Sabtu, 07 November 2009

PERKEMBANGAN STELSEL PIDANA INDONESIA
BAB I

PENDAHULUAN
Pidana adalah suatu reaksi atas delik, dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik. Nestapa yang ditimpakan kepada pembuat delik bukanlah suatu tujuan yang terakhir dicita-citakan masyarakat, tetapi nestapa hanyalah suatu tujuan yang terdekat. Sehingga hukum pidana dalam usahanya untuk mencapai tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana, tetapi dengan jalan menggunakan tindakan-tindakan, sehingga tindakan dapat dipandang sebagai suatu sanksi, tetapi tidak bersifat pembalasan, dan ditujukan semata-mata pada prevensi khusus, dan tindakan dimaksudkan untuk menjaga keamanan masyarakat terhadap ancaman bahayanya.
Hukum pidana, berbeda dengan bagian hukum yang lain, yaitu terjadinya penambahan penderitan dengan sengaja dalam bentuk pidana, dengan tujuan lain, yakni menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan, guna menjaga ketertiban, ketenangan dan kedamaian dalam masyarakat. Hukum pidana adalah hukum hukum sanksi negatif, karena sifat dari hukum pidana itu, adalah sebagai sarana upaya lain sehingga mempunyai fungsi yang subsideir. Sanksi pidana termasuk juga tindakan, karena suatu penderitaan yang dirasakan tanpa henti untuk mencari dasar, hakekat dan tujuan pidana dan pemidanaan, guna memberikan pembenaran dari pidana itu. Sebagai telaahan dari hukum penetensier ( srafrechttelijk sanctierecht), pidana atau hukuman, merupakan hal yang terpenting dalam hukum pidana, sehingga hakekat hukum pidana adalah hukum sanksi. Hukum pidana mengecam pelanggaran dengan sanksi istemewa, itulah tugas hukum pidana. Berupa pidana mati, pidana badan, perampasan kemerdekaan dan pernyataan tidak hormat. Sanksi pidana bersumber dari ide dasar, mengapa diadakan pemidanaan. Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar untuk apa diadakan pemidanaan itu. Sanksi pidana bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan pengenaan penderitaan, sehingga terarah pada upaya memberi pertolongan agar pelaku berubah. Sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat, pembinaan dan perawatan bagi terpidana.
Pidana adalah salah satu dari sekian sanksi yang bertujuan untuk menegakkan berlakunya norma. Pelanggaran norma yang berlaku dalam masyarakat menimbulkan perasaan tidak senang yang dinyatakan dalam pemberian sanksi tersebut . Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita, hukum pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan adalah; Pencabutan beberapa hak tertentu, disitanya barang-barang tertentu dan diumumkannya putusan hakim. Urutan urutan pidana ditentukan menurut beratnya pidana, dan yang terberatlah yang disebut lebih di depan.
Dalam hukum pidana, penentuan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam dengan hukum pidana dan jenis-jenis pidana serta cara penerapannya, maka pidana atau sanksi sangat penting. Sekarang munculah apa yang disebut sebagai hukum pidana fungsional, yakni hukum pidana bukan saja berfungsi untuk memberikan nestapa pada pelaku kejahatan, tetapi juga mengatur masyarakat agar hidup lebih damai dan tenteram. Penerapan hukum pidana tidak selalu berakhir dengan penjatuhan pidana, tetapi dikenal juga asas oportunitas yang disebut pardon, disamping dikenal juga jenis sanksi yang disebut tindakan, yang dalam hukum pidana ekonomi sangat luas, ada tindakan tata tertib sementara yang dikenakan oleh jaksa dan ada tindakan tata tertib yang dikenakan oleh hakim, juga ada sistem penundaan pidana dan pidana bersyarat.
