Sabtu, 07 November 2009

BAB VI
PIDANA PENGAWASAN DAN PIDANA KERJA SOSIAL
SEBAGAI GENERASI TERKINI STELSEL HUKUM PIDANA
Pidana Pengawasan dalam RUU KUHP 2008
Pasal 77 RUU KUHP “Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.”
Pasal 78 RUU KUHP (1), Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. (2), Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada (1) dijatuhkan untuk paling lama tiga tahun. (3), Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat: a) terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b) terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/atau c) terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. (4), Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM. (5), Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampui maksmum dua kali masa pengawasan yang belum dijalani. (6), Jika dalam pengawasan terpidana menunjukan kelakuan baik, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya. (7), Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar para pihak.
Pasal 79 RUU KUHP. (1), Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, maka pidana pengawasan tetap dilaksanakan. (2), jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakn kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.”

Pidana Kerja Sosial dalam RUU KUHP 2008
Pasal 86 RUU KUHP. (1) Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda Kategori I, maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial; (2) Dalam penjatuhan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut : a). pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan. b). usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. c). persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial. d). riwayat sosial terdakwa. e). perlindungan keselamatan kerja terdakwa. f). keyakinan agama dan politik terdakwa. dan g). kemampuan terdakwa membayar denda; (3) Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan; (4) Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama : a). dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas. Dan b). seratus dua puluh jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun; (5) Pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling singkat 7 (tujuh) jam; (6) Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat; (7) Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka terpidana diperintahkan : a) mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut. b) menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut. atau, c) membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti denda yang tidak dibayar.
BAB V
PIDANA DENDA SEBAGAI PRIMADONA PEMIDANAAN

I. Sejarah Perkembangan Pidana Denda
Dalam sejarahnya, pidana denda telah digunakan dalam hukum pidana selama berabad-abad. Anglo Saxon mula-mula secara sistematis menggunakan hukuman finansial bagi pelaku kejahatan. Pembayaran uang sebagai ganti kerugian diberikan kepada korban. Ganti rugi tersebut menggambarkan keadilan swadaya yang sudah lama berlaku yang memungkinkan korban untuk menuntut balas secara langsung terhadap mereka yang telah berbuat salah dan akibat terjadinya pertumpahan darah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ancaman terhadap kehidupan dan harta benda suatu kelompok yang ditimbulkan oleh pembalasan korban adalah faktor penting dalam perkembangan dan popularitas hukuman dalam bentuk uang.
Pidana denda itu sendiri sebenarnya merupakan pidana tertua dan lebih tua daripada pidana penjara. Pembayaran denda terkadang dapat berupa ganti kerugian dan denda adat. Dalam zaman modern, denda dijatuhkan untuk delik ringan dan delik berat dikumulatifkan dengan penjara. Pidana denda pada mulanya adalah hubungan keperdataan yaitu ketika seseorang dirugikan, maka boleh menuntut penggantian rugi kerusakan yang jumlahnya bergantung pada besarnya kerugian yang diderita, serta posisi sosialnya yang dirugikan itu. Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dari pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan pemerintah dalam pengadilan atau atas tindakan pemerintah terhadap yang membuat gangguan. Pada sekitar abad kedua belas, orang yang dirugikan mendapatkan pembagian hasil ganti kerugian yang menurun, sedangkan penguasa mendapat pembagian yang semakin baik, akhirnya mengambil seluruh pembayaran ganti rugi tersebut. Dalam hukum pidana denda yang dibayarkan kepada negara atau masyarakat, sedangkan dalam perkara perdata dapat diganti dengan pidana kurungan jika tidak dibayar.
Pada penelusuran sejarah tentang pidana denda, diketahui bahwa cara pemidanaan pidana denda amat tua, akan tetapi jalan kemenangannya baru dimulai seratus tahun terakhir. Tentang sejarah penerapan pidana denda, ada 4 (empat) periode cara penerapannya. Pertama, pada awal abad pertengahan dengan dikenal sebagai sistem ganti rugi atau sistem di mana semua perbuatan pidana diselesaikan dengan sistem pembayaran uang, binatang atau sejenisnya menurut daftar tarif yang sudah ditentukan. Pada periode ini penjara tidak dikenal dan jenis pekerjaan utama adalah pertanian. Kedua, adalah terjadi pada akhir abad pertengahan, dengan berkembangnya jumlah penduduk, terjadilah banyak permasalahan sosial, kemerosotan ekonomi dan peningkatan kejahatan terhadap harta kekayaan, sehingga melahirkan suatu sistem untuk menyakiti penjahat melalui penerapan pidana secara kasar. Ketiga, yaitu pada 1600-an sampai Revolusi Industri, yang berkembang pada masa itu adalah penerapan pidana penjara, yang mengalami berbagai macam perubahannya. Keempat, yakni pada abad kedelapan belas dengan ditandai munculnya pidana mati, sebagai upaya untuk menakut-nakuti rakyat miskin yang sudah kebal terhadap pidana perampasan kemerdekaan. Pidana denda itu sendiri mengalami perkembangan pada abad kedua puluh yaitu ketika raja menerima pembayaran atas kasus-kasus pidana dan para korban dapat memperoleh kompensasi hanya melalui pengadilan perdata. Semakin populernya denda juga disebabkan karena hukuman finansial merupakan sumber yang penting sebagai kekayaan kerajaan.
Penerapan pidana denda selalu dibayangi dengan penerapan pidana penjara yang telah mendapatkan tantangan dari berbagai kajian, penelitian dan pengalaman empiris, sehingga membuka pemikiran kearah berbagai pidana alternatif dari pidana kehilangan kemerdekaan. Dalam perkembangannya, penggunaan pidana alternatif tidak saja merupakan penggantian pidana penjara singkat waktu, tetapi juga sebagai alternatif baru pelaksanaan pidana yang dijatuhkan. Hal semacam ini diperkenankan dalam KUHP negara-negara Skandinavia, Swiss, dan Portugal. Pidana denda juga berhasil menggeser kedudukan pidana badan dari peringkat pertama di Belanda. Salah satu alasannya adalah kenaikan peringkat tersebut, banyaknya keberatan yang cukup mendasar terhadap penjatuhan pidana badan singkat. Keberatan serupa tidak berlaku terhadap pengenaan pidana denda karena pidana denda hampir tidak menyebabkan stigmatisasi yaitu terpidana tidak dicabut dari lingkungan keluarga atau kehidupan sosialnya, pada umumnya terpidana tidak kehilangan pekerjaannya, dengan mudah dapat dibayar oleh pihak lain, muncul daya kerja prevensi umum; negara tidak menderita kerugian. Dikemukakan pula oleh Jan Remmelink ,bahwa terbuka kemungkinan justru atau hanya orang-orang tertentu yang diuntungkan olehnya. Karena berat ringannya pidana denda dalam kenyataan harus turut memperhitungkan kemampuan finansial terpidana, yakni untuk menghindari absurditas. Di lain pihak, mereka yang miskin akan sangat dirugikan oleh pengenaan pidana denda.
Pidana denda dalam hukum pidana positif mulai mengalami kemajuan. Hal ini dapat dilihat dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam hukum Indonesia. Terutama juga sejak digunakannya ketentuan pidana yang mencantumkan sanksi denda oleh legislator, yaitu sejak korporasi sebagai badan hukum dipandang dapat melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Undang Undang Tindak Pidana Ekonomi. Kemudian beberapa ketentuan undang-undang menegaskan bahwa korporasi bukan hanya sebagai pelaku, tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana korporasi menurut RUU KUHP Baru dianggap sebagai sumbangan pemikiran kriminologi. Meskipun hukum pidana Indonesia tidak asing lagi dengan konsep criminal responsibility of corporations, namun hampir 40 tahun sejak UUTPE ternyata belum ada yurisprudensi Indonesia tentang hal ini. Hal tersebut dapat ditafsirkan sebagai keseganan atau keragu-raguan kalangan sarjana hukum menerima korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Dalam perkembangannya penggunaan pidana denda, diketahui dengan diterapkannya kategori pidana denda yang lebih tinggi, yang diancamkan terhadap orang perseorangan. Selain itu, terhadap delik-delik yang tidak diancam dengan pidana denda, khususnya apabila dilakukan oleh korporasi justru dijatuhkan pidana denda. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (5) KUHP Belanda. Selain itu, terdapat pula dalam RUU KUHP. Maksimalisasi pidana denda selanjutnya diketahui melalui semakin maraknya undang-undang yang bersifat administratif. Sehubungan dengan ini Schaffmeister menyatakan, hukum pidana dewasa ini dituntut untuk memenuhi dua fungsi, yaitu penegakan norma-norma etis dan juga penegakan norma-norma pengatur lainnya yang non-etis, yang diperlukan demi pengaturan ketertiban kehidupan sosial. Tanda lain yang mencirikan maksimalisasi penggunaan pidana denda adalah diperkenalkannya model pengancaman dengan menggunakan kategorisasi. Model ini dimaksudkan untuk mempermudah diadakannya perubahan perundang-undangan yang menyangkut besar ancaman pidana denda, mengikuti perkembangan perekonomian, terutama angka inflasi. KUHP Belanda dalam perumusan deliknya tidak menentukan besarnya denda tertentu, melainkan menentukan dalam buku pertama dengan kategorisasi, mulai lima ratus Gulden sampai satu juta Gulden. RUU KUHP, menentukan pula kategori terendah pidana denda (Kategori I) maksimal sebesar Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan kategori tertinggi (Kategori VI) sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah). Kecenderungan penentuan pidana denda dengan merumuskannya secara kategoris dalam Buku Pertama RUU KUHP, sehubungan dengan pola jenis sanksi yang berhubungan dengan pola pembagian jenis pidana menurut KUHP, untuk kejahatan umumnya diancam dengan pidana penjara atau denda, sedangkan untuk pelanggaran diancam dengan pidana kurungan atau denda.
Dalam RUU KUHP 2008, berkaitan dengan pengklasifikasian bobot delik menjadi delik sangat ringan. Ancaman pidana denda ringan yaitu kategori I dan II dan diancamkan secara tunggal. Delik berat, ancaman pidana 1 (satu) tahun hingga 7 (tujuh) tahun. Pidananya selalu dialternatifkan dengan pidana denda kategori III dan IV. Beberapa delik diberi ancaman pidana minimum khusus. Delik sangat berat, ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun ke atas, pidana mati atau pidana seumur hidup. Ancaman pidana tunggal tetapi dapat dikumulasikan dengan denda kategori V dan diberi ancaman minimal khusus. Upaya memaksimalkan penggunaan pidana denda dalam pemidanaan juga ditandai dengan adanya perkembangan penemuan model-model eksekusi pidana denda. Perkembangan ini terutama ditujukan untuk meningkatkan sifat nestapa dari pidana denda. Pidana denda yang semula oleh sebagian orang dirasakan tidak terlalu menakutkan, karena dengan serta merta dapat berakhir ketika denda telah dibayar, kini di dalam RUU KUHP dikenal sistem denda harian (day-fine).
Pidana denda juga merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul orang lain, selain terpidana. Dengan sistem ini besarnya denda menjadi fleksibel karena mengikuti besarnya penghasilan terdakwa. Terdakwa yang berpenghasilan besar, maka dibebani denda yang besar pula, yaitu penghasilannya dikurangi dengan biaya hidupnya. Pidana denda dengan sendirinya mempunyai sifat nestapa yang lebih tinggi dari yang selama ini ada, yang terkadang lebih menakutkan dari ancaman pidana penjara. Diketahui pula bahwa pidana denda juga telah mendunia dan menjadi pidana primadona pada saat ini. Pidana denda merupakan suatu sarana yang efektif dan mempunyai dampak yang lebih baik bila dibandingkan dengan pidana penjara.
Beberapa pengaturan pidana di beberapa negara sebagai perbandingan. Amerika Serikat telah menggunakan beberapa alternatif sanksi pidana dan tidak lagi hanya mengacu pada pidana penjara. Amerika Serikat secara historis memiliki tingkat populasi penjara yang tinggi sehingga seringkali biaya pemeliharaan penjara menghabiskan dana-dana publik yang ada. Sejak 1970 sampai 1980 jumlah populasi penjara mencapai 330,000. Pada 30 Juni 1992, jumlah tersebut meningkat menjadi 856,000. Oleh karena itu, untuk mencegah semakin tingginya tingkat populasi di dalam penjara, Amerika Serikat mulai menggunakan beberapa alternatif sanksi pidana. Di Oregon misalnya, negara bagian ini menerapkan alternatif sanksi pidana berupa community service days untuk penahanan selama 30 hari), sedangkan, Minnesota menggunakan pedoman sanksi lokal untuk kasus-kasus pidana non-custodial.
Denda harian juga dikenal di RRC tidak ditentukan jumlah pasti berapa yang harus dibayar oleh terpidana diserahkan kepada hakim untuk meneliti tentang keadaan terpidana, keadaan pada waktu melakukan delik, hakim dapat tidak mengenakan denda bila terpidana tidak mampu. Di Amerika Serikat hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan pidana denda sebanyak dua kali lipat dengan kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa. Selain itu, hakim pengadilan di Amerika Serikat juga diberi kebebasan untuk menentukan jumlah denda bagi beberapa bentuk pelanggaran khusus. Dasar untuk menentukan pidana denda ini belum jelas apakah pengenaan denda ini didasarkan pada besarnya pelanggaran yang dilakukan ataukah didasarkan pada kemampuan ekonomi terdakwa. Di Amerika Serikat pengenaan denda tidak memandang status ekonomi seseorang. Hal ini termuat di dalam Fourteenth Amendment yang menyatakan the statutory ceiling placed imprisonment for any substantive offense be the same for all defendants irrespective of their economic status.
Di negara-negara Skandinavia, Jerman, Austria, Perancis, dan Portugal denda diperhitungkan dengan hari, sehingga jumlah denda yang harus dibayar ialah sebanyak pendapatan harian setiap terpidana. Denda yang tidak dibayar dapat diganti dengan pidana kurungan, bahkan dapat diperhitungkan secara harian menurut perimbangan, maka dirasa kurang adil jika denda yang dijatuhkan disamakan antara orang kaya dengan orang miskin.
Portugal memberikan batas minimum lamanya denda harian ialah 10 (sepuluh) hari dan maksimumnya adalah 300 (tiga ratus) hari, sedangkan jumlah denda harian minimum 200 escudos, maksimumnya 2000 escudos perhari. Dengan demikian denda harian paling kecil 2000 escudos. Di Jerman juga membatasi jumlah denda harian, yaitu minimum 100 mark, dan maksimum 10.000 mark perhari. Sistem denda harian agak sulit untuk ditiru di Indonesia, karena banyak penganggur yang tidak mempunyai pendapatan tetap, sehingga sulit membuat perhitungan berapa besar denda yang harus dibayar terpidana, kecuali jika ditetapkan bahwa kurunganlah yang dijatuhkan terhadap pelanggar yang tidak mempunyai pendapatan tetap, sebagaimana dalam Pasal 504, 505, dan 506 KUHP (delik pengemisan, pergelandangan, dan sauteneur). Berbeda dengan di negara-negara Skandinavia yang mempersiapkan tunjangan sosial kepada penganggur, sehingga penganggur tetap mempunyai pendapatan. Di Spanyol, denda dibagi menjadi denda ringan dan denda berat. Pembagian ini didasarkan pada besarnya jumlah denda yang dikenakan. Denda yang lebih dari 30,000 pesetas merupakan denda yang berat, dan denda yang kurang dari 30,000 pesetas merupakan denda yang ringan.
Di Jerman pidana denda ditemukan rumusan Pasal 29 tentang tindakan-tindakan koreksional. Pasal 26 denda sebagai pidana pokok. Pasal 49 denda sebagai pidana tambahan. Dalam penerapan dan penetapannya dipertimbangkan keadaan ekonomi dan untuk membayar ganti rugi yang didasarkan atas delik yang dapat dipidana, jumlahnya harus sesuai dengan pidana pokok.
Di Belanda, dengan Stbld 1925, hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan pidana denda secara umum terhadap delik yang diancam pidana penjara tidak lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan, baik bagi delik yang diancam dengan pidana denda maupun yang tidak diancam dengan pidana dendanya. Maksimum 10.000 gulden atau 2000 gulden bagi delik yang diancam pidana penjara tidak lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan, 20.000 gulden atau 4000 gulden bagi delik yang diancam lebih dari tiga bulan penjara. Bagi delik-delik yang diancam berat dipandang dari kepentingan umum di mana diancam dengan pidana penjara, maka ketentuan ini tidak berlaku. Sekarang ini dari perbaikan-perbaikan KUHP Belanda di mana alternatif pidana denda dengan penjara hampir di setiap pasal. Hasil penagihan denda diperuntukkan untuk kas negara. Begitu pula biaya untuk pidana kurungan pengganti ditanggung oleh negara, sekarang denda diatur melalui kategorisasi I hingga VI. Sistem kategori ini sangat sesuai dengan negara yang inflasinya tinggi, jika terjadi perubahan nilai tukar uang, cukup satu pasal saja yang dirubah yaitu tentang daftar kategori.
