, yang dengan jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan.

5. Teori relatif atau tujuan (utilitarian/doeltheorien)
Teori tujuan pemidanaan yang lain adalah teori relative. Teori ini berporos pada tiga (3) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, deterrence, reformatif .
Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana untuk prevensi terjadinya kejahatan. Teori ini sudah dikembangkan di zaman kuno. Seneca, dengan merujuk pada ajaran filsuf Yunani, Plato, menyatakan: nemo prudens punit, quia peccatum, sed ne peccetur (seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa, melainkan agar tidak lagi terjadi dosa).
Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok dari teori relatif: Tujuan pemidanaan yaitu pencegahan. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku, seperti kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana). Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya yaitu sebagai alat pencegah kejahatan). Pemidanaan itu bersifat prospektif dan mengacu ke masa depan. Pemidanaan mengandung unsur pencelaan tetapi unsur pencelaan ataupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat). Roeslan Saleh dalam bukunya menuliskan mengenai tujuan-tujuan tertentu penjatuhan pidana berdasarkan teori relatif, yaitu:
Teori menakutkan, yang berpendapat bahwa tujuan dari pidana ini adalah untuk menakutkan orang sehingga tidak melakukan perbuatan pidana, baik sipembuat itu sendiri (prevensi khusus) maupun orang-orang lain (prevensi umum). MTeori memperbaiki, yang berpendapat bahwa pidana akan mendidik si pembuatnya sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat. Teori tujuan menganggap bahwa tujuan pemidanaan adalah mempertahankan ketertiban di dalam masyarakat. Bambang Purnomo memperinci teori tujuan atau relatif menjadi lima (5) bentuk, sebagai berikut:
Prevensi umum, tujuan pokok pidana adalah pencegahan agar orang-orang tidak melakukan perbuatan pidana. Prevensi khusus, tujuannya melakukan pencegahan agar mereka yang telah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Verbetering van de dader, bertujuan untuk memperbaiki penjahat dengan reklasering. Onschadelijk maken van de misdadiger, pidana yang dijatuhkan bersifat menyingkirkan, baik untuk seumur hidup atau dikenakan pidana mati oleh karena tidak mungkin diperbaiki lagi. Herstel van geleden maatschappelijk nadeel, tujuannya memperbaiki kerugian masyarakat yang terjadi pada masa lalu. Teori ini mendasarkan pada pemikiran bahwa kejahatan itu menimbulkan kerugian yang bersifat ideel pada masyaraka
Prevensi umum dalam teori relatif, menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak malakukan delik. Prevensi umum dilakukan dengan menakutkan orang-orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan, sehingga anggota masyarakat merasa takut. Bentuk tertua dari prevensi umum dipraktekkan sampai revolusi Perancis.
Menurut Von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts pencegahan tidak usah dengan siksaan tetapi cukup dengan memberikan peraturan yang sedemikian rupa sehingga bila orang setelah membaca peraturan itu akan membatalkan niat jahatnya. Teori ini disebut teori paksaan psikologis (psychologische dwang), ancaman pidana bekerja sebagai ancaman psikologis. John Kaplan, mengemukakan dasar-dasar pembenaran pidana yang senada dengan teori relatif, yakni: Menghindari balas dendam (avoidance of blood feuds). Adanya pengaruh yang bersifat mendidik (the educational effect). Mempunyai fungsi memelihara perdamaian (the peace keeping function).
Selanjutnya teori prevensi umum Von Feuerbach diperbaiki oleh teori Muller dalam tulisannya De Straf in het Strafrecht, yang menyatakan bahwa akibat preventif pidana tidaklah terletak pada eksekusi pidana maupun dalam ancaman pidana, tetapi pada penentuan pidana oleh hakim secara konkrit. Beccaria mengemukakan, bahwa semua undang-undang atau hukum positif harus diumumkan, sehingga semua warga negara mengetahuinya. Suatu hukuman yang diberikan yang penting bukan kerasnya, tetapi ketegasan, ketepatan, dan mempunyai efek preventif.
Van Veen sebagai pendukung teori prevensi umum, ia mengemukakan dengan menunjuk pada tiga (3) fungsi prevensi umum: Menjaga atau menegakkan wibawa (penguasa), hal ini berperan dalam perumusan perbuatan-perbuatan yang langsung bersinggungan dengan wibawa pemerintah sebagai tindak pidana, misalnya kejahatan terhadap penguasa umum (wederspanigheid; Pasal 212 KUHP), Menjaga (pemberlakuan) atau menegakkan norma/hukum, Pembentukan norma (atau juga disebut penegasan norma), menggarisbawahi pandangan bahwa perbuatan-perbuatan tertentu dianggap asusila dan sebab itu tidak diperbolehkan. Setelah dijelaskan mengenai teori prevensi umum yang dikuatkan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh ahli-ahli hukum, untuk selanjutnya akan dibahas lebih lanjut mengenai teori prevensi khusus. Teori prevensi khusus yang dianut Van Hamel dan Von Lizst mengatakan bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku, bertujuan mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakan. Van Hamel menunjukkan bahwa prevensi khusus suatu pidana ialah:
Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya, Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana, Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki, Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib hukum.Penganut teori prevensi khusus ini, baik Von Lizst dan Van Hamel, mereka tidak bertitik tolak dari pelaku kejahatan, dari kepekaannya terhadap ancaman pidana maupun efek perbaikan dari pidana, namun dari kepentingan penjagaan tertib hukum. Penetapan tujuan sebagaimana diajukan dalam konteks teori relatif ini sangat jelas. Secara positif pendukung ajaran ini menghendaki penerapan pidana atau tindakan (maatregelen) yang in concreto bertujuan dan berguna untuk mencegah tindak pidana. Secara negatif mereka menginginkan penderitaan sia-sia yang tidak berguna. A. Prins, Van Hamel dan Von Lizst sebagai pengemuka teori relatif, mendirikan Union Internationale de droit penal pada tahun 1988. Pokok-pokok penting dari Union adalah:
Tujuan hukum pidana adalah penentangan terhadap perbuatan jahat dipandang sebagai gejala masyarakat. Pengetahuan hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologi. Pidana merupakan salah satu alat ampuh yang dikuasai Negara dalam penentangan kejahatan. Itu bukan satu-satunya alat. Tidak dapat diterapkan sendiri, tetapi selalu berkombinasi dengan tindakan sosial, khususnya kombinasi dengan tindakan preventif. Teori relatif termasuk dalam masa perkembangan aliran modern, yang menitikberatkan perhatiannya kepada orang yang melakukan tindak pidana dan pemberian pidana antara tindakan yang dimaksud untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pembuat. Maka, dalam aliran modern ini kebebasan pembentuk perundang-undangan untuk menentukan jenis pidana, ukuran pidana, dan cara pelaksanaan pidana (strafsoert, strafmaat, strafmodus).

6. Teori gabungan (verenigings theorien)
Teori pemidanaan berikutnya diperkenalkan Pompe, yaitu gabungan antara pembalasan dan relatif. Pompe menyatakan bahwa orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan.
Pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu, dan karena itu hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum. Diketahui terdapat tiga (3) bentuk teori pemidanaan gabungan antara pembalasan dan prevensi. Pada bagian pertama yakni menitikberatkan pada pembalasan dibandingkan prevensi, dan yang kedua yakni menitikberatkan pada pertahanan ketertiban masyarakat atau prevensi dan yang ketiga yakni, menginginkan keseimbangan antara pembalasan dan prevensi. Van Bammelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan: Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.
Hugo Grotius menganut teori gabungan dengan menyatakan: Titik tolaknya adalah: natura ipsa dictat, ut qui malum fecit, malum ferat (kodrat mengajarkan bahwa siapa berbuat kejahatan, ia akan terkena derita). Penderitaan memang sesuatu yang sewajarnya ditanggung pelaku kejahatan, namun dalam batasan apa yang layak ditanggung pelaku tersebut kemanfaatan sosial akan menetapkan berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan: puniendis nemo est ultra meritum: intra meriti vero modum magis aut minus peccate puniuntur pro utilitate. Teori yang dikemukakan oleh Hugo Grotius, kemudian dilanjutkan M. P. Rossi, yang mengemukakan dalam bukunya Traite de droit penal, bahwa: makna tiap-tiap pidana adalah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukuman dan pemerintah. Rossi juga menyatakan, menjatuhkan pidana terutama adalah menerapkan pembalasan, menjalankan keadilan.
Sejalan dengan pandangan itu, di samping pembalasan, juga prevensi umum dianggap sebagai tujuan penting dari hukum pidana. Sebagai dampak penting yang relevan adalah pembelajaran dan rasa takut yang dimunculkan oleh penjatuhan pidana terhadap semua orang, termasuk ke dalamnya perbaikan dari pelaku, sekalipun Rossi tidak mementingkan dampak yang terakhir disebut ini.
Selanjutnya pemidanaan akan memunculkan pemuasan tuntutan batin ata nurani masyarakat dan pemberian rasa aman pada masyarakat. Karakter kesalahan pembalasan Rossi tampak pula dari tuntutannya bahwa pidana tidak boleh melampaui apa yang selayaknya diterima pelaku karena kesalahan yang ia perbuat. Teori gabungan yang kedua yaitu menitikberatkan pada pertahanan tata tertib. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada seharusnya. Teori ini sejajar dengan teori Thomas Aquino yang menyatakan, bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar hukum undang-undang pidana khususnya. Thomas Aquino membagi antara poenae et poenae (pidana yang dimaksudkan sebagai pidana) dengan poenae ut medicinae (pidana yang dimaksudkan sebagai obat).
Utrecht dan Beysens mengembangkan ajaran yang cenderung finalistic-relatifistik. Menurut Beysens, pembalasan bersifat etis, negara cukup mengurus dan menjaga ketertiban umum. Negara menghukum dengan tujuan agar masa depan ketertiban tersebut dihormati. Pompe sebaliknya, sebagai murid dari Beysens, juga menekankan pendayagunaan pidana. Dalam pandangan itu, pidana sebagai pembalasan, penjeraan dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan (doelmatigheid). Namun ia tetap berpegang pada gagasan pembalasan sebagai sarana menegakkan tertib hukum.
Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahteraan masyarakat.Menurut Vos, pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara, ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.
Teori gabungan yang ketiga, yaitu memandang adanya keseimbangan antara pembalasan dengan pertahanan tata tertib masyarakat. Tujuan penjatuhan pidana sesuai denga teori gabungan ini, pada saat sekarang sudah dirumuskan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, yaitu: 1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat.3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 5. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Dengan demikian, teori gabungan pemidanaan sesuai dengan tujuan penjatuhan pidana dalam Rancangan KUHP, yang meliputi usaha prevensi, koreksi atau pembinaan terhadap terpidana, menciptakan kedamaian dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana. Berdasarkan ketiga teori pemidanaan yang telah dipaparkan di atas, baik yang bersifat pembalasan dalam teori absolut, bersifat mencapai tujuan dan prevensi sesuai dengan teori relatif, maupun berdasarkan teori gabungan yang menginginkan adanya keseimbangan dari sifat pembalasan maupun prevensi. Maka, penegakan hukum pidana dalam menjatuhkan suatu pidana terhadap pelaku tindak pidana haruslah benar-benar memperhatikan tujuan pemidanaan itu sendiri, sehingga tujuan pemidanaan dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim agar penjatuhan pidana dalam putusannya mendukung tercapainya cita-cita hukum.

C. HUKUM PIDANA DAN TINDAKAN.
Hukum pidana dalam penegakannya mengenal adanya penjatuhan pidana, namun di samping itu mengenal pula adanya tindakan (maatregelen). Berkenaan dengan pidana dan tindakan (maatregelen).
Hukum pidana dalam usahanya mencapai tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana, tetapi disamping itu juga dengan menggunakan tindakan-tindakan (maatregelen). Jadi, disamping pidana ada pula tindakan. Tindakan inipun suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya. Ini ditujukan semata-mata pada prevensi khusus. Maksudnya tindakan ini adalah untuk menjaga keamanan daripada masyarakat terhadap orang-orang yang banyak sedikit adalah berbahaya, dan akan melakukan perbuatan pidana.
Tetapi secara praktis, yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP itulah yang dinamakan pidana, sedangkan yang lain daripada itu semuanya adalah tindakan (maatregelen). Pidana dengan tindakan (maatregelen) pada dasarnya mempunyai sifat yang berbeda. Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang mengenai penderitaan agar bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tidakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah”.
Pidana adalah suatu reaksi atas delik, dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik. H. L. A. Hart menyatakan, bahwa pidana harus: Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan, Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana, Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum, Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana, Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut. Jelaslah, bahwa pidana lebih menekankan unsur pembalasan. Sedangkan tindakan (maatregelen) tidak diterapkan untuk penderitaan, melainkan bermaksud untuk memperbaiki, menyembuhkan dan mendidik orang-orang tertentu, guna melindungi masyarakat. Maka, tindakan (maatregelen) sering dikatakan berbeda dengan pidana, maka tindakan bertujuan melindungi masyarakat.
Tindakan (maatregelen) merupakan bentuk sanksi dalam hukum pidana yang mempunyai karakteristik, yaitu: Ide dasar:Bersumber pada, filsafat determinisme yang mengatakan, bahwa pemidanaan adalah menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan, searah dengan hakikat sanksi tindakan yang menekankan tidak boleh adanya pencelaan terhadap perbuatan yang dilanggar oleh pelaku. Landasan teori:mTeleologis, tujuan pemidanaan bersifat mendidik untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang cenderung melakukan kejahatan. Tujuan: Tindakan bertujuan, dalam rangka pendidikan, social, pencegahan, pemulihan keadaan tertentu dan non-pencelaan. Subjek Hukum: Pertama. Tidak hanya dikenakan kepada orang dalam kondsi belum cakap hukum dan terganggu kejiwaannya, tetapi juga terhadap orang yang dalam kondisi cakap hukum, sehat jasmani dan rohani. Kedua,Korporasi tanpa syarat apapun. Bentuk-Bentuk:mRehabilitasi, pengawasan, penghentian aktivitas, ganti rugi, likuidasi badan hukum, dan lain-lain. Spesifikasi:mBukan siksaan fisik atau perampasan kemerdekaan, tetapi pemulihan terhadap kondisi fisik, kejiwaan dan keadaan tertentu yang bersifat publik maupun privat.
Berdasarkan tujuannya, pidana dan tindakan, juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan member penderitaan istimewa kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, sanksi tindakan (maatregelen) merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu.
Sehubungan dengan perbedaan antara pidana dengan tindakan (maatregelen), di bawah ini terdapat pendapat-pendapat beberapa ahli mengenai dua jenis sanksi tersebut:
Satochid Kertanegara, menerangkan bahwa di dalam hukum pidana juga ada sanksi yang bukan bersifat siksaan, yaitu yang disebut tindakan . Dia menunjuk contoh sanksi yang bukan merupakan siksaan itu terdapat dalam Pasal 45 KUHP. Sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan bahwa sanksi pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat. Meskipun perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan agak samar, bahwa sanksi pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan bertujuan melindungi masyarakat. Perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan dari sudut tujuannya. Saksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dengan mengutip pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa sanksi tindakan itu bila ditinjau dari teori-teori pemidanaan merupakan sanksi yang tidak membalas, melainkan semata-mata ditujukan pada prevensi khusus. Sanksi tindakan itu bertujuan melindungi masyarakat terhadap orang-orang berbahaya yang mengkin akan melakukan delik-delik yang dapat merugikan masyarakat.
J. E. Jonkers, membedakan jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dikatakannya, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial. Alf Ross; Pendapat Alf Ross ini dikutip oleh Muladi dan Barda yang membedakan secara jelas antar sanksi pidana dan sanksi tindakan. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan, sanksi pidana juga harus merupakan pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Perbedaan prinsipnya harus didasarkan pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan. Herbert L. Packer; Secara lebih tajam Herbert L. Packer menguraikan perbedaan antar jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan Menurutnya, fokus diberikannya sanksi pidana terletak pada perbuatan salah terpidana sehingga ia diberi sanksi dengan tujuan mencegah terulangnya perbuatan itu atau untuk mengenakan penderitaan atau juga untuk kedua-duanya. Sedangkan fokus sanksi tindakan terletak pada tujuan untuk memberikan pertolongan, bukan pada perbuatan terpidana. Dari berbagai konsep yang telah dikemukakan para ahli hukum di atas maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa ternyata penekanannya terletak pada apa dan bagaimana tujuan ditetapkannya sanksi dalam hukum pidana. Lebih jelasnya, apabila sanksi pidana berorientasi pada pertanyaan, ”Mengapa diadakan pemidanaan?”, atau dengan kata lain, sanksi pidana bersifat reaktif terhadap suatu pebuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Sedangkan sanksi tindakan lebih berorientas pada pertanyaan, ”Untuk apa diadakan pemidanaan?”, atau dengan kata lain, sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan.