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya stelsel pidana Indonesia, mengalami perubahan seiring dengan perubahan sosial budaya, teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga perkembangan stelsel pidana, sangat dipengaruhi oleh hal tersebut, yang berakibat pada perubahan terhadap pembaharuan hukum pidana. Tentang hukum pidana, adalah pengertian yang bermakna jamak, dalam objektif yang sering disebut sebagai Ius Poenale; yakni secara singkat dapat dirumuskan sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana bagi mereka yang mewujudkannya. Ius Poenale ini lazim juga disebut sebagai hukum pidana materiel (material criminal law). Sebagai lanjutan dari itu, maka dikenal pula hukum pidana formieel (law of criminal prosudure) hukum acara pidana, yakni dapat dirumuskan sebagai hukum yang menetapkan cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana. Juga biasa disebut sebagai hukum pidana In concreto, karena mengandung peraturan bagaimana hukum pidana materiel atau hukum pidana In abstracto dituangkan dalam kenyataan.
Senada dengan itu Sudarto mengemukakan, bahwa masalah pemberian pidana mempunyai dua arti; yakni pertama, dalam arti umum ialah yang menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto), kedua dalam arti konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu. KUHP telah menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana akan tetapi juga apa yang disebut tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya.
Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian yang terkait dengan law enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi hukum dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum, untuk memberantas atau menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat, dan untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional. Pembaharuan hukum pidana juga merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik, dan sosio-kultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini. Bukanlah merupakan pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach).
Menurut Mudzakkir pembaharuan hukum pidana dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan. Pertama, pembaharuan hukum pidana terjadi karena dipengaruhi pergeseran unsur masyarakat hukum atau pergeseran elemen bawah ke atas (bottom up). Kedua, karena pergeseran nilai yang mendasari hukum atau elemen atas mempengaruhi elemen di bawahnya (top down). Ketiga, pergeseran gabungan pertama dan kedua yaitu terjadi pada elemen nilai atau elemen masyarakat hukum tidak secara otomatis membawa pergeseran hukum, tetapi hukum yang berlaku diberi perspektif baru sesuai nilai baru atau keadaan baru tersebut. Senada dengan itu Soejono Dirdjosisworo mengemukakan, KUHP setidaknya memuat dua hal pokok. Pertama, memuat aturan-aturan yang harus dipenuhi dimana pengadilan dapat menjatuhkan pidana, ditentukan juga perbuatan yang dapat dilarang dan siapa yang dapat dipidana. Kedua, diumumkannya reaksi atas delik, berupa pidana dan dalam hukum pidana modern termasuk tindakan. Sehingga sanksi pidana mempunyai daya manfaat menuju keserasian sosial dan kesejahteraan. Dengan ini maka hukum pidana menjadi sesuatu yang melihat kedepan, untuk merealisasikan tujuan manusia, sehingga peran hukum pidana ikut turut serta mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan. Dalam hukum pidana, telah nyata sebagaimana ditentukan pada Pasal 10 KUHP, adalah pidana, sedangkan yang lainnya semuanya adalah tindakan, sehingga tindakan walaupun merampas dan menyinggung kemerdekaan seseorang, jika bukan yang disebut dalam Pasal 10 KUHP, bukanlah pidana melainkan tindakan-tindakan.
Pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia. Pasal II Aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini. Diadakannya aturan peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan hukum. Hal ini berarti bahwa peraturan-peraturan yang ada pada zaman penjajahan masih tetap berlaku di mana pemberlakuan peraturan-peraturan tersebut disesuaikan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka. Pada tanggal 26 Februari 1946 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dalam Pasal V menyebutkan kriteria:
Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.

Sejak saat itulah dapat dikatakan pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimulai. Peraturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik dari suatu bangsa di mana hukum itu berkembang dan merupakan hal yang sangat penting bahwa seluruh bangunan hukum bertumpu pada pandangan politik yang sehat dan konsisten. Dapat diperhitungkan bahwa KUHP dari negara-negara Eropa Barat yang bersifat individualistis-kapitalistis itu bercorak lain dari KUHP di negara-negara Eropa Timur yang berpandangan politik sosialis. Indonesia yang pandangan politiknya didasarkan pada pancasila. Untuk itu, pandangan tentang hukum pidana erat sekali hubungannya dengan pandangan umum tentang hukum, negara, masyarakat, dan kriminalitas (kejahatan). Hukum pidana merupakan suatu cerminan masyarakat yang merefleksikan nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakatnya, sehingga perubahan nilai nilai masyarakat, maka hukum pidananya pun berubah.