Di dalam KUHP Argentina pengaturan tentang pidana denda diatur Pasal 21. Kemudian, terpidana juga dapat dibebaskan dari pembayaran denda dengan menghitung bagian jangka waktu yang sepadan yang telah dijalani dalam tahanan dan akan dikurangkan dari denda. Hal ini tentu saja disesuaikan dengan peraturan dan kompensasi lamanya denda. Denda dalam KUHP Argentina minimal 50 Peso dan maksimal 2000 Peso.
Pengaturan tentang pidana denda dalam KUHP Jepang, diatur dalam Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 KUHP Jepang. Dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang yang tidak mampu membayar dendanya, baik seluruh atau sebagian, dapat ditahan disebut tempat kerja paling kurang satu hari dan paling lama dua tahun atau Work House. Di tempat inilah mereka memperoleh pendidikan keterampilan sebagai bekal sesudah lepas, sambil menghasilkan sesuatu yang berguna bagi negara. Jumlah denda maksimal adalah tidak lebih dari 5000 (lima ribu) yen dan minimal tidak lebih dari 6 yen, atau pidana penahanan atau denda ringan.
KUHP Austria, denda dikenakan untuk jenis pidana untuk delik yang ringan dan besar. Dalam menentukan denda, kondisi ekonomi terdakwa akan dipertimbangkan. Selain itu, dalam mengenakan denda juga terdapat beberapa pengecualian. Pertama, jika denda akan sangat mengganggu kondisi ekonomi atau mata pencaharian terpidana atau keluarganya. Kedua, jika karena lamanya pidana kurungan yang ditetapkan oleh undang-undang penghasilan terpidana atau keluarganya akan menjadi semakin buruk atau setidak-tidaknya menjadi kacau. Untuk kedua pengecualian di atas maka sebagai pengganti denda akan dikenakan pidana kurungan yang seimbang dengan delik yang dilakukan. Untuk pidana kurungan dapat dikurangi menjadi kurang dari pidana minimum yang ditetapkan oleh undang-undang. Denda dalam KUHP Austria minimal sekurang-kurangnya 50 Schilling dan maksimal sampai 1.000.000 (satu juta) schilling. KUHP Malaysia tentang pidana selain pidana penjara dikumulasikan dengan denda, atas pelanggaran berbagai delik yang ditentukan dalam KUHP Malaysia. KUHP Republik Korea mengatur pidana denda dalam klasifikasi pidana yang diatur dalam Pasal 41. Denda pada umumnya akan dikenakan sebanyak 500 (lima ratus) hwan atau lebih. Denda ringan akan dikenakan sebanyak tidak kurang dari 50 (lima puluh) hwan dan tidak lebih dari 500 (lima ratus) hwan. Denda dan denda ringan akan dibayar dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak hari putusan menjadi final. Apabila denda dikenakan maka penahanan di dalam suatu rumah kerja sebagai pengganti denda dapat ditetapkan berbarengan sampai denda itu dibayar sepenuhnya. Seseorang yang tidak membayar denda sepenuhnya akan ditahan di dalam sebuah rumah kerja dan bekerja selama jangka waktu tidak kurang dari satu bulan dan tidak lebih dari 3 (tiga) tahun. Dalam hal denda ringan, tidak kurang dari 1 hari dan tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari. Apabila seseorang membayar hanya sebagian denda atau denda ringan yang dijatuhkan kepadanya, maka jumlah hari yang sepadan dengan jumlah uang yang dibayar akan diperhitungkan dari masa penahanan sesuai dengan perbandingan untuk seluruh denda atau denda ringan untuk masa penahanan penuh.
Klasifikasi pidana dalam KUHP Filipina terdiri atas pidana mati, pidana afliktif, pidana koreksional, pidana denda dan ikatan untuk memelihara ketertiban/perdamaian, serta pidana tambahan. Pidana denda dapat digolongkan lagi menjadi pidana afliktif, pidana koreksional, atau pidana ringan. Suatu pidana denda, apakah dikenakan sebagai pidana satu-satunya atau sebagai pidana alternatif, dianggap sebagai pidana afliktif, jika denda dari pidana denda itu melebihi 6.000 (enam ribu) peso. Suatu pidana denda disebut pidana koreksional, jika dendanya tidak melebihi 6.000 (enam ribu) peso tetapi tidak kurang dari 200 (dua ratus) peso. Suatu pidana denda disebut ringan, apabila dendanya kurang dari 200 (dua ratus) peso. Jika terpidana tidak mempunyai harta milik untuk memenuhi denda yang dikenakan kepadanya, maka terpidana dikenakan pertanggungjawaban pribadi subsider dengan tarif satu hari pidana kurungan untuk setiap 8 (delapan) peso. Dalam pembebanan pidana denda, pengadilan dapat menentukan jumlahnya dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, dalam menentukan jumlah yang diberikan dalam setiap kasus, tidak hanya memperhatikan alasan-alasan yang meringankan dan memberatkan, tetapi terutama sekali pada harta dan kekayaan terpidana.
Dalam KUHP Thailand pidana denda diatur dengan lebih cermat. Jika denda tidak dibayar, pengadilan dapat memutuskan untuk menyita harta bendanya. Sesudah itu baru menyusul tindakan lain seperti kurungan pengganti denda. Untuk kurungan sebagai pengganti denda akan dihitung rata-rata lima baht per hari, dan apabila perkara itu terdiri dari satu atau lebih delik, kurungan demikian tidak boleh melebihi satu tahuan, kecuali dalam perkara pengadilan yang telah menjatuhkan denda 10.000 (sepuluh ribu) baht ke atas, pengadilan dapat memerintahkan kurungan sebagai pengganti denda selama lebih dari satu tahun tetapi tidak lebih dari dua tahun. Dalam menghitung jangka waktu tersebut, hari dimulainya kurungan sebagai pengganti denda akan dihitung dan diperhitungkan sebagai sehari penuh, tanpa memandang jumlah jam. Dalam hal di mana seseorang dijatuhi pidana denda yang ditahan sebelum putusan pengadilan, maka hari dalam tahanan akan dikurangi dari jumlah denda atas perhitungan rata-rata lima baht sehari, kecuali jika orang tersebut dijatuhi dengan pidana penjara dan pidana denda. Jika jumlah hari dalam tahanan harus dikurangi dari masa pidana penjara, maka pidana penjara yang dikurangi lebih dahulu, sedangkan sisanya dikurangi dari jumlah denda. Apabila masa kurungan sebagai pengganti denda telah diselesaikan, maka pelepasan akan terjadi pada hari berikutnya sesudah masa itu diselesaikan. Jika denda dibayar penuh, maka pelepasan segera dilakukan. Dalam KUHP ini diatur bahwa minimal denda yaitu tidak kurang lebih dari 1.000 (seribu) baht atau pidana penjara yang tidak lebih dari satu bulan. Sedangkan denda maksimal sampai dengan (empat puluh ribu) 40.000 baht.
KUHP Belanda dalam ketentuan Pasal 9 mengatur bahwa maksimum denda yang dapat dijatuhkan terhadap delik yang tidak mencantumkan pidana denda, diatur dalam Pasal 23 ayat (5). Ketentuan Pasal 9 ayat (2) ini sekaligus mengandung pedoman pemidanaan bagi hakim walaupun formulasinya diintegrasikan dalam aturan tentang pidana. Jumlah pidana denda minimal adalah 5 (lima) Gulden. Denda yang dijatuhkan tidak boleh melebihi maksimum kategori denda yang ditetapkan untuk delik yang bersangkutan. Tentang kategori ditentukan 6 kategori pidana. Apabila denda tidak ditentukan maka hakim dapat mengenakan denda hingga maksimum kategori satu untuk pelanggaran dan maksimum kategori ketiga untuk kejahatan. Pidana denda untuk korporasi adalah jumlah kategori tertinggi berikutnya. Dalam menjatuhkan pidana denda, hakim harus mempertimbangkan kemampuan kekayaan terdakwa sehingga putusan pidana layak dan tepat tanpa mempengaruhi secara tidak sepadan penghasilan terdakwa menentukan cicilan dengan batas waktu cicilan tidak boleh kurang dari 1 (satu) bulan dan tidak boleh lebih dari 3 (tiga) bulan.
Dalam KUHP Denmark, denda (fine/bode) dapat dikenakan dalam bentuk harian minimal satu denda harian dan maksimal 60 denda harian, tetapi apabila ada beberapa delik maka denda harian dapat diakumulasi tanpa batas maksimum. Besarnya denda harian ditetapkan berdasarkan penghasilan rata-rata per-hari serta mempertimbangkan keadaan khusus seperti sumber, modal kekayaan, dan kewajiban terhadap keluarga. Juga menetapkan denda pasti dan denda sebagai pidana pokok dapat dikombinasikan dengan pidana bersyarat. Dalam batas tertentu, jaksa dan polisi dapat mengenakan denda untuk menghindari penuntutan pidana. Penuntut umum dapat menunda perkara karena pelaku membayar sejumlah uang yang ditetapkan secara pasti. Di Swedia, penuntut memiliki diskresi untuk menentukan jumlah pidana denda sesuai dengan aturan yang ada. Penuntut hanya dapat memberikan pidana denda maksimum 300 kroner denda harian selama 60 hari. Sementara pengadilan dapat membebankan pidana denda sampai 500 kroner denda harian selama 120 hari. Penuntut dalam suatu kasus tidak dapat memaksa tersangka untuk mengakui kesalahannya, jika tersangka menarik laporan yang telah dibuatnya di pengadilan maka perkara tersebut akan tetap diajukan ke pengadilan.
Dalam KUHP Perancis, pidana denda dapat dikenakan untuk kejahatan dan pelanggaran sejak 10 Juni 1983 diberlakukan pidana denda harian, dan tidak dapat digunakan pada pidana anak, dan hanya diterapkan pada pidana yang diancam pada pidana penjara. Pidana harian dimaksudkan sebagai pidana alternatif dari pidana penjara pendek. Maksimum jumlah pidana harian adalah 360 (tiga ratus enam puluh), sedangkan jumlah pidana harian ditetapkan oleh hakim dengan mempertimbangkan penghasilan dan pengeluaran terdakwa. Jumlah maksimum tiap denda harian adalah 2.000 (dua ribu) franc. Denda yang tidak dibayar dikenakan detention. Pidana pengganti ini dimaksudkan untuk memaksa agar terpidana membayar dendanya. Lamanya detention tergantung pada besarnya denda dan maksimun 2 (dua) tahun yang lebih dari 8.000 (delapan ribu) franc. Apabila dikenakan denda harian, maka pidana pengganti (detention), tidak boleh melebihi separuh dari jumlah denda harian yang tidak dibayar. Maksimalnya adalah 180 (seratus delapan puluh) hari. KUHP Yunani mengatur sanksi yang bersifat uang dan denda, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang khusus. Ada delik yang dapat dipidana hanya dengan pecuniary penalty atau pidana kustodial, misalnya delik penyuapan dan pemalsuan. Tindakan paksa untuk melaksanakan pidana denda adalah penyitaan harta milik, penyitaan barang tetap, serta penahanan. Dalam KUHP Portugal, pidana denda digunakan sebagai pengganti pidana penjara pendek, dan juga sebagai pidana yang berdiri sendiri. Sejak 1983 semua pidana denda dihitung sebagai pidana denda harian, karena harus memperhitungkan kemampuan terpidana. Pidana denda sekurang-kurangnya sepuluh dan maksimal tiga ratus denda harian. Pembayaran denda dapat ditunda sampai satu tahun atau diangsur dalam waktu dua tahun. Apabila denda tidak dapat dibayar dapat diganti dari barang-barang terpidana atau di konversi dengan kewajiban kerja. Satu hari kerja ekuivalen dengan satu denda harian. Uang denda menjadi milik negara, tetapi hakim dapat menghadiahkan semua atau sebagian denda itu kepada pihak yang dirugikan atau korban. Apabila ia menderita kerugian finansial sangat serius dan terdakwa tidak dapat membayar kembali. Atas permintaan pihak yang dirugikan, barang yang disita atau hasil kejahatan dan juga keuntungan yang berasal dari kejahatan dapat diberikan atau dihadiahkan kepadanya.
Dalam KUHP Yugoslavia diatur bahwa denda tidak dapat kurang dari 1000 (seribu) dinar, kecuali ditetapkan oleh undang-undang. Denda dapat dikenakan sampai 100.000 (seratus ribu) dinar dan terhadap delik yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan pribadi dapat mencapai 1.000.000 (satu juta) dinar. Putusan pengadilan menetapkan batas waktu pembayaran denda yang tidak dapat kurang dari 15 (lima belas) hari dan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan, tetapi dalam kasus tertentu denda dapat dibayar dengan mencicil dalam batas waktu sampai 2 (dua) tahun.
2. Pidana Denda Dan Politik Hukum Pidana.
Dalam perspektif perkembangan hukum yang dinamis, maka hukum selalu berkembang, yang mengikuti perkembangan masyarakat atau secara sosiologis dikatakan sebagai hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat. Hukum di masyarakat yang modern dewasa ini, adalah hukum yang ditentukan secara jelas persyaratannya, yaitu adanya bentuk tertulis, hukum berlaku untuk seluruh wilayah negara dan yang terakhir bahwa hukum merupakan instrumen yang secara sadar dipakai untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya. Penggunaan pidana denda dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP maupun pada ketentuan pidana di berbagai undang-undang administratif telah berkembang. Perkembangan ini menunjukkan bahwa pidana denda tidak hanya digemari oleh legislator untuk mengatur masyarakat menuju masyarakat yang adil dan makmur, tetapi juga percepatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan nasional, maka politik hukum pidana atau istilah lainnya, Penal Policy, Criminal Law Policy, atau Strafrechts Politiek bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Politik hukum pidana itu sendiri pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan. Terkait proses pengambilan keputusan melalui seleksi di antara berbagai alternatif yang menjadi tujuan sistem hukum pidana mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusunlah berbagai kebijakan yang berorientasi pada berbagai masalah pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan berbagai alternatif sanksi baik yang merupakan pidana maupun tindakan).
KUHP setidaknya memuat dua hal pokok. Pertama, hukum pidana memuat aturan-aturan yang harus dipenuhi di mana pengadilan dapat menjatuhkan pidana, ditentukan juga perbuatan yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana. Kedua, diumumkannya reaksi atas delik, berupa pidana dan dalam hukum pidana modern termasuk juga tindakan, sehingga sanksi pidana mempunyai daya manfaat menuju keserasian sosial dan kesejahteraan. Dengan ini, maka hukum pidana menjadi sesuatu yang melihat ke depan, untuk merealisasikan tujuan manusia. Oleh karenanya peran hukum pidana ikut turut serta mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan. Dalam rangka menuju hukum pidana yang antisipatif ditempuh kebijakan dimungkinkannya pembuatan undang-undang hukum pidana khusus di luar KUHP, dan ketentuan-ketentuan pidana pada beberapa undang-undang. Hal ini menunjukan hukum pidana Indonesia bersifat elastis dan dinamis serta tidak menutup diri dan terjebak dalam ajaran legistis hukum pidana Indonesia kini dan akan datang bersifat responsif dan justisipatif terhadap perkembangan masyarakat.
Dalam bidang hukum pidana usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Disebutkan juga undang-undang mempunyai dua fungsi, yakni fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental. Perkembangan yurisprudensi dan ilmu hukum yang ingin mengikuti gerak dinamika dalam pandangan masyarakat dengan perundang-undangan yang sudah ada, hingga menimbulkan adanya penghapus pidana, tidak menutup jalan perkembangan dari perundang-undangan pidana itu sendiri dalam ataupun di luar dari kodifikasi yang bersifat pembaharuan. Dengan mengikutsertakan yurisprudensi dan ilmu hukum yang berkembang tidak mengenal standstill dan gerak terus adalah gambaran kronik mengenai hukum pidana, di samping perkembangan perundang-undangan pidana. Politik hukum pidana, sebagai bagian dari politik hukum mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Oleh karenanya, menurut Marc Ancel bahwa Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mengatur dengan cara-cara umum yang serba luas dan rumit, pengaturan itu disebut pengambilan keputusan politik yang dituangkan dalam aturan formal diundangkan dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik. Setidak-tidaknya yang menyangkut kekuasaan legislatif dan eksekutif, yang bertalian dengan peradilan kurang diperhatikan, walaupun kekuasaan yudikatif sedikit banyak hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan politik maupun sebagai opsi kemasyarakatan yang ikut berproses di dalam suatu pergaulan hidup tertentu. Fungsi-fungsi hukum hanya mungkin dilaksanakan secara optimal, jika hukum memiliki kekuasaan dan ditunjang oleh kekuasaan politik, legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum, hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat politik.
