Kamis, 11 Februari 2010

Perkembangan dan Pertumbuhan Negara dan Hukum
Oleh : Dr. Syaiful Bakhri, SH., MH

A. Makna Ilmu Negara Dalam Ilmu Hukum.
Ilmu Negara, sebagai salah satu mata kuliah dasar pada semester pertama. Penempatannya di¬sesuaikan dengan tugas mata kuliah pengantar terhadap mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang akan diberikan pada semester berikutnya. Ilmu Hukum pada umumnya dapat dibagi dalam dua lapangan yang besar seperti Hukum Publik dan Hukum Privat, maka Ilmu Negara akan memberikan pemahaman, pengertian kepada para mahasiswa untuk mempelajari Hukum Publik, khususnya Hukum Tata Negara dan Hukum Admi¬nistrasi Negara. Ilmu negara sebagai salah satu mata pelajaran dalam Fakultas hukum dan pengetahuan masyarakat ini, yang dalam zaman penjajahan dahulu tak ada mata pelajaran Ilmu negara. Timbulnya setelah berkobarnya api revolusi kemerdekaan sejak proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Istilah Ilmu negara terbagi menjadi; Ilmu negara, Ilmu kenegaraan, Ilmu politik. Ketiganya mempunyai objek yang sama yakni negara.
Dalam tugasnya sebagai penghantar maka,Ilmu Negara akan bermanfaat guna memudahkan para mahasiswa yang baru, untuk menerima beberapa mata kuliah utama atau pokok lainnya yang diberikan pada semester berikutnya. Beberapa mata kuliah yang diberikan pada Fakultas Hukum, terdiri dari Mata kuliah persiapan atau mata kuliah dasar keahlian, serta mata kuliah keahlian. Di antara mata kuliah tersebut masih terdapat beberapa mata kuliah tambahan yang tugasnya menambah dan memperluas pengetahuan para mahasiswa menghubungkan hukum sebagai salah satu gejala dalam masyarakat dengan gejala-gejala lainnya ataupun sebaliknya. Yaitu mata kuliah, Sosiologi, Ekonomi, Hukum Islam, Anthropologi Budaya, Hukum lingkungan, Ilmu Perundang-undangan Kriminologi, Viktimologi, Ilmu Ilmu Forensik dan lainnya. Manfaatnya adalah mahasiswa sebagai calon sarjana hukum yang akan menghadapi segala persoalan kemasyarakatan, yang memerlukan pemecahan yang adil dan bijaksana. Sebagai negara yang menganut prinsif demokrasi, maka hukum sebagai salah satu gejala di dalam masyarakat tidak berdiri sendiri dan sangat erat hubungannya dengan gejala-gejala lainnya, serta saling pengaruh dan mempengaruhi. Oleh karena itu, para ahli hukum tidak dapat membuat suatu peraturan yang baik tentang pengendalian harta, bilamana tidak mengetahui seluk-beluk perekonomian masyarakatnya, termasuk pelaksanaan penegakkan hukumnya.
Maka diperlukan mempelajari ilmu ekonomi guna mampu membuat peraturan-peraturan hukum yang baik. Ilmu pengetahuan mengadakan penyelidikan-penyelidikan khusus tentang perkembangan suatu masyarakat dari tingkatannya yang masih sederhana atau mengadakan penyelidikan-penyelidikan terhadap kepercayaan (agama) yang berpengaruh dalam masyarakat, maka hasil penyelidikan, penelitian tersebut dapat digunakan oleh ahli hukum bagi masyarakatnya yang menganut kepercayaan tertentu. Sehingga peraturan hukum yang baik selalu memperhatikan faktor-faktor yang hidup dalam masyarakatnya, guna mencerminkan kebutuhan masyarakat tersebut. Tanpa memperhatikan faktor-fak¬tor itu peraturan hukum merupakan peraturan yang mati, yang hanya berisi pasal pasal sebagai hiasan belaka yang tidak bisa berlaku karena, karena tidak rasional dan bahkan bertentangan dengan asas universal dan tidak bisa diterima oleh rakyat. Berkecenderungan untuk dilakukan yudisial review, oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi (MK), karena bertentangan dengan Konstitusi terhadap undang undang maupun Mahkamah Agung (MARI). Karena peraturan yang berada di bawah undang-undang tidak mencerminkan wawasan keadilan, dan menimbulkan korban dan kerugian masyarakat.
Pembahasan Ilmu negara, erat hubungannya dengan teori-teori negara, asal usulnya, perkembangan dan lenyapnya negara. Ilmu negara mempelajari negara, secara umum, mengenai asal usul, lenyapnya, perkembangannya dan jenis-jenisnya. Sehingga objek penyelidikannya adalah, negara-negara secara umum, sehingga disebut juga sebagai Ilmu Negara secara umum. Negara pada umumnya dianggap sebagai gejala sosial politik. Dimulai dengan Zaman Yunani, Romawi, abad pertengahan hingga zaman modern. Tentang Hukum Romawi, Hoetink dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar menyampaikan tema "Achtergrond van het Romelns recht" telah menunjuk¬kan bahwa Hukum Romawi tidak dapat dipelajari tersendiri lepas dari pengaruh-pengaruh lainnya, akan tetapi Hukum Romawi harus dipelajari dari latar belakangnya. Ada suatu aliran yang menganggap bahwa Hukum Romawi itu sudah lengkap dan telah mencakup segalanya, sehingga Hukum Ro¬mawi disebut sebagai Ratio Scripta (akal tertulis), karena Hukum Romawi merupakan hasil pemikiran yang lengkap dan sempurna. Hukum Romawi telah menyumpangkan himpunan-himpunan pera¬turan hukum yang diumumkan (publikasi) dan kodifikasi yang dikenal sebagai kodifikasi Justinianus. .
Kodifikasi Justianus, dikenal juga sebagai Corpus Iuris Civilis, yang dibagi dalam empat buku; yakni buku pertama, tentang Institutiones, Kedua, tentang Pandecta, Ketiga, tentang Codex dan keempat, tentang Novellae. Pada masa Romawi, timbul penerimaan kembali hukum yang lampau disebut sebagai Receptie. Sehubungan dengan itu, maka seorang Glossator dan Commentator, yang mengolah karya itu untuk disesuaikan dengan situasi yang ada pada saat itu. Tugas Glossator terutama adalah mempelajari Corpus Iuris Civilis. Para Glassator adalah para dosen di fakultas hukum Universitas Bologna, kurikulumnya mempelajari teks Digesta. Dosen membaca dan mengoreksi bahasa teks yang ditulis tangan dan para mahasiswanya menyimak salinan naskah dengan sesekali membetulkan jika memang dosen membuat kesalahan. Karya ini seperti sebuah Alkitab, dan sangat menghormati teksnya, dan bahkan tidak memberikan penilaian terhadap teks teks tersebut. Pada abad ke 18 Glassator digantikan oleh Commentator yang bekerja keras atas dasar dasar yang diletakkan oleh para Glassator. Selanjutnya kurikulum Fakultas Hukum di Universitas Bologna, Paris, Oxford dan Universitas universitas lainnya. Di Erofah diperluas bukan hanya yang terdapat pada Corpus Iuras Civilas saja, melainkan meliputi hukum Kanonik yang ditetapkan oleh Paus. Penyelidikan sejarah hukum Romawi, ditemukan empat macam zaman di mana hukum itu berlaku yaitu: Zaman Kerajaan, Zaman Republik, Prinsipaat, Dominaat. Dari segi politik yang dikatehui bahwa sejarah negara Romawi, selama empat zaman tersebut, Hukum Romawi pernah dan senantiasa mengalami perubahan-pe¬rubahan yang berhubungan dengan tujuan-tujuan politik pada masanya, mempunyai hubungan fung¬sional timbal-balik dengan masyarakat, maka Hukum Romawi tidak dapat dipelajari secara tersendiri tanpa memperhatikan faktor -faktor lainnya yang hidup dalam masyarakat. Harold J. Laski mengemukakan dalam "Jurispru¬dence is the law" yang maksudnya bahwa ilmu pengetahuan hukum itu menyelidiki hubungan hukum dengan masyarakat. Aliran baru yang dinyatakan oleh Hoetink, hendak menunjukkan pentingnya Hukum Romawi untuk dipelajari.