Dengan demikian, berarti telah tiba saatnya untuk merombak tata hukum pidana dan hukum pidana yang masih berpijak pada asas-asas dan dasar-dasar yang berasal dari zaman kolonial dan menggantinya dengan hukum pidana Indonesia. Asas-asas dan dasar-dasar pokoknya berdasarkan dan berlandaskan pancasila. Usaha pembaharuan hukum pidana didasarkan pada politik hukum pidana dan politik kriminal yang mencerminkan aspirasi nasional serta kebutuhan masyarakat saat ini dan untuk saat yang akan datang. Atas dasar prinsip itulah, prinsip yang telah ada diteruskan atas dasar prinsip wawasan nusantara di bidang hukum dan kodifikasi atas dasar keanekaragaman masyarakat Indonesia. Pencapaian sasaran ini dimaksudkan untuk menjamin keadilan hukum dan perasaan keadilan oleh masyarakat Indonesia yang beraneka ragam.
Bagaimanapun juga objek pembaharuan hukum pidana Indonesia adalah berdasarkan pancasila sehingga pembaharuan itu tidak boleh meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam rangka kepentingan bangsa dan negara. Kebijakan bangsa Indonesia dalam rangka pelaksanaan amanat Pasal II Aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melaksanakan pembaharuan hukum pidana melalui dua jalur antara lain, pembuatan konsep rancangan undang-undang hukum pidana nasional dan pembaharuan perundang-undangan pidana yang maksudnya mengubah, menambah, dan melengkapi KUHP yang berlaku sekarang. Pembaharuan hukum pidana Indonesia dan penegakan hukum pidana juga harus dilakukan dengan menggali dan mengkaji sumber hukum tidak tertulis dan nilai-nilai hukum di dalam masyarakat, yaitu nilai-nilai religius dan nilai-nilai budaya/adat. Pembaharuan hukum pidana disebabkan oleh perkembangan masyarakat, undang-undang yang ada tidak lagi memadai terhadap perubahan norma atau adanya perkembangan tekhnologi dalam masyarakat, serta adanya keadaan yang mendesak sehingga perlu diadakan peraturan khusus, karena begitu sulitnya sistim pembuktiannya.
Selain kajian komparasi dan harmonisasi dari sudut traditional and religius law system, pembaharuan hukum pidana nasional juga dituntut untuk melakukan kajian komparasi dan harmonisasi dengan perkembangan pemikiran dan ide-ide mutakhir dalam teori/ilmu hukum pidana dan dalam kesepakatan global. Ide-ide tersebut antara lain mengenai ide keseimbangan antara perevention crime, treatment of offender, dan treatment of society, keseimbangan antara social welfare dan social defence, keseimbangan orientasi antara offender (individualisasi pidana) dan victim, ide penggunaan double track system (antara pidana (punishment) dan tindakan (treatment/measurement)), ide penggunaan pidana penjara secara selektif dan limitatif, yang identik dengan ide the ultimo-ratio character of the prison sentence atau alternative to imprisonment or custodial sentence, ide elasticity/flexibility of sentencing, ide judicial corrective to the legality principle untuk menembus kekakuan, ide modifikasi pidana (modification of sanction), the alteration annulment atau revocation of sanction, redetermining of punishment, dan ide pemaafan atau pengampunan hakim (rechterlijk pardon/judicial pardon/dispense de pena).
Ide keseimbangan tersebut di atas mencakup keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perorangan, keseimbangan antara perlindungan/kepentingan prilaku tindak pidana, keseimbangan antara unsur/faktor objektif dan subjektif, keseimbangan antara kriteria formal dan materiel, keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/fleksibilitas dan keadilan, dan keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global. Ide dasar keseimbangan itu diwujudkan dalam ketiga permasalahan pokok hukum pidana yaitu masalah tindak pidana(criminal act); masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana(criminal responsibility); dan masalah tindak pidana dan pemidanaan (punishment and treatment), serta mempertimbagkan dan memberi tempat pada hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum yang tidak tertulis(the living law). Tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana menurut Chairul Huda, masih menyisakan berbagai persoalan dalam hukum pidana, hal ini bukan saja di lapangan teoritis, tetapi lebih jauh lagi dalam praktek hukum peradilan di Indonesia, menunjukan belum ada kesamaan dalam pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.