Hubungan hukum dengan kekuasaan dalam masyarakat, di mana hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Dengan demikian hukum dan kekuasaan merupakan suatu unsur mutlak dalam suatu masyarakat hukum dalam suatu masyarakat hukum dalam arti masyarakat yang diatur oleh dan berdasarkan hukum. Kekuasaan adalah suatu fungsi dari masyarakat yang teratur. Efektivitas hukum dalam realita adalah kekuasaan hukum dan merupakan hak dan kekuasaan. Oleh karenanya hukum tidak bisa hadir tanpa kekuasaan. Hukum adalah suatu tata atau organisasi kekuasaan yang spesifik. Hukum dan politik memang sulit dipisahkan, khususnya hukum tertulis yang mempunyai kaitan langsung dengan negara. Dalam sistem hukum Indonesia, undang-undang adalah produk legislasi, oleh karenanyalah peran politisi memegang peranan penting dan pembuatan undang-undang. Hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik, terutama di masyarakat yang sedang membangun, dan pembangunan itu adalah keputusan politik, dan pembangunan membutuhkan legalitas dari sektor hukum.
Dalam peradaban modern, hukum telah mengungguli bentuk-bentuk manifestasi tatanan yang lain. Ketajaman dan kejelasannya mampu untuk memaksa untuk dipatuhi, maka hukum merupakan bentuk tatanan masyarakat yang unggul, disebabkan bentuknya yang sangat tajam dan penetratif, maka sejak kemunculannya hukum modern terjadilah suatu revolusi diam-diam di dunia. Dari pengamatan praktik hukum, hukum adalah perilaku terhadap normativitas atau disebut intervensi perilaku, oleh karenanya menjalankan hukum bukan hanya logika tetapi juga pengalaman. Proses pembentukan hukum oleh legislator, senantiasa memperhatikan beberapa sudut pandang, yakni sudut pandang filosofis, disusun dan ditakar secara baik dan benar sesuai dengan pandangan filosofis, secara yuridis harus ditempuh sesuai dengan prosedur yang sesuai dengan tata cara yang diatur oleh hukum itu sendiri. Kemudian dari segi sosiologis, apakah hukum itu sudah dapat diterima secara senang dan sukarela.
Sistem hukum yang modern ditandai oleh adanya keseragaman hukum. Bermakna bahwa penerapan hukum yang cenderung bersifat teritorial dan personal, dan bukan perbedaan makna intrinsik atau kausalitas. Hukum transaksional adalah kecenderungan untuk membagi hak dan kewajiban yang timbul dari transaksi. Hukum universal adalah cara-cara khusus pengaturan bagi penerapan hukum yang dapat diulangi kembali. Hirarki yakni suatu jaringan tingkat naik banding dan telaah ulang oleh badan dengan pelimpahan fungsi kepada yang memiliki diskresi penuh di dalam yurisdiksinya. Birokrasi adalah untuk menjamin adanya uniformitas. Rasionalitas adalah bahwa peraturan dan prosedur dari sumber tertulis dan dengan cara-cara yang dapat dipelajari. Profesionalisme adalah suatu sistem yang dikelola berdasarkan persyaratan yang dapat diuji dalam suatu pekerjaan. Perantara adalah sistem yang lebih teknis dan kompleks. Dapat diralat adalah tidak ada ketetapan yang mati di dalam sistem prosedur, sehingga dimungkinkan adanya revisi terhadap sistem dan prosedur. Pengawasan politik adalah monopoli yang dilakukan oleh pengadilan dalam memutuskan sengketa. Pembedaan adalah menerapkan hukum pada kasus konkrit dibedakan dari fungsi-fungsi pemerintahan dalam hal personal dan teknik.
Hukum yang terus berkembang seiring dengan perkembangan globalisasi, ikut mendorong reformasi di berbagai bidang hukum. Masalah hukum dalam pembangunan terdiri dari beberapa masalah mendasar yang harus menjadi prioritas. Pertama, masalah reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum lokal, ke dalam sistem hukum nasional yang berasal dan bersumber dari perjanjian internasional. Kedua, penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum dibentuk secara komprehensif, sehingga melahirkan berbagai ekses dan ego sektoral. Ketiga, pemberdayaan masyarakat, kesadaran hukum, budaya hukum sebagai rangkaian yang tidak terpisahkan. Implikasi perkembangan kejahatan nasional dapat bersifat transnasional, sehingga melahirkan kejahatan internasional yang berimplikasi terhadap pendidikan hukum pidana yang melahirkan disiplin baru,yakni hukum pidana Internasional sejak tahun 1990-an dengan diadopsinya Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional termasuk juga munculnya nomenklator baru dalam lingkup hukum pidana nasional seperti genosida, kejahatan kemanusiaan, agresi, kejahatan perang, kejahatan perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, penyelundupan migran, penyelundupan senjata, dan kejahatan pencucian uang .
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan hukum, untuk menentukan, pertama, perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Kedua, kapan dan dalam hal apa saja keadaan mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Ketiga, dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Penggunaan hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk di dalam kebijakan penegakan hukum, untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum inipun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Tentang hubungan politik hukum pidana dengan politik sosial adalah suatu kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Tujuan akhir politik hukum pidana adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sasaran politik kriminal adalah legislated environment yang meliputi warga negara, penegak hukum semuanya bertujuan untuk melindungi masyarakat dengan usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang hukum pidana dan cara pelaksanaan peraturan perundang-undangan pidana oleh sistem peradilan pidana.
Sistem hukum Eropa Kontinental yang juga dianut Indonesia, menjadikan perundang-undangan sebagai sendi utamanya. Bahkan, berkecenderungan untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum atau sekurang-kurangnya kompilasi hukum, disebut juga sebagai codified legal system dengan ditetapkannya hukum dalam perundang-undangan, maka kasus-kasus yang terjadi disesuaikan dengan prinsip umum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Di dalam sistem hukum Anglo Saxon, dimulai dari kasus-kasus yang konkrit, untuk kemudian ditarik asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum sehingga putusan hakim menjadi barometer dan sendi utama dalam pembentukan hukum (case law system).
Politik hukum pidana dapat dipahami sebagai bagian dari politik kriminal, sedangkan politik kriminal tersebut diartikan, pertama, dalam pengertian sempit digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum pidana. Kedua, dalam arti lebih luas, merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi. Ketiga, dalam arti yang paling luas, merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Pada tahap pembuatan peraturan perundang-undangan, proses pembuatan undang-undang, dituntut pula untuk semakin baik yang antara lain diharapkan untuk memenuhi pelbagai persyaratan antara lain; (1) dapat menyerap aspirasi suprastruktural, (2) dapat mengartikulasikan aspirasi infrastruktural, (3) mengikutsertakan pandangan-pandangan kepakaran, (4) memperhatikan kecenderungan-kecenderungan internasional yang diakui masyarakat beradab, (5) menjaga sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal, (6) dapat menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara pemikiran ketertiban (ardeningsdenken) dan pemikiran pengaturan (regelingsdenken). Politik hukum pidana pada intinya bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang, kebijakan aplikasi dan pelaksanaan hukum pidana, kebijakan legislatif sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena pada saat perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju dengan dibuatnya undang-undang tersebut atau dengan kata lain adalah proses kriminalisasi.
Dengan demikian jika politik kriminal dengan menggunakan politik hukum pidana maka harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya, serta diperlukan wawasan tentang peranan kaidah-kaidah hukum di dalam masyarakat sebagai titik tolak. Adapun masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan dianggap oleh masyarakat patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Dalam hubungannya dengan pembaharuan hukum pidana Indonesia, setidaknya ada 3 (tiga) alasan penting dalam rangka penyusunan hukum nasional. Pertama, alasan politis adalah wajar bahwa Indonesia sebagai negara merdeka mempunyai hukum pidana yang bersifat nasional yang didasarkan pada pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Kedua, alasan sosiologis urgensi pembentukan hukum nasional didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia harus mencerminkan keadilan masyarakat Indonesia. Ketiga, alasan praktis bahwa hukum nasional itu harus dapat dipahami oleh masyarakatnya sendiri.
Kebijakan pidana sebagai ilmu merupakan bagian dari kebijakan yang lebih besar; kebijakan penegakan hukum, kebijakan legislatif dan kebijakan penegakan berubah menjadi kebijakan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan (crime prevention) perlu ditempuh dengan berbagai pendekatan kebijakan dalam arti: (1) Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; (2) Ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan non-penal. Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan itu sendiri termasuk ke dalam bidang kebijakan kriminal, yang tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.
Hubungan antara kebijakan sosial dan kebijakan pidana belum dapat diidentifikasikan dengan jelas. Menurut John Stuart Mill, pemidanaan harus tidak harus berkaitan dengan kesalahan moral pihak terdakwa tersebut. Tingkat kesalahan moral seseorang tidak hanya semata-mata menentukan tingkat pemidanaan yang akan diberikan tetapi hal ini secara universal merupakan salah satu penentu saja. Masih ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan pemidanaan yaitu tingkat pelanggaran yang dilakukan dan dengan mempertimbangkan tingkat kekejian bagaimana kejahatan itu dilaksanakan.
Penegasan upaya penanggulangan kejahatan secara terpadu dengan keseluruhan kebijakan sosial, apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planning dan merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.
Dalam suatu kemerdekaan yang bebas dibutuhkan pandangan kebijakan pidana yang lebih luas sebagai bagian yang utuh dari kebijakan politik dan sosial yang ada di suatu negara. Hal ini merupakan cerminan dari nilai-nilai moral, nilai budaya, dan juga produk pembangunan. Dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, kebijakan pidana tidak dapat dipisahkan dari keadaan sosial tetapi harus dikembangkan dan digabungkan dengan keadaan sosial itu. Selanjutnya mengacu pada hasil Kongres PBB keempat mengenai prevention of crime and the treatment of offenders tahun 1970. Kongres PBB kelima tahun 1975. Kongres PBB keenam tahun 1980 di Ciracas. Kongres PBB ketujuh di Milan. Kongres PBB kedelapan di Havana, Cuba. Pandangan masyarakat mengenai patut dicelanya suatu perbuatan tertentu untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi, didasarkan berbagai faktor. Pertama, keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang dicari atau yang ingin dicapai. Kedua, analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari. Ketiga, penilaian atas tujuan yang dicari dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia; Keempat, pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruh sekunder. Selanjutnya disebutkan, bahwa pendebatan yang berorientasi pada kebijakan, harus mempertimbangkan salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan yang secara emosional diorientasikan pada nilai yang kebanyakan diikuti oleh badan-badan legislatif. Dalam merumuskan pembaharuan hukum pidana yang bersifat sistematik, tidak bersifat ad hoc dan tambal sulam, bukanlah pekerjaan yang ringan mengingat sifat multidimensi masyarakat Indonesia, yang di satu pihak ingin terus memperhitungkannya aspek-aspek partikuliristik yang melekat pada agama, etika moral, bahkan kepercayaan pada kekuatan gaib yang bersifat pluralistik dan dilain pihak menginginkan keberadaan hukum pidana modern yang memenuhi standar baku pergaulan antar bangsa dalam rangka hubungan internasional dan proses globalisasi.
Menurut Bentham, hendaknya legislator tidak hanya mengandalkan kontrol sosial langsung dengan melarang perilaku dan menghukum perilaku tersebut. Sebaliknya, harus juga mengandalkan kontrol sosial tak langsung dengan beralih pada cara mendorong ketaatan tanpa paksaan, agar manusia taat hukum. Pengaruh hukum perlu diberlakukan pada taraf kehendak, pengetahuan dan kekuasaan agar perilaku sejalan dengan norma, selanjutnya dikatakan, bahwa legislator dan sosiolog harus sadar bahwa pengetahuan mempunyai dua sisi, yakni kekuasaan untuk melakukan kejahatan tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan untuk melakukan kebajikan. Oleh karenanya Bentham mendukung penggunaan hukum sebagai cara kontrol sosial dan legislator harus mengikuti kaidah logika kehendak. Kebijakan kriminal yang dibuat haruslah bersifat rasional, karena karakteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain adalah penerapan metode-metode yang rasional. Suatu politik kriminal itu harus rasional. Kalau tidak demikian maka tidak sesuai dengan definisinya sebagai rational total of respons to crime. Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena dalam melaksanakan kebijakan, seseorang membuat suatu penilaian dan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang ada.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Dalam memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan merupakan pendekatan yang inheren pada setiap kebijakan yang rasional.
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan tidak hanya menggunakan sarana penal (hukum pidana) semata, tetapi dapat juga menggunakan sarana-sarana non penal. Usaha-usaha non penal ini meliputi penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan pengawasan secara terus menerus oleh polisi, aparat keamanan, dan sebagainya. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Namun secara tidak langsung, mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan memegang posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Oleh karena itu, suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif non penal ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan terpadu. Dalam hal konsep perlindungan masyarakat melalui perdebatan rasional, yakni bilamana orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat, maka tugas selanjutnya maka mengembangkannya secara rasional mungkin, hasil-hasil maksimum dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi individu, orang harus mengandalkan hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi.
Dengan demikian penggunaan pidana denda dalam ketentuan pidana dalam perundang-undangan administrasi, yang ditentukan oleh lembaga legislatif adalah tepat, baik dalam rumusan tunggal terutama dikenakan pada korporasi maupun alternatif dari pidana kebebasan kemerdekaan dan bahkan sanksi denda tunggal pada konsep KUHP, maupun kumulasi pemidanaan dalam tindak pidana korupsi. Tidak dapat dipungkiri juga dalam politik hukum pidana dalam undang-undang, legislator masih menjadikan pidana penjara sebagai primadona. Bambang Poernomo mengemukakan bahwa hukum pidana nasional itu lebih bersifat formal dan belum mempunyai arti hukum pidana nasional yang bersifat materiil, karena dasar pikirannya adalah asas-asas hukum pidana berdasarkan pada ilmu hukum pidana dan praktik pada zaman kolonial. Kemudian juga dilandasi oleh pengaruh aliran klasik dan aliran modern, yang menitikberatkan pada manusia yang melakukan perbuatan pidana.
Hukum pidana dapat juga disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis, dengan menentukan syarat-syarat hukum pidana sebagai alat pencegah yang ekonomis, yakni: (1) pidana itu sungguh-sungguh mencegah; (2) pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan; (3) tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya atau kerugian yang lebih kecil. Selanjutnya dengan mengutip Bassiouni, tentang tujuan yang ingin dicapai oleh pidana, umumnya terwujud dalam kebijakan yang berkaitan dengan nilai yang akan dicapai melalui kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai, yakni, Pertama, pemeliharaan tertib masyarakat. Kedua, perlindungan warga masyarakat dari kejahatan kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan orang lain. Ketiga, memasyarakatkan kembali para pelanggar hukum; keempat, memelihara atau mempertahankan integritas pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.
Herbert L. Packer mengemukakan (1) sanksi pidana sangatlah diperlukan, sekarang maupun akan datang; (2) sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang terbaik dan tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera untuk menghadapi ancaman dari bahaya itu; (3) sanksi pidana merupakan penjamin utama yang terbaik, tetapi dapat sebagai pengancaman utama dari beberapa manusia, apabila digunakan secara tidak hemat, cermat dan secara manusiawi, akan menjadi ancaman, bila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.
Berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pidana, maka kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh hukum pidana melalui hukum, harus memiliki syarat-syarat. Pertama, hukum harus mudah dikurangi atau ditambah. Kedua, hukuman harus berlaku untuk semua orang. Ketiga, hukuman dapat diukur melalui motif perbuatannya. Keempat, hukuman akan mudah teringat bila mempunyai kemiripan analog dengan pelanggaran. Kelima, hukuman menjadi contoh. Keenam, hukuman harus tepat guna, misalnya hukum denda sangat tepat guna, dikarenakan semua kejahatan yang dirasakan oleh orang yang membayar denda berubah menjadi manfaat bagi orang yang menerimanya; Ketujuh, hukuman bisa diampuni atau dibatalkan. Sanksi merupakan salah satu unsur penting dalam struktur hukum dan untuk menjamin efektifitas suatu norma, mengharuskan diperlukannya suatu norma lain, bilamana tidak dipatuhi maka ada rangkaian sanksi yang tak pernah berakhir (regressus and infinitum)
Adapun tujuan hukum pidana dalam politik kriminal dapat diikuti, Pertama, tujuan dari perundang-undangan pidana adalah pencegahan bukan pembalasan. Kedua, undang-undang pidana seharusnya dibuat dengan memperhatikan tujuannya dan hanya dibuat untuk itu. Ketiga, sistem hukum pidana seharusnya dibuat dan berfungsi, hanya dengan maksud untuk melakukan pencegahan, bukan sebagai perwujudan dari pencelaan moral. Keempat, syarat pertanggungjawaban mental hanya merupakan syarat untuk adanya pencelaan moral. Kelima, syarat pertanggungjawaban mental harus dinyatakan sebagai tidak beralasan. Diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologi di satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan. Di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi, dan sarjana hukum dapat bekerjasama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju. Tahap-tahap kebijakan penal untuk menegakkan atau mengoperasionalkan hukum pidana terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama yaitu tahap formulasi atau pembuatan undang-undang (kebijakan legislatif). Tahap kedua, tahap aplikasi atau penerapan (kebijakan yudikatif), dan ketiga, tahap eksekusi atau pelaksanaan (kebijakan eksekutif atau administratif).
Tahap formulasi yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut pula sebagai tahap kebijakan legislatif. Kebijakan legislatif adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi persoalan tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan. Tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif. Tahap eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut sebagai tahap kebijakan eksekutif atau administratif.