D. PIDANA DAN TINDAKAN TERHADAP KEJAHATAN NARKOTIKA DAN PSIKOTRAPIKA.

4. Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika dan Psikotrapika
Kekerasan pemidanaan seharusnya seimbang dengan tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh suatu bangsa tertentu”. Pada abad 19, bahkan untuk abad ke 20, dalam beberapa persoalan, kekerasan, pemidanaan diperlunak, yang dicapai dengan susah payah, dan banyak usaha yang progresif direncanakan di atas kertas, akan tetapi tidak dapat dilaksanakan dalam praktek. Pada tahun 1809 di Negeri Belanda memperoleh kitab undang-undang kriminal, pidana mati tetap dipertahankan, dengan ketentuan bahwa hakim boleh memutuskan, apakah pidana itu akan dijalankan di tiang gantungan atau dengan pedang, tanpa upacara algojo, juga pukulan dengan cemeti dan mencap badan dengan besi panas tetap berlaku, tetapi di samping itu disahkan pidana penjara yang bersifat sementara dengan maksimum 20 tahun.
Tentang sejarah pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, telah terjadi penyimpangan terhadap asas konkordansi, karena KUHP yang diberlakukan di Indonesia seharusnya concordant atau overeensteming ataupun sesuai dengan WvS (wetboek van strafrecht) yang berlaku di Negeri Belanda. Pada tahun 1881, di Negeri Belanda sudah tidak mengenal pidana mati, karena lembaga pidana mati itu telah dihapuskan, melalui undang undang tanggal 17 September dengan Stb 162 tahun 1870 mengenai Keputusan Menteri Moddderman yang sangat mengejutkan dalam sejarah KUHP Belanda dan diperbincangkan sejak tahun 1846, dengan alasan, bahwa pelaksanaan pidana mati di Negeri Belanda sudah jarang dilaksanakan, karena terpidana mati hampir selalu mendapatkan pengampunan atau grasi dari Raja.
Di sisi lain di Negeri Belanda sebetulnya masih mempertahankan lembaga pidana mati, terutama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHP Militer). Disebutkan pidana mati itu telah di ancamkan bagi kejahatan-kejahatan: a. yang telah di lakukan oleh anggota militer dalam keadaan perang: b. yang telah dilakukan oleh anggota militer untuk kepentingan musuh dan bagi beberapa kejahatan yang telah disebutkan di dalam Crimineel Wetboek, dan apabila kejahatan-kejahatan tersebut telah dilakukan di atas kapal yang sedang berada di atas perairan dari negara-negara asing, baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai. Sungguh pun demikian, undang-undang telah menentukan bahwa hakim itu hanya dapat menjatuhkan pidana mati yaitu apabila keamanan negara memang benar-benar telah menghendakinya.
Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa pidana mati adalah pidana yang terberat dalam hukum positif kita. Sedangkan bagi kebanyakan negara, soal pidana mati itu tinggal mempunyai arti dari sudut kultur historis, karena kebanyakan negara-negara tidak mencantumkan lagi pidana mati lagi dalam kitab undang-undangnya. Sungguhpun demikian soal ini masih selalu menjadi masalah dalam lapangan hukum pidana. Sebab kadang-kadang menjadi soal cukup penting, seperti adanya suara-suara di tengah-tengah masyarakat yang meminta diadakannya kembal hukuman mati, dan mendesak agar dimasukkan kembali dalam kitab undang-undang. Tetapi pada umumnya lebih banyak orang yang kontra terhadap adanya pidana mati.
Ketentuan mengenai hukuman mati hanya diancam pada pasal-pasal berikut ini: Pasal 104 KUHP, “Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden, atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”; Pasal 111 ayat (2) KUHP. “Jika permusuhan itu dilakukan atau peperangan terjadi maka dijatuhkan pidana mati, atau penjara seumur hidup atau sementara selamanya dua puluh tahun.” Pasal 124 ayat (3) KUHP. “Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun dijatuhkan jika pembuat:” ke 1. Memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan suatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat penghubung, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun angkatan laut, angkatan darat atau bagian daripadanya; merintangi, menghalang-halangi atau menggagalkan suatu usaha untuk menggenangi air atau bangunan tentara lainnya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis atau menyerang; ke-2. Menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan atau desersi di kalangan angkatan perang. Pasal 124 bis KUHP. Hukuman mati atau seumur hidup, atau penjara dua puluh tahun, dalam waktu perang berkhianat kepada musuh, menganjurkan huru-hara, pemberontakan, dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara; Pasal 140 (3) KUHP.” Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana serta berakibat maut, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara, selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. Pasal 185 KUHP.” Barang siapa dalam perkelahian tanding merampas nyawa pihak lawan atau melukai tubuhnya, maka diterapkan ketentuan-ketentuan mengenai pembunuhan berencana, pembunuhan atau penganiayaan: 1. Jika persyaratan tidak diatur terlebih dahulu; 2. Jika perkelahian tanding tidak dilakukan di hadapan saksi kedua belah pihak; 3. Jika pelaku dengan sengaja dan merugikan pihak lawan, bersalah melakukan perbuatan penipuan atau yang menyimpang dari persyaratan”.Pasal 340 KUHP. “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang laim, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” Pasal 365 ayat (4) KUHP, Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan no.3; Pasal 368 ayat (2) KUHP.” Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, keempat berlaku bagi kejahatan ini.” Pasal 444 KUHP. “Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438-441 mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati, maka nakhoda, komandan atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.” Pasal 479k (2) KUHP. “ Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun’. Pasal 479o (2) KUHP. “Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun; Selanjutnya hukuman mati telah diatur dalam berbagai Peraturan perundang-undangan lainnya. Khususnya terhadap kejahatan yang dianggap sangat berbahaya, seperti pada tindak pidana Terorisme, Narkotika dan Psikotropika, Korupsi, Kejahatan HAM dan KUH Pidana militer.
Hukuman mati sudah dikenal sejak ribuan tahun usia sejarah peradaban manusia. Pemahaman sosiologi umumnya melihat sekalian hal, termasuk lembaga dan proses sosial pada suatu masyarakat dalam konteks sosial tertentu. Demikian pula pada waktu dihadapkan kepada masalah pidana mati. Artinya, membicarakan pidana mati secara sosiologi juga dilakukan dengan cara seperti itu. Masalah pidana mati adalah pidana mati dalam konteks sosial tertentu dan tidak pernah di luar konteks tersebut. Pembicaraan mengenai hukuman mati dewasa ini, tidak dapat dilakukan seperti pada waktu membicarakannya sekian ribu tahun yang lalu. Hal itu mesti kita bicarakan secara “hic et nunc” atau “sekarang dan di sini”. Perubahan dan perkembangan masyarakat dunia membawa kita kepada masalah “pidana mati dalam konteks dunia abad ke-21. Jauh di waktu lampau, segalanya tampak sederhana, seperti rumus “nyawa dibalas nyawa”. Dalam konteks sosial seperti itu, hukuman mati tidak banyak dipermasalahkan. Tetapi sekarang keadaan tidak lagi dapat dipahami dengan cara sederhana seperti itu. Perkembangan peradaban membawa kita kepada peradaban yang sangat rentan (delicate), khususnya pada waktu membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan manusia. Banyak ajaran, doktrin, lembaga diciptakan untuk menjaga kemuliaan manusia. Dalam sejarah, sudah berapa banyak orang-orang dijatuhi pidana mati, digantung, dipancung, ditebas oleh guillotine, ditembak dan disuntik. Orang-orang terkenal tidak terkecuali dari eksekusi, mulai Raja Louis XVI, Permaisuri Marie Antoinette, Robespierre, Kaisar Rusia Nicholas, sampai ke Herman Goring serta sejumlah petinggi Nazi Jerman di akhir Perang Dunia Kedua dan yang paling akhir Saddam Housein. Kumandang hukuman mati itu pun tidak kunjung padam sampai hari ini. Demi memberantas korupsi di negerinya, seorang pemimpin Cina tidak segan-segan memesan seratus peti mati buat para koruptor, termaksud satu buat sang pemimpin apabila melakukan kejahatan itu. Zaman berputar dan sejarah memasuki era peradaban baru. Peradaban manusia semakin kaya dengan berbagai pertimbangan, pemikiran dan kehadiran lembaga-lembaga yang ingin memuliakan nyawa manusia.
Ada hak asasi manusia, ada konvensi-konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang larangan perlakuan terhadap manusia secara kasar dan merendahkan martabat (cruel and degrading punishment). Sebagian bangsa-bangsa di dunia menerapkan ancaman pidana mati dan sebagian lagi sudah menghapuskannya. Bahkan pada suatu negara federal, negara-negara bagiannya juga menerapkan politik pemidanaan yang berbeda-beda. Muncul gerakan-gerakan abolisi atau penghapusan pidana mati. Konvensi Hak Asasi Manusia PBB di Wina tahun 1993, juga masih tetap menghormati kedaulatan hukum negara-negara di dunia ini untuk menentukan politik hukum yang ingin ditempuhnya. Sekali pun suatu negara menentukan hukumannya, termasuk politik terhadap pidana mati, maka dunia harus menghormati hukum negara tersebut. Resolusi PBB tahun 1996 juga masih bersikap toleran terhadap negara-negara yang masih memuat ancaman hukuman mati dalam hukum positifnya. Badan dunia itu hanyalah berpesan.
Pada tanggal 11 Desember 1977 di Stockholm, Amnesty Internasional telah menyerukan penghapusan pidana mati di seluruh dunia. Sampai tahun 1979 masih terdapat 117 negara yang mencantumkan pidana mati. Pada konferensi Prevensi Kejahatan dan Pembinaan Penjahat di Caracas, Agustus 1980, dikemukakan sekurangnya 860 orang telah dihukum mati. Namun demkian untuk mengurangi penderitaan fisik, maka beberapa usaha telah dilakukan untuk eksekusinya, yaitu melalui kursi listrik, kamar gas, regu tembak, dan dilakukan usaha lain yakni penundaan eksekusi pidana mati atau perobahan pidana mati dengan penjara seumur hidup.
Akhirnya sejarah mesti berulang, pergolakan pemikiran tentang penggunaan pidana mati, seolah menyesuaikan dengan kebutuhan negara bahkan menjadi kebutuhan manusia di dunia ini, dalam menyikapi kejahatan-kejahatan yang luar biasa di bidang kemanusiaan, seperti terorisme yang menjadi ketakutan dan kewaspadaan masyarakat global terhadap hal ini, sehingga mengaktualisasikan kembali pentingnya hukuman mati. Sejarah mesti berulang, dan memerlukan pemikiran yang tidak berhenti guna penyesuaiannya dengan kegunaan dan kemanfaatan bahkan lebih jauh yakni keadilan dengan segala maknanya. Pidana mati merupakan pidana yang tua dalam usia, tetapi muda dalam berita. Pidana mati sejak dahulu hingga sekarang selalu menjadi perdebatan di berbagai kalangan sehubungan dengan faktor pro dan kontra pidana mati.
Dalam konteks perspektif global pun, masih terdapat pandangan pro-kontra mengenai eksistensi pidana mati dan eksekusinya. Data yang dihimpun oleh Barda Nawawi Arief, menunjukan keseimbangan antara kelompok kontra pidana mati (Abolisionis) dan kelompok pro-pidana mati (Retensionis), sehingga terdapat 98 negara dari kelompok abolisionis yang masih menggunakan pidana mati sebagai pidana eksepsional, untuk keadaan khusus. Jadi masih terdapat 109 negara yang masih mengakui adanya pidana mati, dan ada juga yang tidak menggunakan atau melakukan penundaan pelaksanaan penjatuhan pidana mati dalam waktu yang cukup lama.
Menurut data Amnesty International, dari 119 negara yang tidak lagi melaksanakan atau menjatuhkan pidana mati adalah seluruh wilayah Eropa kecuali Belarus dan kebanyakan Negara-negara wilayah Pasifik termasuk Australia, New Zealand, Timor Leste dan Kanada telah menghapus pidana mati. Banyak negara di Amerika Latin telah menghapuskan pidana mati. Namun beberapa negara lainnya seperti Brazil, masih membolehkan pidana mati dalam keadaan ekseptional. Di USA, Guatemala, dan negara-negara Karibian, Asia dan Afrika masih mempertahankan pidana mati termasuk di Indonesia. Albania adalah negara yang terakhir menghapus pidana mati (2007). Filipina menghapus pidana mati, tetapi pada tahun 1993 mengintrodusir kembali pidana mati dan pada tahun 2006 menghapus kembali pidana mati. Adapun negara negara yang menghapuskan hukuman mati terhadap seluruh tindak pidana (abolish for all crime) terdiri dari 69 negara.
Negara yang menghapuskan hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan biasa (abolitionish for ordinary crimes only) terdiri dari 11 negara. Sedangkan negara-negara yang dalam praktek menghapuskan hukuman mati (abolitionist in practice) terdiri dari 33 negara. Sementara negara yang masih menerapkan hukuman mati (retentionist) terdiri dari 33 negara.
Pro-Kontra pidana mati telah terjadi sejak jaman Beccaria di abad ke 18, dengan suatu perjuangan yang gigih, dan berpengaruh terhadap pembentukan undang undang hukum pidana ketika itu, yang menentang pidana mati, didukung oleh banyak tokoh. Terutama Voltaire dari sudut pandang utiliteit, Marat dan Robespierre, gerakan yang menjalar dari Italia, Austria, Perancis, Jerman melalui para penyair Lessing, Klopstock, Moser, dan Schiller. Perjalanan sejarah memasuki awal abad ke 19, gerakan-gerakan menentang pidana mati mulai tenang, terutama setelah terjadi Revolusi Perancis pada bulan Juli 1830 menjalarkan pemikiran menghapuskan pidana mati. Selanjutnya pada Revolusi Jerman 1848 dalam Nationalversammlung di Frankfurt hinga pada 3 Desember 1948, diputuskan hak hak dasar bangsa Jerman dengan ditiadakannya hukuman mati.
Di Indonesia, tentang pidana mati, harus dijalankan karena pengaruh De Bussy mengemukan bahwa di Indonesia, masih diperlukan pidana mati guna mengatasi keadaan khusus, bahaya terhadap gangguan terhadap ketertiban hukum. Dengan pencantuman pidana mati di Indonesia, sedangkan di Negeri Belanda sudah tidak dicantumkan lagi dalam KUHPnya, dapat diikuti pandangan Lemaire sebagai perancang W.v.S. Sebagai negeri jajahan yang mempunyai ruang lingkup yang luas, dengan susunan penduduk yang sangat beraneka ragam, pada hakekatnya mempunyai keadaan yang berbeda dengan negeri Belanda, sehingga pidana mati mempunyai senjata yang menakutkan yang tidak terdapat pada pidana perampasan kemerdekaan, tidak boleh dilepaskan. Bichon Van Ysselmonde mengemukakan, pelaksanaan pidana mati harus ada pada negara-negara dan masyarakat yang teratur. Pidana mati adalah sebagai pedang pidana yang harus ada pada tiap negara untuk dipergunakan dan dipertahankan.
Selajutnya Jonkers membela pidana mati, menurutnya walaupun ada keberatan terhadap pidana mati, maka tidak dapat ditarik kembali. Lambroso dan Garofalo, berpendapat bahwa pidana mati diperlukan sebagai alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Hazewenkil Suringa, membela pidana mati sebagai suatu alat pembersih radikal yang ada pada setiap masa revolisionir, hingga dengan cepat dapat dipergunakan. Demikian juga H.G. Rambonnet. Mengatakan bahwa, tugas pemerintah untuk mempertahankan ketertiban hukum melalui pemidanaan. Oemar Senoadji. Mengemukakan selama negara masih mengukuhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertib masyarakat dikacaukan atau dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan , masih memerlukan pidana mati. De Savormin Lohman. Mengemukakan bahwa dalam KUHP tidak boleh tidak ada pengakuan, bahwa negara mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa dari penjahat yang tidak mengindahkan zedewet sama sekali. B. Bawaziijr. Menurutnya berbagai negara telah mengapuskan pidana mati, tetapi kemudian memasukkannya kembali. Hartawi.A.M. Memandang ancaman dan pelaksanaan pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya besar yang dapat menganggu ketertiban umum. Van Veen. Mengemukakan bahwa pidana mati dapat dipandang sebagai kewibawaan pemerintah. Simons. Pidana mati tidak diperkenankan terhadap delik culpa. Fabius. Bahwa pidana mati dipertahankan karena dasar dogmatis. Roos. Hukum pidana menurutnya berguna secara aktif sebagai alat pemidanaan. B. Doovemeerd. Memandang pentingnya pengaruh pidana bagi pelaku tindak pidana. Radbruch. Penerimaan pidana mati dalam kontrak sosial adalah bermutu legal.
Gerakan yang setuju pidana mati beralasan, karena hukuman mati terhadap pelaku kejahatan kejahatan berat atau sangat serius ataupun kejahatan Narkotika dan psikotrapika sebagai kejahatan yang membahayakan kelangsungan kehidupan manusia. Roeslan Saleh, pada tahun 1958, pada ceramahnya di public relations Islam Study Club mengemukakan, bahwa pidana mati tercantum dalam hukum pidana Indonesia, karena alasan alasan keadaan khusus sebagai negeri jajahan Belanda, bahaya gangguan ketertiban umum lebih besar sehingga pidana mati sebagai senjata yang paling unggul dari pemerintahan. Sehingga setelah kemerdekaan maka patutlah untuk meninjau kembali pidana mati dalam hukum pidana Indonesia.
J.E.Sahetapy. dalam disertasinya mengemukakan bahwa perjuangan penghapusan pidana mati dilakukan diberbagai bagian dunia, dimualai oleh Cesare Becccaria, (1764), George fox (1651). Thorstein Sellin. JM. Van Bemmelen. Leo Polak. Hogo.A. Bedau. Berlanjut setelah perang dunia ke II, dari berbagai lembaga seperti di Inggris dibentuk the royal commission on capital punishment. Di Jerman. The great penal law commission. Kanada, membentuk The joint committee of the senate and house of commons. Perancis gerakan abolisi association Francise contre le peine de mort. Di Yunani, dibentuk Panthois institute. Di Amerika melalui lembaga American civil liberties union, new York; citezins against legalized murder,Inc New York dan American league to abolish capital punishment.
Salah satu bentuk sanksi yang paling berat ialah pidana mati, dan telah diperdebatkan ratusan tahun lamanya oleh ahli hukum pidana dan kriminologi. Pro pidana mati beralasan pidana mati diperlukan demi menjerakan dan menakutkan penjahat dan relatif tidak menimbulkan rasa sakit jika dilaksanakan dengan tepat. Setelah penyusunan RUU KUHP Nasional, maka mulailah pro dan kontra pidana mati bermunculan terutama setelah eksekusi pidana mati Kusni Kasdut dan Tupanwael, sehingga menimbulkan gerakan anti hukuman mati (HATI) , pada waktu itu Adam Malik termasuk mendukung gerakan tersebut. Dilanjutkan dengan isyu penembakan misterius terhadap penjahat residivis atau Gali sampai agustus 1983, tindakan itu dibenarkan oleh pejabat teras Indonesia, seperti Ali Murtopo, menyatakan penembakan misterius dapat dipertanggung jawabkan dan justru mendukung tugas hankam, karena sistem konvensional sudah tidak dapat mengatasi kriminalitas di Indonesia.
Alasan terhadap gerakan kontra pidana mati, karena bertentangan dengan tujuan pemidanaan, Menurut Ing Oei Tjo Lan, tujuan pidana adalah memperbaiki individu yang telah melakukan tindak pidana, disamping melindungi masyarakat, jadi nyata dengan adanya pidana mati, bertentangan dengan salah satu dari tujuan pidana. Hal yang dapat disangkal bahwa kepentingan individu sebagai anggouta masyarakat menjadi tanggung jawab negara. Negara tidak hanya menjaga ketertiban umum, tetapi juga memajukan kesejahteraan umum, termasuk terpidana mati, tetapi bilamana dieksekusi maka tamatlah riwayatnya, sehingga tidak dipersoalkan lagi aspek pendidikan dan perbaikannya. Pidana mati telah merendahkan kewibawaan negara, karena negara adalah sebagai pelindung utama terhadap semua kepentingan warganegara. Dengan tindakan pidana mati, maka negara hanya memperlihatkan ketidakmampuannya untuk memberantas kejahatan.
Hukuman mati tidak sesuai dengan semangat penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, bahkan bertentangan dengan konstitusi negara. Adapun alasan dari penentangan terhadap pidana mati adalah; a) Sekali pidana mati dijatuhkan dan dilaksanakan, maka tiada jalan lain lagi untuk memperbaiki kesalahan hakim, jika keliru menjatuhkan putusannya. Karena hakim adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan; b) Pidana mati itu bertentangan dengan perikemanusiaan; c) Dengan penjatuhan pidana mati, sudah tertutup segala usaha untuk memperbaikinya; d) Apabila pidana mati itu dipandang perlu sebagai usaha untuk menakut-nakuti calon penjahat, maka pandangan itu keliru, karena pidana mati biasanya dilaksanakan tidak di muka umum; e) penjatuhan pidana mati pada umumnya mengundang belas kasihan masyarakat, yang dengan demikian mengundang protes-protes terhadap pelaksanaannya; f) pada umumnya Kepala Negara lebih cenderung untuk mengubah pidana mati dengan pidana penjara terbatas atau seumur hidup.
Senada dengan itu adalah pandangan Tb Ronny Nitibaskara, tentang masih diperlukannya hukuman mati, berdasarkan pada alasan Yuridis, Pertama bahwa hukum positif kita masih dengan tegas mencantumkan pidana mati (Pasal 10 KUHP), sehingga tidak satu pasalpun tentang sanksi pidana mati dihapus, atau dinyatakan tidak berlaku. Kalau ada pihak-pihak yang menyatakan bahwa dengan pemasukan pasal-pasal tentang HAM di dalam amendemen UUD Tahun 1945, secara otomatis pidana mati tidak dapat diterapkan, hal itu hanyalah merupakan interpretasi. Kedua Pertimbangan HAM. Selama ini terdapat paham dikalangan sebagian aktivis HAM bahwa hukuman mati tidak dapat diterapkan oleh siapapun, secara doktriner tidak ada yang salah dengan alibi itu, akan tetapi, untuk menjawab bahwa di dunia nyata ada pihak-pihak yang merampas nyawa orang lain dengan atau tanpa alasan yang hakiki, doktrin itu harus diperdalam maknanya. Ketiga. Alasan moral, untuk pertimbangan ini dengan mengutip pendapat mantan hakim agung Bismar Sireger.”
Kalau binatang saja bisa dibunuh, bagaimana pula dengan manusia-manusia tertentu yang kekejian dan kekejamannya melebihi binatang ? tentu manusia demikian layak menerima hukuaman mati”. Keempat. Pertimbangan kondisi aktual masyarakat dan persepsinya tentang jenis kejahatan tertentu, tatkala kejahatan telah mengancam keamanan nasional oleh suatu masyarakat, akan terjadi dorongan yang kuat terhadap pemerintahnya untuk memberikan sanksi yang keras. Kelima. Pertimbangan keyakinan agama. Mayoritas muslim meyakini bahwa dalam syariat islam berlaku pidana mati bagi jenis kejahatan tertentu.
Perdebatan pro-kontra pidana mati, terus bergulir seiring dengan pertumbuhan berpikir dan aliran baru yang melatarbelakanginya, biasanya pandangan humanistis demi kemanusiaan, demi keadilan universal maupun keadilan dengan kearifan lokal, masalah pidana mati pro-kontra perhelatannya memasuki babak-babak baru dengan alasan klasik yang didekati dari teks dan konteksnya yang berbeda, guna kajian yang lebih mendalam maka tidak dapat diketahui berhentinya pro-kontra pidana mati, tetapi dari perspektif stelsel hukum pidana di negara-negara modern, ternyata tidak pernah juga berhenti pergulatan berpikir mengenai pidana mati terutama bila disandingkan dengan kesalahan, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan
Masalah pidana mati, telah menjadi perhatian para ahli hukum pidana, krimonologi, dan Victimologi, terutama berhubungan dengan palsafah pemidanaan, bahwa pemidanaan bukan hanya bertujuan agar terpidana menjadi jera, tetapi juga harus memperhatikan korban, sehingga berkembanglah pendekatan teori restroratif justice. Arief Bernard Sidharta, mengemukakan pandangannya tentang pidana mati yaitu;
1. Pandangan hidup Pancasila berpangkal pada kenyataan bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya yang merupakan suatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tidak suatu pun yang ada di dalam alam semesta yang berdiri sendiri terlepas dari perkaitannya dengan isi alam semesta yang lainya;
2. Juga manusia diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir kehidupannya adalah untuk kembali kepada sumber asalnya, yakni Tuhan. Tiap manusia individual dilengkapi dengan akal budi dan nurani yang memungkinkan manusia membedakan yang baik dari yang buruk, yang adil dari yang tidak adil, yang manusiawi dari yang tidak manusiawi, yang perlu dari yang tidak perlu, yang harus dan yang tidak harus dilakukan, yang boleh dan yang dilarang, dan dengan itu manusia individual memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menentukan sendiri pilihan tindakan yang ( akan ) dilakukannya serta kehidupan yang ingin dijalaninnya. Karena itu, tiap manusia individual bertanggung jawab untuk perbuatan yang telah atau akan dilakukannya. Adanya akal budi dan nurani itu menjadi landasan dari bermartabatan manusia;
3. Telah dikemukakan bahwa eksistensi manusia dikodratkan dalam kebersamaan dengan sesamanya. Dengan demikian penyelenggaraan kehidupan manusia atau proses merealisasikan diri dari setiap manusia berlangsung di dalam kebersamaannya itu, yakni di dalam masyarakat. Untuk dapat merealisasikan dirinya secara wajar, manusia memerlukan adanya ketertiban dan keteraturan ( berekenbaarheid, prediktabilitas, hal yang dapat diperhitungkan terlebih dahulu) di dalam kebersamaannya itu;
4. Terbawa oleh kodrat kebersamaan dengan sesamanya itu maka hukum harus bersifat kekeluargaan;
5. Penyelenggaraan ketertiban itu adalah penghormatan atas martabat manusia, maka tujuan hukum berdasarkan Pancasila adalah pengayoman terhadap manusia dalam arti pasif maupun aktif. Dalam arti pasif meliputi upaya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak. Dalam arti akktif meliputi upaya menumbuhkan kondisi sosial yang manusiawi dan mendorong manusia merealisasikan diri sepenuh mungkin. Tujuan hukum itu meliputi juga pemeliharaan dan pengembangan budi pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
6. Sanksi Pidana adalah salah satu bentuk dari sanksi hukum, yakni akibat tertentu yang dapat (seharusnya) dikenakan kepada seseorang karena perbuatannya yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam kaidah Hukum Pidana. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu pada dasarnya adalah perbuatan yang langsung menindas martabat manusia dan atau membahayakan eksistensi masarakat manusia. Karena itu, sanksi pidana (biasa disebut hukuman) adalah merupakan pengenaan penderitaan atau hal yang dirasakan sebaga hal yang tidak enak (merugikan) bagi yang dikenai. Pengenaan penderitaan kepada seseorang oleh negara menuntut pertanggungjawaban;
7. Agar dapat dipertanggungjawabkan, maka pertama-tama sanksi pidana itu harus merupakan pernyataan secara konkrit tentang penilaian masyarakat terhadap perbuatannya yang dilakukan oleh terpidana: bahwa perbuatan itu buruk, menindas martabat sesamanya dan membahayakan eksistensi masyarakat manusia yang sehat. Kedua, sanksi pidana harus merupakan peringatan agar orang menjauhi perbuatan yang dapat membawa akibat pengenaan pidana itu (perbuatan yang dinilai buruk,dst). Ketiga, pengenaan pidana itu harus diarahkan untuk mendorong terpidana agar mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya sehingga akan mampu mengendalikan kecenderungan-kecenderungan yang negative. Hukuman mati sebagai sanksi pidana tidak memenuhi aspek pertama dan aspek ketiga yang harus ada pada sanksi pidana seperti yang dikemukakan diatas. Jadi, hukuman mati hanya mempunyai aspek untuk mendeter(menangkal) orang lain agar jangan melakukan perbuatan yang menyebabkan pidana dikenakan hukuman mati. Jadi, pada hakikatnya, hukuman mati menetapkan manusia hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang bukan manusia yang dikenainya. Ini berarti bahwa hukuman mati segera langsung bertentangan dengan titik tolak dan tujuan dari hukum itu sendiri, yakni penghormatan atas martabat manusia dalam kebersamaannya. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pada hakikatnya hukuman mati tidak mempunyai tempat dalam gagasan hukum berdasarkan Pandangan Hidup Pancasila (Kekeluargaan).
Bambang Poernomo, mengemukakan pandangannya tentang pidana mati dapat dipertanggungjawabkan dalam negara Pancasila, yang diujudkan sebagai perlindungan individu sekaligus juga melindungi masyarakat demi terciptanya keadilan dan kebenaran dalam hukum berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan hasil penelitian praktek pelaksanaan pidana penjara yang diderita dalam waktu yang lama, oleh sekelompok narapidana di nusakambangan dan landasan filosofis Pancasila yang tidak menutup pintu terhadap eksistensi ancaman pidana mati, diperoleh kesimpulan, daripada mempergunakan cara proses likuidasi kehidupan seseorang di dalam ruang sekapan akan lebih baik dengan ancaman yang keras melalui pidana mati, terutama terhadap kejahatan berat, makar, kejahatan korupsi dan kejahatan penyeludupan. Untuk itu pidana mati masih diperlukan dengan berbagai alasan;
a. Baik dalam pelaksanaan pidana mati maupun pidana penjara, apabila terjadi kekeliruan putusan hakim, menurut kenyataan ternyata tidaklah mudah untuk memperbaikinya,…
b. Berdasarkan lamdasan Pancasila yang dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum harus ditarik garis pemikiran kemanfaatannya demi kepentingan umum bagi masyarakat lebih didahulukan baru kemudian bagi kepentingan individu. Manakala ada pertentangan atas dua pola kepentingan, maka memakai sandaran cara berpikir bahwa bekerjanya tertib hukum yang efficient lebih baik mulai bertitik tolak kepada kepentingan masyarakat yang menjadi dasar di atas kepentingan-kepentingan lain, dalam arti tidak terdapat ketertiban hukum, maka kepentingan yang lain tidak dapat dilaksanakan. Dan di samping itu dasar pembenaran untuk pencegahan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kejahatan adalah alasan subsociale merupakan suatu kepentingan umum bagi masyarakat yang mempunyai sifat lebih tinggi;
c. Dalam hal berbicara tentang budaya dan peradaban bangsa Indonesia tidaklah mungkin berslogan melambung tinggi melampaui kenyataan dari peradaban bangsa-bangsa lain, terutama terhadap negara tetangga yang dalam kenyataan peradabannya tidak menjadi rendah karena masih mengancam dan menjatuhkan pidana mati;
d. Ilmu pengetahuan tentang tujuan hukum pidana dan pemidanaan tidak dapat melepaskan sama sekali sikap alternatif pidana dari unsur-unsur yang berupa pembalasan, tujuan umum, tujuan khusus, pendidikan, menakutkan dan membinasakan bagi kejahatan-kejahatan tertentu, di mana masing-masing tujuan itu dipergunakan secara selektif dan effektif menurut keperluan sesuai dengan peristiwanya.
Konklusi pendapat Bambang Poernomo, adalah dimasa akan datang pidana mati masih diperlukan, dan tidak dikaitkan dengan tujuan utama dari pemidanaan, dan pidana mati hanya dapat dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Untuk itulah dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap pidana mati yang bersifat khusus, Hakim harus mempertimbangkan secara seksama segala hal yang menyangkut pribadi terpidana, keluarga dan lingkungannya, mengenai manfaat dan keburukan yang akan timbul dengan dijatuhkannya pidana mati tersebut, hendaknya dalam masa penantian sebelum dilaksakannya pidana mati, yaitu saat nyawanya akan direnggut, terpidana mati harus tetap dihormati hak hak asasinya, dengan cara memperoleh pembinaan seperti layaknya narapidana lainnya. Salah satu fungsi hukum, adalah membimbing perilaku manusia. Sebagai pedoman ia juga bertugas untuk mengendalikan tingkah laku atau sikap tindak, dan untuk itu ia didukung dengan sanksi negative yang berupa hukuman agar dapat dipatuhi. Oleh karena itu, hukum juga merupakan salah satu sarana pengendalian sosial. Dalam hal ini, maka hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri sendiri serta harta bendanya. Jadi, barang siapa yang melanggar hukum, dia akan memperoleh hukuman (pidana). Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana dan dimana aturan pidana itu menjelma disebut hukum pidana. Oleh karena itu, hukum pidana disebut sebagai Hukum Sanksi Istimewa.