Dari segi lain manfaat yang dapat ditarik dari mata kuliah tambahan, adalah guna memenuhi kebutuhan yang bersifat praktis. Sebagai pelaksana hukum, ahli hukum hendaknya jangan terikat kepada pandangan yang sempit. Sebagai hakim dituntut untuk bersikap objektif, arif dan adil. Kesempatan dalam pandangan hakim bisa mempengaruhi keputusannya, karena dapat dipengaruhi oleh golongan-golongan tertentu yang bisa mengakibatkan keputusannya kurang adil. Di dalam masyarakat yang kapitalis/liberalis yang mempunyai prasangka terhadap pandangan hidup lainnya atau se¬baliknya, maka sifat hakim yang memihak itu akan menghasilkan keputusan-keputusan yang tidak memuaskan bagi pihak yang lain. Inilah yang disebut oleh Hans Kelsen dengan istilahnya "Klasse Justiz" Yang maksudnya bahwa hakim itu mewakili golongan tertentu yang berpengaruh dalam masyarakat dan dalam keputusan-keputusan se¬lalu menguntungkan bagi golongan-golongan. Oleh karena itu, sangatlah penting dan bermanfaat bagi para mahasiswa untuk diharuskan mempelajari mata kuliah tamba¬han untuk memenuhi kebutuhan teoritis maupun praktis.
Ilmu Negara sebagai mata kuliah pengantar mempunyai kedudukan sama dengan pangantar ilmu hukum, bedanya pengantar ilmu hukum mempunyai bidang yang lebih luas. Karena sifatnya sebagai mata kuliah persiapan maka pelajaran yang diperoleh dari Ilmu Negara tidak mempunyai nilai-nilai yang praktis melainkan mempunyai nilai yang teoritis, artinya dari pelajaran Ilmu Negara tidak dapat menggunakan hasilnya secara langsung di dalam praktek. Berbeda dengan mata kuliah pokok se¬perti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum acara dan praktek peradilan. Dihubungkan dengan pandangan Rengers Hora Siccama dalam bukunya Natuurlijkewaarheid en historische bepal heid yang maksudnya hendak membedakan kebenaran hakikat dan kenyataan sejarah maka dapat dikelompokan tugas Ahli hukum dalam dua golongan yaitu : Ahli hukum bertugas sebagai penyelidik yang hendak menda¬patkan kebenaran-kebenaran secara objektif dan untuk itu hukum tidak dapat dilaksanakan secara sendiri. Ahli hukum sebagai "de jurist als toeshhower". Sebagai pemain mengetahui kekurangan, kesalahan dari pihak pe¬main, dan mencoba untuk mencari sebab-musababnya dengan mengadakan analisa-analisa tentang peristiwa untuk menemukan cara yang lebih baik dan sempurna, dalam hal bagai¬mana hukum itu dilaksanakan. Ahli hukum bertugas sebagai pelaksana yang akan mempergu¬nakan hukum dalam keputusan-keputusannya. berbentuk : Undang-undang (Legislatif), Vonnis (Yudikatif), Eksekutif (Beschiking). disebut sebagai "de jurist als nedespeler". Berhubung keputusan-keputusan ini tergantung kepada pelak¬sananya.
Sedangkan mata kuliah, Hukum Tata Negara, Pidana, Perdata, serta hukum acaranya, berbasis pada nilai-nilai praktis, karena hasil penyelidikannya lang¬sung dapat dipergunakan di dalam praktek di mana para ahli hukum itu, sebagai pelaksana pemerintahan dalam bagiannya masing-masing. Hal ini terjadi karena objek yang diselidiki adalah hukum positif, yang berlaku pada suatu waktu di suatu tempat atau keadaan negara pada khususnya, sedangkan Ilmu Negara tidak mempunyai objek terbatas pada hukum positif tetapi menyelidiki negara pada umumnya. Dalam Ilmu Negara yang dipentingkan adalah nilai teoritisnya, maka ilmu pengetahuan ini merupakan sein¬wissenschaff sedangkan Hukum Tata Negara, Hukum Adminsitrasi Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dan sebagainya merupakan Norm-wissenscahft. Para mahasiswa yang sudah mulai mempelajari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, sudah tidak di¬terangkan lagi secara mendalam akan pengertian-pengertian dan sendi-sendi pokok tentang negara oleh karena pembahasannya sudah dianggap diketahui ketika mempelajari Ilmu Negara.
Di sinilah tugas Ilmu Negara sebagai suatu mata pelajaran pengantar yang memberikan pengertian- pengertian dan sendi-sendi pokok negara. Sehubungan dengan pendapat Reugers Hora Siccama tersebut maka dapatlah disamakan perumpamaan yang pertama sebagai tugas Ilmu Negara yang tidak mementingkan bagaimana caranya hukum itu seharusnya dijalankan melainkan mementingkan nilai teoritisnya. Ilmu Negara tidak hanya terbatas pada penguraian filosofis, politis, historis. Dalam beberapa hal penguraian politis memang diperlukan di mana keputusan-keputusan politik dalam kenyataannya seringkali menda¬hului perumusan-perumusan yuridis. Inilah sebabnya mempelajari negara dan hukum tidak dapat dipisahkan dengan keputusan-kepu¬tusan politik, karena tidak akan dapat mengetahui latar belakang dari negara dan hukum itu. Dalam beberapa uraian perlu dipergu¬nakan secara filosofis dalam persoalan yang menyinggung pandangan hidup dari suatu masyarakat yang menjadi falsafah negaranya, karena negara dan hukum berkembang dari taraf yang sederhana ke taraf yang lebih modern sehingga diperlukan penyelidikan secara historis, dan akhirnya karena sebagian besar dari pembahasan Ilmu Negara berkisar pada negara dan hukumnya, maka penyelidikannya bersifat teoritis.