Perwujudan suatu sanksi pidana dapat dilihat sebagai suatu proses perwujudan kebijakan melalui tiga tahap. Pertama, tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang. Kedua, tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh pengadilan. Ketiga, tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana. Dilihat sebagai satu kesatuan proses, tahap kebijakan pertama ini termasuk ke dalam tahap kebijakan legislatif. Dari tahap kebijakan legislatif inilah diharapkan adanya suatu garis pedoman untuk tahap-tahap selanjutnya. Kebijakan legislatif merupakan tahap paling menentukan bagi tahap-tahap selanjutnya karena pada saat perundang-undangan pidana hendak dibuat, maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju dengan dibuatnya undang-undang tersebut. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Selain itu, kesalahan atau kelemahan kebijakan legislatif merupakan kelemahan strategis yang dapat menghambat upaya penegakan hukum pidana. Beberapa catatan mengungkapkan tentang fenomena legislatif yang mengandung beberapa masalah. Masalah ini merupakan bagian dari fungsi legislatif untuk membuat undang-undang, baik sebagai undang-undang dalam hukum pidana maupun undang-undang administratif, yang menggunakan ketentuan pidana termasuk penggunaan sanksi penjara, denda sekaligus ganti kerugian. Dengan kualifikasi yuridis kejahatan dan pelanggaran di berbagai perundang-undangan. Banyaknya perundang-undangan pidana yang memuat jenis sanksi pidana sebagai sanksi utamanya, mengindikasikan bagaimana tingkat pemahaman legislator terhadap masalah-masalah pidana dan pemidanaan. Paling tidak, keterbatasan pemahaman mereka terhadap masalah-masalah sanksi dalam hukum pidana turut mempengaruhi proses penetapan sanksi ketika membahas suatu perundang-undangan. Hal ini dapat menimbulkan inkonsistensi dalam penetapan jenis maupun bentuk-bentuk sanksinya antara perundang-undangan yang satu dengan perundang-undangan yang lain.
Kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang pidana merupakan bagian integral dari kebijakan perlindungan masyarakat dan merupakan bagian integral dari politik sosial. Politik sosial itu dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Suatu parameter bagi penetapan sanksi pidana baru dapat diciptakan apabila telah disepakati sebelumnya apa yang hendak dijadikan landasan berpikir untuk pemidanaan. Tim perumus RUU KUHP menentukan peringkat berdasarkan keseriusan (gravity) tindak pidana dalam lima tingkatan menggunakan skala semantik dari sangat ringan sampai dengan sangat serius. Tindak pidana sangat ringan tidak diperkenankan perampasan kemerdekaan, sedangkan tindak pidana yang sangat serius adalah tindak pidana yang dikenai sanksi pidana penjara lebih dari tujuh tahun. Upaya menentukan proporsi ini tidak mudah, tetapi penting untuk konsistensi, bukan hanya tahap legislasi, tetapi pada tahap implementasi. Ketiadaan parameter ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah filosofis sehubungan tidak adanya falsafah pemidanaan. Dalam penelitian selanjutnya, terbatasnya pemahaman para legislator tentang hakikat dan tujuan jenis sanksi pidana berakibat pula pada terputusnya jalinan proses kriminalisasi dan penalisasi. Ketika legislator akan menetapkan suatu dalam perundang-undangan pidana, maka kepentingan hukum apa yang akan dilindungi menjadi sangat penting untuk diperhatikan, karena jenis sanksi yang akan ditetapkan seharusnya sesuai dengan hakekat permasalahan dari delik yang dilarang. Itulah sebabnya 70,1 % (tujuh puluh koma satu persen) responden hanya menerima begitu saja sebuah rancangan undang-undang yang mencantumkan jenis sanksi pidana tanpa mempersoalkan kesesuaiannya dengan hakekat delik yang dilarang.
Proses legislasi sebagai suatu proses politik yang menghasilkan hukum yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia, sampai sekarang belum memuaskan. Hal ini disebabkan karena logrolling atau vote trading mekanisme penggodokan yang hingga kini masih diperdebatkan, rendahnya partisipasi publik, dan kemampuan para legislator, merupakan faktor yang signifikan. Hal ini terasa ketika melihat produk hukum pidana, karena merupakan proses praktik dengan argumen politik, menentukan perilaku yang dipandang layak diancam dengan sanksi pidana, kemudian jenis dan besaran pidana yang layak diancamkan pada perilaku tersebut.
Hal ini dapat dimengerti karena beragamnya tingkat pendidikan, keahlian, bahkan kegemarannya sekaligus dalam menggunakan sistem sanksi dan umumnya memperlakukan prinsip menghukum dan sekaligus membina. Kurangnya pengetahuan yang mendalam tentang disiplin hukum pidana, seyogyanya para legislator mendapatkan pemahaman dari para ahli hukum pidana yang terkemuka, tetapi kerap kali pemahaman yang terbatas tentang hal itu menjadikan pandangan ahli hukum pidana, tentang rumusan sanksi, penjara, denda dan ganti kerugian, menjadi acuan mutlak bahkan menengok undang-undang yang lain, walaupun dibuat dalam tahun yang sama, tentang penggunaan sistem sanksi tersebut. Saat ini sebagian besar inisiatif rancangan undang-undang berasal dari luar badan legislatif, baik dari pemerintah maupun civil society, sehingga embrio dari semua undang-undang sebenarnya terletak di tangan yang menjalankan formulasi. Dengan tingginya heterogenitas tim perancang undang-undang akan sulit menuntut adanya common denominator dalam penentuan sanksi pidana. Walaupun one gate policy Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai wakil pemerintah untuk mengajukan rancangan undang-undang ke Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi sesempurna apapun hasilnya akan ditentukan oleh legislator, sehingga undang-undang yang dihasilkan sangat beraneka ragam besaran sanksi pidananya. Dalam hukum pidana positif di Indonesia, legislator selanjutnya memberi peluang dan kebebasan yang relatif kepada hakim ikut memilih jenis pidana, berat ringannya pidana dan cara bagaimana pidana itu akan dilaksanakan. Peluang dan kebebasan hakim untuk memilih bentuk sanksi yang dikehendakinya, teridentifikasi dari pencantuman sanksi pidana yang digunakan baik secara alternatif, maupun kumulatif dalam perundang-undangan positif.
Hukum bukanlah sekedar hal yang ditentukan dalam perundang-undangan, melainkan dapat pula dikembangkan oleh ilmu hukum, yurisprudensi tetap yang dipandang sebagai garis baru dalam hukum. Ilmu hukum pidana dan yurisprudensi dapat mengembangkan hukum pidana di luar perundang-undangan yang sifatnya tidak tertulis atau hukum adat pidana. Sehubungan dengan hal ini, Hakim dalam praktiknya, membuat suatu keputusan selalu memperhatikan putusan-putusan yang telah ada dalam perkara yang sama. Pada umumnya ada tiga sebab seorang hakim mengikuti putusan hakim yang lain. Pertama, secara psikologis karena putusan hakim yang lain kedudukannya lebih tinggi, karena putusan hakim yang diturutinya itu mengawasi pekerjaannya, juga karena berpengalaman. Kedua, alasan praktis, apabila putusan hakim berbeda dengan putusan hakim terdahulu, maka pihak yang kalah merasa tidak adil, akan meminta pemeriksaan pada tingkat yang lebih tinggi (banding atau kasasi), yaitu kepada hakim yang pernah memberikan putusan dalam perkara yang sama dengan putusan sebelumnya. Ketiga, karena alasan sudah adil, seorang hakim mengikuti putusan hakim lain, karena dirasakan sudah adil, sudah tepat, sudah patut, sehingga tidak ada alasan untuk keberatan mengikuti putusan hakim yang terdahulu.
Hukum bukan hanya dokumen perundang-undangan yang terdiri dari ribuan pasal, melainkan sebuah dokumen moral. Asas-asas hukum sebagai jantungnya perundang-undangan, hukum juga sebagai rancangan kehidupan manusia yang akan dibangun melalui perundang-undangan, sebagaimana dikatakan oleh Paul Scholten, bahwa hukum tidak dapat dipahami dengan baik tanpa asas-asasnya. Penemuan hukum bagi Paul Scholten adalah tugas dari ahli hukum terdidik, yakni para yuris dalam praktik yang memutuskan apa yang dalam suatu kejadian tertentu menurut hukum harus terjadi. Apakah negara berhak menjatuhkan hukum. Tugas penemuan hukum selalu berganda, yakni dimulai dari aturan abstrak yang sudah ada hingga pada kaidah konkrit. Penemuan hukum bukanlah pekerjaan sederhana, tetapi menuntut hubungan-hubungan majemuk, terdidik dan kemampuan yang menyatu dengan struktur hukum. Asas hukum mungkin dapat ditemukan dengan mencari kesamaan pasal-pasal yang tersebar, yang sepintas lalu seperti tidak terlihat. Kendatipun asas hukum itu tidak bisa ditemukan secara tegas, dan juga tidak bisa ditemukan dengan cara mencari ikatan keumuman, yang menyatakan berbagai pasal tetapi dapat diandalkan sebagai satu kesatuan. Salah satu fungsi penting asas hukum adalah ketika orang dihadapkan kepada penafsiran suatu pasal dalam undang-undang bersangkutan. Oleh karena itu, legislator tidak hanya melihat tuntutan pencantuman asas hukum sekedar sebagai suatu mode (fashion). Sikap demikian akan menurunkan derajat kemulian asas hukum.
Perkembangan lain tentang penggunaan pidana denda, dalam politik hukum dan politik hukum pidana, merupakan suatu fenomena tersendiri. Hal ini dikarenakan terjadinya perkembangan peraturan perundang-undangan yang sangat jauh di luar KUHP dan undang-undang administrasi yang memuat ketentuan pidana. Suatu perkembangan yang berbeda di Belanda, dengan semakin banyaknya perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana dengan ancaman pidana berat, bahkan pidana mati sebagaimana Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika serta Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Perbankan dan lain-lain. Di Belanda untuk pidana yang berat harus dituangkan dalam undang-undang pidana yang bukan administrasi.
Peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP, dikenal juga sebagai hukum pidana khusus. Kekhususan itu, dapat berarti bahwa hukum pidana tersebut mengatur suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, misalnya hukum pidana militer, yakni hukum pidana yang hanya berlaku bagi seorang militer, akan tetapi juga suatu aturan pidana yang mengatur suatu perbuatan yang mempunyai sifat khusus. Hukum pidana khusus ini dapat tercipta karena, pertama, adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat karena disebabkan oleh perkembangan masyarakat terhadap suatu perbuatan tertentu yang semula bukan suatu hal yang jahat akan tetapi kemudian dianggap jahat sedangkan perbuatan tersebut belum diatur dalam suatu perundang-undangan hukum pidana. Hal ini disebabkan oleh perubahan norma atau adanya perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat. Kedua, undang-undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu. Ketiga, adanya suatu keadaan yang mendesak, sehingga perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya. Keempat, adanya suatu perbuatan yang khusus, dimana apabila dipergunakannya proses yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktiannya.
Selanjutnya dengan adanya dekriminalisasi dan kriminalisasi yang disebabkan oleh adanya perubahan nilai yang terjadi dalam suatu masyarakat yang selalu berkembang, maka aturan hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang tidak dapat dipertahankan lagi. Ada cara dalam mengubah suatu perundang-undangan hukum pidana sehubungan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, yakni adanya sistem global, dengan membuat suatu aturan pidana tersendiri terhadap perbuatan baik aturan substansi maupun aturan formalnya. Hal ini dikenal sebagai Undang-Undang Pidana Khusus. Kemudian cara evolusi, yakni merubah atau menambah pasal-pasal yang ada di dalam KUHP. Selanjutnya cara kompromi, dengan menambah bab baru dalam KUHP. Dengan makin maraknya peranan peraturan perundang-undangan dalam menghadapi kebutuhan atas perkembangan masayarakat, menurut Bagir Manan hal tersebut terjadi karena beberapa hal. Pertama, peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali (diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas, begitu pula pembuatnya. Kedua, peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali. Ketiga, struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas, sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya. Keempat, pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor-faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Dengan demikian, jika kebijakan hukum pidana merupakan langkah yang dibuat dengan sengaja sadar, maka memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan. Dengan mengevaluasi berbagai kebijakan yang telah dituangkan dalam proses kriminalisasi, pemikiran-pemikiran yang hendak mengedepankan hukum pidana sebagai sarana untuk mengefektifkan pidana denda terkait dengan upaya penanggulangan korupsi dapat dipertimbangkan. Hal ini mengingat adanya kecanggihan teknologi dan kelihaian pelaku yang terkadang sulit dideteksi oleh aparat penegak hukum bahkan sarana perdata ataupun administrasi belum mampu membendung para pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime). Akibatnya penggunaan pidana untuk memberikan efek jera masih belum memadai hingga saat ini.
Pengaruh umum hukum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang sanksi (pidana) itu. Intensitas pengaruh tersebut tidak sama untuk semua tindak pidana. terhadap tindak pidana yang dianggap masyarakat merupakan tindak pidana ringan, maka ancaman pidana yang berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Namun demikian, ancaman pidana yang berat tidak akan banyak artinya jika tidak dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula.
Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu negara yang sedang membangun harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dalam kelambagaan. Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari sistem itu. Kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem. Ketiga hal tersebut penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan tidak terjebak pada kebijakan yang berjangka pendek, sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang.
Dalam kaitan itu, apabila hendak melibatkan pendekatan politik hukum pidana untuk mengefektifkan pidana denda dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka hal tersebut pada dasarnya bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dilakukan secara yuridis normatif dan sistemik dogmatik, melainkan juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan komparatif. Bahkan, memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.


1. Pidana Denda Dalam Palsafah Pemidanaan
Pemidanaan bukan merupakan hal yang menyenangkan bagi seseorang yang dipidana. Pemidanaan juga menghabiskan biaya yang relatif banyak, misalnya dalam biaya proses dalam pengadilan, penjara, pembebasan bersyarat, pusat-pusat konsultasi yang harus dihadiri, dan pengumpulan denda. Menurut teori utilitarian yang dikemukakan oleh Bentham, pemidanaan merupakan kejahatan (mischief) yang hanya dapat dijustifikasi jika kejahatan tersebut mampu mencegah terjadinya kejahatan yang lebih besar dibandingkan dengan pemidanaan bagi pelaku kejahatan. Pemikiran-pemikiran yang mewarnai cita rasa keadilan dalam pemidanaan memunculkan berbagai tujuan pemidanaan yang berkembang dari masa lalu hingga kini yang lebih mengarah ke arah yang lebih rasional. Dimulai dari teori pembalasan bertujuan untuk memuaskan semua pihak. Teori pembalasan ini bersifat primitif tetapi masih dirasakan pengaruhnya pada zaman modern, karena unsur primitif dalam hukum pidana paling sukar untuk dihilangkan. Berbeda dengan cabang hukum lainnya, tujuan yang dipandang kuno, yaitu penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution) . Penderitaan pidana merupakan penebusan dosa dari si pembuat. Dengan penebusan dosa, kesalahannya akan dipulihkan keseimbangan nilai pada diri si pembuat. Penebusan diri adalah kebutuhan fundamental dari sifat moral kita.
Pada akhir abad kedelapan belas, dalam praktik hukum pidana, masih juga dipengaruhi oleh ide pembalasan yang secara bersama-sama dengan usaha menakut-nakuti telah dipandang sebagai tujuan dari pemidanaan. Sejak zaman klasik tujuan pemidanaan itu telah menjadi perhatian, bahwa perbuatan melanggar hukum yang telah terjadi itu mendapat pembalasan. Perbuatan melanggar hukum merupakan perbuatan yang tidak manusiawi. Hukum itu adalah pembalasan.Asas pembalasan bersumber pada ketuhanan dan merupakan undang-undang yang bersifat abadi. Kejahatan harus dibalas oleh negara dan harus menderitakan pelakunya. Dalam hal pemidanaan, hukum harus mendapatkan sifat kesusilaan yang dikehendaki oleh moral, tetapi dengan peradaban yang semakin maju, maka bentuk-bentuknya harus semakin luas. Pangkal tolak pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku. selanjutnya diikuti oleh para ahli lainnya dalam berbagai teori pembalasan. Pidana adalah tuntutan keadilan. Pidana sebagai suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari kejahatan, karena kejahatan adalah suatu pengingkaran terhadap ketertiban hukum dan negara yang merupakan perwujudan dari cita susila. Pada masa lalu, pidana yang sangat kejam adalah suatu manifestasi dicelanya oleh masyarakat maupun penguasa. Oleh karenanya pidana atau hukuman merupakan hak yang terpenting dalam hukum pidana. Pada masa sekarang sanksi pidana dijatuhkan oleh penguasa untuk suatu pembalasan terhadap pelaku yang melanggar suatu aturan, sehingga sanksi pidana dimaksudkan, sebagai upaya menjaga ketentraman dan kontrol dari masyarakat sebagai prevensi umum dan khusus.