Penjatuhan pidana sebagai penderitaan kepada pelanggar hanya merupakan obat terakhit (Ultimum Remedium) yang hanya dijalankan jika usaha-usaha lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu bentuk pidana yang paling berat adalah pidana mati. J.E. Sahetapy, mengemukakan pandangannya tentang pidana mati dihubungkan dengan Pancasila, dengan penelusuran dari aspek historis, kriminologis dan mengutip berbagai pandangan para ahli pada zamannya, menegaskan, bahwa pengaturan pidana mati dalam menyongsong kodifikasi nasional harus digali sumber hukum khusus Indonesia sebagai syarat mutlak “condition sine qua non”.
Pidana mati menurut hukum Islam , diancam untuk kejahatan Pembunuhan, kewajiban qishos di dasarkan pada Al Quran surat Al Baqorah ayat 178; “Hai orang orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita, maka barang siapa dapat pemaafan dari saudaranya hendaklah memaafkan dengan cara yang baik, dengan membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik, yang demikian itu adalah cara yang baik, barang siapa melampaui batas itu, maka baginya adalah siksa yang pedih”. Demikian pula dalam surat An Nissa ayat 92, yakni , “Barang siapa membunuh orang mukmin karena bersalah atau tidak sengaja, maka wajib memerdekakan budak yang mukmin dan wajib membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika mereka menyedekahkannya”. Dalam surah Al Isro ayat 33, menentukan: “Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh ALLAH (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan yang benar, dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tapi janganlah ahli waris melampaui batas dalam membunuh itu”.Perzinahan. Sebagaimana dalam Surah An Nur ayat 2:“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalakannya agama ALLAH , jika kamu beriman kepadaNYA dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan pula oleh orang-orang yang beriman. Perampokan, Kejahatan perampokan dan ancaman hukumannya disebutkan dalam Al Qur’an surah Al-Maidah ayat 33: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya, dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan timbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”
Pemberontakan, dasar hukum dalam Al Qur’an bahwa seorang pemimpin (imam) harus ditaati, berdasarkan Surah An Nisa ayat 59:“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati-lah Rasul (Nya) dan Ulil amri diantara kamu” Seorang pemimpin (imam) dibebani kewibawaan untuk memelihara dan mempertanggungjawabkan kesatuan umat Islam. Apabila terjadi pertentangan di antara kaum muslimin atau ada segolongan kaum muslimin yang berusaha menentang kekuasaan pemerintah, imam sebagai kepala negara harus mempertanggungjawabkan semua ini, dengan mengusahakan perdamaian terlebih dahulu. Jika tidak berhasil, baru pemberontakan itu diperangi. Kewajiban ini dapat dipahami dari surah Al-Hujarat ayat 9:“Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada Perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Murtad, nerupakan suatu pernyataan sikap yang disusul dengan tindakan keluar dari Islam, pelakunya sebelum itu adalah penganut Islam. Murtad terjadi dalam bentuk salah satu dari tiga hal, yaitu: Pertama, dengan perkataan yang mengkafirkan, sperti mencela Allah dan Rasul-Nya. Kedua, dengan perbuatan yang mengkafirkan, seperti menyembah berhala dan lain-lain. Ketiga, dengan kekeliruan (perubahan) keyakinan(itikad) seperti mempercayai atau meyakini bahwa ala mini kekal, mempercayai bahwa yang haram itu halal, dan sebagainya. Kejahatan murtad tersebut diterangkan Allah dalam Al Qur’an surah Ali imron ayat 85: “ Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang –orang yang rugi”. Ancaman pidana mati bagi pelaku kejahatan murtad adalah seabgaimana sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari: “Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata: Raulullah Saw. bersabda: “tidak dihalalkan darahnya seorang muslim yang mengakui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan aku ini utusannya, keduali disebabkan oleh salah satu dari tiga macam: 1). Duda/janda yang berzina, 2). Yang (dihukum mati karena) membunuh orang, 3). Orang yang meninggalkan agamanya, serta memisahkan diri dari jamaah (murtad). Muttafaq ‘Alaih”.
Pidana mati merupakan satu jenis pidana dalam usianya, setua usia kehidupan manusia dan paling controversial dari semua sistem pidana, baik di negara-negara yang menganut sistem Commom Law, maupun negara-negara yang menganut Civil Law. Terdapat dua arus pemikiran utama mengenai pidana mati ini, yaitu ; pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan penghapusan secara keseluruhan. Kecenderungan masa kini adalah penghapusan pidana mati, seperti yang dilakukan dibeberapa negara Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Indonesia, termasuk negara yang masih mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum positifnya. Hal ini terlihat baik dalam KUHP, maupun Undang-undang pidana diluar KUHP (undang-undang pidana khusus). Pidana mati sebagaimana tercantum dalam KUHP berlaku di Indonesia sejak Januari 1918 dan diatur dalam pasal 10. Dalam pasal ini dimuat dua macam bentuk pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati adalah bagian dari pidana pokok adapun ketentuan di luar KUHP adalah antara lain dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.Di Indonesia perdebatan tentang penerapan pidana mati telah di mulai setidaknya sejak penjahat kelas kakap Kusni Kasdut dieksekusi pada tanggal 6 Pebruari 1980.
Ia dijatuhi pidana mati karena kejahatan melakukan perampokan dan pembunuhan. Pelaksanaan eksekusi setelah permintaan grasinya ditolak. Terhadap terpidana Kusni Kasdut perhatian masyarakat pada waktu itu sangat besar. Kepergiannya meninggalkan keharuan, sekalipun ia adalah bekas perampok dan pembunuh. Secara kebetulan dalam masyarakat Indonesia sedang ada gerakan yang mempertahankannya, apakah pidana mati masih sesuai dengan kebudayaan masyarakat pancasila.
Pada tahun 2003 ihwal pidana mati ini kembali diperdebatkan. Hal ini bermula dari adanya penolakan grasi bagi enam terpidana mati oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, pada tanggal 3 Pebruari 2003, Presiden mengeluarkan empat Keppres yaitu No : 20/G; 21/G; 22/G; dan 24/G; Tahun 2003. Keempat Keppres ini menolak semua permohonan grasi dari enam terpidana, masing-masing Suryadi Swabhuana (37), Sumiarsih (55), Djais Andi Prayitno (69), Jurit bin Abdullah (38), dan Ayodhya Prasad Chaubey (64). Beragam argumentasi, mengemukakan, mulai dari nilai kemanusian dan HAM sampai pelanggaran konstitusi. Perdebatan pidana mati kembali lagi mencuat terkait dengan uji materi pasal-pasal dalam Undang-undang tentang Narkotika, pada bulan juli 2007, Mahkamah Konstitusi memeriksa dua perkara No. 2/PUU-V/2007 yang diajukan oleh empat orang, yaitu Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani (Melisa Aprilia), keduanya sedang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan khusus wanita, Tangerang, serta Myuran Sukmaran dan Andrew Chan, keduanya warganegara Australia yang sedang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Krobokan, Kuta Bali, yang diwakili kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis. Para pemohon merupakan terpidana mati yang telah menjalani proses persidangan mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang tentang Narkotika.
Pro kontra pidana mati telah berlangsung berabad-abad lamanya, dengan juga beraneka ragam argumentasi,, baik yang pro maupun yang kontra. Dan adalah tidak benar argumentasi kelompok yang kontra pidana mati, bahwa pandangan merekalah yang mendominasi dunia dewasa ini, karena penganut pandangan yang pro pidana mati juga tak kalah banyaknya. Sebagai contoh, Di Amerika Serikat saja yang terdiri dari 50 negara bagian, hanya 12 negara bagian yang tidak memperlakukan pidana mati, yang lainnya masih mempertahankan pidana mati.
Kedudukan hukum (Legal Standing) para pemohon antara lain, menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, antara lain adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak dan/atau kewenangan kontitusionalnya yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Sementara itu, Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan kontitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemhon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian konstitusional tersebu harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensional yang menurut penalaaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugia dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Menimbang bahwa dua orang WNI sebagai Pemohon dalam Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 yakni Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani (Melisa Aprilia) mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28A dan Pasal 281 ayat (1) UUD 1945 (hak untuk hidup yang bersifat non-derogable) yang secara aktual dirugikan oleh adanya ketentuan pidana mati dalam Undang-undang tentang Narkotika, sebab kedua Pemohon a quo telah dijatuhi pidana mati oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan tinggal menunggu eksekusi. Dengan demikian, kedua Pemohon tersebut memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-undang tentang Narkotika;
Menimbang bahwa oleh karena, sebagaimana telah diuraikan di atas, permohonan a quo juga diajukan oleh tiga orang warga negara asing (WNA), yaitu Scott Anthony Rush, Myuran Sukumaran, dan Andrew Chan, maka Mahkamah terlebih dahulu harus juga mempertimbangkan apakah WNA memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk menjadi Pemohon Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Menimbang bahwa tentang kedudukan hukum (Legal standing) para Pmohon WNA dalam perkara a quo, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: a. Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-undang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya sangat tegas dan jelas (expressis verbis) menyatakan bahwa perorangan yang berhak mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (yang berarti yang mempunyai hak kontitusional yang diberikan oleh UUD 1945) hanya WNI, WNA tidak berhak; b. tidak dimungkinnya WNA mempersoalkan suatu undang-undang Republik Indonesia tidak berarti bahwa WNA tidak memperoleh perlindungan hukum menurut prinsip due process of law, in casu dalam hal ketentuan pidana mati dimana Pemohon tetap dapat melakukan upaya hukum (legal remedies) berupa banding, kasasi, dan peninjauan kembali; c. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-undang Mahkamah Konstitusi mengenai “perorangan” termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama haruslah dikaitkan dengan bunyi Pasal 51 ayat (1) huruf a “perorangan warga Indonesia”, sehingga selengkapnya setelah ada penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a harus dibaca “perorangan termasuk orang yang mempunyai kepentingan sama warga negara Indonesia”. Dengan demikian, Pemohon WNA tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a beserta penjelasannya, sehingga para Pemohon WNA tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara a quo.
Dengan kata lain, para Pemohon WNA telah keliru menafsirkan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-undang Mahkamah Konstitusi yaitu bahwa, para Pemohon a qou, oleh karena tidak ada kata “Indonesia” pada Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-undang Mahkamah Konstitusi tersebut, maka berarti WNA pun memiliki kedudukan hukum untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 karena para WNA dimaksud termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama. Pendapat Pemohon yang demikian telah keluar dari konteks Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-undang Mahkamah Konstitusi. Karena yang dijelaskan oleh Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-undang Mahkamah Konstitusi tersebut adalah pengertian kata “perorangan” dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-undang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi, “a. perorangan warga negara Indonesia”. Sehingga, yang dimaksud oleh kalimat “termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama” dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-undang Mahkamah Konstitusi adalah kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan sama. Menimbang bahwa dengan demikian, karena para Pemohon warga negara asing tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan a quo, maka mutatis mutandis Pokok Permohonan Pemohon III dan Pemohon IV untuk pengujian Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-undang Mahkamah Konstitusi tidak perlu pertimbangkan, sehingga permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
Pendirian Mahkamah Konstitusi; Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan dalil-dalil permohonan dan kesimpulan para Pemohon, alat-alat bukti tertulis, keterangan para ahli, keterangan DPR RI, keterangan dan kesimpulan dari Pemerintah, keterangan dan kesimpulan para Pihak Terkait, maka Mahkamah sampai pada pendirian mengenai isu pokok permohonan a quo, yakni apakah ketentuan pidana mati (death penalty; capital punishment) sebagaimana tercantum dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a Undang-undang tentang Narkotika bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Pemohon ketentuan dalam Pasal-pasal Undang-undang tentang Narkotika tersebut bertentangan dengan, Pasal 28A UUD 1945 dan Pasal 281 ayat (1) UUD 1945.
Menimbang bahwa sebelumnya menyatakan pendiriannya perihal konstitusional-tidaknya pidana mati, in casu yang tercantum dalam Undang-undang tentang Narkotika, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut: (a). bahwa Mahkamah ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, adalah bertugas untuk menyelenggarakan peradilan bukan saja untuk menegakan hukum tetapi juga keadilan. Dalam hubungannya dengan isu pidana mati, keadilan yang ditegakkan berdasar atas hukum itu haruslah senantiasa dibuat dengan mengingat pertimbangan-pertimbangan dari berbagai perspektif, yaitu dari perspektif pidana atau pidana mati itu sendiri, kejahatan ditegakkan berdasar atas hukum senantiasa dibuat dengan mengingat pertimbangan-pertimbangan dari berbagai perspektif, yaitu perspektif pidana mati itu sendiri, kejahatan yang diancam dengan pidana mati, pelaku kejahatan yang dijatuhi pidana mati, dan perspektif korban serta keluarga korban dari kejahatan yang diancam dengan pidana mati itu. Oleh sebab itu, berbicara tentang pidana mati, tidaklah adil apabila pertimbangan dibuat dengan hanya memfokuskan diri pada pandangan dari perspektif pidana mati dan orang yang dihukum mati belaka, dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dari perspektif kejahatan yang diancam dengan pidana atau pidana mati itu dan dari perspektif korban serta keluarga dari kejahatan tersebut. (b) Dalam kaitannya dengan permohonan a quo, tampak nyata bahwa hampir seluruh dalil Pemohon dibangun di atas argumentasi yang bertolak semata-mata dari perspektif hak untuk hidup (right to life) orang yang dijatuhi pidana mati. Kelemahan yang tak mudah untuk dielakkan oleh pandangan demikian adalah:
i) Pandangan demikian akan dipahami sebagai pandangan yang menisbikan, bahkan menihilkan, kualitas sifat jahat dari perbuatan atau kejahatan yang diancam dengan pidana mati tersebut. Padahal, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati itu adalah kejahatan-kejahatan yang secara langsung maupun tidak langsung menyerang hak untuk hidup (right to life) dan hak atas kehidupan (right of life), yang tak lain dan tak bukan adalah hak yang justru menjadi dasar pembelaan paling hakiki dari pandangan yang menghendaki dihapuskannya pidana mati tersebut. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah di manakah letak perbedaan hakiki antara hak untuk hidup dari pelaku kejahatan yang diancam dengan pidana mati tersebut, dan hak untuk hidup dari mereka yang menjadi korban kejahatan itu, sehingga yang satu harus dimutlakkan (dalam hal ini hak untuk hidup pelaku kejahatan yang diancam dengan pidana mati) sedangkan yang lain dapat dinisbikan, bahkan dinihilkan (dalam hal ini hak untuk hidup korban), setidak-tidaknya diabaikan dari pertimbangan para penyokong penghapusan pidana mati. Dengan rumusan kata-kata yang berbeda, bagaimanakah penjelasan yang dapat diterima oleh akal sehat dan rasa keadilan bahwa hak hidup dari pelaku kejahatan pembunuhan berencana, pelaku kejahatan genosida, pelaku kejahatan terhadap kemanusian, pelaku kejahatan terorisme-sekadar untuk menunjuk beberapa contoh-harus dimutlakkan dengan mengabaikan hak untuk hidup korban dari kejahatan itu. Kegagalan untuk memberikan penjelasan yang dapat diterima oleh akal sehat dan rasa keadilan atas pertanyaan tersebut mengakibatkan seluruh bangunan argumentasi yang disusun di atas landasan pembelaan atas hak untuk hidup sebagai hak mutlak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun menjadi sangat problematis.
ii) Pandangan demikian juga menihilkan rasa keadilan pihak keluarga korban, sekaligus rasa keadlian masyarakat pada umumnya. Dengan tetap menghargai pendirian mereka yang menentang pidana mati seperti pendapat Cesare Beccaria, sebagaimana dikutip para Pemohon dalam permohonan a quo, pendapat ini sama sekali belum menjawab pertanyaan bagaimanakah memulihkan kepedihan hati dari suatu keluarga yang kehilangan salah seorang anggota keluarga yang salah seorang anggota keluarga yang dicintainya yang telah menjadi korban pembunuhan berencana, atau korban kejahatan genosida, atau korban kejahatan terorisme. Apa yang dapat dan harus diperbuat oleh hukum terhadap mereka. Oleh karena keadaan semacam itu dapat terjadi pada keluarga mana pun dalam suatu masyarakat, maka pertanyaan itu juga dapat dirumuskan menjadi, apa yang dapat dan harus dilakukan oleh hukum terhadap masyarakat. Dengan berlindung di balik argumentasi restrorative justice, yang semata-mata melihat pelaku kejahatan (yang diancam dengan pidana mati itu) sebagai “orang sakit yang perlu disembuhkan”, pandangan ini telah mengabaikan fakta bahwa setiap kejahatan – apakah ia termasuk dalam kategori mala in se atau mala prohibita – sesungguhnya adalah serangan terhadap harmoni sosial masyarakat, yang berarti pula bahwa setiap kejahatan pasti menimbulkan “luka” berupa disharmoni sosial pada masyarakat. Makin tinggi kualitas kejahatan makin tinggi pula kualitas disharmoni sosial yang ditimbulkannya pada masyarakat. Sehingga, pertanyaannya kemudian adalah mungkinkah harmoni sosial dalam masyarakat dipulihkan hanya dengan merestorasi pelaku kejahatan yang menimbulkan disharmoni tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang menentang pidana mati. Hukuman (pidana) yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan haruslah dilihat juga sebagai upaya untuk mengembalikan harmoni sosial yang terganggu akibat dari kejahatan itu. Keadilan baru dirasakan ada manakala harmoni sosial dipulihkan. Artinya, yang membutuhkan upaya-upaya restorative sesungguhnya adalah masyarakat yang harmoni sosialnya terganggu oleh adanya kejahatan tadi. Dengan demikian, hukuman (pidana) adalah upaya untuk merestorasi disharmoni sosial itu. Bukankah karena alasan ini Immanuel Kant pernah berkata, “bahkan jika suatu masyarakat telah berketetapan hati untuk membubarkan dirinya sendiri pun……pembunuh yang terakhir meringkuk di dalam penjara harus dieksekusi”
iii) Pandangan yang menghendaki dihapuskannya pidana mati yang didasarkan pada alasan ketidaksempurnaan system peradilan pidana sehingga memungkinkan terjadinya kekeliruan, yaitu dijatuhkannya pidana mati terhadap orang yang tak bersalah, tidak sepenuhnya dapat diterima, setidak-tidaknya karena dua alasan. Pertama, dengan tetap mengakui ketidaksempurnaan system peradilan pidana, menghapuskan pidana mati yang di satu pihak tetap tidak serta-merta membuat system peradilan pidana jadi sempurna, di lain pihak penghapusan pidana mati itu sudah pasti menciderai rasa keadilan masyarakat karena tidak terestorasinya harmoni sosial yang ditimbulkan oleh terjadinya kejahatan yang diancam dengan pidana mati itu. Kedua, dengan menonjolkan kemungkinan terjadinya kekeliruan dalam penjatuhan pidana mati kepada orang yang tak bersalah, atau telah terjadinya kekeliruan pada beberapa kasus, tanpa mengajukan fakta-fakta yang menunjukkan persentase kekeliruan yang telah terjadi dalam penjatuhan pidana mati dalam suatu rentang waktu tertentu, pandangan ini sulit menghindar dari kecurigaan akan adanya kesengajaan untuk membentuk suasana hiper-realitas (hyper-reality) sehingga pesan yang ditangkap oleh publik menjadi bias karena orang akan terpaku pada kekeliruan itu dan melupakan substansi perdebatan yang sesungguhnya yakni mengapa pembelaan hak untuk hidup terhadap pelaku kejahatan yang diancam dengan pidana mati menjadi lebih bernilai daripada pembelaan terhadap hak untuk hidup dari korban kejahatan itu.
iv) Pandangan yang menghendaki dihapuskannya pidana mati dengan argumentasi bahwa pidana mati telah gagal membangun efek jera dengan mengajukan data-data statistik yang menunjukkan bahwa pidana mati menurunkan kuantitas kejahatan, diragukan kecukupan (sufficiency) nilai argumentatifnya guna mendukung gagasan penghapusan pidana mati, setidak-tidaknya karena dua alasan. Pertama, dalam hal negara yang telah menghapuskan pidana mati, data-data tersebut tidak menjawab pertanyaan bagaimana jika pada saat yang sama pidana mati diberlakukan di negara-negara itu, apakah angka-angka kejahatan-kejahatan yang diancam pidana mati itu menurun atau meningkat. Kedua, terhadap data-data statistik yang menyangkut tindak pidana narkotika dan obat-obatan terlarang di Indonesia sepanjang tahun 2001-2005 yang dari tahun ke tahun menunjukkan adanya peningkatan kuantitas, pertanyaan yang timbul adalah: a) data-data statistic terebut bukan data yang secara spesifik berkenaan dengan tindak pidana narkotika dan spikotropika yang diancam dengan pidana mati, melainkan juga mencakup tindak pidana narkotika dan psikotropika yang tidak diancam dengan pidana mati. Oleh karena itu, muncul pertanyaan, meskipun kuantitas tindak pidana narkotika dan psikotropika tersebut terlihat meningkat, apakah kuantitas tindak pidana narkotika yang diancam pidana mati juga meningkat atau justru sebaliknya menurun; b) data-data statistik tersebut juga tidak menjawab pertanyaan, bahwa jika dalam keadaan pidana mati masih diberlakukan juga ternyata terjadi peningkatan kuantitas sedemikian, apalagi jika pidana mati tersebut dihapuskan.
v) Pandangan yang menghendaki dihapuskannya pidana mati dengan alasan karena pidana mati bertentangan dengan filosofi pemidanaan di Indonesia, menurut Mahkamah, pandangan ini telah menyamaratakan semua jenis kejahatan dan sekaligus menyamaratakan pula kuantitasnya. Yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah apakah dengan pemberlakuan pidana mati serta-merta berarti mengubah filosofi pemidanaan di Indonesia, yaitu rehabilitasi dan reintegrasi sosial pelaku tindak pidana. Mahkamah berpendapat, filosofi tersebut adalah prinsip yang bersifat umum. Artinya, ia hanya berlaku terhadap kejahatan-kejahatan tertentu dan dalam kualitas tertentu yang memang masih mungkin untuk dilakukan rehabilitasi dan reintegrasi sosial pelakunya. Sehingga, penerapan pidana mati terhadap jenis dan kualitas kejahatan tertentu tidaklah serta-merta mengubah filosofi pemidanaan di Indonesia. Selain itu, dalam hukum pidana, sangatlah sulit untuk menghilangkan sama sekali adanya kesan retributif (pembalasan) pemidanaan itu karena aspek retributif tersebut memang melekat pada sifat sanksi pidana itu sendiri jika semata-mata dilihat dari perspektif orang yang dijatuhi sanksi pidana dan korban tindak pidana. Namun, kesan demikian akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali apabila pengenaan suatu sanksi pidana, termasuk pidana mati, dilihat dari perspektif upaya untuk mengembalikan harmoni sosial yang terganggu sebagai akibat dari adanya suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. Dengan demikian, pendapat para Pemohon dalam permohonan a quo yang mengatakan teori balas dendam “an eye for an eye” (vergeldingstheorie, lex taiones) dengan adanya ancaman pidana mati dalam Undang-undang tentang Narkotika mendapatkan legitimasi, sehingga bertentangan dengan tujuan pemidanaan di Indonesia, tidaklah tepat.
vi) Dengan uraian pada angka v) di atas, tidaklah berarti Mahkamah menutup mata terhadap fakta yang mengambarkan kecenderungan negara-negara di dunia saat ini untuk menghapuskan pidana mati, yaitu 88 negara yang abolisionis untuk semua kejahatan (abolitionist for all crimes), 11 negara hanya terhadap kejahatan biasa (abolitionist for ordinary crimes only), dan 30 negara melakukan moratorium (abolitionist in practice). Namun, bagi Mahkamah, yang menjadi pokok soal dalam hal pidana mati bukanlah angka-angka statistic yang menggambarkan kecenderungan itu melainkan apakah pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius (the most serious crimes), adil serta dapat dibenarkan oleh UUD 1945, hal mana akan diuraikan dalam pertimbangan selanjutnya dari putusan ini.
Menimbang untuk selanjutnya, secara lebih spesifik terhadap dalil-dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
(a) Berdasarkan argumentasi yang dibangun para Pemohondalam permohonannya tampak bahwa, meskipun para Pemohon menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Narkotika sebagai pintu masuk pengajuan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, tujuan akhir yang hendak dicapai adalah hapusnya pidana mati dalam seluruh ketentuan perundang-undangan Indonesia. Ada dua alasan mendasar yang diajukan oleh para Pemohon sebagai landasan pembenarnya, yaitu, bahwa menurut para Pemohon, (i) pencantuman pidana mati dalm Undang-Undang tentang Narkotika bertentangan dengan UUD 1945, secara khusus dengan Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945; (ii) pencantuman pidana mati dalam Undang-Undang tentang Narkotika bertentangan dengan keberadaan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang menhendaki dihapusnya pidana mati. Terhadap kedua hal tersebut Mahkamah berpendapat bahwa kendatipun yang relevan untuk dipertimbangkan oleh Mahkamah ini hanyalah pertimbangan-pertimbangan yang terkait dengan alasan pembenar para Pemohon pada angka (i), namun mengingat fakta bahwa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional adalah benar adanya, maka menjadi penting pula bagi Mahkamah untuk juga menyatakan pendiriannya dalam kaitan dengan alasan yang diajukan para Pemohon pada angka (ii) di atas.
(b) Berkenaan dengan persoalan apakah pidana mati bertentangan dengan UUD 1945, argumentasi pokok yang diajukan para Pemohon adalah bahwa pidana mati bertentangan dengan hak untuk hidup (right to life), sementara itu oleh karena hak untuk hidup, menurut rumusan Pasal 281 ayat (1) UUD 1945, dikatakan sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun maka, menurut para Pemohon, pidana mati bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap argumentasi para Pemohon ini Mahkamah berpendapat:
1) Bahwa menurut sejarah penyusunan Pasal 28I UUD 1945, sebagaimana diterangkan pada persidangan tanggal 23 Mei 2007 oleh Lukman Hakim Saefuddin, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, yang pada intinya menerangkan bahwa tatkala merumuskan BAB XA (Hak Asasi Manusia) rujukannya atau yang melatarbelakanginya adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Dari ketetapan MPR tersebut kemudian lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya (Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999) adalah sama yaitu menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas. Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Keterangan senada juga disampaikan oleh Patrialis Akbar, mantan naggota PAH I BP MPR lainnya, pada persidangan pertama. Dari jawaban-jawaban kedua mantan anggota PAH I BP MPR atas pertanyaan Kuasa Pemohon, Pemerintah, Pihak Terkait Badan Narkotika Nasional, dan Hakim Konstitusi dalam persidangan, hal penting yang didapat adalah bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. “… kembali saya tegaskan bahwa keberadaan Pasal 28J ini adalah pasal, satu-satunya pasal, yang terdiri dari dua ayat yang justru bicara kewajiban, padahal babnya hak asasi manusia. Dan sengaja ditaruh di pasal yang paling akhir sebagai kunci dari Pasal 28A sampai Pasal 28I”, demikian ditegaskan oleh Lukman Hakim Saefuddin. Dengan seluruh uraian pada angka 1) di atas, tampak bahwa dilihat dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interp retatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Right yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2).
2) Dilihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, juga tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutkakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang, sebagai berikut: (a) UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah-satunya adalah sila “Kemanusian yang adil dan beradab”; (b) Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketentraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokratis”; (b) Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketentraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”; (d) UUD 1945 pasca perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan faham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi-konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia seabgaimana telah diuraikan di atas;
3) Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang hak asasi manusia sebagaimana diuraikan pada angka 2) di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, sebagai berikut: (a) Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 selain memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”; (b) Undang-undang HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun Penjelasan Pasal 9 Undang-undang HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selian itu, Pasal 73 Undang-undang HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oelh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terahdap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lian, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
4) Indonesia seabagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan juga anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) secara moral perlu memperhatikan isi Deklarasi Cairo Mengenai Hak-hak Asasi Islami yang diselenggarakan oleh OKI yang dalam Pasal 8 huruf a deklarasi tersebut menyatakan, “Kehidupan adalah berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat manusia. Adalah tugas dari individu, masyarakat dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari setiap pelanggaran apa pun, dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali berdasarkan syariat”. Sehingga, menurut pandangan negara-negara anggota OKI, pencabutan hak untuk hidup yang tidak didasarkan atas hukum yang bersumber dari syariat itulah yang dilarang;
5) Mahkamah telah pernah menjatuhkan putusan dalam permohonan pengujian undang-undang yang mendasarkan dalil-dalil pengujiannya pada Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, yaitu dalam pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Soares. Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam hubungan ini, Mahkamah menyatakan pendiriannya, sebagaimana selengkapnya dapat dibaca dalam Putusan Nomor 065/PUU-II/2004, yang pada intinya menegaskan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga Mahkamah berpendirian bahwa hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak. Oleh karena hak untuk hidup juga termasuk ke dalam kelompok hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apa pun”, maka pertimbangan hukum dan pendirian Mahkamah tersebut berlaku pula terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan hak untuk hidup (right to life) dalam permohonan a quo;