Ilmu Negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian pokok tentang negara dan hukum. Maka pertama-tama yang harus dijelaskan ialah arti daripada ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan adalah hasil pemikiran manusia yang objek¬tif dan disusun secara sistematis. Suatu pengetahuan semata-mata belum merupakan suatu karya ilmiah oleh karena syarat yang per¬tama yaitu syarat objektif, tetapi ilmu pengetahuan harus dapat mengejar kebenaran yang dapat diterima umum. Syarat kedua adalah syarat sistematis, di mana pengertian-pengertian yang diperolehnya tidak boleh bercerai-berai melainkan merupakan satu kesatuan yang erat. Karena itu suatu ilmu pengetahuan dapat dikatakan ilmiah jika kedua syarat itu dapat dipenuhi. Ilmu pengetahuan itu dalam garis besarnya dapat dibagi dalam dua bagian: Ilmu pengetahuan alam (Natuunvissenschaft), Ilmu pengetahuan kerohanian (Geisteswissenschaft). Kedua ilmu pengetahuan tersebut mempunyai objek-objek penyelidikan yang berbeda. Ilmu pengetahuan alam mempunyai objek penyelidikan benda-benda mati, maka ilmu pengetahuan kemanusiaan mempunyai objek penyelidikan benda-benda hidup (manusia) yang mempunyai kehendak, pikiran, dan perasaan. Objek dari ilmu pengetahuan alam adalah benda-benda mati, maka ilmu pengetahuan itu dapat memperoleh hasil yang pasti, berbeda dengan ilmu pengetahuan kemanusiaan, maka untuk men¬capai hasil yang pasti sangat sukar sekali. Metode yang dipergunakan pada ilmu pengetahuan alam yang sifatnya nomotetis, sedangkan pada ilmu pengetahuan kemanusiaan adalah me¬tode versetehen, metode ini mempergunakan dua cara yaitu : Introspeksi atau pemeriksaan terhadap kerohanian diri sendiri. Einfulen atau ikut serta merasakan bagaimana perasaan orang lain.
Metode kedua dipakai setelah metode pertama dija¬lankan untuk diri sendiri dan kemudian menempatkan dirinya pada objek yang diselidikinya dan ikut serta merasakan. Kemajuan-kemajuan yang diperoleh ilmu pengetahuan alam membawa kepada hasil-hasil yang rnemuaskan. Pada masa sekarang, ilmu alam dipergunakan untuk menyelidiki pengetahuan kerohanian atau kemanusiaan. Aliran yang memper-gunakan metode ilmu alam dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan disebut aliran naturalisme. Aliran ini banyak terdapat di Amerika Serikat yang mempergunakan metode dan eksperimen-eksperimen (percobaan). Kegagalan pada aliran ini justru disebabkan oleh karena banyak objek yang diselidiki adalah benda-benda hidup yang mempunyai kehendak, pikiran dan perasaan. Selanjutnya tentang asas dan pengertian. Antara asas dan pengertian terdapat perbedaan dan dapat diketahui dari pandangan Van Vollenhoven mengenai Yormen Inhoud van het International Recht yang membedakan vorm sebagai bentuk atau pengertian dari hukum internasional dan inhoud sebagai isi atau asas daripada Hukum In¬ternasional. Selain Van Vollenhoven, juga Ter Haar dalam bukunya yang berjudul Begisel en Stelsel van het Adatrecht hendak menunjuk¬kan perbedaan tersebut. Begmsel diartikan sebagai asas dari hukum adat. Juga dalam karangan penulis lainnya seperti Logemann dalam Hukum Tata Negara telah membedakan antara kedua hal tersebut. la menyebutkan Formeele Stelselmatigheid sebagai pengertian ¬pengertian Hukum Tata Negara sedangkan Materieele Stelselma¬tigheid adalah sebagai asas daripada Hukum Tata Negara. Bahwa asas dan pengertian itu terdapat perbedaan hanya penguraian selanjutnya masih diperlukan. Sebagai contoh kita ambil suatu peraturan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
Suatu peraturan hukum, terbagi dua segi kehidupan manusia. Pertama berasal dari kerohanian manusia sedangkan segi lainnya berasal dari perkem¬bangan hidup masyarakatnya. Masing-masing segi itu tidak berdiri sendiri tetapi saling pengaruh mempengaruhi berjalin menjadi satu bentuk peraturan hukum. Bilamana kedua hal itu hendak dibedakan, maka perbedaan itu terletak pada sumbernya. Segi kemanusiaan bersumber pada diri manusia sendiri yang berupa pikiran dan perasaan, sedangkan segi yang lainnya terletak diluar manusia. Den¬gan kata lain kedua segi itu merupakan bahan yang diperlukan bagi pembuat undang-undang untuk membuat peraturan hukumnya. Setelah peraturan hukum terbentuk maka segi yang pertama disebut sebagai segi idiel karena sifatnya tidak nyata (abstract) dan yang kedua disebut sebagai unsur riel karena sifatnya nyata (concrete) misalnya keadaan alam sekitarnya di mana manusia itu hidup dan tradisi yang dibawa oleh masyarakat sepanjang hidupnya sebagai suatu kebiasaan atau pembawaan yang dibawa oleh manusia sejak ia dilahirkan ke dunia dalam bentuk dan jenis yang berbeda-beda sep-erti jenis laki-laki dan jenis perempuan. Keadaan alam di sekitar manusia hidup tidak senantiasa sama, misalnya dcngan adanya ma¬cam-macam musim yang terdapat di benua Eropa yang tidak terdapat di Indonesia. Karena perbedaan manusia ini, kita akan melihat per¬bedaan-perbedaan dalam peraturan hukum dalam mengatur masyarakatnya, sehingga suatu peraturan hukum yang berlaku bagi daerah yang bermusim salju tidak berlaku untuk suatu daerah yang hanya terdiri atas gurun pasir yang sepanjang tahun hanya ada panas saja. Demikian pula halnya dengan kebiasaan yang berbeda-beda menurut keadaan waktu dan tempat serta masyarakatnya.
Unsur-unsur idiel dapat bersumber pada akal pikiran manusia atau pada perasaannya. Suatu bangunan hukum, bersumber pada akal pikiran maka disebut sebagai pengertian-pengertian hukum. Dan jika bangunan hukum itu bersumber pada perasaan maka hukum itu disebut sebagai asas-asas hukum. Demikian pula dalam ilmu Negara dikenal pula asas-asas dan pengertian-pengertian mengenai Negara dan Hukum Tata Negara. Pengertian-pengertian dalam Ilmu Negara pada umumnya bersifat tetap sedangkan asasnya seringkali berubah-ubah. Perubah¬an-perubahan dalam asasnya disebabkan oleh pandangan hidup dan keduniaan dari masyarakat yang berbeda-beda. ga dalam studi lainnya, yang memasukkan negara sebagai bagian dari objek penelaahan. Ilmu negara memandang, Negara sebagai suatu sifat dari pengertiannya yang abstrak, umum dan universal yang berarti objeknya terlepas dari tempat , keadaan dan waktu, kapan dinamakan sebagai negara, bagaimana hakekatnya, dalam penyelidikan yang meliputi asal usul negara, hakekat negara, serta bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Para sarjana berbeda pandangan dalam melihat Ilmu Negara dalam pengertian yang abstrak, umum dan universal, karena perhatiannya tidak hanya bertumpu pada suatu negara tertentu saja, yang telah mempunyai objek tertentu. Namun demikian seorang sarjana Jerman George Jellenik, dalam bukunya yang sangat terkenal Algemeine Staatslehre. Dengan suatu sistematik yang teratur, meliputi yakni pertama disebutnya sebagai Staatswissenschaft (pengertian sempit), dikenal juga sebagai ilmu kenegaraan., dibagi dalam dua bagian yakni, a) Algemeine Staastlehre (ilmu negara umum), masih dibagi lagi dalam dua bagian yakni Algemeine Soziale Staatslehre. Menyelidiki negara sebagai gezala sosial, dan dapat disamakan dengan perkumpulan-perkumpulan sosial, sehingga negara mempunyai sifat sosial. Algemeine Staatsrechtslehre. Yakni menyelidiki negara dalam artian yuridis. b) Besondere Staatslehre (ilmu negara khusus). Rechtswissenschaft (pengertian luas), dibagi dalam dua bagian, yakni 1) Indivuduelle Staatslehre. Penyeledikannya ditujukan kepada suatu negara tertentu, yang konkrit, dari negara itu dapat dipelajari lembaga lembaga negaranya, Peradilan serta beberapa ciri khas lainnya. 2) Spezielle Staatslehre. Penyelidikannya ditujukan kepada negara dalam pengertian umum, serta lembaga-lembaga perwakilannya yang dipelajari secara khusus. Dengan demikian maka George Jellenik, yang pertama sekali menemukan Ilmu negara sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri, dan kerapkali juga disebut sebagai Bapak Ilmu Negara, karena Klisifikasi yang diperkenalkannya.