Mengenai tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pemidanaan, ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat diantara para ahli, tetapi setidaknya ada tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang hendak dicapai dalam suatu pemidanaan. Hal yang sama juga dapat diketahui dari para penulis bangsa Romawi, yakni, untuk memperbaiki pribadi diri penjahat itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan, dan untuk membuat penjahat-penjahat tertentu tidak mampu untuk melakukan kejahatan lain, para penjahat yang dengan cara-cara lain, sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Pemikiran tentang dasar pemidanaan pada akhir abad kesembilan belas dan permulaan abad keduapuluh, muncul di Eropa Barat yang dipelopori A. Prins. G.A Van Hammel. F. Von List . Pada 1888 mereka mendirikan Union Internationale de Droit Penale. Sebelumnya di Belanda (1886), setelah KUHP (WvS) terjadi suatu gerakan menuju kemenangan rasional kriminalitas dengan mempergunakan hasil pemikiran baru yang diperoleh dari sosiologi, antropologi dan psikologi. Adapun pokok-pokok pikiran dari Union Internationale de Droit Penale adalah: Pertama, tujuan pokok hukum pidana adalah pertentangan terhadap perbuatan jahat dipandang sebagai gejala masyarakat; Kedua, pengetahuan hukum pidana dan perundang-undangan pidana memperhatikan hasil studi Antropologi dan Sosiologi; Ketiga, pidana merupakan salah satu alat ampuh yang dikuasai negara dalam penentangan kejahatan, dan bukan satu-satunya alat, tidak dapat diterapkan tersendiri, tetapi dengan kombinasi, melalui tindakan sosial, khususnya kombinasi dengan tindakan preventif. Pembuat undang-undang bertugas untuk menetapkan apa yang diancam dengan pidana dalam bahasa yang mudah dimengerti, dan menghilangkan apa yang tidak jelas dalam undang-undang. Beccaria mengemukakan bahwa dalam mengadili setiap kejahatan hakim harus menarik kesimpulan dari dua pertimbangan yang pertama dibentuk oleh undang-undang dengan batas berlakunya dan yang kedua adalah apakah perbuatan konkrit yang akan diadili itu bertentangan dengan undang-undang. Ketika itu hakim tidak leluasa untuk menuangkan pandangan dalam putusannya dan tidak dapat menafsirkan hukum. Hakim hanya mematuhi dan menerapkan kitab undang-undang. Hal ini yang oleh para ahli hukum melihat bahwa, pembentukan hukum semata-mata melalui pembentukan undang-undang dan tidak ada lembaga lain yang berwenang untuk itu. Dengan dimonopolinya pembentukan hukum oleh pembentuk undang-undang, maka sekurang-kurangnya dalam teori tidaklah ada lagi ruang bergerak dan berkarya bagi petugas hukum. Hakim pun dalam kemungkinan-kemungkinannya menafsirkan undang-undang itu seakan-akan diprogramkan. Ketika sekarang ilmu hukum hanyalah ilmu yang murni tentang pengadilan (Peter Noll dan Van der Velden) ilmu hukum telah terlalu kuat berkonsentrasi pada perundang-undangan dan peradilan. Pada sistem monarki, para pejabat peradilan dan hakim hanya berfungsi untuk mengawasi kesewenang-wenangan dari kekuasaan. Hal ini telah mendapatkan pengakuan sejak lama berlangsungnya. Misalnya sebelum Revolusi Perancis. Di masa kekuasaan monarki menjamin berlakunya hukum lama dan membentuk hukum baru, sehingga Code Civil Perancis disusun bukanlah atas dasar tindakan kekuasaan semata-mata, tetapi juga adalah merupakan tindakan dan kebijaksanaan, keadilan dan suatu tindakan yang beralasan.
Kodifikasi hukum pidana pada masa klasik merupakan suatu kenyataan dari hasil ajaran hukum, asas-asas hukum dan sistematikanya dikerjakan oleh para ahli hukum di berbagai universitas, kemudian diserahkan kepada lembaga berwenang hingga menjadi bahan-bahan para pembuat Undang-undang untuk menyusunnya secara rasional. Max Weber menyatakan bahwa sangatlah jelas dengan adanya pengaruh tertentu dari ahli hukum terhadap bentuk dan penalaran hukum, di Eropa Kontinental dominasi para ahli hukum terhadap hukum modern menjadikan aliran hukum dari universitas untuk mendidik para calon sarjana-sarjana hukum untuk berpikir mengenai hukum dalam pengertian abstrak dan menghubungkannya dengan berbagai konsep. Ciri utama dari aliran klasik, yang selama lebih dari satu abad menguasai ilmu hukum pidana dan meletakkan dasar bagi banyak hukum pidana yang berlaku, yaitu sifat dari aliran ini yang paling tepat adalah perkataan abstrak. Aliran klasik yang dibangun oleh Beccaria membentangkan akhir dari zaman sistem pemerintahan kuno sekaligus juga menyusun rencana untuk zaman yang akan datang. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Redzinowics dalam tulisannya Ideology and Crime (1966). Prestasi Beccaria yang tidak ada tandingannya bahwa ia telah berhasil menyusun suatu konsep hukum kriminal yang lengkap yang lahir dari buah pikiran liberalisme yang sedang berkembang. Beccaria telah mencari dasar pembenarannya pada kehendak yang bebas dari warga negara, yakni yang telah mengorbankan sebagian kecil dari kebebasannya kepada negara, agar mereka itu dengan memperoleh perlindungan dari negara dapat menikmati sebagian besar dari kebebasan-kebebasannya.
Aliran hukum pidana klasik adalah semangat pengembangan yang pada masa itu amat berpengaruh pada nilai-nilai modern dan rasional. Aliran ini berkembang dalam ilmu pengetahuan hukum terhadap kodifikasi hukum pidana. Pengaruh aliran ini terasa pada penerapan asas legalitas. Asas legalitas berarti bahwa negara berkewajiban untuk menjelaskan perbuatan mana saja yang dapat dipidana. Ajaran yang memisahkan antara moral dan hukum dijadikan sebagai alasan untuk mengeluarkan bentuk kejahatan tradisional yang bersifat religius dari kodifikasi hukum pidana modern. Pada masa modernisasi, delik terhadap agama kehilangan nilainya sebagai suatu kejahatan, tetapi hanya dapat dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat membahayakan kepentingan individu tertentu saja. Perbedaan antara hukum dan moral tidaklah dapat mengaburkan perhatian dari hubungan yang terjadi antara moral sosial dan norma-norma yang terkandung di dalam kodifikasi hukum pidana klasik, sehubungan dengan itu Hayman Gross mengemukakan bahwa crime is morally wrong, and punishment for it is morally right. Kejahatan secara moral merupakan hal yang salah, dan pemidanaan untuk setiap kejahatan merupakan suatu hal benar secara moral. Pemidanaan merupakan hal yang benar dapat dipahami dalam dua arti. Pertama, dapat berarti bahwa pemidanaan mendapatkan pembenaran dalam praktik-praktik sosial. Kedua, dapat pula berarti bahwa kegagalan untuk menghukum suatu kejahatan merupakan suatu kesalahan dan bahwa masyarakat yang tidak menghukum para penjahatnya merupakan masyarakat yang telah meninggalkan kewajiban moralnya. Kedua, asas mens rea atau asas kesalahan individu yang menyebabkan tidak seorang pun dapat dipidana untuk hal-hal yang tidak dikehendaki. Ketiga asas keseimbangan dalam pemidanaan yang berarti bahwa sanksi pidana harus dijatuhkan secara proporsional, pemidanaan terhadap delik tidak boleh berlebihan. Sanksi pidana diberikan oleh tata hukum, dari perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang, sehingga sanksi memiliki karakter memaksa. Pada mulanya hanya ada sanksi pidana, kemudian sanksi lain seperti perdata, ganti kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum. Jadi, hukum perdata tumbuh di samping hukum pidana. Jika sanksi hukum pidana ditujukan kepada retribusi atau pencegahan, maka sanksi perdata ditujukan kepada ganti rugi. Beccaria mengemukakan juga tentang mencegah kejahatan dan menghukum kejahatan. Semua undang-undang atau hukum positif harus diumumkan, sehingga semua warga negara mengetahuinya. Suatu hukuman yang diberikan yang penting bukan kerasnya, tetapi ketegasan, ketepatan, dan mempunyai efek preventif. Penggunaan pidana penjara harus lebih banyak dan penjara-penjara harus diperbaiki. Konsep keadilan menurut aliran klasik adalah suatu hukum yang pasti untuk perbuatan-perbuatan yang sama tanpa memperhatikan sifat dari si pembuat dan tanpa memperhatikan peristiwa-peristiwa tertentu yang memaksa terjadinya perbuatan-perbuatan tersebut.
Menurut aliran klasik, manusia itu dapat dikatakan sama dan setelah manusia itu diketahui tidaklah perlu untuk dipelajari secara tersendiri menurut kejadian demi kejadian. Dengan ini diketahui bahwa aliran klasik itu hampir tidak pernah menyebut tentang diri pembuat, walaupun masih memerlukan tempat kepadanya dalam hukum pidana. Menurut pandangan klasik, penguasa tidak boleh terlalu banyak mencampuri kehidupan pribadi dari warganya. Ahli hukum pidana klasik memberikan tempat utama kepada manusia dalam arti abstrak. Hormat kepada manusialah, maka mereka tidak banyak mengadakan penyelidikan-penyelidikan mengenai penjahat secara individual. Pikiran Beccaria dan Lambroso telah mendesakkan ke dalam hukum pidana masa kini, pikiran-pikiran yang senantiasa mempunyai pengaruh terhadap ahli hukum pidana, baik dalam praktik maupun teori. Pada masa aliran klasik telah lahir KUHP Perancis (1791) yang banyak dipengaruhi oleh pikiran Beccaria mazhab klasik ini sering pula disebut administrative and legal criminology. Dalam praktiknya, code penal Perancis perlu perubahan-perubahan suatu aliran neo classical school. Dengan mengutip Vold George. B dalam karyanya Theoritical Criminology (1979). Aliran klasik yang tumbuh sebagai reaksi ancient regime yang arbiter pada abad kedelapan belas di Perancis. Selanjutnya aliran ini sangat mewarnai KUHP Belanda pada saat pembentukannya, sebagai pengaruh KUHP Perancis, tentunya dengan beberapa modifikasi sebagai akibat pengaruh aliran modern. Hukum pidana dalam kerangka aliran klasik disebut daadstrafrecht atau tatsstrafrecht yakni hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan (offense oriented).
Aliran modern yang timbul pada abad kesembilan belas dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat delik (offender oriented) atau disebut juga aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh masih dapat diperbaiki. Karakteristik aliran modern menyatakan bahwa perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata, tetapi juga harus dilihat secara konkrit. Dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor biologis dan faktor lingkungan masyarakatnya. Dengan kata lain bahwa aliran ini berpandangan pada pangkal tolak determinisme, karena manusia dipandang tidak bebas berkehendak dan dipengaruhi oleh watak dan lingkungan. Oleh karena itu, manusia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini mengubah pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Landasan berpikir baru dari aliran modern ini yang dikembangkan oleh Von Liszt sebagai cara berpikir kelas menengah mengenai pentingnya pendoktrinan administrasi keadilan pidana. Aliran Modern memecahkan kebekuan di mana tingkah laku manusia tidak lagi dibiarkan dan dikuasai oleh pemikiran-pemikiran abstrak mengenai hukum. Perkembangan kriminologi menyebabkan perubahan terhadap perkembangan modern, walaupun terjadi penyangkalan karena antara kriminologi dan hukum pidana telah lebih bersifat mengindividualisasi. Di negara tertentu hakim dapat menyatakan bersalahnya terdakwa tanpa dijatuhkan hukuman. Pandangan hukum pidana modern telah mengarah kepada sikap membuka kemungkinan berdasarkan undang-undang yang ada untuk menyatakan kesalahan tanpa diterapkan sanksi pidana kepadanya. Keyakinan seperti ini semakin bertumbuh.
Aliran modern menitikberatkan perhatiannya kepada orang yang melakukan tindak pidana dan pemberian pidana antara tindakan yang dimaksud untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pembuat. Dalam aliran modern kebebasan pembentuk undang-undang untuk menentukan jenis pidana, ukuran pidana, dan cara pelaksanaan pidana (strafsoert, strafmaat, dan strafmodus). Apakah seseorang dimasukkan ke dalam penjara atau diserahkan kepada probation service untuk diberi bentuk pemidanaan atau pengawasan ringan memperhatikan akibat perbuatan pelaku terhadap masyarakat. Hal tersebut menjadi ukuran penting dalam pengambilan keputusan di peradilan pidana. Peningkatan peran umum pengetahuan yang bukan hukum dalam peradilan pidana, dengan diperhatikannya pandangan para psikiater dan kriminologi sistem pelaksanaan pidana bersifat koreksional dan pemidanaan dalam arti perlindungan masyarakat secara keseluruhan menjadi jajahan dari seluruh sistem hukum. Para hakim mulai melakukan hal-hal lain selain hanya mengadili. Mereka mempunyai minat yang besar untuk mengobati. Sehubungan dengan kedua aliran dalam perkembangan hukum pidana yakni aliran klasik atau aliran modern maka dapat diikuti karakteristik yang membedakan kedua aliran itu, yakni Sue Reid.
Aliran modern atau juga dikenal positive school pada masanya mempengaruhi perkembangan hukum pidana dan diakui juga sebagai suatu kepercayaan yang bersifat universal, yaitu pemahaman ilmiah yang menguasai dunia kejahatan para penjahatnya. Masih bisa dicatat di sini aliran-aliran lain seperti aliran perlindungan masyarakat (de leer Van de Defense Sociale) aliran perlindungan masyarakat baru dari Mazhab Utrecht yang menganggap kejahatan sebagai suatu gejala manusiawi dan pernyataan seluruh kepribadian pelaku, sesudah diadili kemudian dipidana atau diperbaiki, selanjutnya harus dipupuk dan dikembangkan, kepada para penjahat. Aliran perlindungan masyarakat ingin memberikan kekuatan mengekang diri sendiri dan memupuk perasaan tanggung jawab penjahat. Pada masa aliran kontrol sosial, hukum pidana mengalami perkembangan baru, ditandai dengan berbagai macam perhatian, khususnya pada abad terakhir untuk memasuki milenium berikutnya dari zaman baru. Pemahaman terhadap hukum pidana pada abad ini tidak lagi berpangkal tolak pada hukum pidana saja, namun lebih jauh meliputi perhatian yang menglobal terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akan berpengaruh pula terhadap gejala-gejala kejahatan, sehingga mempengaruhi pula cara kerja hukum pidana dalam hal menangani atau menanggulangi kejahatan. Perkembangan teknologi kerap kali membawa dampak yang paling pesat terhadap perkembangan hukum pidana, sebagaimana yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh bahwa dalam banyak segi perkembangan hukum adalah karena perkembangan teknologi”.
Terjadinya perubahan-perubahan di berbagai bidang itu sesungguhnya juga adalah akibat perkembangan dari proses masyarakat yang liberal menuju proses pada masyarakat berkesejahteraan. Oleh karenanya masalah kejahatan pada mulanya adalah masalah utama dari hukum pidana menjadi bergeser dan menjadi perhatian pula bagi masalah dari negara kesejahteraan. Dalam hal penanganan kejahatan di mana tidak lagi semata-mata urusan hukum pidana, tetapi harus selalu dikaitkan dengan penanganan terhadap masalah-masalah sosial. Pada negara kesejahteraan di mana hukum pidana tidak hanya sebagai kekuatan moral di dalam masyarakat semata-mata, tetapi juga bagian menyeluruh dari suatu alat pertahanan sosial (social defence). Sehubungan dengan itu, bahwa upaya tersebut dalam rangka penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan sosial. Hukum pidana telah bergeser fungsinya dengan berbagai macam penyesuaian-penyesuaian, yakni menjadi salah satu bagian antara bagian lain dari kontrol sosial, sehingga membawa dampak yang luas terhadap pelaksanaan peradilan pidana itu sendiri. Dengan demikian membawa pula semangat terhadap tujuan peradilan pidana, sehingga menjadikan hukum pidana menjadi bagian atau perhatian serius dari kebijakan sosial dan akhirnya berkembanglah pandangan-pandangan tentang kebijakan pidana serta politik kriminal yang merupakan keseluruhan dari tanggapan yang rasional terhadap kejahatan.Tentang politik kriminal merupakan organisasi pengendalian kejahatan sebenarnya dilakukan oleh masyarakat.
Hukum pidana yang oleh para ahli telah dicarikan alternatif lain yakni hukum tindakan dan usaha-usaha itu mulai diwujudkan melalui defence sociale nouvelle. Pemukanya adalah Marc Ancel. Gerakan ini tumbuh setelah perang dunia kedua. Pada 1945 pikiran orang pada kebebasan manusia dan pertanggungjawaban manusia memang berubah dari sebelumnya terutama ahli kriminologi dari Italia. Gramatika mendirikan suatu gerakan yang dinamakan Ia defence sociale. Gerakan ini mendapatkan perhatian oleh Marc Ancel dan para ahli lainnya yang menyarankan agar bersikap menahan diri di samping teliti dalam menggunakan hukum pidana.