Menimbang bahwa meskipun berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, telah nyata bahwa pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan tertentu dalam Undang-undang tentang Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah memandang perlu untuk memberikan catatan penting sebagai berikut: Pertama, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights juncto Pasal 6 ICCPR ( International Convenant on Civil and Political Rights) juncto Undang-undang HAM dan UUD 1945 serta berbagai Konvensi Internasional yang menyangkut Narkotika, khususnya Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, ancaman pidana mati yang dimuat dalam Undang-undang tentang Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat serta tidak diancamkan pada semua tindak pidana Narkotika yang dimuat dalam Undang-undang tersebut, melainkan hanya diberikan kepada : a) produser dan pengedar (termasuk produsen adalah penanamnya) yang melakukannya secara gelap (illicit), tidak kepada penyalahguna atau pelanggar Undang-undang tentang Narkotika/Psikotropika yang dilakukan dalam jalur resmi (licit) misalnya pabrik obat/farmasi, pedagang besar farmasi, rumah sakit, puskesmas, dan apotek; b) para pelaku sebagaimana disebut dalam butir a diatas yang melakukan kejahatannya menyangkut Narkotika Golongan I (misalnya Ganja dan Heroin);
Kedua, ancaman pidana mati yang dimuat dalam pasal-pasal pidana Undang-undang tentang Narkotika juga memberikan ancaman hukuman pidana minimal khusus. Artinya, dalam menjatuhkan hukuman pada pelaku pelanggaran Pasal-pasal Narkotika Golongan I tersebut, hakim berdasarkan alat bukti yang ada dan keyakinannya dapat menghukum pelakunya dengan ancaman maksimalnya, yaitu pidana mati. Sebaliknya, kalau berkeyakinan bahwa sesuai dengan bukti yang ada, unsur sengaja dan tidak sengaja, pelakunya di bawah umur, pelakunya perempuan yang sedang hamil, dan sebagainya, sehingga tidak ada alasan untuk menjatuhkan hukuman maksimum, maka kepada pelakunya (walaupun menyangkut Narkotika Golongan I) dapat pula tidak dijatuhi pidana mati. Dengan demikian, jelaslah bahwa pemberlakuan pidana mati dalam kasus kejahatan Narkotika tidaklah boleh secara sewenang-wenang diterapkan oleh hakim dan ini sesuai dengan ketentuan dalam ICCPR.
Sejumlah ahli baik dari kalangan akademisi, praktisi dan aparat penegak hukum dihadirkan dalam sidang pengujian Undang-undang tentang Narkotika tersebut. Berbagai pendapat dilontarkan yang semuanya hampir sama-sama kuat dan logis. Terdapat dua arus pemikiran, yaitu; pertama, mereka yang kontra pidana mati mengganggap bahwa dalam hal tindak pidana narkotika pidana penjara atau pidana mati lebih banyak ketidak-efisien daripada tujuan yang ingin dicapai, yakni timbulnya efek jera. Hal ini terlihat bahwa walaupun sudah banyak yang dijatuhkan pidana mati, tetap saja jumlah kasus narkoba tidak berkurang, bahkan bertambah. Sementara, yang pro pidana mati, mengganggap masih perlu dan harus dijalankan. Ancaman hukuman pidana mati masih diperlukan untuk memberikan efek jera. Kepada para pelaku kejahatan dan mencegah pelanggaran yang lebih parah, terutama dalam hal kasus narkotika. Satu-satunya cara untuk memutus mata rantai narkotika adalah dengan menjatuhkan pidana mati kepada pelaku narkoba. Hal ini untuk melindungi kepentingan negara dan masyarakat dari bahaya narkotika. Setelah mendengar berbagai pendapat tersebut, Mahkamah Konstitusi perlu juga mendengar tim perumus RUU KUHP yang diwakili oleh Mardjono Reksodiputro. Menurutnya RUU masih mengadopsi pidana mati, hukuman mati masih diperlukan tapi bukan pada pidana pokoknya. “Ia harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif dikhususkan pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan bulat oleh majelis hakim.”
Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa Indonesia termasuk Negara yang masih menganut pidana mati dalam hukum positifnya. Terkait dengan penerapan pidana mati bertitik tolak pidana mati sebagai sanksi pidana dengan melihat bahwa yang dituju adalah suatu proyeksi mengenai efektivitasnya sebagai sarana prevensi maupun represi. Hal ini perlu disoroti, karena perihal pidana mati mengenai perlu atau tidaknya diterapkan sebaiknya juga dilihat apakah terpidana mati dapat memberikan pengaruh agar tujuan pemidanaan untuk mengurangi kejahatan. Sehingga perlu dikemukakan kembali, perspektif pidana mati dalam Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa, memimpin cita-cita kenegaraan. Sebagai causa prima, pengakuan adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hukum islam dikenal sebagai qishos yang tidak bertentangan dengan agama islam, demikian pula pada agama Kristen, baik katholik maupun Protestan, membenarkan adanya hukuman mati. Sila Perikemanusiaan , adalah sebagai sendi yang utama untuk melaksanakan masyarakat sosialis Indonesia, sehingga pidana mati dapat digunakan sebagai alat radikal, guna mencegah tindakan di luar batas-batas perikemanusiaan demi terlaksananya cita-cita masyarakat sosialisme Indonesia. Sila Kebangsaan. Tentang persatuan Indonesia, ditegaskan bahwa, Tanah air kita adalah satu tanah air Indonesia adalah satu yang tidak dapat dibagi-bagi yang bercorakkan Bhineka Tunggal Ika, bersatu dalam berbagai suku bangsa yang batasnya ditentukan dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sila Kerakyatan (Demokrasi). Kerakyatan menciptakan pemerintahan yang adil yang dilakukan dengan rasa tanggung jawab, agar tersusun sebaik-baiknya demokrasi Indonesia, yang mencakup demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, sehingga pidana mati tidak bertentangan dengan kerakyatan, pidana mati dalam KUHP bukan sebagai alat penindas demokrasi, dan sebagai alat untuk mengubur diktatorial. Sila Keadilan Sosial. Adalah keadilan yang merata dalam segala lapangan kehidupan, dibidang sosial, kebudayaan, yang dapat dirasakan segenap bangsa Indonesia. Keadilan sosial juga sebagai suatu sifat masyarakat adil dan makmur, berbahagia untuk semua orang, tak ada penghinaan. penindasan dan penghisapan. Pidana mati untuk Negara Indonesia masih dibutuhkan terhadap pelaku kejahatan berat, pembunuhan berencana yang dilakukan secara sadis, termasuk pelaku genosaida dan crime againt humanity, pengedar narkotika, koroptor kelas kakap dan teroris. Hanya saja, memang tehnis pelaksanaan eksekusi pidana mati itu yang perlu direvisi, sehingga mengurangi rasa sakit terpidana, misalnya dengan menggunakan suntikan yang tidak menyakitkan.
Pelaksanaan pidana mati, di Indonesia secara empiris yang terbanyak adalah dibidang kejahatan Narkotika dan Psikotrapika, hal mana kedua undang-undang ini, menentukan maksimum hukuman mati, disebabkan oleh pengaruh masyarakat Internasional yang menganggap bahaya dari kejahatan narkotika dan psikotrapika terutama terhadap penyalahgunaan untuk kepentingan penghancuran generasi muda dan kelangsungan kehidupan kemanusiaan, dari beberapa konvensi Internasional tentang hal ini, menunjukan berbahayanya akibat dari peredaran gelap narkotika dan psikotrapika, sehingga mengharuskan hukuman berat hingga hukuman mati, dan Indonesia menjadi negara yang sangat strategis terhadap jalur perdagangan gelap, dan juga membuktikan dalam putusan peradilan negeri hingga putusan Mahkamah Agung, statistik hukuman mati menunjukan hingga sekarang yang terbanyak penjatuhan hukuman mati adalah terhadap kejahatan narkotika dan psikotrapika. Terutama pelakunya berasal dari beberapa negara, yakni Afrika, Australia, Muangthai, Malaysia, Singafore, Amerika Serikat, Banglades dan Eropah.
Pidana Mati Dalam Hukum Positif. Het recht hinkt achter de feiten aan merupakan sebuah ungkapan yang bermakna bahwa hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. Hukum yang dimaksud adalah hukum tertulis atau undang-undang yang perubahannya harus melalui prosedur, sehingga tidak dapat setiap kali dilakukan untuk disesuaikan dengan keadaan. Pertumbuhan ketentuan pidana denda dalam undang-undang pidana di luar KUHP sebagai karya legislator, mengalami kemajuan yang sangat pesat. Andi Hamzah mengemukakan bahwa peraturan hukum pidana yang tercantum di luar KUHP dapat disebut sebagai undang-undang pidana tersendiri (afzonderlijke (straf) wetten) dan kuncinya adalah Pasal 103 KUHP yang mengatakan bahwa ketentuan umum KUHP, kecuali Bab IX berlaku juga terhadap perbuatan (faiten) yang memuat undang-undang dan peraturan lain diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Maksudnya Pasal 1 sampai dengan Pasal 85 Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum (asas-asas) berlaku juga bagi perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang atau peraturan di luar KUHP, kecuali undang-undang atau peraturan itu menyimpang.
Substansi Pasal 103 KUHP secara implisit memberi peluang bagi pertumbuhan hukum pidana baru di luar kodifikasi. Permasalahan umum mengenai hukum pidana diatur dalam undang-undang dalam arti formal sebagian besar diatur dalam Buku I KUHP yaitu Pasal 103. Ketentuan dari pasal ini melarang pembentuk undang-undang yang lebih rendah untuk memasuki wilayah ini. Misalnya mengenai pidana dan tindakan. pembentuk undang-undang yang lebih rendah tidak boleh menyimpang dari yang telah ditetapkan dalam Buku I KUHP.
Perkembangan hukum pidana yang mutakhir adalah berkaitan dengan persoalan pidana yang menjadi kecenderungan internasional adalah dengan berkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to imprisonment) dalam bentuknya sebagai sanksi alternatif. Beberapa alternatif bagi pidana penjara dengan suatu perbandingan yang berlaku di Eropa, salah satu pidana itu adalah bekerja untuk kepentingan umum, tidak dibayar dan sebagai alternatif bagi pidana lain, seperti pidana denda atau kurungan pengganti.
Demikian pula halnya jika dicermati ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP, secara eksplisit memungkinkan proses beracara di luar KUHAP. Maksud dari kedua pasal tersebut adalah bahwa dalam mengantisipasi perkembangan zaman tidaklah menutup kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang. Demikian pula dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih, sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan. Berbagai kejahatan yang timbul di kemudian hari memiliki dampak luas yang dapat menganggu stabilitas negara. Latar belakangnya pun berbeda-beda. Dari yang bermotif ekonomi sampai yang bermotif politis.
Ciri dari hukum pidana khusus yaitu mengatur hukum pidana material dan formal yang berada di luar kodifikasi. Hukum pidana khusus ini memuat norma, sanksi dan asas hukum yang disusun khusus menyimpang karena kebutuhan masyarakat terhadap hukum pidana yang mengandung peraturan dan anasir-anasir kejahatan inkonvensional. Kedudukan undang-undang pidana khusus dalam sistem hukum pidana adalah merupakan pelengkap dari hukum pidana yang dikodifikasikan dalam KUHP. Kebijakan formulasi tentang pidana mati dalam hukum pidana pormil, diuraikan secara rinci sebagai berikut.
1. Undang-undang Nomor 5 (PNPS) Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan. Pasal 2, undang-undang tersebut mengancam pidana mati:

Barangsiapa melakukan tindak pidana sebagaimana termaksud dalam Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1955 No. 27), tindak pidana seperti termaksud dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi (Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Perpu/013/1958) dan tindak pidana yang termuat dalam titel I dan II Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan mengetahui atau tidak patut harus menduga, bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksananya program pemerintah, yaitu: 1. Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya. 2. Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara. 3. Melanjutkan perjuangan menentang imprealisme ekonomi dan politik (Irian Barat); dihukum dengan hukuman pidana penjara selama sekurang-kurangnya satu tahun dan setinggi-tingginya dua puluh tahun, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.

2. Undang-undang Nomor 21 (Prp) Tahun 1959 Tentang Memperberat Ancaman Hukuman Tindak Pidana Ekonomi. Pasal 2, jika tindak pidana yang dilakukan itu dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun dan hukuman denda yang besarnya 30 (tiga puluh) kali jumlah yang ditetapkan dalam undang-undang darurat tersebut dalam ayat (1). Pasal ini berarti delik ekonomi yang dilakukan dengan keadaan yang memperberat pidana yaitu “dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat”, dapat dipidana mati. Jadi, penuntut umum maupun hakim harus dapat menunjukkan adanya keadaan itu dalam tuntutannya maupun dalam putusan hakim.
3. Undang-undang Nomor 31 tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom, Pasal 23 mengandung ancaman pidana mati berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang dimaksud dalam pasal 22, dihukum dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya lima belas tahun dengan tidak dipecat, atau dipecat dari hak jabatan tersebut dalam pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Yang dimaksud pasal 22 ialah membuka rahasi tenaga atom. Dalam hal penjelasan pasal 23 tersebut dikatakan bahwa karena hal ini mengenai kepentingan negara, maka pelanggaran atasnya diancam pidana berat.
4. Undang-undang Nomor 11 (PNPS) Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Pasal 13, mengandung ancaman pidana mati: (1) Barangsiapa melakukan tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) 1, 2, 3, 4, dan ayat (2) dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun penjara. Ayat (2) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) angka 5 dipidana mati, pidana seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh tahun atau denda setinggi-tingginya tiga puluh juta rupiah.
5. Undang-undang Nomor 12 (drt) Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Starftbepalingen dan Undang-undang RI terdahulu, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1948, pada pasal 1 ayat (1) mengandung ancaman pidana mati yaitu: “ tanpa hak memasukkan, mencoba memperoleh, menguasai senjata api, amunisi dan bahan peledak”.
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini menentukan tentang kumulasi sanksi pidana penjara dan denda, baik secara maksimum maupun minimum. Adapun sanksi pidana penjara paling singkat adalah 1 (satu) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) terhadap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri, pemalsuan yang dilakukan oleh pegawai negeri, maupun bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) dan sanksi pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) bagi pegawai negeri yang menerima hadiah karena jabatan, setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan ataupun yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Sanksi pidana mati dapat dijatuhkan dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, diartikan negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, pada waktu negara dalam keadaan bahaya, bencana alam nasional, atau pengulangan tindak pidana korupsi.
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menentukan pidana pokok mati, seumur hidup, penjara, kurungan dan denda. Di dalam undang-undang ini dikenal adanya pidana tunggal denda untuk tindak pidana korporasi, pidana mati, alternatif pidana seumur hidup. Kumulasi pidana penjara, kurungan dan denda.
8. Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-undang ini mengklasifikasikan kejahatan golongan I, II dan III pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-undang ini juga menentukan pidana mati alternatif penjara seumur hidup, maksimal sanksi denda senilai Rp 7.000.000.000 (tujuh milyar rupiah) untuk tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, dan minimal Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) terhadap penyidik, pejabat Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71, antara lain tidak melakukan penyegelan dan pembuktian berita acara penyitaan, tidak memberi tahu atau menyerahkan barang sitaan, tidak memusnahkan tanaman narkotika yang ditemukan. Pasal 80 ayat (1) huruf a, Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : memproduksi, mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjarapaling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); ayat (2) huruf a, Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah); ayat (3) huruf a, Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
Hal tersebut terlihat dari adanya jenis pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana kurungan, dan pidana denda yang jumlahnya ratusan juta hingga milyaran rupiah yang dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana narkotika.
9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pasal 36 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun;
Pasal 37, Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun;
Pasal 41 Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40;
Pasal 42 ayat (3), Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40;
Pasal-pasal ini menentukan sanksi pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun terhadap pelaku perbudakan termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak, dan penyiksaan dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seorang tahanan atau seorang yang berada di bawah pengawasan pidana penjara.
10. Tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pidana denda hanya dikenakan dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi dan/atau pengurusnya. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000 (satu triliun rupiah). Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang. Pengenaan pidana, berhubungan erat dengan kehidupan manusia, terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan manusia, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasannya. Dalam teori hukum pidana, absolut atau pembalasan didasarkan oleh tuntutan etis, sedangkan teori relatif berbasiskan pada pertahanan tertib masyarakat, sedangkan teori gabungan merupakan suatu kombinasi antara teori pembalasan dan teori relatif. Para yuris tentang pidana mati, pada umumnya mendasarkan pada teori absolut atas pembalasan, teori relatif dan teori gabungan, sebaliknya para Kriminolog meragukan kebenaran pandangan yuridis tersebut.
Adapun pidana mati, dalam Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), tahun 2008, menentukan pidana mati sebagai berikut; Pasal 87 pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Pasal 88 ayat (1) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak. Ayat (2) pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum. ayat (3) pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh. Ayat (4) pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
Pasal 89 ayat (1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika: a). reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b). terpidana mati menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki; c). kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan d). ada alasan yang meringankan. Ayat (2) Jika terpidana selama masa percobaan seabgaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ayat (3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Beberapa perundang-undangan tindak pidana di luar KUHP maupun undang-undang administrasi yang menggunakan sanksi pidana, telah menentukan pidana mati, dengan demikian secara yuridis formal, Indonesia telah menerima hukuman mati, sebagai bagian dalam stelsel pidana Indonesia, dan penggunaanya telah diterima dalam praktek peradilan. Tim perumus RUU KUHP, dengan berbagai pertimbangan dan kajian-kajian mengikuti pro-kontra pidana mati yang terus berkembang, maka RUU KUHP mengambil garis tengah, yakni mengeluarkan pidana mati dalam stelsel pidana pokok, tetapi diatur tersendiri, sebagai jenis pidana yang berdiri sendiri, dan penggunaannya diatur secara selektif. Tentang pelaksanaannya lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dengan demikian maka kajian tentang pidana mati, menjadi sangat terbuka dalam perspektif pembaharuan hukum pidana, dikaitkan dengan kecenderungan para Legislator untuk menerima, dan menggunakan pidana mati dalam perundang-undangan, terlabih lagi bilamana dihubungkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang menolak Yudisial review terhadap para pihak atas pemberlakuan undang-undang Narkotika dan Psikotrapika. Ditolaknya permohonan yudisial review pada Mahkamah Konstitusi, menunjukan suatu sikap dan pendirian Mahkamah Konstitusi sebagai garda terdepan dalam pelaksanaan fungsi negatif undang-undang yang dibuat oleh Lgislatif, untuk atau demi keadilan berdasarkan Undang Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karenanya hukuman mati masih diperlukan sebagai alat hukum untuk mencapai tujuannya.