B. Ilmu Negara dan Ilmu Lainnya.
Ilmu negara sejak dahulu telah diajarkan, dan baru pada permu¬laan abad ke XX, disusun sebagai ilmu pengetahuan secara sistematis oleh George Jellinek di Jerman dalam bukunya Allgemeine Staatslehre. karena karyanya itulah mendapat sebutan sebagai Bapak dari Ilmu Negara yang merupakan pedoman (legger dan standardwork) bagi para sarjana untuk mengetahui keadaan negara pada masa yang silam dan merupakan sandaran bagi penyelidikan tentang keadaan negara pada masa yang datang. Apakah sebelum Jellinek, Ilmu Negara itu sudah diajarkan secara ilmiah, orang masih meragukan, karena sebelum itu ilmu negara belum merupakan suatu ilmu penge¬tahuan yang berdiri sendiri dan sifatnya masih discriptief atau men-cakup segala pengetahuan yang berhubungan dengan negara. Per¬soalan yang menyangkut dengan agama, politik, kebudayaan, moral, ekonomi dan sebagainya yang berhubungan dengan negara dimasuk¬kan dalam pembicaraan Ilmu Negara. Hal ini dapat diketahui dari karangan Plato dan Aristoteles dalam bukunya berjudul Politea dan Politica yang membicarakan segala persoalan-persoalan negara di dalamnya. Keadaan ini dapat dimengerti mengingat objek dari penyelidi¬kan ilmu pengetahuan itu masih terbatas pada negara kota (polis) yang penduduknya mempunyai jumlah masih kecil dan tujuan dari ilmu pengetahuan itu pun didasarkan atas kebutuhan masyarakatnya yang bclum kompleks. Segala persoalan-persoalan yang berhubung-an dengan agama, moral, kesenian, perekonomian rakyat, kebuda¬yaan, pendidikan dan sebagainya, dapat dimasukkan di dalamnya dan hasil daripada ilmu pengetahuan itu hendak mendidik setiap warga negara kota agar mereka dapat melaksanakan eclessia dengan baik. Jelas bahwa pemisahan akan ilmu pengetahuan menjadi ilmu penge¬tahuan yang berdiri sendiri masih belum terasa benar sebagai kebu¬tuhan pada waktu itu. Akan tetapi dengan makin luasnya wilayah negara serta makin banyak jumlah penduduknya yang akan mem¬bawa akibat banyaknya kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang me¬merlukan penyelidikan khusus yang lebih teliti dalam bidangnya masing-masing, maka timbullah kebutuhan akan mengadakan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Perubahan¬perubahan dalam masyarakat telah diajarkan oleh Herbert Spencer dengan teori revolusinya yaitu bahwa perkembangan masyarakat dari tingkat yang masih sederhana ke tingkat yang modern akan melalui tahap-tahap sebagai berikut : Differensiasi, Determinasi, Spesialisasi, Integrasi. Masyarakat yang masih sederhana belum memerlukan banyak pembagian kerja dalam memenuhi kebutuhannya dan setiap orang dapat melaksanakan beberapa bidang pekerjaan. Makin maju masyarakat itu makin banyak kebutuhan-kebutuhan yang terasa olehnya karena masyarakat itu menjadi semakin kompleks. Akibat¬nya untuk dapat memenuhi kebutuhannya agar lebih efektif, maka diakanlah pembagian kerja di dalam masyarakat. Agar dalam pembagian kerja masing-masing dapat dicapai hasil yang memuaskan, maka ilmu pengetahuan mengadakan penyelidikan-penyelidikan Lhusus dan sejak itulah dimulai dan munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan (diforerrsinsi). Cabang-cahang ilmu pengetahuan itu pada hakikatnya hendak meningkatkan efisiensi tenaga kerja manusia dalam memenuhi ke¬butuhannya lebih sempurna. Karena itu dalam masyarakat yang se¬dang berkembang nampak seperti sudah ditentukan bidang peker¬jaannya masing-masing, misalnya : bidang produksi, distribusi dan sebagainya. Objek Ilmu negara umum, adalah negara sebagai buah penyelidikan Ilmu negara umum, dan mencoba untuk mengikuti tumbuh, wujud dan bentuk-bentuk negara, dan juga tentang negara yang khusus terjadi pada negara tertentu.
Masyarakat yang telah mencapai taraf perkembangan itu dise¬but determinasi, tetapi kemudian oleh negara karena makin pesatnya kemajuan masyarakat maka masih terasa bahwa determinasi dalam organisasi masyarakat itu masih belum memuaskan, sebab dalam pembagian pekerjaan masih perlu diadakan pemisahan lagi yang berbentuk spesialisasi. Dengan demikian rnasyarakat menjadi lebih terperinci lagi dalam bidang-bidang peker¬jaan yang memerlukan keahlian yang khusus. Kemungkinan karena bidang-bidang pekerjaan sudah menjadi banyak, maka akibat yang dapat ditimbulkan ialah bahwa hubungan antara bagian-bagian yang kecil dengan yang pokok menjadi kabur. Karena itu timbul usaha dari masyarakat untuk mengadakan penyatuan (integrasi) dari bagian¬-bagian yang bercerai-berai itu. Dengan membenarkan ajaran Herbert Spencer, maka dalam ilmu pengetahuan juga dialami perkembangan ke arah pcrincian dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, sebagai contoh dapat diambil perkembangan dalam ilmu pengetahuan hukum. Waktu hukum Romawi sangat berpengaruh di Eropa, maka orang hanya mengenal hukum yang berlaku sebagai hukum privat saja. Hukum Romawi belum mengenal hukum publik sebagai ilmu yang mengatur hubungan antara pihak penguasa de¬ngan rakyatnya; dan hubungan hukumnya bersifat pcrseorangan. Sifat keperdataan dari hukum Romawi itu mempengaruhi jalan piki¬ran dari para sarjana hukum di Eropa sehingga sistematik dan metode yang dipergunakan dalam menyelidiki hukum tata negara dengan mempergunakan metode dari hukum perdata. Baru Sesudah aliran Deutsche Publizisten Schule yang dipe¬lopori oleh Paul Laband dan Von Gerber, maka orang mulai sadar bahwa dalam ilmu hukum perlu diadakan pemisahan antara hukum publik dan hukum perdata. Aliran Deutsche Publizisten Schtrle yang timbul di Jerman sebagai akibat dari paham kedaulatan negara meng¬anggap bahwa negara adalah satu-satunya badan yang berdaulat yang merupakan sumber dari semua peraturan hukum yang berlaku di dalam negara. Karena sifat peraturan hukumnya yang menunjukkan tendensi ke arah pemerintah (Bevelsrecht), maka sejak itu diperlukan adanya pemisahan antara pengertian hukum publik dan hukum per¬data.