Soedarto mengingatkan bahwa pengaruh hukum pidana hanya dapat terjadi disuatu masyarakat yang yang mengetahui tentang sanksi pidana. Intensitas pengaruh tersebut tidak sama untuk semua tindak pidana, terhadap tindak pidana yang dianggap masyarakat merupakan tindak pidana ringan, maka ancaman tindak pidana yang berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Namun demikian, ancaman pidana yang berat tidak akan banyak artinya jika tidak dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula.
Senada dengan itu, Barda Nawawi Arief, mengemukakan, bahwa usaha usaha penanggulangan kejahatan banyak dilakukan dengan berbagai cara namun hasilnya belum memuaskan. Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana. Namun demikian usaha ini masih sering dipersoalkan. Sehingga penggunaan hukum pidana dalam menghadapi kejahatan, dalam usaha pengendalian perbuatan anti sosial terhadap seseorang yang melanggar hukum, merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting.
Tentang pemberian pidana dengan menggunakan sanksi pidana, Sudarto, menegaskan bahwa hakim menentukan pemberian sanksi pidana, dengan batas-batasnya, selanjutnya pelaksanaanya diserahkan kepada Lembaga Pemasyarakatan, serta berkewenangan untuk melaksanakan pembebasannya secara bersyarat, sehingga pemberian pidana mempunyai dua arti, yakni Pertama, secara umum menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel hukum pidana. Kedua, secara konkrit, menyangkut berbagai badan atau jawatan yang mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana.
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijaksanaan penegakkan hukum. Disamping itu karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijaksanaan penegakkan hukum, inipun termasuk dalam bidang kebijaksanaan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijaksanaan, maka pengunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijaksanaan, karena pada hakekatnya dalam masalah kebijaksanaan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial , tetapi juga merupakan masalah kebijaksanaan, sehingga dilihat dari sini, maka ada yang mempermasalahkan, apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana.
Dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang tercermin dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 2008, maka terbesit suatu sikap dari para perancang mengenai “Pidana dan Tindakan” sebagai implementasi keseimbangan yaitu; Tujuan pemidanaan yang bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan, dan pidana hanya merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan, maka RUU KUHP, merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Perumusan tujuan pemidanaan “Penyelesaian konflik” mengandung makna yang dalam. Mengapresiasi suatu perkembangan universal Ilmu pengetahuan yang relatif baru yaitu Victimology baik yang sifatnya sebagai “Interactionist victimology or penal victimology” maupun sebagai “asistence-oriented viktomology” gabungan antara keduanya, dan lebih luas lagi dalam kerangka menanggulangi kekerasan dan “abuse of power”. Dalam rangka ini diadopsi apa yang dinamakan konsep keadilan restroratif yang juga memfokuskan diri pada kepentingan korban kejahatan, disamping usaha untuk memeperlakukan lebih manusiawi, pelaku kejahatan. Pencantuman tujuan pemidanaan “memaafkan terpidana”, antara pelaku korban dan masyarakat, pengaruh viktimology juga nampak dari diaturnya pidana tambahan pembayaran ganti rugi dan pemenuhan kewajiban adat, serta pengaturan pedoman pemidanaan yang memperhatikan pula aspek victim.
Pada RUU-KUHP 2008, telah dimasukkan pidana kerja sosial, pidana pengawasan, pidana tutupan, pidana mati sebagai pidana khusus yang diancamkan secara alternatif. Perampasan barang-barang tertentu, dan atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat.

1 komentar:

  1. terimakasih Prof. Syamsul. saya terbantu atas refrensi bapak. saya lagi menulis disertasi doktor di fh unsri. saya dosen fh UM Palembang.

    BalasHapus