2.Pidana Penjara Dalam Tindak Pidana Narkotikia dan Psikotrapika.
Pidana penjara adalah pidana yang merampas kemerdekaan seseorang, sehingga tidak dapat hidup bebas, ditempatkan pada ruang atau tempat tertentu, dengan tujuan menjerakan terpidana, memperbaiki perilaku terpidana, dan mengupayakan agar terpidana dapat kembali ke dalam masyarakat. Pidana penjara adalah pidana utama diantara pidana-pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalambentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan, misalnya di Rusia pengasingan ke Siberia dan juga pembuangan ke seberang lautan misalnya pembuangan Napoleon Bonaparte ke pulau St. Helena dan pulau Elba, juga pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia. Pembuangan Syech Yusuf dari Makassar ke Sailan, kemudian ke Afrika Selatan oleh VOC. Pengaturan waktu hukuman pidana penjara, tertulis dalam Pasal 12 KUHP, yang menyatakan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama dimungkinkan hingga seumur hidup.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, di dalam pembaharuan hukum pidana, alternatif pidana pencabutan kemerdekaan selalu menempati posisi sentral di dalam stelsel sanksi pidananya, di samping pidana pencabutan kemerdekaan yang ternyata sulit untuk dihapus begitu saja. Ditinjau dari segi filosofis, Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan, bahwa: Tujuan pidana penjara, adalah menjamin pengamanan narapidana, dan memberikan kesempatan kepada narapidana untuk direhabilitasi. Hakekat dan fungsi penjara, seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di dalam masyarakat. Dari perkembangan kongres PBB, mengenai prevention of crime and treatment of offenders. Pidana penjara masih tetap dapat dipertahankan hanya perlu dibatasi penggunaannya untuk tindak pidana tertentu, terutama yang menjadi perhatian adalah tentang resosialisasi terpidana.
Sebagai suatu kajian pidana penjara dalam berbagai pendekatan, maka selalu dikaitkan antara stelsel pidana penjara dengan hukum pidana dan filsafat, sebagai pembenarannya. Pelaksanaan pidana penjara, tercermin dalam pembaharuan hukum pidana, Bambang Purnomo mengemukakan;
1. Pidana tetap menjadi pidana dan berorientasi kedepan melalui usaha kearah pemasyarakatan, sehingga tidak hanya sekedar perampasan kemerdekaan akan tetapi mengandung upaya-upaya bersifat baru yang dirumuskan sepuluh butir prinsip pemasyarakatan.
2. Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai tujuan harus memperhatikan aspek perbuatan melanggar hukum dan aspek manusianya sekaligus menunjukkan dengan dasar teori pemidanaan, menganut asas pengimbangan atas perbuatan dan sekaligus memperlakukan narapidana sebagai manusia sekalipun telah melanggar hukum.
3. Pengembangan pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan dengan segala kelemahannya, bukanlah untuk mencari jalan keluar dengan menghapuskan jenis penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana, disertai teknik dan metode dalam rangka pembaharuan pidana yang bersifat universal.
4. Sistem pemasyarakatan sebagai proses melibatkan hubungan interrelasi, interaksi dan integritas antara komponen petugas, penegak hukum yang menyelenggarakan proses pembinaan, dan komponen masyarakat beserta budaya yang ada di sekitarnya dengan segala potensinya untuk berperan serta membantu pembinaan.
5. Pemasyarakatan sebagai metode mempunyai tata cara yang direncanakan untuk menyelenggarakan pembinaan/bimbingan tertentu bagi kepentingan masyarakat dan individu narapidana yang bersangkutan meleluui upaya-upaya remisi, assimilasi, integrasi, cuti pre-release treatment, lepas bersyarat, afte care dan program pendidikan, latihan, ketrampilan yang realisasinya menjadi indikator dari pelaksanaan pidana penjara dengan pemasyarakatan.
6. Upaya pembinaan terpidana, berupa remisi dan cuti seharusnya dikembangkan lebih efektif, karena bukan sekedar pemberian kelonggaran pidana dengan kemurahan hati, melainkan sebagai indikator awal pembaharuan pidana penjara harus dimanfaatkan sedemikian rupa agar narapidana menyadari makna pembinaan melalui sistem pemasyarakatan.
7. Pokok pikiran pembaharuan pidana penjara yang diterapkan dengan sistem pemasyarakatan belum didukung oleh kekuatan hukum undang-undang.

Dalam pembaharuan hukum pidana, diupayakan adanya sanksi alternatif disamping pidana penjara, misalnya mengefektifkan pidana denda, dan di isi pula dengan hadirnya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, sehingga pidana penjara dapat di batasi penjatuhannya. Di tambah lagi dengan bentuk-bentuk tindakan (maatregelen) yang dapat menggantikan pidana penjara. Penjatuhan pidana penjara hanya dijatuhkan dalam situasi dan kondisi tertentu, sehingga dalam Rancangan KUHP pada Pasal 71, menyatakan, “Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 55, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut :
a. terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun;
b. terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;
c. kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;
d. terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;
e. terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;
f. tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
g. korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
h. tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;
i. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;
j. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;
k. pembinaan yang bersifat non-institusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa;
l. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
m. tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; atau
n. terjadi karena kealpaan.

3.Tindakan Rehabilitasi Dalam tindak Pidana Narkotika.
Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, kurang teratur, dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental dan kehidupan sosial. Setelah menggunakan narkotika tanpa pengawasan dokter dan tanpa izin yang sah, maka dapat mengakibatkan ketergantungan. Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Addiksi adalah istilah yang dipakai untuk melukiskan keadaan seseorang yang menyalahgunakan obat sedemikian rupa sehingga badan dan jiwanya memerlukan obat tersebut untuk berfungsi secara normal. Ketergantungan, kecanduan, adiksi disebut penyakit, bukan kelemahan moral, meskipun ada unsur moral pada awalnya. Sebagai penyakit, penyalahgunaan narkotika dapat dijelaskan gejalanya yang khas, yang berulang kali kambuh (relaps), dan berlangsung progresif artinya semakin memburuk, apabila tidak ditolong dan dirawat dengan baik. Sebagaimana dijelaskan mengenai penyalahgunaan narkotika dan dampak negatif ketergantungannya, maka seorang penyalahguna atau pecandu memerlukan adanya upaya perawatan dan pengobatan (rehabilitasi) untuk dapat kembali bermasyarakat. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, merumuskan pengaturan yang lebih humanis, karena dalam undang-undang ini, seorang penyalahguna atau pecandu narkotika dapat dimungkinkan mendapat rehabilitasi. Tapi, rehabilitasi disini dalam arti sebagai sebuah sanksi, yang dijatuhkan karena seseorang melakukan penyalahgunaan narkotika.
Sanksi tindakan diperintahkan bagi penyalahguna dan pecandu narkotika merupakan salah satu bentuk tindakan yang dimungkinkan penjatuhannya oleh hakim berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tindakan ini lebih akrab dengan istilah tindakan rehabilitasi. Tindakan rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan oleh negara dalam mengatasi peningkatan penyalahguna narkotika. Dengan rehabilitasi, maka seorang penyalahguna dan pecandu narkotika, diberikan perawatan dan pengobatan melalui rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika, dan yang dimaksud Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Tindakan rehabilitasi ini tidaklah dapat diberlakukan bagi seluruh penyalahguna narkotika. Namun, untuk mendapatkan sanksi ini, ada kriteria-kriteria tertentu, sehingga ada pembedaan antara pengguna murni dengan pengguna yang sekaligus sebagai pengedar. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pada Pasal 54 menyatakan, “Pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di pusat rehabilitasi ketergantungan narkotika. Selanjutnya Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 menyebutkan: (1)Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: a, memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau b, menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika (2) Masa menjalani pengobatan dan/atauperawatanbagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Surat Edaran Mahkamah Agung/ SEMA RI No. 7 Tahun 2009 dengan revisinya SEMA RI No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Surat Edaran Mahkamah Agung ini dikeluarkan dengan latar belakang bahwa: Pertama. Sebagian besar dari Narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesunguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan. Kedua. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) pada saat ini tidak mendukung, karena dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat.
Dalam SEMA No. 4 Tahun 2010, juga terdapat kriteria-kriteria yang dapat membantu hakim dalam menjatuhkan tindakan rehabilitasi. SEMA No. 4 Tahun 2010 ini merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut tentang penempatan penyalahgunaan narkotika ke dalam panti rehabilitasi















BAGIAN KETIGA
KETENTUAN PIDANA DALAM
UNDANG UNDANG NARKOTIKA DAN PSIKOTRAPIKA.


A.Makna Hukum Pidana Dalam Perundang Undangan.
Dalam hal untuk membatasi kekuasaan yang absolut, melalui hukum, yakni mengandalkan undang-undang, konvensi dan sebagainya, yang menjamin hak-hak politik dari anggota masyarakat dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan, sebagaimana dalam cita cita manusia, untuk mengejar kebenaran, kesusilaan, keindahan dan keadilan. Maka konsep negara hukum yang universal pada tataran implementasi ternyata memiliki karakteristik yang beragam, Karena pengaruh situasi kesejarahan. Sehingga konsep negara hukum muncul berbagai model, menurut Al Quran dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut Erofah Kontinental, yang dinamakan Rechstaat, Negara hukum Anglo Saxon, yakni Rule of Law, negara hukum sosialis, yakni Socialist Legality, dan konsep negara hukum Pancasila.
Pada dasawarsa memasuki milenium berikutnya, maka perputaran dunia, ditandai dengan globalisasi, perekonomian, budaya, sosial dan bahkan hukum. Telah melahirkan kejahatan dengan tipologi baru. Kejahatan sekarang ditunjukan oleh kemajuan ekonomi, yang menimbulkan kejahatan bentuk baru, yang tidak kurang berbahayanya, dan besarnya korban. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer yang cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi, dan pola-pola kejahatan di bidang ekonomi, seperti kejahatan perbankan, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen, berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat advertensi, secara besar-besaran, dan berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran. Sehubungan dengan menuju hukum pidana yang antisipatif, ditempuh kebijakan dimungkinkannya, pembuatan undang undang hukum pidana khusus di luar KUHP, dan ketentuan-ketentuan pidana pada beberapa undang undang. Hal ini menunjukan hukum pidana Indonesia bersifat elastis dan dinamis, serta tidak menutup diri dan terjebak pada ajaran legistis hukum pidana Indonesia kini dan akan datang, bersifat responsif dan justisipatif terhadap perkembangan masyarakat.
Sebagai negara hukum Indonesia, yang merdeka dan berdaulat, dalam perkembangannya pada akhir abad ke duapuluh, telah sempurna menjadi Government Social Control dan berfungsi sebagai Tool of social engineering. Hukum dan perundang undangan telah menjadikan kekuatan kontrol di tangan pemerintahan yang terlegitimasi secara formal yuridis, dan tidak selamanya merefleksikan konsep keadilan, asas-asas moral dan wawasan kearifan. Teori kontrol sosial ini, terutama dikembangkan di Amerika Serikat dan untuk pertama kali mendapat perhatian yang meningkat dalam tahun tahun terakhir di Belanda. Salah satu alasan penting dalam hal ini, yaitu kenyataan bahwa teori ini dapat diuji secara konkret empiris dibandingkan teori-teori kriminologi lain. Alasan lain, teori ini meskipun atas dasar penelitian, selanjutnya dilengkapi dengan penambahan-penambahan penting, pada dasarnya ditunjang oleh penelitian empiris. Itu berarti, teori tersebut memberi sumbangan penting untuk menerangkan pelaku kejahatan. Pada akhirnya, perhatian masa kini, dapat terjadi karena asosiasi yang keliru dari konsep “kontrol sosial, yaitu lebih banyak kontrol penguasa dan polisi dalam pergaulan hidup.
Terhadap hukum sebagai sarana perubahan, kerapkali dilihat dari aktivitas pembuat undang undang, pada mulanya adalah menetapkan peraturan-peraturan yang sebenarnya telah hidup di dalam masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, tugas pembuat undang undang adalah untuk mengadakan, mengarahkan serta mendorong perubahan dalam masyarakat, serta memberi sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat, sehingga pembentuk undang undang harus mendahului perubahan masyarakat. Bilamana undang undang digunakan sebagai sarana perubahan, maka perundang undangan, akan merupakan bagian dari kebijakan sosial, ekonomi, kebudayaan, fiskal, moneter dan sebagainya. Karenanya undang undang adalah rangkaian dari alat pemerintah untuk mewujudkan kebijakannya. Undang undang pidana dan undang undang administratif, berfungsi untuk melaksanakan, menentukan, merencanakan kebijaksanaan itu, dan sanksi pidana selain sebagai bagian inti, juga merupakan bagian penutup dari rangkaian aturan kebijaksanaan itu. Sanksi pidana diperlukan untuk menyelesaikan dan membulatkan sistem yang diatur, dan merupakan komplemen yang tidak digunakan dari pemberian wewenang kepada pemerintah. Dalam rangka itu, pemerintah dan pembuat undang undang akan merobah watak masyarakat, perundang undangan hanya untuk memperkuat, atau untuk memberikan kekuasaan kepada pemerintah, dan pembentuk undang undang cenderung untuk melimpahkan hal hal yang sifatnya terinci kepada pemerintah.
Selain itu diketahui juga, bahwa peraturan perundang undangan yang bersumber pada fungsi legislatif, sangat diperlukan bagi penyelenggaraan kebijakan pemerintahan yang terikat, dalam bidang penyelenggaraan kebijakan pemerintah yang tidak terikat pun tentunya, akan dikeluarkan berbagai peraturan kebijakan, yang bersumber pada fungsi eksekutif negara, yang jumlah dan bentuknya, lebih tidak mudah diperkirakan dan tidak mudah diikuti. Kebijakan pemerintah yang tidak terikat ini, memang membuka peluang yang lebar bagi fungsi pengaturan secara administratif. Pada masa kini, kecenderungan menggunakan pidana, pada hukum administrasi, sangat marak. Hal demikian, disebabkan bidang hukum administrasi dapat mencakup ruang lingkup yang luas. Hukum administrasi dapat dipahami, sebagai Seperangkat hukum yang diciptakan oleh lembaga administrasi dalam bentuk undang undang, peraturan-peraturan pemerintah, dan keputusan-keputusan untuk melaksanakan, kekuasaan dan tugas-tugas pengaturan dari lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian maka hukum pidana administrasi pada hakekatnya merupakan perujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana, sebagai sarana untuk menegakkan, melaksanakan hukum administrasi.
Terhadap hal demikian, maka pentingnya politik hukum pidana, sebagai dasar dari segala aktivitas, yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses pengambilan keputusan atau pemilihan melalui seleksi diantara berbagai alternatif yang ada, mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut. Disusun berbagai kebijakan yang berorientasi pada berbagai masalah pokok dalam hukum pidana, yakni perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggujawaban pidana, dan berbagai alternatif sanksi, baik yang merupakan pidana maupun tindakan.
Dewasa ini, kerangka hukum di dunia, harus berhadapan dengan masalah-masalah rumit, seperti penyusunan, kebangkitan kembali, pembangunan, kelahiran dan bentuk potensial dari tertib hukum. Situasi dan kondisi hukum yang edan. Hukum itu amburadul, Hukum iti gonjang ganjing dan hukum itu kacau balau. Upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak telah dilakukan, dengan maksud antara lain; . Pertama. Dengan memperbaiki perundang undangan yang dinilai memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Keduia. Dengan membuat undang undang yang baru, untuk dapat mengganti perundang undangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau tidak memenuhi ras keadilan masyarakat. Ketiga.Dengan melakukan penelitian-penelitian mendalam, oleh kalangan ilmuan dan akademisi, terhadap perundang undangan yang dinilai bermasalah. Keempat. Dengan penemuan hukum, oleh para hakim sebagai penegak hukum.
Hukum merupakan suatu pencerminan dari suatu peradaban. Kebudayaan dan hukum merupakan sebuah jalinan, yang erat dan sesungguhnya, hukum merosot ke dalam suatu dekedansi, jika kekurangan-kekurangan dari para pembentuk hukum, memperlihatkan ketertinggalan berkenaan dengan fakta-fakta dan pemikiran-pemikiran yang berlaku atau yang mulai berkembang. Para pembentuk hukum yang tidak dapat menyesuaikan dengan keadaan-keadaan ekonomi yang baru, yang tidak peka dengan masalah-masalah di masa depan, atau para hakim yang menerapkan suatu kaedah kuno begitu saja menuruti teksnya, dan secara legalistik, atau dalam hubungan-hubungan internasional dimana negara-negara berpegang teguh pada nasionalisme sempit belaka.
Dalam lapangan hukum pidana, salah satu yang penting, yakni penegakan hukum. Perilaku Hakim sebagai manusia yang akan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam kaitannya dengan penegakan hukum itu, adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu hukum dan keadilan. Hukum adalah hasrat kehendak untuk/ demi mengabdi kepada keadilan. Apabila hukum/ Undang-undang secara sadar, sengaja mengingkari keadilan, maka undang-undang yang demikian itu, telah kehilangan kekuatan berlaku mengikatnya, karena itu pula rakyat tidak wajib mentaatinya. Oleh karenanya para penegak hukum, haruslah memiliki keberanian untuk menolak dan menyangkal dan tidak mengakui sifat hukum dari undang tersebut. Hukum sebuah Living organism, yang daya tahan hidupnya sangat bergantung pada pembaharuan dan penyempurnaan. Di dalamnya terdapat fungsi idiilnya, yakni unsur-unsur kesusilaan, rasional . Kedua bahan hukum ideal itu memperlihatnya fungsi realnya, yakni unsur manusia dan masyarakat, alam lingkungan dan tradisinya.
Salah satu tugas utama hakim, adalah untuk penegakan hukum, akan sangat berkaitan dengan persoalan filsafat hukum. Tugas hakim secara konkit adalah mengadili perkara, yang pada dasarnya adalah melakukan penafsiran terhadap realitas, yang sering disebut sebagai penemuan hukum. Hakim adalah seorang ahli hukum, dan mempelajari hukum selengkap-lengkapnya. Dalam mencari keadilan hakim dipimpin oleh aturan-aturan, yang menurut pendapatnya termasuk dalam lingkungan pengaturan norma-norma yang ada , dalam undang-undang maupun di luar undang-undang. Hukum menurut para hakim dipahami sebagai sesuatu yang sehari-hari dikerjakan, yakni dengan naskah undang-undang dan yurisprudensi, dan realitas pelaksanaan tugasnya, yakni mengadili. Secara sederhana, dapat diketahui, bahwa fungsi hukum, yakni dalam pemahaman refresif, fasilitatif dan ideologi. Semua sistem apapun, mempunyai tiga aspek ini. Bisa saja saling berbaur dan bercampur, namun umumnya mungkin salah satunya saling dominan. Pada masyarakat barat yang kontemporer, saling berbeda secara kultural dengan masyarakat Jepang, Korea, China dan Indonesia, dengan masyarakat dan karakternya yang beragam, memiliki keistemewaan tersendiri. Masyarakat Indonesia, kini sedang membangun nilai-nilai kebebasan melalui ideologi lokal. Masyarakat pluralistik membangun konsensus sosial, atau bagaimana menjadikan konflik, menjadi sebuah kekuatan untuk daya saing, semuanya memiliki keunikan yang menarik
Keterkaitan dengan itu, maka perlu diketahui, bahwa pengaruh aliran hukum positif yang sejak abad ke 19, hingga abad ke 20, telah mengokohkan sikapnya, yang telah dipengaruhi pula oleh aliran legisme, yang menyatakan hukum identik dengan undang undang. Hukum adalah perintah Penguasa, mengandung sanksi, kewajiban, kedaulatan, yang bersifat tertulis yang dibuat oleh Penguasa berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Dalam perkembangannya kemudian aliran hukum positif ini, telah mendapatkan perhatian oleh para ahli, seperti HLA. Hart, Dworkin,,Jhon Rawl, serta gerakan yang berseberangan dengan aliran hukum positif. Pada konteks negara hukum Indonesia, dalam hubungannya dengan pembangunan yang berkesinambungan, maka hukum masih memperlihatkan upayanya, untuk mengikuti perkembangan masyarakat, yang menuju kearah yang modern, melalui proses legislasi yang teratur. Maka dapatlah dilihat, telah terjadi perubahan karakter hukum yang semula dengan sistem otoritar kearah demokrasi. Dari sistem sentralisasi ke arah sistem otonomi.
B.Ketentuan Pidana Dalam UU Narkotika.
Formulasi pidana merupakan suatu bentuk perumusan perbuatan pidana, yang dituangkan sebagai ketentuan pidana. Kewenangan pembentuk undang undang, merumuskan secara tepat, untuk menegakkan hukum, yang dikehendaki berdasarkan politik hukum. Ketentuan pidana dalam Undang Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, diatur dalam pasal 110 hingga 148. Diatur tentang pemberatan pidana, yakni minimum khusus, pidana penjara 20 tahun, pidana penjara seumur hidup. Adapun bentuk perumusan sanksinya, meliputi rumusan tunggal (hanya denda saja). Bentuk alternatif (penjara atau denda). Bentuk komulatif (penjara dan denda). Bentuk kombinasi (penjara dan /atau denda). Jenis pidananya, terdiri dari pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda. Pidana tambahannya, yakni pencabutan hak hak tertentu, perampasan barang barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Dikenalnya ketentuan pidana minimum khusus. Stelsel pidana denda untuk korporasi.
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Nerkotika, mengatur beberapa hal, yakni, dasar, asas dan tujuan, ruang lingkup,, pengadaan, import dan eksport, peredaran, label dan publikasi, prekursor narkotika, pengobatasn dan rehabilitasi, pembinaan dan pengawasan, pencegahan dan pemberantasan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, peran serta masyarakat, penghargaan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, ketentuan penutup. Pada ketentuan pidana, menentukan kriminalisasi, mengenai tanpa hak memiliki naroktika, dengan melawan hukum, menyimpan dan menguasai barang, mempruduksi, mengimport, mengeksport, menyalurkan, menjual, membeli, menjadi perantara, membawa dan mengirim, dan mengadakan permufajkatan jahat.
C.Ketentuan Pidana Dalam UU Psikotrapika.
Undang Undang No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotrapika, menentukan pidana pokok mati, seumur hidup, penjara, kurungan, denda. Mengenal adanya pidana tunggal denda untuk tindak pidana korporasi, pidana mati, alternatif pidana seumur hidup, kumulasi pidana penjara, kurungan dana denda. Besaran sanksi denda maksimal Rp. 5.000.000.000,oo (lima milyar rupiah), untuk tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi minimum Rp 20. 000.000.00 (dua puluh juta rupiah). Dalam hal menghalangi penderita sindrom ketergantungan, untuk menjalani pengobatan atau perawatan fasilitas rehabilitasi, atau menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin. Undang undang ini, juga menentukan secara jelas, suatu kesalahan adalah kejhatan, serta pidana lain, yakni pidana tambahan melalui pencabutan izin usaha,




