Walaupun dalam tinjauannya Jellinek melihat negara dari sudut sosiologis dan yuridis, namun sebagian besar dari uraiannya berkisar di bidang yuridis, tinjauan terhadap negara itu tidak terbatas pada dua segi saja, tetapi bisa ditinjau dari banyak segi seperti kebudayaan, agama, moral dan sebagainya. Selain itu pandangan Jellinek tidak dinamis, karena kurang memperhatikan perkembangan negara sebagai salah satu bangunan masyarakat yang hidup dan saling pengaruh-mempengaruhi dengan bagunan lainnya. Dalam judul bukunya Allgemeine Staatslehre, diperoleh pengertian-pengertian umum dan khusus yang berlaku bagi negara-negara di seluruh dunia. Justru segi inilah Jellinek menunjukkan kelemahannya oleh karena kurang mem¬perhatikan faktor-faktor lain yang hidup dalam negara yang mem¬pengaruhi pertumbuhan negara. Lebih-lebih faktor-faktor lain ber¬sifat khusus yang sifatnya berbeda-beda pada tiap negara, sehingga pengaruhnya pun berbeda pula bagi masing-masing negara. Penger¬tian umum yang berlaku bagi setiap negara tidak mengakui adanya faktor-faktor khusus yang justru penting dalam mempengaruhi perkembangan negara. Dalam buku Herman Heller yang berjudul Staatslehr-e itu lebih menitikberatkan pengertian ilmu negara dari sesuatu negara yang lebih menyesuaikan dirinya dengan perkem¬bangan dan mempunyai ciri-ciri yang khusus yang mungkin tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Dalam hal ini Herman Heller menunjukkan pengaruh-pengaruh alam serta kebudayaan sekitar negara itu dengan ucapannya Natur und Kulturbendingungen. Akibat dari pengaruh paham August Comte dalam filsafatnya yang positif itu maka banyak para sarjana yang mengubah cara penyelidikannya dalam ilmu pengetahuan masyarakat yang semula bersifat deduktif spekulatif menjadi empiris analitis yang melihat kepada kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Metode ini yang mendorong penyelidikan ilmiah secara sosiologis. Juga dalam penyelidikan negara, metode ini dipergunakan. mengingat negara sebagai bangunan masyarakat yang nyata serta mempunvai hubungan fungsional dengan masyarakat, karena tidak mungkin negara hanya diselidiki dari sudut yuridis semata-mata. Sejak Her¬man Heller maka banyak para sarjana didorong untuk mengadakan penyelidikan terhadap negara vang disebut ilmu politik, dan ilmu pengetahuan ini merupakan ilmu pengetahuan politik menurut pa-ham Jellinek. Suatu aliran yang menyelidiki negara dan hukum dengan hanya mempergunakan satu metode saja yaitu metode yuridis adalah aliran yang dipimpin oleh Hans Kelsen, mengemukakan bahwa ilmu penge¬tahuan hukum telah merosot disebabkan metode syncretismus (suatu metode yang mencampuradukkan macam-macam metode), oleh karena metode yang dipakai seharusnya ditentukan oleh sifat dari¬ objek yang diselidiki. Bagi ilmu pengetahuan negara dan hukum, metode yang harus dipakai adalah metode yuridis normatief dan metode lainnya tidak bisa dipergunakan. Inilah maksud Hans Kelsen untuk membersihkan ilmu pengetahuan dari metode ¬metode yang tidak sesuai dengan sifat hukum yang menjadi objek penyelidikan.
Hans Kelsen, berkesimpulan bahwa negara itu identik dengan hukum. Di sinilah letak kelemahan dari ajaran Hans Kelsen yang dikecam olch E. Niemeyer dengan pendapatnya : Stnntslehre ohne Slaw dan Rechtislehreohne Recht. Maksud dari kecaman yang ditujukan kepada Hans Kelsen ialah bagaimana orang dapat membuat ilmu pengetahuan negara tanpa negara dan ilmu pengetahuan hukum tanpa hukum. Niemeyer hendak menunjukkan bahwa hukum dan negara, mempunyai hubungan yang erat sekali dengan masyarakat dan tidak bisa diselidiki dengan melepaskan diri dari faktor masyarakat. Sejak pe¬ngaruh dari Herman Heller. Menurutnya bilamana berpegangan pada ajaran Hans Kelsen, maka Ilmu negara sebenarnya terlalu abstrak, tidak konkrit, seolah olah tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Ajaran Kelsen mendapat kritikan dari Nelson. Dikemukakan bahwa ajaran Hans Kelsen terlampau mengenyampingkan keadilan, walaupun tinjauan yuridis juga bermanfaat.
Maka di Eropa mulai timbul ilmu penge¬tahuan politik yang berdiri sendiri. Di Negeri Belanda telah didirikan fakultas ketujuh (Zeven de fnkultns) atau juga disebut sebagai Fnkrtlteit der socicrle en politieke wetenscilnppen dan ilmu politik merupakan salah satu matapelajaran pokok. Dalam salah satu pernyataan dari Barents yang berjudul Wetenschapterderpolitiek telah merumuskan ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki kehidupan dari negara. Hoetink telah menulis dalam kata pengantarnya yang menye¬butkan bahwa ilmu politik itu adalah semacam sosiologi dari negara. Karena menganggap ilmu politik sebagai bagian dari ilmu sosiologi. Selanjutnya dikatakan olehnya bahwa ilmu negara dan hukum tata negara menyelidiki kerangka yuridis dari negara, sedangkan ilmu politik menyelidiki bagian-nya yang ada di sekitar kerangka itu. Dengan perumpamaan itu Hoetink telah menunjukkan betapa eratnya hubungan antara ilmu negara dengan ilmu politik, oleh karena kedua-duanya itu mempunyai objek penyelidikan yang sama yaitu negara, hanya bagiannya terletak dalam metode yang dipergunakan. Ilmu negara mempergu-nakan metode yuridis sedangkan ilmu politik mempergunakan me¬tode sosiologis.Menurut paham Eropa Kontinental, ilmu politik itu merupakan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari Ilmu Kenegaraan (Applied Science) dan kemudian ilmu politik menjadi ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri terpisah daripada ilmu negara dan ilmu kenegaraan karena pengaruh dari sosiologi. Bagaimanakah keadaan ilmu politik di negara Anglo Saxon. Di Inggris ilmu pengetahuan politik (political science) lebih terkenal dari ilmu negara dan ilmu negara itu asing sama sekali bagi negara-negara Anglo Saxon dan istilah-istilah yang dipergunakan juga adalah lain. Seperti ilmu negara dipakainya istilah General Theory of State dan Ilmu Kenegaraan dipakainya istilah General Science. Istilah ini dapat dijumpai dalam buku Contemporary of Po¬litical Science yang dikeluarkan oleh Unesco. bagi negara ¬negara Anglo Saxon yang sentral adalah Political Science dan bukan Ilmu Negara atau Ilmu Kenegaraan.