Politik Kriminal tidak hanya menitikberatkan pandangannya pada pembuat delik semata-mata, tetapi juga harus memperhatikan masalah pelaksanaan pidana, oleh karena itu politik kriminal merupakan cara pengelolaan serangkaian fenomena dari aktivitas sosial, dan secara selektif serta berkesinambungan untuk melakukan penegakan hukum, serta meningkatkan pengaturan dalam organisasi dan memproses para pembuat delik. Pandangan aliran kontrol sosial, yang berbeda dengan aliran klasik di mana perhatian pada rumusan perbuatan pidana yang dilarang dalam kodifikasi hukum pidana dan aliran modern menitikberatkan pada perbuatan individual dari pembuat delik serta diarahkan pada pembinaan terhadap pembuat delik tersebut. Dengan demikian, maka aliran kontrol sosial menitikberatkan pada pembentukan sistem sanksi terhadap kejahatan, dan pemidanaan yang merupakan instrumen kebijakan, perencanaan dan organisasi. Sehubungan dengan itu John Graham menyebutkan bahwa hal ini dapat dikenali dengan adanya berbagai ciri tertentu yakni adanya pendekatan terpadu terhadap pelaksanaan sistem peradilan pidana, yaitu dengan berperannya para pembentuk hukum dan para penegak hukum, berperan seperti dalam suatu perusahaan dan departemen pemerintahan pusat dan lokal. Pencegahan kejahatan melibatkan berbagai agen penegakan hukum yang berada di luar sistim peradilan pidana.
Aliran kontrol sosial mempunyai ciri khas yang menonjol yakni pertama, adanya pendekatan terpadu terhadap pelaksanaan terpadu pelaksanaan sistem peradilan pidana. Kedua, bahwa hukum pidana dilihat hanya sebagai salah satu bagian dari bentuk alternatif kontrol sosial. Ketiga, bahwa pendekatan yang dilakukan dengan cara yang amat efisien. Hukum pidana menurut aliran modern adalah sebagai satu sarana untuk mencapai tujuan perlindungan sosial. Aliran kontrol sosial hukum pidana tidak hanya menentukan apakah yang dapat di pidana, dan bagaimanakah hal itu dilakukan, namun menentukan pula siapakah yang secara formal berwenang dalam penegakan hukum itu. Oleh karenanya menjadi salah satu aliran pilar utama tentang diskreasi atau kebebasan untuk diperhatikan dan terus-menerus ditingkatkan penggunaannya. Dalam hal ini amat berbeda dengan aliran modern. Dalam aliran kontrol sosial, posisi lembaga untuk menerapkan hukum menjadi lebih bebas dan diskreasi semakin berkembang. Para hakim dapat melakukan definisi hukum melalui penemuan hukum yang selama ini menjadi garapan pembentuk undang-undang. Dengan peranannya yang baru tentang hukum pidana yang merupakan bagian dari kebijakan sosial, sehingga hukum pidana harus dikonstruksi ulang sebagai suatu bentuk sarana yang berisi aturan-aturan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Akibat dari itu maka akan menimbulkan berbagai dampak sosial, yaitu hukum pidana menjadi suatu masalah kehendak yang berisi tentang kebijakan mengenai aturan-aturan untuk menyeleksi penegak hukum yang dapat dilakukan pada akhirnya membawa pula pada masalah-masalah kebijakan.
Dalam pembaharuan hukum pidana telah terbersit sikap, bahwa RUU KUHP Nasional mengadopsi aliran neo-klasik, karena alasan manusiawi dan menggambarkan perimbangan kepentingan secara proporsional. Karakteristiknya adalah sebagai berikut; Modifikasi doktrin kebebasan kehendak atas dasar usia, patologi dan lingkungan; Daad-daderstrafrecht; menggalakkan expert testimony; pengembangan hal-hal yang meringankan dan memperberat pemidanaan; pengembangan twintrack-system yakni pidana dan tindakan; perpaduan antara justice model dan perlindungan terhadap hak-hak terdakwa-terpidana, termasuk pengembangan non-institusional treatment dan dekriminalisasi serta depenalisasi.
Pencarian alternatif pidana kemerdekaan sudah lama dilakukan dalam kerangka politik kriminal. Pencarian itu dilakukan melalui kongres dan konfrensi internasional sejak akhir abad 19. Upaya yang sama juga dilakukan oleh F.Von List dengan aliran modernnya yang selalu berjuang menentang pidana kemerdekaan jangka pendek yang tidak bersyarat. Demikian pula Union International de droit Penal, dalam kongresnya di Brussel 7-8 Agustus 1889, mengeluarkan resolusi, yang menghimbau para negara peserta agar mengembangkan pelbagai alternatives to short custodial sentence. Pada masa itu pengaruhnya belum begitu besar. Selanjutnya Belanda mengadopsi penggunaan pidana denda hasilnya pada 1915 hingga 1925, dengan pertimbangan, bahwa pidana kemerdekaan tidak efektif dan terlalu mahal, dan terus berlangsung hingga perang dunia kedua berakhir. Jadi ada aspek ekonomis yang dipertimbangkan. Sejak perang dunia kedua usaha itu ditingkatkan, karena adanya krisis penerapan pidana penjara dan sistem administrasi peradilan. Pidana denda dan hubungannya dengan falsafah pancasila, sebenarnya pidana denda telah diterima dalam sistem pemidanaan melalui tali-temali sila-sila dalam falsafah pancasila secara universal. Dibentangkan secara luas dalam pandangan falsafah dari masa ke masa dan mendapatkan tempat dalam horizon masyarakat Indonesia yang majemuk bergerak ke arah globalisasi. Pemidanaan memenuhi tujuannya yakni pembebasan, pembinaan menuju masyarakat yang adil dan beradab yang integratif dalam kemanusiaan dan sekaligus perlindungan masyarakat dalam sistem pancasila.
Dalam hukum pidana, perdebatan mengenai pemidanaan dan tujuan yang hendak dicapai dalam hukum pidana secara ideal terus-menerus mengalami penjelajahan untuk terus mencari ketajaman. Ketajaman tersebut baik secara politis, sosiologis, maupun filosofis, hingga bertujuan untuk mencapai landasan bagi penerapan sanksi dari berbagai alternatif pemidanaan yang lebih adil, untuk tercapainya keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia, yang berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa dalam perspektif pancasila. Pemakaian pancasila sebagai perspektif Indonesia dalam pemidanaan, bertolak dari asumsi, bahwa sila-sila pancasila memberi peluang untuk merumuskan apa yang benar dan yang baik bagi manusia secara universal. Pancasila merumuskan asas atau hakekat abstrak kehidupan manusia Indonesia yang berpangkal pada tiga hubungan kodrat manusia selengkap-lengkapnya, yaitu hubungan manusia dengan benda. Sila pertama sebagai kerangka ontologis yaitu manusia yang mengimani kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga mempunyai pegangan untuk menentukan kebaikan dan keburukan.
Sila kedua memberi kerangka normatif, karena berisi keharusan untuk bertindak adil dan beradab. Sila ketiga sebagai kerangka operasional, yakni menggariskan batas-batas kepentingan individu, kepentingan negara dan bangsa. Sila keempat tentang kehidupan bernegara, yakni pengendalian diri terhadap hukum, konstitusi dan demokrasi. Sila kelima memberikan arah setiap individu untuk menjunjung keadilan, bersama orang lain dan seluruh warga masyarakat. Dengan demikian prinsip sila-sila pancasila terkait secara timbal balik satu dengan yang lain yang terarah pada susunan yang seimbang dalam masalah pemidanaan dalam perspektif pancasila.
Tujuan pemidanaan masyarakat Indonesia yang integralistik dalam kelima sila dalam pancasila adalah suatu keseimbangan lahir dan batin dalam mewujudkan tata pergaulan dan penyelesaian hukuman yang manusiawi, berketuhanan, berkebangsaan, berperikemanusiaan, demokratis dan berkeadilan sesuai dengan rasa adil masyarakat Indonesia yang terbentang dalam nuansa masyarakat Indonesia yang bercirikan religius magis demi keseimbangan kehidupan. Oleh karenanya mencari falsafah pemidanaan adalah falsafah yang sudah digali dalam tubuh jiwa bangsa yaitu pancasila. Perkembangan ide kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang berlandaskan pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Berarti dilatarbelakangi oleh ide dasar pancasila yang terkandung di dalamnya keseimbangan nilai moral religius (ketuhanan), kemanusiaan (humanistik), kebangsaan, demokrasi dan keadilan sosial.
Perkembangan mengenai pemidanaan melahirkan pemikiran atau prinsip menghukum menjadi prinsip membina, menjadikan terpidana bukan lagi sebagai objek tetapi adalah subjek, sehingga melihat terpidana sebagai manusia seutuhnya. Sanksi denda dalam falsafah pemidanaan yang dapat diukur menurut rasa keadilan masyarakat Indonesia mendapat perhatian, karena pencarian alternatif pemidanaan lain selain pidana kehilangan kemerdekaan lainnya. Perkembangan globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi ikut dengan kuat membentuk dan mewarnai proses pendidikan dan rasa keadilan di dalam masyarakat yang pada akhirnya gerakan perubahan dapat mempengaruhi usaha-usaha pembaharuan hukum pidana yang hingga kini terus berlangsung untuk mewujudkan kodifikasi hukum pidana nasional berdasarkan falsafah yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang memandang rasa yang tinggi melalui sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menentukan falsafah yang paling tepat untuk Indonesia adalah tugas negara yang harus didasarkan atas nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, termasuk nilai agama. Legislator berkewajiban untuk menterjemahkannya ke dalam undang-undang. Selanjutnya dimulai dengan mendorong terjadinya penelitian empiris dan diskusi tentang makna dan tujuan pidana yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia melakukan rekonstruksi pembangunan hukum nasional yang menghargai komunitas mayoritas dengan tidak mengenyampingkan komunitas lainnya dari golongan non muslim, dalam rancangan KUHP. Kriminalisasi sejumlah perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan pelanggaran, telah dikonstruksi dari hukum Islam, seperti tindak pidana kesusilaan, santet, “kumbul kebo”, dan delik permukahan (perzinahan) dalam nilai-nilai Islam telah menyatu dengan hukum positif Indonesia. Menurut Jimly Asshiddiqie, dengan mengutip Donald R. Cressey, kemudian dijelaskan oleh Gerhard O.W. dan H.H.A. Cooper, pidana denda merupakan jenis pidana selain pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Dalam RUU KUHP Tahun 2008 ketentuan mengenai pidana denda diatur dalam Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83 RUU KUHP 2008.
Pidana denda, selain berkembang dan diterima dalam hukum internasional, dalam sistem hukum Islam dan hukum pidana adat yang berlaku di seluruh nusantara juga mempunyai manfaat dalam rangka mengurangi dampak buruk dari pidana penjara. Dalam RUU KUHP khususnya tentang tujuan pemidanaan, pidana denda bersikap serasi, selaras, harmonis dengan penegakan hukum, permasyarakatan terpidana, penyelesaian konflik dan pemulihan keseimbangan serta pembebasan rasa bersalah, sehingga pelaksanaan pidana denda dapat menghindari dendam, dan mempunyai kemanfaatan dalam memenuhi tujuan pidana, berdasarkan sistem hukum pancasila.
2. Pidana Denda Dalam Hukum Islam Dan Hukum Adat.
Dalam Islam dikenal pidana atas harta kekayaan, yakni pidana yang dapat dijatuhkan akibat adanya pelanggaran hukum yang dilakukan, dengan cara membebani yang bersangkutan untuk membayar suatu kewajiban tertentu dari harta kekayaan yang dimilikinya. Dalam Al-qur’an kewajiban ini disebut sebagai diyat atau denda ganti rugi. Diyat dibagi menjadi dua yaitu diyat karena pembunuhan dan diyat karena perlukaan, adapun ancaman diyat karena delik pembunuhan karena kelalaian yang tidak mengandung unsur sengaja (al’amd) dalam Q.S. 4:92. dinyatakan ;“Dan tidaklah layak bagi seseorang yang beriman membunuh seorang mukmin, kecuali karena kelalaian (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja, maka hendaknya ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga korban, kecuali jika mereka itu bersedekah (ikhlas memaafkannya). Jika korban itu berasal dari golongan yang memusuhimu, padahal ia beriman, maka hendaklah kamu memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika korban itu berasal dari golongan kafir yang terikat dalam perjanjian damai dengan kamu, maka hendaklah kamu membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya serta memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya (tidak mampu untuk itu) maka hendaknya ia berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai syarat penerimaan tobat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Delik pembunuhan yang seperti disengaja (syibhu al-amd), sabda Rasulullah menyatakan denda (pembunuhan) yang seperti sengaja itu diibaratkan sebagaimana pembunuhan dengan sengaja tetapi pembunuhannya tidak di pidana mati dan yang demikian itu dikarenakan setan melompat di tengah-tengah manusia kemudian terjadilah (pertumpahan) darah bukan karena rasa dendam dan bukan pula karena mengangkat senjata (untuk membunuh), bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya korban pembunuhan tidak sengaja tetapi menyerupai kesengajaan, memukul dengan cambuk atau tongkat, maka seratus ekor unta, empat puluh ekor diantaranya adalah unta yang sedang bunting”.
Mewajibkan membayar diyat dalam pembunuhan tidak sengaja itu sepintas lalu seperti tidak sejalan dengan persyaratan adanya unsur jarimah, yaitu kesengajaan pelaku yang merupakan unsur moral. Jika diperhatikan lebih seksama, yang menjadi titik berat dalam hal ini ialah telah hilangnya nyawa seseorang akibat perbuatan orang lain Islam. Islam merupakan agama yang amat menghormati hak hidup manusia dan tidak dapat membiarkan hilangnya nyawa tanpa sanksi apapun, juga sebab hilangnya nyawa seseorang telah mengakibatkan kerugian di pihak keluarga korban. Sehubungan dengan itu, pada masa pemerintahan Uwar bin Abdul Aziz di Madinah, dengan mengutip Nabi Muhammad s.a.w: “Sesungguhnya barang siapa membunuh secara zholim orang yang beriman secara sengaja, maka ia dijatuhi hukum mati (qishas) kecuali para wali orang yang terbunuh rela memaafkannya. Sesungguhnya denda pembunuhan itu seratus ekor unta. Pemotongan hidung apabila dipotong seluruhnya, pemotongan lidah, pemotongan dua bibir, pemotongan zhakar (kemaluannya) pemotongan tulang sulbi, pengrusakan dua mata, dendanya seluruhnya adalah seratus ekor unta”. Pemotongan sebelah kaki dendanya 50 (lima puluh) ekor onta, pengerusakan bagian kepala sepertiga dendanya. Tusukan hingga rongga sepertiga dendanya. Pukulan hingga merobek susunan organ tubuh atau memecahkan tulang dendanya 15 (lima belas) ekor unta. Setiap gigi 5 (lima) ekor unta. Setiap jari dari tangan hingga kaki sepuluh ekor unta. Sesungguhnya orang laki-laki dibunuh karena membunuh orang perempuan dan wajib atas orang yang mempunyai emas 100 (seribu) dinar dendanya, bilamana dia membunuh orang.
Selanjutnya delik pembunuhan dengan sengaja tetapi dimaafkan oleh keluarga korban, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. 2:178 yang berbunyi: “…Maka barangsiapa yang memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah (yang dimaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Mengenai besarnya diyat, berdasarkan hadist bervariasi, secara umum ditentukan seratus ekor onta atau seharga dengan itu. Bahkan, dalam penerapannya ,Umar Bin Khattab pernah menetapkan harga diyat itu berbeda untuk penduduk kota dan desa. Jika korban adalah penduduk kota, diyat-nya adalah 1000 dinar atau dua belas ribu dirham. Jika korbannya adalah penduduk desa, maka diyatnya tetap seratus ekor unta. Kebijaksanaan Umar Bin Khattab nampaknya dilakukan karena adanya perbedaan tingkat perkembangan antara penduduk desa dan kota, baik di bidang ekonomi maupun bidang pendidikan. Artinya diyat unta itu bersifat relatif dan dapat dinilai sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Menurut Hasby Ashshiddiqy, bahwa kadar diyat itu tergantung kepada Urf (perkembangan adat) dan kepada terpidana maupun keluarganya tidak mampu membayar diyat. Sedemikian itu diyat harus dibayar oleh kas negara.
Dalam hal menanggung denda untuk orang lain, bukan dimaksudkan menanggung kesalahan orang lain, akan tetapi termasuk bantu membantu dan tolong menolong sesama muslim. Sedangkan untuk seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Delik perlukaan (penganiyaan yang melukai) dan delik anggota badan (penganiayaan fisik) anggota badan tertentu yaitu apabila seseorang melukai anggota badan orang lain atau menyebabkan bagian dari fungsi badannya luka, cacat, hilang dan tidak dapat berfungsi lagi seperti sebelum terjadinya delik, terhadap delik semacam ini diyat (denda) berat ringannya kerugian korban.
Sehubungan dengan pembunuhan yang murni karena salah sasaran (tidak sengaja), “seorang menjadi penyebab terbunuh orang lain tanpa disengaja. Ia tidak di-qishas karena pembunuhan tersebut, tetapi diwajibkan membayar diyat (denda, adapun diyat itu diambil dari harta kekayaan keluarga pembunuh dan diberi waktu hingga tiga tahun. Menurut Abu Hanifah, bahwa pembunuh tidak ada bedanya seperti keluarga, dalam membayar denda). Orang kaya di antara keluarga pembunuh diharuskan membayar setengah dinar dalam setiap tahun, atau yang sebesar dengannya jika diwujudkan dalam bentuk unta, dan orang menengah diantara mereka diharuskan membayar seperempat dinar atau yang sebesar dengannya jika diwujudkan dalam bentuk unta. Keluarga yang fakir di antara mereka sedikitpun tidak diharuskan membayar denda, dan jika salah seorang dari mereka jatuh miskin setelah sebelumnya kaya, ia tidak diharuskan membayar denda. Denda jiwa orang merdeka yang muslim jika ditaksir dengan emas, besarnya ialah seribu dinar diantara jenis dinar yang bermutu tinggi, dan jika ditaksir dengan perak besarnya ialah dua belas ribu dirham, sepuluh ribu dirham jika dibayar dengan unta, maka banyaknya 100 ekor unta dengan lima kategori: Pertama, dua puluh ekor unta yang berumur satu tahun dan masuk tahun kedua; Kedua, dua puluh ekor unta betina yang berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga; Ketiga, dua puluh ekor unta jantan yang berumur tiga tahun; Keempat, dua puluh ekor unta yang berumur tiga tahun dan masuk tahun keempat; Kelima, dua puluh ekor unta yang beumur empat tahun dan masuk tahun kelima. Prinsipnya denda itu dalam bentuk unta, adapun selain unta itu adalah suatu alternatif pengganti saja.
Hukuman pokok bagi pelaku jarimah pembunuhan tidak sengaja dan semi-sengaja adalah diyat dan kaffarat, sedangkan hukum penggantinya adalah ta’zir dan berpuasa dua bulan berturut-turut. Selanjutnya terdapat juga hukuman tambahan berupa terputusnya hak waris dan wasiat bagi jenis pembunuhan tersebut. Pada umumnya denda dibagi dua macam, yakni denda berat dan denda ringan. Denda berat meliputi pembayaran seratus ekor unta, tiga puluh unta betina umur tiga masuk empat tahun, tiga puluh ekor unta betina masuk lima tahun, empat puluh ekor unta betina yang sedang hamil. Diwajibkan denda berat karena sebagai ganti hukuman pembunuhan (qishas) yang dimaafkan pada pembunuhan yang disengaja wajib membayar tunai, sedangkan yang tidak sengaja (seperti sengaja) maka wajib dibayar oleh keluarganya dalam tiga tahun, tiap-tiap akhir-akhir tahun wajib dibayar sepertiganya. Denda ringan, banyaknya seratus ekor unta juga, tetapi dibagi lima, dua puluh ekor unta betina umur satu masuk dua tahun; dua puluh unta betina umur dua masuk tiga tahun; dua puluh ekor unta betina umur empat masuk lima tahun. Denda ini wajib dibayar oleh keluarga pembunuh dalam masa tiga tahun. tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya. Jika denda tidak dibayar dengan unta, maka wajib dibayar dengan uang sebanyak harta unta. Ini pendapat sebagian ulama. Pendapat ulama lain kira-kira 37,44 kg (tiga puluh tujuh koma empat empat kilogram) perak.
Diyat dapat dikenakan di luar delik pembunuhan, dapat dibagi tiga bagian, yaitu diyat pelukaan, diyat kerusakan anggota badan dan karena adanya delik. Diyat pertama yaitu diyat pelukaan khususnya terhadap kepala dan muka terdiri dari sebelas jenis. Diyat kedua yaitu kerusakan anggota badan meliputi enam belas macam bagian. Diyat ketiga yaitu hilang atau berkurangnya manfaat fungsi kehidupan. Diyat atau denda ditentukan sesuai dengan berat ringannya kerugian atau penderitaan yang dialami korban. Nabi Muhammad SAW telah menetapkan batas-batas hukum diyat pertimbangannya dilihat pada anggota badan korban. Bagi anggota badan yang terdiri atas pasangan, maka bagi pelaku yang menghilangkan salah satu anggota badan dikenai diyat tidak lengkap yaitu 50 ekor unta pada anggota tubuh, dikenai diyat lengkap yaitu 100 ekor unta. Adapun bentuk pidana Islam dapat dikelompokkan menjadi, pertama, pidana qishas dan diyat, berupa pidana mati (qishas atau jiwa) pidana pelukaan fisik/anggota badan lainnya. (qishas atas badan) pidana denda atau jiwa (diyat atas jiwa) dan pidana denda atas pelukaan (diyat pelukaan) khusus mengenai diyat, baik atas jiwa maupun atas pelukaan, ditentukan berdasarkan berat ringannya kerugian atau penderitaan korban atas tindakan jahat atau delik-delik yang berkaitan dengan jiwa dan/atau anggota badan. Menurut Haliman, hukum diyat dibagi diyat jiwa, diyat pelukaan dan diyat anggota badan, hukuman dan diyat anak yang gugur dari kandungan. Kedua, pidana had atau huduud, meliputi, pidana atas jiwa berupa pidana bunuh dengan pedang, pidana mati dengan penyaliban (salib), pidana mati dengan perajaman (rajam), pidana atas anggota badan, berupa pidana potong tangan dan kaki, pidana cambuk (dera), pidana pemukulan dan/atau penamparan dengan tangan dan pidana pemukulan dengan tongkat. Pidana atas kemerdekaan berupa pidana pembuangan atau pengusiran, pidana penahanan atau pidana penjara, pidana atas harta kekayaan berupa pidana denda ganti rugi (diyat). Termasuk juga keluar dari agama Islam, perzinahan, homoseksual, menuduh berzinah, pencurian, minum yang memabukkan. Ketiga, bentuk-bentuk pidana pengembangan (pidana Ijtihad) yang tidak didasarkan kepada ketentuan pidana qishas, diyat, maupun had, yaitu Ta’zir dan hukuwah. Pidana ta’zir merupakan bentuk pidana yang bertujuan mendidik itu dapat dilihat dari dua segi yaitu, pidana ta’zir sebagai pidana tambahan yang memberikan pengajaran melalui pemberatan terhadap kadar ancaman pidana atas badan yang sudah ditentukan berdasarkan, pemukulan atau penamparan dan penahanan atau kurungan. Ta’zir dilihat sebagai bentuk pidana yang merefleksikan adanya peluang bagi hakim, pejabat pembentuk undang-undang, maupun para ahli hukum untuk melakukan pembaharuan atau ijtihad (inovasi) terhadap berbagai ketentuan bentuk pidana yang sudah ditentukan dalam Al-qur’an dan As-Sunnah. Pidana hukuman adalah pidana atas harta yang dikenakan sebagai pengganti denda (diyat) atas kasus-kasus delik diancamkan dengan pidana denda, tetapi ketentuan kadar ancamannya belum ditentukan dalam Al-qur’an dan As-Sunnah.
Praktik diyat (denda) diperkenalkan oleh agama Nasrani, dengan memperkenalkan ajaran pemberian maaf, disertai dengan model baru yakni diyat. Pemberian maaf itu artinya setiap korban kejahatan harus bersabar dan memaafkan pelaku delik dengan diberikan hak menuntut melalui diyat sebagai ganti rugi akibat penderitaan yang dialami, akibat kejahatan yang dilakukan oleh pelaku delik. Karenanya pada zaman Nabi Isa, kedua konsep itu, qishas dan diyat, dapat berjalan secara seimbang dan saling melengkapi, karena Nabi Isa diutus untuk menyempurnakan kekurangan yang ada dalam hukum Taurat, sebagaimana dinyatakan dalam Mattius 5:17 dan 18 yaitu: “Janganlah kamu menyangka aku datang untuk merombak hukum Taurat dan kitab nabi-nabi. Aku tidaklah datang untuk merombak, melainkan hendak melengkapinya, karena sesungguhnya aku berkata kepadamu hingga langit dan bumi lenyap, satu noktah atau satu titik sekalipun tidak akan lenyap dari hukum Taurat itu sampai semuanya telah jadi.” Dalam perjalanan sejarah, tradisi qishas maupun diyat berkembang dalam praktik. Qishas berubah dari hakekatnya sebagai bentuk pidana yang berusaha menetapkan keseimbangan dalam masyarakat menjadi alat legitimasi balas dendam, dan diyat berada dalam konteks ajaran pemaaf dan kasih sayang yang berusaha melindungi kepentingan korban, berubah menjadi alat yang melindungi golongan borjuis dan kaya, dan memperlakukan kaum yang lemah secara semena-mena. Islam melalui Al-qur’an yang diajarkan oleh Muhammad berusaha untuk meluruskan tradisi ajaran yang telah diwahyukan sebelum itu, sesuai dengan hakekatnya semula. Tradisi qishas dan diyat yang sudah dipraktikkan, diteruskan secara berkesinambungan oleh Al-qur’an dan secara tegas dicantumkan dalam ayat-ayat maupun Hadits nabi dengan penyempurnaan dan penyederhanaan. Dalam pidana qishas dan diyat, didasarkan oleh gugatan untuk melindungi hak korban dalam setiap delik. Nabi Muhammad pernah bersabda: “Barang siapa ditimpa musibah dengan (tertimpanya) darah atau luka, maka ia boleh memilih di antara salah satu dari tiga kemungkinan yaitu menuntut qishas, mengambil diyat (denda) atau memaafkan. Tetapi jika ia menghendaki yang keempat, maka kuasailah dirinya (dibuang)”. Dalam Hadits Abu Hurairah juga dikatakan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda: “Siapa yang keluarganya ada yang terbunuh, maka ia boleh memilih salah satu yang lebih baik dari dua pilihan, yaitu menuntut denda atau menuntut qishas”. Semakin keras suatu ancaman hukuman, semakin efektif daya cegahnya (detterent effect) disadari bahwa penanggulangan kejahatan tidak didapat semata-mata dengan pendekatan penal (punitive) oleh karena pendekatan non-penal diperlukan dan terbukti efektif mencegah terjadinya kejahatan. Dengan sarana non-penal, berdampak pada berkembangbiaknya energi kebajikan ditengah-tengah masyarakat, sehingga kedamaian, ketentraman, kebahagiaan, kesejahteraan dapat dirasakan. Sanksi diyat atau denda telah dikenal, dan diperlakukan dalam masyarakat Islam secara universal, bahkan mempengaruhi hukum adat, bahkan hukum modern yang mengenal juga pemaafan dalam stelsel hukum pidana dimanapun.
Hukum adat sebelum dimasuki hukum Islam, sebagiannya berasal dari norma-norma agama. Norma agama ini telah terlebih dahulu tersebar di wilayah nusantara serta pernah berdiri kerajaan-kerajaan besar yang mendapat pengaruh dari berbagai ajaran agama. Agama Islam adalah agama terbesar sebelum kedatangan kaum kolonial barat, yang ikut memperkenalkan agama nasrani sebagai agama baru di Indonesia. Perkataan hukum adat berasal dari hukum Islam. Hukum al-‘adat(h) adalah hukum berdasarkan al-‘adat(h). Kata ini (dari kata kerja Arab ‘ada, ya’udu (kembali)) berarti ad-daydan (perulangan), segala yang terjadi berulang kali. Ia adalah sesuatu yang sering dilakukan sehingga menjadi kebiasaan yang dikenal. Karena itu, al-adat disebut juga al-‘urf (suatu yang dikenal masyarakat karena sering dilakukan). Adat menjadi hukum, yaitu hukum adat, karena ia sudah biasa dilakukan sehingga menjadi ukuran.
Di dalam sistem hukum adat, terdapat keadaan bagi korban untuk bertindak sebagai hakim. Misalnya apabila seorang melarikan gadis atau berzina, mencuri dan perbuatan itu tertangkap, maka orang yang terkena itu menurut adat boleh menegakkan hukum. Di tanah Batak, pihak yang terkena mengukung orang yang bersalah dengan kayu, sampai keluarganya membayar denda yang diwajibkan oleh adat. Di Minangkabau terkenal adat Tarikh, yaitu pihak yang terkena berhak mengambil sesuatu barang pihak yang bersalah dan menahan benda itu hingga pihak yang bersalah memenuhi hukumannya. Demikian juga tentang pencurian atau menggelapkan atau merusak barang asal nenek moyang adalah lebih berat daripada menggelapkan atau merusak barang duniawi biasa.
Sehubungan dengan hukum adat keterkaitannya dengan hukum pidana, saat ini sumber hukum pidana tertulis meliputi KUHP, undang-undang yang merubah/menambah KUHP, undang-undang pidana khusus, aturan-aturan pidana yang tersebar dalam undang-undang lain yang bukan undang-undang hukum pidana. Sehingga dalam rancangan KUHP selalu diakui posisi hukum adat, bahkan model restorative justice, selalu mengetengahkan ganti kerugian kepada korban kejahatan dengan penyelesaian berimbang antara pelaku delik dengan korban kejahatan. Menurut penjelasan umum RUU KUHP ditegaskan bahwa dalam KUHP baru, diakui pula adanya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat, yang harus dilaksanakan oleh pembuat tindak pidana. Hal ini mengandung arti bahwa standar nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam KUHP. Kemudian ditemukan pula dalam penjelasan Pasal 1 RUU KUHP Tahun 2008.
Di dalam hukum adat, pandangan restorative justice yang berkembang di banyak negara sangat sesuai dengan pola pemidanaan yang berlangsung di dalam sistem hukum adat. Hanya ada pola pidana mati bagi pelaku kejahatan dan pembayaran denda. Pidana penjara dalam hukum adat tidak dikenal. model restorative justice yang selalu mengutamakan ganti kerugian dengan penyelesaian berimbang merupakan nilai-nilai yang dikenal dalam hukum adat, yang sangat penting untuk dimasukkan ke dalam formulasi kebijakan pidana denda yang akan datang. Dalam sistem hukum adat fungsi delik adat yaitu untuk menjaga keseimbangan kosmis, sehingga perlu adanya pemulihan keseimbangan yang bersifat materiil ataupun inmateriil terhadap orang maupun masyarakat dalam bentuk kesatuan dan pelaksanaan denda di dalam hukum adat bertujuan memulihkan keseimbangan yang tergangggu sehingga perlu adanya pembayaran adat berupa uang guna mengadakan selamatan, memotong hewan, dan lain-lain sebagai uyapa keseimbangan kosmis.
Berkenaan dengan pidana adat dalam perkembangannya serta putusan-putusan pengadilan yang memperhatikan hukum pidana adat di daerah nampak bahwa pidana adat khususnya denda adalah berupa pembayaran sejumlah uang dalam rangka menciptakan keseimbangan pada masyarakat akibat adanya suatu kejadian yang menurut masyarakat merupakan suatu gangguan. Oleh karena itu pemulihan atas keseimbangan memerlukan denda dalam upaya pemulihan. Model eksekusi pidana denda dibayar langsung kepada negara atau ketua adat dan selanjutnya ketua adat menyampaikannya kepada korban atau keluarga korban, sebagiannya untuk ketua adat, karena kedudukannya, untuk kepentingan komunal masyarakat adat. Dengan demikian, pidana denda adat memenuhi tujuan pemidanaan yang modern yaitu pemulihan keseimbangan.
3. Pidana Denda Dalam Modernisasi Pemidanaan.
Hukum pidana merupakan salah satu cermin yang sangat dipercaya diberikan ke dalam suatu peradaban yang merefleksikan nilai-nilai fundamental. Dalam sejarah hukum pidana, terutama tentang sanksinya, akan sulit untuk percaya bahwa manusia benar-benar merupakan makhluk yang sangat kejam. Betapa tidak jenis-jenis pidana yang dikenal dari ujung timur sampai ke ujung barat dan dari ujung utara ke selatan planet ini semuanya bertumpu kepada pembalasan (retribution) dan cara pelaksanaannya pun sangat tidak manusiawi, bahwa sifat primitif pada hukum pidana sulit dihilangkan, berbeda dengan bagian hukum yang lain.
Penerapan sanksi pidana berupa denda sebagai alternatif pidana penjara di Indonesia tidak berjalan dan berkembang dengan pesat karena ketentuan denda dalam KUHP sangat kecil. Ancaman pidana denda maksimum untuk delik pencurian hanya sembilan ratus rupiah. Dalam penerapan penggunaan denda, terjadi kecenderungan bahwa hakim amat jarang menggunakan pidana denda. Pada tahap formulasi kebijakan legislatif dirumuskan ancaman sanksi denda sebagai pidana alternatif dengan sanksi penjara. Dengan adanya kebijakan legisltaif ini, pidana denda mengalami perkembangan yang sangat maju, bahkan sanksi denda secara tunggal diperkenankan untuk korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Hal demikian memperkuat posisi sanksi denda, tetapi menjadi tidak produktif bila dilihat dari penerapan praktik peradilan yang menjadikan sanksi denda sebagai bayang-bayang dari pidana hilang kemerdekaan. Pidana denda bahkan hanya merupakan pelengkap dalam pemidanaan. Terlebih lagi dengan disediakannya pidana kurungan sebagai pengganti denda yang tidak dapat dibayar, maka menambah lengkap posisi sanksi denda sebagai hiasan belaka.