BAGIAN KEEMPAT
PERAN HAKIM DALAM PERADILAN PIDANA



D. Kemandirian dan Kebebasan Hakim
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) sebagai landasan dan falsafah negara menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum mempunyai tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum mempunyai ciri-ciri:
Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia; Kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka; Legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas melalui hukum. Dalam negara hukum, salah satu unsur yang utama yakni mempunyai kekuasaan kehakiman yang mandiri atau merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna mewujudkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Suatu negara disebut sebagai negara hukum yang demokratis bilamana memiliki kekuasaan kehakiman yang tidak saja merdeka, tetapi juga memiliki akuntabilitas sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh masyarakat dan menjadi kekuasaaan kehakiman yang berwibawa.
Keberadaan kekuasaan kehakiman di dalam suatu negara hukum juga dikemukakan oleh Purwoto Gandasubrata, mantan Ketua Mahkamah Agung kedelapan, periode 1992‐1994 yang dengan sangat tegas mengemukakan bahwa: ”konsekuensi sebagai negara hukum, maka merupakan suatu conditio sine qua non manakala di negara kita harus ada suatu kekuasaan kehakiman atau badan peradilan yang merdeka dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian/keadilan hukum, apabila terjadi pelanggaran atau sengketa hukum di dalam masyarakat”.
Mengenai Kekuasaan Kehakiman, secara mendasar telah dijelaskan pada Pasal 24 UUD NRI 1945, yang menyatakan: (1)Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2)Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal di atas, ada beberapa hal penting berkenaan dengan Kekuasaan Kehakiman, yaitu sebagai berikut: Kesatu, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan peradilan; Kedua, tujuan dari penyelenggaran kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan; dan Ketiga, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya, serta Mahkamah Konstitusi. Berkenaan dengan kemandirian dan kebebasan kehakiman, Sudikno Mertokusumo menyatakan: “kemandirian dan kebebasan lembaga peradilan atau pengadilan merupakan syarat dan kondisi agar asas negara hukum dapat terlaksana sepenuhnya. Ini berarti bahwa lembaga peradilan mandiri manakala para pelaku lembaga itu juga mandiri serta berorientasi pada rasa dan suara keadilan tidak pada kekuasaan atau tekanan.”
Hakim sebagai pejabat peradilan negara yang berwewenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya. Pada, hakikatnya, tugas hakim untuk mengadili mengandung dua pengertian, yakni menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. Oleh karena itu, hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan dan kemandirian yang dijamin oleh undang-undang. Hal ini sangatlah penting, dengan tujuan untuk menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu: Pertama. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.Kedua. Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim, dan, Ketiga. Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim dalam menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaian dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat. Kebebasan hakim juga terkandung dalam Keputusan Presiden No. 17 Tahun 1994 tentang Repelita Ke-16 bidang hukum, yang menegaskan: “Dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman dlam penyelenggaraan peradilan yang berkualitas dan bertanggung jawab,…mendorong para hakim agar dalam mengambil keputusan perkara, disamping senantiasa harus berdasarkan pada hukum yang berlaku juga berdasarkan atas keyakinan yang seadil-adilnya dan sejujurnya dengan mengingat akan kebebasan yang dimilikinya dalam memeriksa dan memutus perkara.”
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa, para hakim mempunyai diskresi bebas, perasaannya tentang apa yang benar dan apa yang salah merupakan pengarahan sesungguhnya untuk mencapai keadilan.
Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, hal ini akan mendukung kinerja hakim dalam memutus perkara yang dihadapkan kepadanya memutus perkara yang dihadapkan kepadanya. Hakim dalam persidangan harus memperhatikan asas-asas peradilan dengan tujuan, agar putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau pihak lain dengan menjunjung tinggi prinsip. Selain itu, hakim juga tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipati kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.
Kebebasan dan kemandirian hakim bukanlah kebebasan tanpa batas. Namun terdapat Kode Etik Profesi Hakim yang harus dijadikan pedoman bagi hakim dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, untuk menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan maka hakim diharuskan mempunyai sifat-sifat, yaitu : 1. Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.2. Cakra, yaitu sifat mampu memusnahkan segala kebathilan, kezaliman dan ketidakadilan. 3. Candra,. yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa. 3. Sari, yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela. 4. Tirta, yaitu sifat jujur. Selain sifat-sifat “Panca Dharma Hakim” di atas, selain itu kebebasan hakim sebagai penegak hukum haruslah dikaitkan dengan : Akuntabilitas. Integritas moral dan etika. Transparansi. Pengawasan (kontrol). Profesionalisme dan impartialitas
Tugas terpenting seorang hakim yaitu menjatuhkan putusan terhadap kasus yang diterima dan diperiksanya. Putusan hakim akan terasa begitu dihargai dan mempunyai nilai kewibawaan, jika putusan tersebut merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat dan juga merupakan sarana bagi masyarakat pencari keadilan untuk mendapat kebenaran dan keadilan.
Maka, dalam putusannya hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, sosiologis dan filosofis, sehingga keadilan yang ingin dicapai dapat terwujud, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim yang berkeadilan dan berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice), dan keadilan moral (moral justice).

E. Hakim Dalam Perkembangan
1. Era Orde Lama
Upaya menciptakan kehakiman yang mandiri dan merdeka sudah tertulis sejak Undang-Undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan. Undang-undang ini menyatakan bahwa peradilan hanya dilaksanakan oleh badan-badan kehakiman dan hanya tunduk pada undang-undang.
Para hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya tunduk pada undang-undang. Pemegang kekuasaan pemerintahan dilarang untuk turut campur dalam urusan kehakiman, kecuali yang telah disebutkan dalam undang-undang.
Namun, setelah adanya Dekret Presiden 5 Juli 1959 di masa orde lama ini, terbitlah Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang No. 19 Tahun 1948. Pada Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 ini, terdapat perubahan yang mencolok, sehingga tujuan terciptanya kehakiman yang mandiri dan merdeka menjadi terhambat. Kehakiman yang mandiri dan merdeka merupakan cita-cita luhur sesuai dengan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD NRI 1945. Kemandirian kekuasaan kehakiman menjadi terkebiri setelah terbitnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964. Undang-Undang No. 19 tahun 1964 banyak dipengaruhi “alam revolusi” dengan “Manipol”nya yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat sosialis Indonesia. Sebagaimana Pasal 19, isinya menyatakan bahwa: Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan. Penjelasan atas Pasal 19 tersebut, berbunyi bahwa: Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-undang. Sandaran yang terutama bagi pengadilan sebagai alat Revolusi adalah Pancasila dan Manipol/Usdek. Segala sesuatu yang merupakan persoalan hukum berbentuk perkara-perkara yang diajukan, wajib diputus dengan sandaran itu dengan mengingat fungsi Hukum sebagai pengayoman. Akan tetapi adakalanya, bahwa Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus dapat turun atau campur tangan baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan Negara dan Bangsa yang lebih besar. Berdasarkan rumusan Pasal 19 tersebut dan penjelasannya maka jelaslah bahwa Presiden dapat mengintervensi segala persoalan yang terjadi di pengadilan, termasuk untuk mencampuri putusan hakim.
Maka, dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada masa orde lama ini, jelaslah tidak memberikan jaminan terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman, bahkan secara tegas melanggar asas kebebasan hakim. Soekarno sebagai presiden masa orde lama memang memperlihatkan kecenderungan ke arah otoriterisme, hal ini dapat terlihat dengan berlakunya proses pemusatan kekuasaan negara pada kekuasaan presiden, dimana kekuasaan legislatif, eksekutif, legislatif berada pada satu tangan.

2. Era Orde Baru
Setelah runtuhnya rezim orde lama pada tahun 1965, maka terjadilah pergantian pemeritahan menjadi rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Orde baru melakukan upaya pengkoreksian total terhadap kebijakan-kebijakan orde lama yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Salah satu langkah yang ditempuh, yakni melakukan pencabutan dan penggantian terhadap semua peraturan perundang-undangan yang inkonstitusional, termasuk Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, karena undang-undang tersebut tidak menjamin kebebasan kekuasaan kehakiman. Lalu, terbitlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai perundang-undangan yang memberikan pemurnian agar kekuasaan kehakiman kembali bebas dan merdeka sesuai Pasal 24 UUD NRI 1945. Pasal 1 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 menyatakan, bahwa: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”. Pada Penjelasan Pasal 1 tersebut, dijelaskan lebih lanjut bahwa: “Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-undang. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas dari pada Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia”. Ditegaskan pula pada Pasal 4 ayat (3), yang bunyinya, “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar”.
Penjabaran Pasal 4 ayat (3) pada Penjelasan, mengatakan: Di sini perlu ditegaskan, bahwa agar supaya Pengadilan dapat menaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, yakni memberikan keputusan yang sematamata berdasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan atau pengaruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya.
Bagir Manan menyatakan, bahwa “ketentuan dan Penjelasan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 selain mengembalikan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sekaligus juga menjelaskan kandungan pengertian kekuasaan kehakiman yang medeka tersebut yaitu:
1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi yustisial). Kebebasan ini mencakup kebebasan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Hal-hal di luar fungsi peradilan (fungsi non-yustisial) tidak termasuk kandungan pengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun, tidak pula serta merta berarti bahwa terhadap fungsi non-yustisial dapat dicampuri secara tanpa batas. Fungsi-fungsi non-yustisial yang bertalian erat dengan perwujudan kebebasan fungsi yustisial harus selalu mendapat perhatian yang seksama. Tata cara pengaturan atau campur tangan terhadap fungsi non-yustisial tanpa memperhatikan fungsi yustisial dapat mengurangi atau memudarkan kebebasan fungsi yustisial.
2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung makna larangan bagi kekuasaan extra yustisial mencampuri urusan proses penyelenggaraan peradilan. Hal ini, merupakan penegasan dar bunyi penjelasan UUD 1945 yang secara umum menyebutkan “terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”. Dengan demikian, “kekuasaan pemerintah” itu tidak semata-mata kekuasaan eksekutif, tetapi juga meliputi kekuasaan lainnya, yaitu: MPR, DPR, BPK dan kekuasaan ekstra yustisial lainnya. Karena larangan hanya berlaku terhadap kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan kehakiman tertentu dimungkinkan untuk mencampuri pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman lainnya, seperti kewenangan pengadilan tinggi untuk memeriksa perkara banding, kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksaan pada tingkat kasasi merupakan campur tangan atas putusan yang telah diambil oleh suatu kekuasaan kehakiman yang lebih rendah tingkatannya.
3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diadakan dalam rangka diselenggarakannya negara berdasarkan hukum (de rechtstaat). Dengan penegasan ini, maka kekuasaan kehakiman dimungkinkan untuk melakukan pengawasan yustisial (rechttelijk control) terhadap tindakan badan penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan lainnya.


3. Era Reformasi
Zaman reformasi dimulai sejak runtuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. Penegakan supremasi hukum dan penataan sistem peradilan merupakan salah satu agenda reformasi yang harus dijalankan oleh pemerintah. Upaya yang dilakukan pemerintah pada masa reformasi yaitu melakukan amandemen terhadap UUD NRI 1945 dan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan bebas. Perubahan pada perundang-undangan kekuasaan kehakiman, terjadi setelah diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 atas perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Perubahan pengaturan yang terkandung dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, yaitu tersurat dalam Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut Pasal 10 ayat (1), organisatoris, administratif dan finaciil ada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan”. Pasal 11 ayat (1) inilah yang pada kenyataannya memberikan wewenang kepada pemerintah (Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen Pertahanan) untuk memberikan kekuasaan judicial di bidang organisatoris, administratif, dan keuangan.
Kemudian untuk menghindari adanya intervensi Pemerintah dalam kekuasaan kehakiman, maka pertimbangan lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, adalah: a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan oleh karena itu untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah dipandang perlu melaksanakan pemisahan yang jelas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif.. b. bahwa pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengaturan finansial Badan-badan Peradilan yang berada di masing-masing Departemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman perlu disesuaikan dengan tuntutan perkembangan keadaan;
Selanjutnya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 ini menetapkan bahwa badan-badan peradilan sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara secara organisatoris, administratif, dan financial yang semula berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan, sekarang dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Setelah itu, terjadi pergantian dengan terbitnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 ini menunjukkan adanya suatu langkah maju dari sistem peradilan, yaitu berupa pertanggungjawaban lembaga peradilan kepada masyarakat. Ketentuan yang dimaksud adalah adanya kewajiban bagi hakim untuk menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Hal ini tercermin dalam Pasal 19 yang berbunyai sebagai berikut: (1)Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia. (2)Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari putusan. (3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Terhadap hal ini, Indrijanto Seno Adji berpendapat bahwa : “pertimbangan yang berbeda (dissenting opinion) menunjukkan semangat keterbukaan dan demokrasi. Proses check and balance bakal muncul dalam praktiknya. Publiklah yang harusnya menilai kapasitas hakim. Harapannya adalah bahwa hakim dapat memutus dengan adil sesuai dengan hati nurani” .
Perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman semakin disempurnakan dengan terbitnya Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004. Adapun hal-hal penting dalam Undang-Undang ini antara lain sebagai berikut: . A.Mereformulasi sistematika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait dengan pengaturan secara komprehensif dalam Undang-Undang ini, misalnya adanya bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. B.Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. C. Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi. C.Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. D. Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. E. Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. F. Pengaturan umum mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan. G. Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 ini menjamin kekuasaan kehakiman menjadi bebas dan mandiri demi penegakan hukum yang bertujuan pada keadilan dan kebenaran, selain itu undang-undang ini mengatur lebih komprehensif mengenai seluk beluk tentang kekuasaan kehakiman.

C.Aliran Penemuan Hukum
Hakim sebagai pejabat yang berwenang mengadili perkara, memang telah diberikan kebebasan dan kemandirian dalam melaksanakan tugasnya. Hakim diperbolehkan untuk bebas menentukan bagaimana cara mempertimbangkan putusannya. Seiring perkembangan zaman, diketahui terdapat beberapa aliran menemukan hukum oleh hakim dalam memutus suatu perkara, yaitu hakim positivis atau legisme, hakim otonom/bebas (begriffsjurisprudenz), dan hakim saat sekarang/hakim progresif. Ketiga aliran hakim tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Berdasarkan aliran-aliran menemukan hukum oleh hakim dalam memutus suatu perkara di atas, maka putusan hakim atas suatu perkara akan terlihat, apakah hakim tersebut menganut aliran positivis, aliran otonom/bebas ataukah hakim progresif. Aliran-aliran tersebutlah yang mengarahkan hakim dalam mempertimbangan putusan atas perkara yang diadilinya.
4. Hakim Legisme/Positivisme Hukum
Aliran ini muncul pada abad ke-19, karena ajaran hukum alam yang rasionalistis hampir ditinggalkan orang sama sekali, antara lain karena pengaruh dari aliran cultuur historisch school, akan tetapi, ditinggalkannya aliran hukum alam yang rasionalistis tersebut mengakibatkan semakin kuatnya aliran hukum lain yang menggantikannya, yaitu aliran positivisme hukum.
Hakim positivis atau legisme merupakan hakim yang dipengaruhi oleh mazhab atau aliran positivisme hukum. H. L. A. Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut: Hukuman adalah perintah. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, historis, dan penilaian kritis. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan diinginkan.
Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit. Undang-undang dan hukum diidentikkan. Hakim positivis juga dapat dikatakan sebagai corong undang-undang. Hakim yang menganut positivisme hukum sejalan dengan pengutamaan kepastian hukum, yang beranggapan bahwa apabila hakim diberikan wewenang menafsirkan undang-undang atau menemukan hukum sendiri langsung ke masyarakat, maka kepastian hukum akan terganggu. Hakim dalam memutus perkara dapat dianggap tidak perlu memperhatikan tujuan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kemanfaatan.
Montesquieu,mengemukakan. Dalam suatu negara yang berbentuk Republik, sudah sewajarnya bahwa undang-undang dasarnya para hakim menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Para hakim dari negara tersebut adalah tak lain hanya merupakan mulut yang mengucapkan perkataan undang-undang, makhluk yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah, baik mengenai daya berlakunya, maupun kekerasannya. Dengan pernyataan itu, legisme sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu, yang menyatakan bahwa hanya apa yang dibuat oleh badan legislatif saja yang dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah hakim dan kewenangan pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja.
Positivisme hukum menganggap berlakunya hukum positif itu dasar kenyataan (tanda-tanda lahiriah), seperti pelaksanaan peraturan secara nyata oleh penguasa atau penyesuaian peraturan hukum dalam sistem hukum. Jadi, berlakunya suatu peraturan hukum itu bukan karena segi materialnya, tetapi segi formalnya, yakni peraturan hukum itu harus terjadi dengan cara yang benar, dibuat oleh instansi yang berwenang dan merupakan bagian dari istimewanya. Menurut ajaran Kedaulatan Hukum, Krabbe menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kesadaran hukum dan yang disebut hukum hanyalah yang memenuhi kesadaran hukum orang banyak.
Maka, dapat diartikan bahwa hukum yang mengikat umum atau hukum positif, adalah hukum yang memenuhi kesadaran hukum orang banyak. Dalam bentuk yang paling murni, positivisme hukum adalah suatu aliran dalam ilmu hukum yang ingin memahami hukum yang berlaku semata-mata dari dirinya sendiri, dan menolak memberikan sedikitpun putusan nilai mengenai peraturan hukum, dalam memutus suatu perkara, ajaran positivisme hukum mengutamakan “penemuan hukum, kepastian hukum”.
Aliran legisme/positivisme hukum bersumber pada teori-teori perjanjian negara seperti yang dibentangkan oleh Thomas Hobbes, yang menghendaki suatu pemerintahan yang absolut dan hanya kehendak pemerintah itulah yang menjadi hukum.
Adapun John Locke mengajarkan bahwa hukum adalah segala sesuatu yang ditentukan oleh kehendak bersama-sama dengan bagian terbesar. Sementara J.J Roussaeu mengajarkan kehendak umum menjadi kekuasaan tertinggi. Undang-undang menjadi satu-satunya kekuasaan tertinggi itu, jadi undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya.
Lili Rasjidi, mengatakan bahwa pengaruh legisme di Indonesia jelas terdapat dalam Pasal 15 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving), yang berbunyi: “terkecuali penyimpangan-penyimpangan yang ditentukan bagi orang-orang Indonesia, dan mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecuali bila undang-undang menentukannya”. Ketentuan tersebut bila dikaji jelas mencerminkan pemikiran hukum yang menjadi dasarnya, yaitu yang disebut hukum haruslah dalam bentuk tertulis, dan menganggap semua hukum terdapat secara lengkap dan sistematis dalam undang-undang, dan tugas hakim adalah mengadili sesuai bunyi undang-undang. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Pasal 15 AB menyatakan kebiasaan hanya merupakan sumber hukum kalau undang-undang menetapkan demikian. Positivisme hukum yang analitis, dikemukakan oleh John Austin dengan menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Selanjutnya, John Austin menyatakan hukum dalam arti sebenarnya atau hukum yang tepat untuk disebut hukum atau hukum pisitif, sesungguhnya terdiri dari: Pertama. Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang, peraturan pemerintahan dan lain-lain. Kedua. Hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara individual yang dipergunakan untuk melaksaakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Contoh: hak curator terhadap curatele yang ada dibawah perwaliannya. Hukum harus memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi unsur-unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum positif. Bagian lain yang sangat kuat dalam perkembangan positivisme hukum, yaitu ajaran yang telah dikemukakan oleh Hans Kelsen mengenai ajaran hukum yang bersifat murni, dan Adolf Merkl yang mengajarkan adanya hierarkis perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen adalah: “bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya”. Sedangkan ajaran yang dikembangkan oleh Adolf Merkl tentang hierarkis perundang-undangan (stufentheorie), berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum di mana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi.
Aliran positivis mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas), maka mereka yang menganut aliran ini mencoba menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya sebagai perundang-undangan.
Akibat penerimaan legisme, hukum positif menjadi sangat kaku dan tidak mampu menyelesaikan kesulitan-kesulitan sosial yang timbul di dalam suatu masyarakat yang berkembang dan berubah dengan cepat. Dapat dilihat akan banyaknya perbuatan yang menurut kesadaran hukum masyarakat, dapat dikatakan sebagai perbuatan yang tercela atau tidak patut untuk dilakukan, akan tetapi karena tidak diatur dalam undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak dapat diselesaikan secara hukum. Paham legisme ini juga menghalangi digunakannya hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia yang beraneka ragam bentuknya. Maka, dalam perkembangan aliran hakim dalam memutus perkara, tidaklah terbatas dalam pandangan positivisme hukum atau legisme saja, yang kemudian mendorong munculnya aliran lain yaitu aliran hakim otonom/bebas (begriffsjurisprudenz).