Mengenai perbedaan antara ilmu politik dan ilmu negara terdapat bermacam-macam pendapat. Herman Heller telah menyimpulkan pelbagai pendapat dalam Encyclopaedia of the Social Sciences: Sebagian sarjana menganggap ilmu politik sebagai "suatu ilmu pengetahuan praktis yang membahas keadaan dalam kenya-taan" (realistis), sedangkan ilmu negara dinamakan ilmu pe¬ngetahuan teoritis yang sangat mementingkan segi normatif (normatif berarti memenuhi norma-norma dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan). Menurut Herman Heller perbedaan ini hanya perbedaan tekanan saja, sebab ilmu politik tidak dapat menjauhkan diri dari teori, dan juga memperhatikan segi normatif, sekalipun tidak sedalam ilmu negara. Ada segolongan sarjana yang menganggap bahwa ilmu politik mementingkan "sifat-sifat dinamis dari negara", yaitu proses¬ kegiatan dan aktivitas negara; perubahan negara yang terus-menerus yang disebabkan oleh golongan-golongan yang memperjuangkan kekuasaan. Subyek ilmu politik ialah gerakan-gerakan dan kekuatan-kekuatan di belakang evolusi yang terus-menerus. Sebaliknya, oleh sarjana-sarjana itu ilmu negara dianggap lebih mementingkan "segi-segi statis dari negara" seolah-olah negara adalah beku, dan membatasi diri pada penelitian lembaga kenegaraan yang resmi.
Sains politik (political science) merupakan ilmu pengetahuan yang mencakup persoalan yang berhubungan dengan negara, jadi sama halnya dengan paham Yunani Kuno. Oleh karena itu, ilmu politik disebut sebagai Master of Science. Antara paham Inggris dan paham Amerika Serikat terdapat perbedaan dalam metode. Metode yang terkenal menurut paham Inggris masih tradisional dan konser¬vatif karena menganut sistem Universitas Sorbonne di Perancis yang dipengaruhi oleh paham Yunani Kuno. Sedangkan sistem Amerika Serikat sudah mempergunakan metode modern yang terdiri atas metode empiris analistis dan eksperimen. Berbeda dengan di Inggris, maka ilmu politik di Amerika Serikat sudah mempunyai pengertian yang lebih khusus lagi oleh karena objek penyelidikannya itu sudah ditunjukkan terhadap gejala-gejala tertentu yang berhubungan de¬ngan negara-negara lain. Gejala-gejala ini adalah perebutan kekuasaan yang sangat menonjol di Amerika Serikat antara partai-partai dan grup dalam usaha untuk mempengaruhi haluan dari Negara. Kemajuan tersebut menyebutkan bertambah kompleksnya kehidupan di dalam¬nya yang mendorong manusia untuk mengadakan penyelidikan khu¬sus terhadap gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat. Demikian¬lah ilmu politik menurut paham Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris dan objek dari penyelidikannya itu sudah dipersempit, karena terbatas pada perjuangan untuk memperoleh kedudukan dalam Negara untuk dapat menentukan haluan dari negara. Di Indonesia kedudukan ilmu politik telah berkembang ke arah ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Hal ini terutama dise¬babkan oleh kehidupan politik di Indonesia sangat pesat perkem-bangannya sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Juga ilmu politik sudah menjadi populer di Indonesia dengan timbulnya fakultas-fakultas sosial dan politik yang memberi kesem¬patan sebaik-baiknya bagi bangsa Indonesia untuk mempelajarinya sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Terkait dengan Ilmu politik, dan kehidupan politik, maka dapat diikuti pandangan Djokosoetono, bahwa pandangan hidup atau keyakinan atau ideology, sangat mempengaruhi pendapat dan buah pikiran seseorang. Penggunaan ideology dalam lapangan politik yang pertama kali adalah Napoleon, selanjutnya Karl Marx.
Dalam sejarah ketatanegaraan pengertian tentang negara senantiasa berubah-ubah. Hal ini disebabkan oleh karena pengertian itu dilahirkan menurut panggilan zamannya dan juga karena alam pikiran dari penciptanya tidak bebas dari kenyataan-kenyataan hidup di sekitarnya. Kenyataan-kenyataan itu dapat berupa agama, aliran-aliran atau paham-paham lainnya yang mempengaruhi manusia dalam pandangan hidupnya. Dari pandang¬an hidupnya itu muncul pengertian-pengertian tentang negara. Oleh karena pengertian-pengertian itu dilahirkan dari berbagai-bagai ma¬ram aliran atau paham maka tidak heran lagi jika pengertian tentang negara itu berbeda-beda sepanjang perkembangan se¬jarah yang berbeda-beda. Negara itu diadakan bukan dengan sendirinya berdiri, tetapi karena manusia yang menghendakinya, dari berbagai peristiwa. Karena Negara adalah bentuk dari pergaulan hidup manusia. Berdasarkan kemauan rakyatnya, maka Negara itu lahir, dengan syarat-syarat lainnya yakni ada daerah dan kekuasaan yang berdaulat.
Pada zaman Yunani Kuno para ahli pikir telah mencari perumusan itu dan diantaranya adalah Aristoteles yang hidup pada tahun 384-322 Sebelum Masehi yang telah merumuskan arti negara dalam buku yang berjudul Politica. Dalam perumusannya itu pan¬dangan Aristoteles masih terikat pada wilayah yang kecil yang disebut polis (negara menurut paham sekarang). Sedangkan negara menurut paham sekarang telah mempunyai wilayah yang luas sekali dan de¬ngan jumlah penduduk yang besar. Karena Aristoteles terikat pada negara kota yang kecil dan mempunyai jumlah penduduk yang kecil, maka ia merumuskan negara sebagai negara hukum yang di dalamnya terdapat sejumlah warga negara yang ikut serta dalam permusya-waralan negara (ecclesia). Yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum, yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat hagi terca¬painya kebahagiaan hidup warga negara yang baik. Demikian pula dengan hukum yang sebenarnya di mana peraturan itu mencer-minkan keadilan bagi pergaulan hidup antara warga negaranya. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil sedang penguasa sebenarnya hanya pe¬megang hukum dan keseimbangan saja. Morallah yang akan menentukan baik dan tidaknya sesuatu peraturan undang-undang, dan membuat undang-undang adalah se¬bagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu, menurut Aristoteles, yang penting ialah mendidik rnanusia menjadi warga negara yang baik karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya. Ajaran Aristoteles ini sampai sekarang masih menjadi idam-idaman bagi para negarawan untuk menciptakan negara hukum. Sejak zaman Yunani maupun Romawi, ditemukan makna Civitas, hal ini disebabkan Romawi sudah berubah, dengan sistim Gubernur, Provinsi. Istilah Res Publica, bermakna sebagai kedaulatan rakyat. Pada masa itu dimaksudkan adalah tentang negara. Dengan segala aktivitasnya.
Kewibawaan yang menyebabkan negara sebagai organisasi da¬pat hidup abadi. Dengan perkataan lain, kewibawaan itu tidak tergantung kepada siapa yang memerintahkannya, apakah yang memer¬intah itu bangsa lain ataukah yang memerintah itu bangsa sendiri, yang menjadi pokok ialah bahwa negara itu berwibawa dan buktinya segala perintahnya itu dipatuhi dan ditaati oleh rakyatnya. Dalam arti lain Logemann dapat dibenarkan karena arti dari¬pada kewibawaan ialah kekuasaan yang dapat diterima oleh rakyat¬. Akan tetapi tidak boleh kita lupakan bahwa dibalik kekuasaan negara-negara jajahan itu tersembunyi tujuan-tujuan yang tidak dapat dibenarkan sehingga kewibawaan itu hanya sekedar sebagai ke¬dokk menutupi/menghalalkan tujuan yang sebenarnya.
Dalam hal ini paham daripada Kranenburg adalah lebih pro¬gresif, dalam bukunya Algemeine Staatlehre. Kranenburg meru¬muskan arti negara sebagai suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan/bangsanya sendiri. Pengertian ini rnencerminkan kepada negara-negara nasional. Memang dapat dihenarkan apa yang dikatakan oleh Kranenburg itu, oleh karena itu Hidup dalam lingkungan negara-negara merdeka di Eropa. Peru¬musannya itu bisa diterima oleh negara-negara yang baru merdeka atau negara-negara yang masih dijajah, lebih-lebih dalam abad ke XX, ini di mana di seluruh pelosok dunia ini sedang berkobar gerakan kemerdekaan. Kemudian beberapa pengertian negara dari beberapa sarjana terkenal lainnya adalah sebagai berikut :
1. Roger H. Soltau
"Negara adalah alat agency atau wewenang/authority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat" (The state is an agency or authority managing or controlling these (Common) affairs on behalf of and in the name of the community).
2. Harold J. Laski
"Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang meru¬pakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk men¬capai terkabulnya keinginan- keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi diten¬tukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengi¬kat" (The state is a society which is in integrated by possesing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society. A society la a group of human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society is a state when the way of life to which both individuals and associations must conform is defined by a coercive authority binding upon them all).
3. Max Weber
"Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah" (The state is a human society that (succesfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory).
4. Robert M. Mac Iver
"Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan ber¬dasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pe¬merintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan me¬maksa" (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order).
5. Miriam Budiardjo
"Negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diper¬intah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan pe¬rundang-undangannya meialui penguasaan (kontrol) mono-polistis dari kekuasaan yang sah.

Negara merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Alat itu berupa organisasi yang berwibawa. Organisasi di sini diartikan sebagai bentuk bersama yang bersifat tetap. Kewibawaan menunjukkan bahwa organisasi itu ditaati oleh rakyat, akan tetapi tidak cukup kiranya jika negara itu hanya meru¬pakan alat semata-mata untuk meneapai suatu tujuan. Jika tujuan itu telah tercapai, maka negara itu tidak berarti lagi. Hal ini tidak bisa dibenarkan, jika kita masih menghadapi kesatuan¬-kesatuan bangsa yang hidup di dalam dunia ini. Bangsa- bangsa ini memerlukan tempat di mana mereka harus bernaung dan berlindung. Untuk menjamin warga negaranya maka negara itu merupakan alat untuk mempersatukan bangsanya sebagai tempat berlidung. Wood¬row Wilson telah memberi perumusan sebagai berikut: A State is n people organised forif within a define territory. Perumusan ini adalah lengkap karena mengandung unsur-unsur seperti organisasi kewi¬bawaan dan tempat. Terlepas dari pengertian-pengertian tentang negara, perlu ki¬ranya diketahui apakah sifat hakekat daripada negara. Sifat hakikat daripada negara senantiasa sama walau bagaimanapun coraknya negara itu. Sebagai organisasi di dalam masyarakat ia dibedakan daripada organisasi-organisasi lainnya karena negara mempunyai sifat-sifat yang khusus. Kekhususannya terletak pada monopoli dari kekuasaan jasmaniah yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lainnya seperti gereja, partai, perserikatan-perserikatan lainnya. Negara dapat menjatuhkan hukuman mati. Selain itu negara dapat mewajibkan warga negaranya untuk mengangkat senjata kalau negeri itu diserang oleh musuh. Kewajiban itu berlaku juga bagi warga negara yang ada di luar negeri. Juga negara dapat memungut pajak dan menentukan mata uang yang berlaku di dalam wilayahnya.
Miriam Budiardjo, lebih jelas menguraikan sifat hakekat negara sebagai berikut Sifat Memaksa. Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penerbitan dalam masyarakat tercapai serta timbul¬nya anarki dapat dicegah, maka dengan memiliki sifat me¬maksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai ke¬kerasan fisik secara legal. Sarana untuk itu adalah polisi, ten¬tara, dan sebagainya. Organisasi dan asosiasi yang lain dari negara juga mempunyai aturan; akan tetapi aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara lebih mengikat. Di dalam masyarakat yang bersifat homogen dan ada konsen¬sus nasional yang kuat mengenai tujuan-tujuan bersama, bia¬sanya sifat paksaan ini tidak perlu begitu menonjol; akan tetapi di negara- negara baru yang kebanyakan belum homogen dan konsensus nasionalnya kurang kuat, seringkali sifat paksaan ini akan lebih tampak. Dalam hal demikian di negara demokratis tetap disadari bahwa paksaan hendaknya dipakai seminimal mungkin dan sedapat-dapatnya dipakai persuasi (meyakin¬kan). Lagi pula pemakaian paksaan secara ketat selain memer¬lukan organisasi yang ketat juga memerlukan biaya yang tinggi. Unsur paksa dapat dilihat misalnya pada ketentuan tentang pajak. Setiap warganegara harus membayar pajak dan orang yang menghindari kewajiban ini dapat dikenakan denda, atau disita miliknya atau di beberapa negara malahan dapat dikenakan hukuman kurungan. Sifat Monopoli. Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan ber¬sama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat me¬nyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan, oleh karena diang¬gap bertentangan dengan tujuan masyarakat. Sifat Mencakup Semua (all-encompassing all-embracing).
Tujuan Negara pada masa lalu adalah untuk menjaga agar warganya dapat aman dari berbagai gangguan, serangan baik hewan, maupun manusia kelompok lainnya. Hal demikian telah bergeser sejak makna organisasi Negara diabad pertengahan, yakni Negara bertujuan dan berkewajiban untuk mensejahterakan warganya. Dikenal juga sebagai Walfare State. Dalam upaya percepatan kesejahteraan rakyat itulah, maka telah muncul model Self Government.
Suatu perkembangan terkini di Eropa dan Amerika Serikat, pemahaman baru mengenai “Self Government”, diselenggarakan oleh suatu state/provinsi dalam suatu negara. Walaupun demikian, dalam kenyataannya ternyata mampu dan berhasil melaksanakan sistem parlementer beraja seperti berlaku di Monaco di bawah pimpinan Raja (symbol negara)dan Menteri utama: yang pelaksanaannya persis seperti pimpinan pemerintahan suatu negara. Dengan paksa status penguasa di daerah provinsi yang menyelenggarakan Self Government, dipangku oleh Perdana Menteri, seperti yang berjalan di Greenland dan Faero (Denmark). Demikian juga di Skotlandia ,sebelum diubah kepada sebutan Menteri utama pada Tahun 1998. Jabatan Presiden, seperti yang berjalan di Palestina dan Bougainville. Wujud bentuk pemerintahan tersebut, dimaksudkan sebagai wadah untuk mengatur kehidupan bernegara agar tercipta rasa harmonis, aman-sentosa, makmur dan sejahtera, walaupun ada sebagian penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan.
Dalam sejarahnya, bentuk pemerintahan yang paling dibenci rakyat adalah pemerintahan monarki; karena raja/ratu merumuskan legal system, sistem perekonomian dan politik semata-mata untuk kepentingan melindungi dan menguntungkan diri dan kerabatnya. Keadaan ini berlaku dalam rentang masa yang panjang dan baru bertukar, setelah terjadi perubahan mendasar (mengurangi kuasa raja/ratu, diadakan pembagian dan pemisahan kekuasaan) dan mengamalkan sistem demokrasi di pertengahan tahun 1800-an. Pada gilirannya setelah pemerintahan monarki menerapkan sistem parlementer beraja (tetap menghidupkan institusi raja/ratu) ternyata membanggakan. Ini terbukti dari keberhasilan beberapa negara di kawasan Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia, Island) dalam mensejahterakan rakyatnya. Beberapa tahun kebelakangan ini, negara, negara di Scandinavia selalu menempati rangking lima besar dalam rekor PBB, sebagai negara terbaik dunia dalam hal menjalankan roda administrasi pemerintahan dan kejayaan mereka untuk mensejahterakan rakyat. Misalnya saja, UNDP telah mendeklarasikan 10 negara di dunia secara berurut, yakni Norwegia, Australia, Island, Kanada, Iralandia, Belanda, Swedia, Prancis, Swiss dan Jepang dinilai sebagai negara-negara yang paling berhasil dalam mengurus administrasi negara dan mensejahterakan rakyatnya. Dari sepuluh negara, tiga negara diantaranya terdapat di wilayah Scandinavia. Hanya Denmark saja, yang pada tahun 2009 ini menempati urutan ke-16. Sebelumnya selalu masuk dalam rangking 5 besar sebagai negara yang paling harmonis, aman dan sejahtera di dunia. Di lihat dari kacamata Eropa, 7 dari 10 negara terbaik di dunia berdasarkan rekor tahun 2000, terdapat di Eropa.
Salah satu kuncinya adalah pelaksanaan sistem ekonomi bebas dan demokrasi, yang memberi kebebasan kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri. demokrasi terhubung langsung dengan Self Government. Dalam konteks inilah, Pierre Manent mengatakan dalam: “Democracy without Nations? The Fate Self-Government in Europe” bahwa “Self-Government adalah demokrasi yang bisa diwujudkan tanpa negara (Democration without Nations?)” dengan mengambil studi banding. Terlepas dari pertimbangan apapun, pelaksanaan Self-Government yang disaksikan sekarang, tidak bisa dilupakan sejarahnya dalam kancah penyelenggaraan administrasi pemerintahan suatu negara. Ia hanya hadir atas dasar desakan-desakan dari lapisan bawah (politisi daerah) kepada pemerintah pusat yang diinginkan perubahan mendasar tentang kebijakan politik, hukum dan ekonomi dalam menjalankan roda pemerintahan. Untuk maksud ini, diisyaratkan perlunya pengetahuan dan pemahaman tentang demokrasi, Hak-hak manusia yang mengakui kebebasan mengeluarkan pendapat dan berorganisasi dan hak-hak warga negara. Bahkan maksud dan hakikat dari falsafah negarapun harus ditafsirkan lebih fleksibel, demi menghargai dan menghormati nilai-nilai demokrasi yang universal dan manusiawi. Sebagai contoh, Self-Government untuk penduduk asli di Kanada, yang boleh dikatakan sebagai penyelenggaraan Self-Government pertama (bukan yang pertama di negara Kanada). Inggris memberlakukan “British Columbia Treaty” di Kanada, “Undang-undang Waka Umanga” di New Zealand, serta “Akta pengorganisasian kembali suku Indian” di Amerika yang memberi ruang gerak kepada etnik masing-masing dalam negerinya untuk bebas mengatur diri-sendiri tanpa ikut campur dari pemerintah pusat. Hak tersebut baru terwujud setelah terjadi desakan-desakan hebat kepada pemerintah pusat (rezim London). Tentang pemberian izin dari pemerintah Inggris kepada Amerika, dalam literature sejarah Amerika, diungkapkan secara lain yang bahwasanya: “ide Self-Government di USA dan Newe Zealand mengadopsi falsafah dan teori bernegara di Eropa umumnya yang diperuntukkan kepada koloni Inggris di Amerika dan New Zealand.
Pada masa kini, demokrasi nampaknya telah mencatat kemenangan historis atas bentuk-bentuk pemerintahan yang lain. Dewasa ini hamper setiap orang mengaku sebagai seorang demokrat. Semua jenis rezim politik di seluruh dunia mengklaim sebagai rezim demokrat. Dalam suatu masa di mana cara cara tradisional dalam memecahkan pertentangan nilai diperlakukan dengan sangat hati hati. Demokrasi memberikan pancaran legitimasi pada kehidupan modern. Hukum, undang undang dan politik kelihatan absah, ketika semua itu bersifat demokratis. Tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Mayoritas pemikir politik dari Yunani Kuno, hingga dewasa ini sangat kritis terhadap teori dan praktek demokrasi. Sepanjang abad ke 19 dan ke 20 para teoritikus demokrasi cenderung mengasumsikan suatu hubungan”simetris dan sebangun” antara para pembuat keputusan politik dan penerima penerima keputusan politik. Sejalan dengan tujuan Negara diabad modern, maka setiap Pemerintahan suatu negara, dapat diketahui telah menerapkan suatu konsep yang modern yang disebut “reinventing gobernment” yang dikemukakan oleh Osborne dan Gabler, yakni;
1. Pemerintahan Katalis: Fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah daerah harus menyediakan (providing) beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Sebaiknya pemerintah daerah memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (LSM dan nonprofit lainnya).
2. Pemerintahan milik masyarakat: memberi wewenang (pada masyarakat) daripada melayani. Pemerintah daerah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang mandiri (community self-help).
3. Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik. Kompensasi adalah salah satu cara untuk menghemat biaya sekaligus untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
5. Pemerintah yang berorientasi hasil: membiayai hasil bukan masukan.
6. Pemerintah yang berorientasi pada pelanggan, yakni pelayanan yang diberikan adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan birokrat.
7. Pemerintah wirausaha yang mampu memberikan pendapatan bukan hanya sekedar membelanjakannya.
8. Pemerintahan yang antisipatif, yaitu berupaya untuk mencegah daripada mengobati.
9. Pemerintahan desentralisasi menuju partisipatif dan tim kerja.
10. Pemerintahan yang berorientasi pada (mekanisme) pasar yang mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insetif) dan bukan dengan mekanisme administrasi (sistem prosedur dan bukan pemaksaan).

4 komentar:

  1. pak bagaimana sih perkembangan ilmu negara dalam praktek dunia modern ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kmu ank hukum asli iya di UNEJ ???

      Hapus
  2. kalau perkembangan ilmu negara dalam praktek dunia modern gimana ???

    BalasHapus