Di dalam KUHP kedudukan pidana denda sangat ringan. Ketentuan ini dapat diilihat di dalam Pasal 30. Pasal ini mengatur bahwa maksimum pidana kurungan pengganti denda hanya 6 bulan dan pemberatan hukuman, karena pembarengan atau pengulangan paling lama hanya 8 bulan. Pidana denda yang ringan dilihat dari segi penjeraan kurang adil, karena pidana denda juga dapat dibayarkan oleh orang lain, misalnya oleh bawahannya atau keluarganya di samping itu terpidana dapat mengumpulkan uang dari mana saja untuk membayar denda. Karena ringannya jumlah pidana denda membuat penegak hukum enggan untuk menerapkan pidana denda untuk delik kekayaan. Di negara-negara lain, denda dijadikan sebagai jenis pidana prima untuk delik semacam itu. Di sini terlihat betapa KUHP Indonesia telah sangat ketinggalan zaman dalam segala seginya. Pembuat undang-undang terkesan kurang perhatian untuk mengikuti perkembangan dalam masyarakat, bahkan merealisasikannya ke dalam KUHP untuk diperbaiki tanpa menunggu hukum pidana yang baru. Seyogyanya pembuat undang-undang peduli dengan berbagai pengalaman dalam menerapkan dan menegakkan terhadap perkembangan dan kemajuan atas kebutuhan masyarakat terhadap ketertinggalan KUHP, sebagai bagian dari peninggalan kolonial. Sementara itu di Belanda yang hampir tiap tahun mengubah dan memperbaiki KUHP-nya, demikian juga Jerman yang menciptakan KUHP baru pada 1975 sampai dengan 1986, Undang-Undang yang mengubah atau merevisinya terakhir adalah yang ketigabelas. Setelah berakhirnya perang dunia kedua, banyak negara yang merdeka berusaha untuk memperbaiki hukumnya dengan alasan politis, sosiologis maupun praktis. Di Eropa telah berlangsung empat generasi sistem pidana yang lebih manusiawi, yaitu dimulai dengan pidana penjara sebagai generasi pertama, mengganti jenis pidana yang kejam seperti mendayung galei (galley), dibakar hidup-hidup, dipancung, dicap bakar, dan sebagainya. Di Indonesia, dulu dikenal pidana pemotongan (potong anggota badan), digantung, ditenggelamkan ke laut, ditusuk dengan keris, di samping pidana denda atau ganti kerugian. Pidana penjara diperkenalkan sebagai pengaruh Beccaria, Voltaire, dan Bentham, yang dimaksudkan bukan saja lebih manusiawi dan lebih rasional, tetapi juga untuk tujuan merehabilitasi dan memperbaiki pelanggar.
Sesudah Perang Dunia II, dirasakan bahwa sistem pidana berupa pidana penjara, apalagi pidana penjara yang singkat, kurang bermanfaat untuk mengurangi kejahatan, bahkan ada tanda-tanda bahwa pidana penjara yang singkat telah meningkatkan kejahatan. Orang yang melakukan delik kekayaan kecil-kecilan yang dipidana penjara yang singkat, satu dua bulan saja, bukan menjadikan pelanggar itu jera, bahkan dapat berguru di penjara dari penjahat kelas kakap untuk melakukan kejahatan yang lebih serius setelah keluar dari penjara, seperti menjadi penodong, pemabuk, pemeras, dan lain-lain bahkan menjadi perampok berskala besar. di negara-negara maju dicari alternatif lain selain pidana penjara, terutama yang singkat. Pidana penjara semacam itu bukan mengurangi kejahatan tetapi meningkatkan kejahatan yang lebih serius. Di bidang hukum pidana materiil, khususnya dalam KUHP, diadakan perubahan-perubahan yang mendasar. Jerman dan Australia telah mengundangkan KUHP baru pada 1975. Salah satu ketentuan yang sangat penting di dalam KUHP baru itu ialah pembagian delik yang secara tradisional seperti juga di Indonesia dan Belanda, yaitu kejahatan ringan telah berubah dengan menghilangkan delik pelanggaran atau violation/contravention. Apa yang disebut delik pelanggaran telah dihapus sebagai perbuatan kriminal atau telah menjadi nonkriminal. Sanksinya menjadi denda administratif yang dapat banding ke pengadilan. Umumnya menyangkut pelanggaran lalu lintas dan ekonomi, yang dulu merupakan 50% dari seluruh delik yang tercatat di Jerman.
Di Jerman menganut asas legalitas dalam penuntutan berdasarkan Pasal 152, 153-153e, 154-154e KUHAP, tetapi mereka berwenang untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum dengan syarat-syarat tertentu, seperti pembayaran kompensasi, pembayaran kepada organisasi amal (atau negara), atau melakukan beberapa kerja sosial. Dengan dipenuhinya syarat-syarat ini maka penuntutan dihentikan dengan persetujuan hakim. Jadi, perbedaan pelaksanaan penyampingan perkara oleh penuntut umum antara Jerman sebagai salah satu negara yang menganut asas legalitas dan negara yang menganut asas oportunitas, ialah jaksa Jerman harus minta persetujuan hakim jika akan menyampingkan perkara, yang umumnya diberikan.
Di negara-negara yang menganut asas oportunitas, seperti Belanda, negara-negara Skandinavia, Israel, dan Jepang, praktik penyampingan perkara oleh penuntut umum dengan syarat lebih 50% perkara diselesaikan oleh officer van justitie di luar pengadilan dengan syarat atau tanpa syarat. Perkara-perkara yang dikesampingkan itu ialah perkara yang kurang bukti, pengenyampingan karena kebijakan (policy), dan perkara yang digabung menjadi satu, yang benar-benar berdasarkan asas oportunitas ialah penyampingan perkara dengan alasan kebijakan. Dikembangkan penerapan syarat-syarat, seperti ganti kerugian kepada korban. Alasan penyampingan perkara karena kebijakan, baik di Jepang maupun di Belanda, yaitu perkara terlalu kecil, terdakwa terlalu tua (di Jepang di atas 60 tahun) dan kerusakan telah diperbaiki . Menurut statistik perkara pidana di Jepang, lebih 80% perkara yang terdakwanya nenek-nenek dan 70% kakek-kakek (di atas 60 tahun) umumnya mengenai delik kekayaan (pencurian, penggelapan, dan penipuan) dikesampingkan oleh penuntut umum berdasarkan asas oportunitas. Sebelum Perang Dunia II telah dikembangkan alternatif lain selain dari pidana penjara, yaitu pidana bersyarat. Tahap inilah yang disebutnya sebagai generasi kedua sistem pemidanaan. Pada generasi kedua ini, pidana penjara makin dimantapkan. Sesudah perang, dirasakan bahwa sistem pidana penjara dan pidana bersyarat juga tidak membawa hasil dalam mengurangi kejahatan. Oleh karena itu, dicari alternatif lain, yaitu pengefektifan pidana denda sebagai alternatif pidana penjara, terutama pidana penjara yang singkat. Pengefektifan pidana denda inilah yang disebut sebagai generasi ketiga sistem pemidanaan. Supaya pidana denda itu efektif dan dirasakan oleh pelanggar, sehingga ia jera atau takut untuk melakukan kejahatan maka diusahakan agar pidana denda diterapkan tidak merata kepada setiap orang (pelanggar). Pelanggar yang mempunyai uang dikenai denda lebih besar daripada yang pendapatannya rendah. Dimulailah penerapan pidana harian (day fine) di negara-negara Skandinavia, kemudian diikuti oleh Jerman dan Austria dengan mencantumkannya di dalam KUHP-nya 1975. kemudian negara-negara lain mengikuti pula. Sistem pidana denda harian (day fine) ini pun mempunyai kelemahan.
Di common law terutama Inggris Raya, pidana denda dikenakan bagi pelaku tindak kejahatan baik sebagai pengganti ataupun sebagai pelengkap pidana penjara. Tidak ada ketentuan perundang-undangan yang membatasi pidana denda di common law, kecuali dalam piagam Magna Charta dan Bill of Rights yang mengatur tentang pidana denda yang berlebihan. Setiap Criminal Law Consolidation Act memberikan kewenangan diskresi untuk mengenakan denda bagi pelaku kejahatan yang diatur di dalam undang-undang ini. Section 13 of the Criminal Justice Act 1948 memberikan kewenangan secara jelas untuk membebankan denda di mana pelanggar telah didakwa melakukan kejahatan yang berat, kecuali untuk bentuk kejahatan berat yang telah ditentukan hukumannya oleh undang-undang misalnya pembunuhan. Ketika pengadilan mengenakan denda tersebut, maka denda tersebut harus dibayarkan secara langsung dalam jangka waktu tertentu atau diangsur, dan pelanggar akan dikenakan pidana penjara tambahan jika denda tersebut tidak dibayar. Jika undang-undang mengatur tentang pengenaan pidana penjara dan pidana denda untuk satu pelanggaran tertentu, maka pengadilan akan memberikan tambahan pidana penjara jika pidana denda itu gagal dibayar oleh pelanggar. kelemahan yang terpenting ialah bagaimana jika pelanggar tidak mempunyai pendapatan tetap atau penganggur. Bagaimana cara memperhitungkan denda yang harus dibayar ataukah bagi mereka hanya pidana penjara singkat yang tersedia; berarti, keberatan terhadap pidana penjara singkat tetap ada. Menurut KUHP RRC yang juga baru, pidana denda merupakan pidana tambahan tetapi dapat berdiri sendiri dan jumlahnya juga tidak ditentukan maksimumnya, tetapi diserahkan kepada hakim untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana denda yang harus dibayar dengan melihat bobot pelanggaran, akibatnya, kesanggupan pelanggar, dan seterusnya. Jadi, peranan hakim sangat besar untuk menentukan jumlah denda yang harus dibayar. Atas keberatan terhadap sistem pidana denda harian inilah maka, , muncul generasi keempat sistem pemidanaan, yaitu pidana pengawasan (control) dan pidana kerja sosial (community service) sekarang ini.
Di Swedia, working parties of the Swedish National Council for Crime Prevention (Brottsfőrebyggande Rådet, disingkat BRA) mengajukan rekomendasi mengenai community service sebagai sanksi alternatif. Menurut mereka, sanksi alternatif jenis ini hanya dapat dilaksanakan asalkan memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: (1) community service harus mencakup kinerja yang bermanfaat dan harus disesuaikan dengan kemampuan individu; (2) di dalam community service harus tersedia sumber daya manusia untuk mengawasi pelaksanaan community service tersebut; dan (3) seseorang yang dihukum untuk melakukan community service haruslah seseorang yang benar-benar ingin melakukan pelayanan tersebut.
KUHP RRC menyebut pidana control sebagai pidana yang paling ringan. Belanda sejak tahun 1987 telah menciptakan undang-undang mengenai pidana kerja sosial (community service), tetapi masih dalam tahap penjajakan. Beberapa negara Skandinavia juga telah memperkenalkannya. Namun, Swedia menolak jenis pidana ini dengan alasan bahwa bekerja adalah suatu kehormatan, bagaimana dapat dijadikan pidana. Lagi pula, bekerja memerlukan keahlian atau keterampilan, bagaimana pemabuk dan pecandu narkotika dapat disuruh bekerja. Memang, pidana penjara singkat banyak diterapkan terhadap pemabuk di sana.
Di negara-negara Eropa, bahwa sebagai pidana alternatif, misalnya bekerja untuk kepentingan umum, tidak dibayar dan sebagai alternatif, bagi pidana penjara singkat waktu, tidak pula berarti bahwa bekerja tanpa bayaran itu tidak bisa juga sebagai pidana alternatif bagi pidana-pidana lain atau akibatnya seperti pidana denda atau kurungan pengganti. Untuk itu bekerja untuk kepentingan umum tanpa pembayaran itu dapat pula sebagai pengganti denda. Kondisi ini telah dipraktikkan di Portugal, Inggris dan Jerman. Dalam penelitiannya pada 1982; Pertama, perjuangan untuk menentang penggunaan pidana badan singkat begitu sulit untuk dienyahkan; Kedua, para hakim tetap menggunakan pidana badan singkat sebagai suatu sharp shock treatment (perlakuan kejutan tajam dan pendek) untuk memaksa pelaku tindak pidana agar tidak melakukan atau mengulangi tindak pidana baru; Ketiga, pidana badan singkat untuk waktu tidak lebih dari enam bulan; keempat, bagi para pekerja yang dijatuhkan hukum pidana badan singkat, maka dapat dijalankan pada hari libur atau waktu luang; Kelima, pidana badan singkat bagi pekerja dilakukan pada hari libur untuk menghindari pemutusan hubungan kerja dengan majikan. Salah satu contoh program dari bentuk pidana ini adalah scared straight yang dipublikasikan secara luas selama 1980-an. Program ini memasukkan pelaku kejahatan berusia muda ke dalam penjara-penjara berkeamanan maksimum di mana mereka dianiaya secara verbal oleh para narapidana yang dihukum seumur hidup karena melakukan tindak kejahatan dengan kekerasan. Para lifer (sebutan untuk terhukum seumur hidup) memberitahukan tentang kondisi seputar kehidupan di dalam penjara (misalnya ketakutan, perkosaan, dan kekerasan) kepada penjahat muda dalam bentuk ilustrasi yang menakutkan. Versi shock incarceration yang diperluas disebut program boot camp yang mengikuti model program latihan dasar kemiliteran. Selama beberapa minggu, para pelaku kejahatan tanpa kekerasan harus mengikuti program latihan dasar kemiliteran secara intensif.
RUU KUHP Indonesia telah mencantumkan pidana pengawasan dan pidana kerja sosial sebagai alternatif penjatuhan pidana penjara (singkat). Ini berarti bahwa RUU KUHP itu telah meloncati satu generasi sistem pemidanaan, yaitu denda harian (day fine) yang sedang diterapkan sekarang ini di banyak negara Eropa Barat, terutama Jerman, Austria, dan negara-negara Skandinavia. KUHP bergerak ke kiri, sedangkan karena tidak ditemukannya ke arah peringatan pidana, sedangkan KUHP Belanda bergerak ke arah kanan, karena terjadi peringatan pidana. Hal ini terlihat KUHP Belanda melalui tiga tahap, yakni: Pertama, pencabutan sama sekali perumusannya (dekriminalisasi) misalnya pencabutan delik mukah (overspel); Kedua, perubahan perumusan terjadi lebih longgar, misalnya delik pornografi yang semula memakai unsur (bestanddeel) di muka umum diubah menjadi di tempat yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, karena di muka umum ditafsirkan dapat dilihat oleh orang lain, sedangkan di tempat yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum menjadi lebih terbuka; Ketiga, semua delik diberikan alternatif denda sampai pada delik makar terhadap raja memakai alternatif denda.
Dalam konsep RUU KUHP mendatang, bahwa tim telah menetapkan ancaman pidana setiap tindak pidana yang bersangkutan dengan berdasarkan suatu sistem pemidanaan tertentu, yakni antara lain dengan membatasi ancaman pidana penjara jangka pendek dengan mengganti pidana penjara dibawah satu tahun dengan ancaman pidana denda. Sistem denda harian (day fine) tidak pernah dicantumkan di dalam KUHP, langsung dari generasi kedua (pidana bersyarat) ke pidana pengawasan dan pidana kerja sosial sebagai generasi keempat sistem pemidanaan. Sebenarnya, pidana kerja sosial itu juga mempunyai kelemahan, yaitu harus dengan persetujuan terpidana. terpidana diberi kesempatan untuk memilih apakah dipidana penjara (singkat) atau bekerja sosial. Mungkin di Indonesia orang akan memilih pidana penjara satu atau dua bulan (RUU KUHP tidak mengenal pidana kurungan) daripada pidana kerja sosial karena malu selalu dilihat umum bekerja sebagai terpidana. Di Portugal, Inggris, Jerman bekerja untuk kepentingan umum tanpa dibayar dapat pula sebagai pengganti denda. Pidana penjara atau denda dapat dilakukan melalui grasi, sehingga berubah menjadi pidana bekerja untuk kepentingan umum tanpa dibayar. Seperti di Jerman, Belanda, Luxemburg, dalam perundang-undangan di Eropa bagi pidana denda yang tidak dibayar dapat diganti dengan bekerja tanpa bayaran. Di Italia, dimulai sejak 1889. di Norwegia, sejak 1902, Jerman sejak 1924, Swiss sejak 1949, Portugal sejak 1954. Di banyak negara pelaksanaan bekerja tanpa bayaran tidak dapat dilaksanakan karena belum ada infrastruktur yang sebanding. Di Jerman, jenis pidana ini memainkan peranan penting, demikian juga di Italia dan biasanya atas permintaan terpidana, denda yang dirubah disebut Lavoro Sosti Tutifo. Bekerja satu hari, maka denda yang dapat dikurangi 50.000. Lire, waktunya maksimum 60 (enam puluh) hari. Terpidana dapat pula meminta untuk merubahnya menjadi lebih ringan, yakni disebut Liberta Controllata.