1. Hakim Otonom/Bebas (begriffsjurisprudenz)
Pada aliran hakim yang kedua, yaitu hakim otonom/bebas (begriffsjurisprudenz). Aliran hakim ini muncul sebagai reaksi penentangan terhadap aliran legisme, yang mendewakan undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum. Aliran ini muncul pada awal abad ke 20, yang mengajarkan tentang kebebasan hakim (Freirechtslehre) yang berpendapat bahwa hukum lahir karena peradilan. Titik tolak pandangan ini ialah bahwa undang-undang bukanlah satu-satunya sumber hukum, undang-undang itu selalu tidak lengkap dan selalu terdapat kesenjangan di dalamnya.
Undang-undang sebagai buatan manusia besifat statis, dan selalu tertinggal dengan keadaan manusia yang selalu berkembang. Dalam kondisi seperti ini, undang-undang memiliki kelemahan dan kekosongan hukum karena tidak bisa mengikuti kebutuhan zaman. Herman Kantorowicz, sebagai penganut terkemuka aliran ini, menganggap pemikiran mengenai stelsel hukum yang penuh itu menimbulkan tertawaan, undang-undang mengandung banyak kekosongan dan merupakan tugas hakim untuk memenuhinya.
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Oleh karena itu, maka hakim memutus secara bebas dan mandiri dengan tujuan menwujudkan putusan yang berkeadilan dan bermanfaat. Hakim otonom/bebas menjadikan undang-undang, kebiasaan sebagai sarana bagi hakim dalam menemukan hukumnya. Hakim mengutamakan kemanfaatan bagi masyarakat bukanlah kepastian hukum. Sebagaimana aliran hukum bebas (Freirechtslehre), yang menginginkan bahwa peranan hakim harus mendekatkan pada nilai-nilai dalam masyarakat. Penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja, undang-undang bukan merupakan peran utama, tetapi sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum, dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum yang konkret, ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, bahkan hakim boleh menyimpang dari undang-undang, demi kemanfaatan masyarakat. Jadi, di sini hakim mempunyai freies ermesssen, ukuran dengan kesadaran hukum dan keyakinan warga masyarakat, tergantung pada ukuran dari keyakinan hakim, di mana kedudukan hakim bebas mutlak. Kewenangan mutlak hakim yang diajarkan oleh aliran hakim bebas, dimungkinkan adanya peluang kesewenang-wenangan karena terpengaruh oleh sekelilingnya, termasuk kepentingan pribadi, keluarga, dan sebagainya. Jadi, aliran ini sangatlah berlebihan karena berpendapat bahwa hakim tidak hanya boleh untuk mengisi kekosongan undang-undang saja, tetapi hakim bahkan boleh menyimpanginya.

3.Hakim Progresif
Hakim progresif adalah hakim yang menganut pada aliran hukum progresif. Kata progresif berasal dari progressi yang berarti adalah kemajuan. Jadi di sini diharapkan hukum itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandar pada aspek moralitas dan sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.
Konsep hukum progresif tidak lepas dari konsep progresivisme, yang bertitik tolak pada pandangan kemanusiaan, bahwa manusia itu pada dasarnya adalah baik, memiliki kasih sayang kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun cara berhukum di dalam masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, hukum progresif memuat kandungan moral yang sangat kuat, progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.
Teori hukum progresif merupakan bagian dari proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti dalam teori hukum progresif, manusia berada di atas hukum. Hukum hanya menjadi sarana menjamn dan menjaga berbagai kebutuhan manusia. Hukum tidak dipandang sebagai dokumen yang absolut dan ada secara otonom. Hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya kreativitas. Kreativitas dalam konteks penegakan hukum selain dimaksudkan untuk mengatasi ketertinggalan hukum, mengatasi ketimpangan hukum, juga dimaksudkan untuk membuat terobosan-terobosan hukum bila perlu melakukan rule breaking. Terobosan-terobosan ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yaitu hukum yang membuat bahagia.”
Berkaitan dengan pendapat dari Suteki, bahwa hukum progresif tidak ingin terjebak ke dalam cara berhukum yang statis apalagi stagnan. Namun, mendorong perkembangan hukum agar semakin dekat dengan nilai-nilai keadilan yang berkemanusiaan. Hakim yang berpandangan hukum progresif akan selalu memperhatikan keadilan dan kemanfaatan dibandingkan dengan kepastian hukum. Dalam tiap perkara yang dihadapinya, hakim progresif tidaklah sebagai corong undang-undang, melainkan akan melakukan pendekatan, mengikuti, menggali, memahami, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hakim progresif akan selalu mencari terobosan-terobosan, sehingga tidak pernah berhenti karena tidak terbelenggu dengan hukum positif, tapi dengan terobosan-terobosan dalam mencari kebenaran yang ada dalam masyarakat. Karakter hukum progresif yang menghendaki kehadiran hukum dikaitkan dengan pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya, menyebabkan hukum progresif juga dekat dengan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound yang mengintroduksi gagasan tentang penggunaan hukum sebagai sarana social engineering. Oleh para penganutnya, usaha social engineering ini dianggap sebagai kewajiban untuk menemukan cara-cara yang paling baik bagi memajukan atau mengarahkan masyarakat. Satjipto Raharjo menegaskan lebih lanjut bahwa hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kebahagiaan.
Bagaimanapun, peluang hukum progresif lebih besar dalam era reformasi, dari pada harus bekerja dalam era politik sebelumnya yang dipengaruhi oleh aliran positivisme hukum/legisme. Ideal tersebut dilakukan dengan aktivitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum yang mengganjal dan menghambat perkembangan (to arrest development) untuk membangun yang lebih baik.
Hukum progresif memiliki karakteristiknya sendiri yaitu: Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia, pegangan, optik atau keyakinan dasar, tidak melihat hukum sebagai suatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam hukum. Karena mempertahankan status quo memberi efek yang sama seperti pada waktu orang berpendapat bahwa hukum adalah tolak ukur untuk semuanya dan manusia adalah untuk hukum Ketiga, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan secara diametral dengan paham bahwa hukum itu hanya uraian peraturan. Dengan demikian karakteristik hukum progresif dapat disimpulkan dengan pernyataan sebagai berikut:
Pertama. Hukum ada untuk mengabdi pada manusia; Kedua. Hukum progresif akan tetap hidup karena hukum selalu berada pada statusnya sebagai law in the making dan tidak pernah bersifat final, sepanjang manusia masih ada, maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat; Ketiga. Dalam hukum progresif selalu mendekat etika dan moralitas kemanusiaan yang sangat kuat, yang akan memberikan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan manusia serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan dan kepedulian terhadap manusia pada umumnya.















BAGIAN KEENAM

Epilog.
Kejahatan narkotika dan psikotrapika, dari tahun ketahun, mengalami dinamika dalam peredaran gelapnya, walaupun setiap negara, menyatakan perang terhadap kejahatan jenis ini, Tetapi kejahatan semakin marak, dan penegakan hukumnyapun dilakukan dengan cara cara yang luar biasa. Masayarakat internasional, telah lama menentukan dan memotret kejahatan narkotika dan psikotrapika, dan menjadikannya sebagai kejahatan transnasional atau kejahatan lintas negara. Sehingga diperlukan berbagai instrumen hukum internasional yang mengatur tentang narkotika dan psikotrapika.
Indonesia sebagai negara hukum, dan turut secara aktif dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dan psikotrapika, telah menerima berbagai instrumen hukum internasional, tentang kejahatan jenis ini, dan bahkan kekhawatiran terhadap bahaya penyalahgunaan narkotika dan psikotrapika, telah memasuki stadium yang memperihatinkan. Karena itu cara cara yang luar biasa, telah digunakan untuk penegakan hukumnya. Di bentuk Badan Narkotika nasional, adalah suatu respons dari pemerintah dan pembuat undang undang, agar kejahatan narkotika dan psikotrapika, dapat ditekan, dan penggunaan penegakan hukumnya tidak hanya, melalui sarana hukum pidana semata mata, tetapi dengan sarana lainnya, yang bersifat bukan hukum pidana, tetapi dilakukan dengan cara cara yang integratif, rasional, guna mencapai sasaran dan tujuannya.
Undang Narkotikia dan psikotrapika, adalah undang undang hukum pidana, yang melengkapi KUHP, atau dikenal juga sebagai hukum pidana di luar KUHP. Sehingga dalam undang undang tersebut, terjadi berbagai kriminalisasi.Undang Undang Narkotika dan Psikotrapika, adalah jenis undang undang, yang dipengaruhi oleh instyrumen internasional, melalui konvensi konvensi injternasional, dan negara Indonesia, sebagai anggouta dari masyarakat duni, ikut merativikasi, dan menjadikan kejahatan tersebut, dalam suatu undang undang yang bersifat nasional. Penegakan hukumnya selalui menuai permasalahan yang belum terpecahkan, karena narkotika dan psikotrapika, dari satu sisi, sangat berkaitan, dengan jalan pintas untuk mendapatkan lompatan ekonomi, dengan cara cara yang terlarang, dan bahkan peredaran gelap narkotika dan psikotrapika, telah merusak generasi muda, dan mengganggu pertumbuhan bangsa dan negara, terutama kualitas manusia Indonesia.
















KEPUSTAKAAN

Buku
AR. Soejono dan Bony Daniel. Komentar dan Pembahasan UU No. 35 Tahun 2009.(Jakarta; Sinar Grafika)
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007)
Awaludin Marwan et al, Evolusi Pemikiran Hukum Baru (Yogyakarta: Genta Press, 2009),
Arief. Bernard Sidharta. Analisis Filosofikal Terhadap Hukuman Mati di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Lokakarya yang diselenggarakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia, (Bandung, 7 desember 2005).
Akhmad Ali. Menguak Realitas Hukum. Rampai kolom dan artikel pilihan dalam bidang hukum. (Jakarta. Kencana Prenada Media Grouf.2008)
Abdul Halim, Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-kritiknya dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, 2009
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
Al. Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia (Yogyakarta: Univ. Atmajaya, 1997)
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996)
--------------------, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993)
---------------------, Pemberantasan Korupsi. Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. (Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2007)
Andi Zaenal Abidin dan Andi Hamzah. Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan dan Gabungan delik) dan Hukum Penitensir. (Jakarta, sumber Ilmu Jaya,2001)
Andi Hamzah dan A.Sumangelipu. Pidana Mati Di Indonesia, di masa lalu,kini dan dimasa depan. (Jakarta. Ghalia Indonesia.1984.
Abdul Latief. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah.(Yogyakarta; UII Pres,2005)
Anthon.F.Susanto. Dekonstruksi Hukum Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan.(Yogyakarta; Genta Publishing, 2010)
Bambang Poernomo. Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Ilmiah. ( Jakarta Bina Aksara, 1982)
--------------------------------, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara, 1984)
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 1992)
Bambang Widjojanto, Makalah: Negara Hukum, Kekuasaan Kehakiman: Upaya Membangun Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman pada Pelatihan HAM dan Jejaring Komisi Yudisial Republik Indonesia (Jakarta: 2010)
Bismar Siregar, Kata Hatiku, Tentangmu (Jakarta: Diandra Press, 2008)

Barda Nawawi Arief. Masalah Pidana Mati Dalam Perspektif Global, dan Persepektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Dalam Jurnal Legislasi Indonesia. (Jakarta, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2004)
-----------------------------. Kapita Selekta Hukum Pidana.(Bandung; PT. Citra Adytia Bakti, 2003)
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (Jakarta: Kencana, 2006)
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia, 2008),
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1988),
Djoko Prakoso dan Nurwachid. Studi Tentang pendapat-pendapat mengenai efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini.( Jakarta, Ghalia Indonesia. 1984)
D. Schaffmeister dkk, Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007)
K. Wantjik Saleh, Kehakiman Dan Peradilan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977)
Komariah Emong Sapardjaja, Permasalahan Pidana Mati Dewasa Ini di Indonesia. Dalam Jurnal Legislasi Indonesia. (Jakarta, Derjen Peraturan Perundang undangan ,Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. 2004)
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001)
Lili Rasjidi dan Arief Sidharta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1988)
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Jakarta: Raja Grafindo, 2004)
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1998)
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995)
----------,Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum. (Jakarta; The Habibie Center, 2002)
Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. (Jakarta; Prenada Media Grouf.2010)
Nurwahidah.HA. Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Islam. (Surabaya,Al Ikhlas 1994)
Otje Salman dan Anthon F. Susanto. Tinjauan Filsafat Hukum Tentang Penegakan Hukum dan Penemuan Hukum di Indonesia. Dalam Tinjauan kritis atas perkembangan hukum seiring perkembangan masyarakat Di Indonesia. KapitKapita Selekta Hukum. Penyunting Sinta Dewi. (Bandung; Widya Padjadjaran, 2009)
Paulus E. Lotulung, Makalah: Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, disampaikan pada Seminar Pengembangan Hukum Nasional, BPHN dan Dep. Kehakiman dan HAM RI, 2003.
Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana (Bandung: Alumni, 2005)
P.A.F.Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia. (Bandung, CV.Armico,1984)
Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan (Jakarta: Aksara Baru, 1981)
---------------------, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996)
---------------------, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Aksara Baru, 1978)
----------------------, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungan Jawab Pidana (Jakarta: Aksara Baru, 1981)
----------------------, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana (Jakarta: Aksara Baru, 1981)
-----------------------, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan (Jakarta: Aksara Baru, 1979)
----------------------,Masalah Pidana Mati. Jakarta, Aksara Baru, 1978
----------------------, Stelsel Pidana Indonesia. (Jakarta; Aksara Baru. 1983)
------------------------, Pidana Lain Sebagai Pengganti Pidana Penjara (Pekanbaru, Riau: Universitas Islam Riau Press, 1989)
-----------------------,Melihat Ke belakang dan Menatap Ke depan Dengan Mmperkokoh Dsar Hukum Yang Berlaku Hingga Kini Dan Di Waktu Yang Akan Datang. Makalah pada Seminar kepolisian.( Jakarta; 1996)
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006)
-------------------------, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2003),
--------------------------, Hukum Progresif (Yogyakarta: Genta Press, 2009),
---------------------------,. Sosiologi Hukuman Mati. Dalam Jurnal Legislasi Indonesia. (Jakarta, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang undangan,Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.2004)
Shidarta, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, dari buku Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara (Jakarta: Komisi Yudisial, 2010)
Sudijono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005,
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993)
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 2003)
Soejono Dirdjosisworo. Kejahatan Bisnis (Orientasi dan Konsepsi ( Jakarta; Mandar Maju 1994) hlm 23-24.
Soetandyo Wingjoesoebroto. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional.(Jakarta;PT.Raja Grafindo Persada, 1995)
Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia (Yogyakarta: Total Media,2009)
---------------------, Pidana Denda Dan Korupsi (Yogyakarta: Total Media, 2009)
---------------------,.Ilmu Negara Dalam Konteks Negara Hukum Modern.(Yogyakarta; Total media, bekerjasama dengan P3IH, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2010)
Lili Rasyidi. Dinamika Situasi dan Kondisi Hukum Dewasa ini. Dalam Tinjauan kritis atas perkembangan hukum seiring perkembangan masyarakat di Indonesia, Kapita Selekta Hukum. Penyunting Sinta Dewi. (Bandung; Widya Padjadjaran, 2009)
Tb Ronny Nitibaskara. Perangkap Penyimpangan dan Kejahatan, Teori baru dalam kriminologi. (Jakarta. Yayasan pengembangan kajian kepolisian, 2009)
Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana (Jakarta: Erlangga, 1980)
J.M.Van Bemmelen. Hukum Pidana 2, Hukum Penitentier. Diterjemahkan oleh Hasnan. (Bandung, binacipta, 1986)
J.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Prenhallindo, 2007)
J.E.Sahetapy. Suatu Studi Khusus Mengenai Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. (Jakarta, Rajawali, 1982)
-------------------. Pidana Mati Dalam Negara Pancasila.(Bandung.PT.Citra Adytia Bakti,2007)
-------------------.Pisau Analisis Kriminologi. (Bandung; PT.Citra Adytia Bakti, 2005)
Jan Remmelink, Hukum Pidana (Jakarta: Gramedia, 2003)
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: 1966)
Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Pewujudan Delik dan Hukum Penitentier (Jakarta: Raja Grafindo, 2006)



Jurnal, UU, Media Massa.

Badan Narkotika Nasional, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak Dini. (Jakarta: 2009).
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif) (Jakarta: 2010)
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008)
Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Masalah Penyalahgunaan Narkotika/Alkohol/Zat-zat Adiktif dan Penanggulangannya.(Jakarta: 1987)
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotrapika.
Jurnal BNN. Selamat Datang Undang Undang Narkotika.(Jakarta; edisi 09 tahun 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar