Sabtu, 07 November 2009

BAB III
PIDANA PENJARA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
1.Sejarah Pidana Penjara.
Ketika kehidupan masih sederhana, setiap pelanggar hukum dapat diselesaikan pada saat itu juga. Pemimpin formal bertindak sebagai hakim, dalam menyelesaikan konflik segera setelah perbuatan dilakukan, sehingga tidak diperlukan tempat untuk menahan para terpidana untuk menunggu pelaksanaan hukuman. Semakin kompleknya kehidupan masyarakat, maka fungsi penahanan selama menunggu putusan hakim telah berobah dengan lahirnya pidana hilang kemerdekaan. Dalam sejarahnya kemudian fungsi bangunan penjara sebagai bangunan yang evektivitasnya diperdebatkan hingga di era modern sekarang ini.
Pidana penjara, pada mulanya direncanakan semata-mata untuk kejahatan dolus yaitu kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan kesengajaan, karena pada masa itu ,ketika membahas kitab undang-undang hukum pidana ternyata tidak ada kepastian mengenai batas antara kesengajaan dan kealpaan, maka pidana penjara juga ditentukan sebagai alternatif disamping pidana kurungan pada kejahatan-kejahatan culpoos yaitu kejahatan-kejahatan yang dilakukan karena kealpaan. Dalam menentukan pidana penjara menurut Van Bemmelen, yakni hukuman pidana penjara seumur hidup, atau untuk sementara, maksimum pidana penjara lima belas tahun , tetapi bilamana berlaku pidana berencana terancam dengan hukuman pidana seumur hidup, tentang perbarengan, residivis, kejahatan jabatan, maka maksimumnya adalah dua puluh tahun, sedangkan minimum pidana penjara dan tahanan adalah satu hari. Jadi hakim diberi kebebasan dalam menentukan jangka waktu dari pidana, dengan memilih antara minimum satu hari sebagaimana yang diancamkan oleh undang-undang terhadap delik tersebut. Selanjutnya lintasan munculnya sistim pemidanaan dengan penggunaan penjara dapat diketahui dari Kodifikasi hukum Perancis yang dibuat tahun 1670, belum dikenal pidana penjara, terkecuali dalam arti tindakan penyanderaan dengan penebusan uang atau penggantian hukuman mati sebelum ditentukan keringanan hukuman dengan cara lain. Di Inggris sesudah abad pertengahan (1200-1400) dikenal hukuman kurungan gereja dalam sel (cell), dan pidana penjara bentuk kuno di Bridwedell (pertengan abad 16) yang dilanjutkan dengan bentuk pidana penjara untuk bekerja menurut Act of 1576 dan Act of 1609 dan pidana penjara untuk dikurung menurut ketentuan Act of 1711.
Dalam hal ini Howard Jones menerangkan, bahwa sejak jaman Raja Mesir pada tahun 2.000 Sebelum Masehi (SM) dikenal pidana penjara dalam artian penahanan selama menunggu pengadilan, dan ada kalanya sebagai penahanan untuk keperluan lain menurut Hukum Romawi dari Jaman Justianus abad 5 SM. Disekitar abad ke-16 di Inggris terdapat pidana penjara dalam arti tindakan untuk melatih bekerja di Bridewell yang terkenal dengan nama Thriftless Poor bertempat di bekas Istana Raja Edward VI tahun 1522. Kemudian setelah dikeluarkan Act of 1630 dan Act of 170 dikenal institusi pidana penjara yang narapidananya dibina The House of Correction. Kesimpulan sementara dari catatan sejarah pertumbuhan pidana yang dikenakan pada badan orang dapat diperoleh gambaran, bahwa pidana penjara diperkirakan dalam tahun-tahun permulaan abad ke-18 mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana. Batasan arti pidana ini kemudian dikembangkan oleh para ahli.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, di dalam pembaharuan hukum pidana, alternatif pidana pencabutan kemerdekaan selalu menempati posisi sentral di dalam stelsel sanksi pidananya, disamping pidana pencabutan kemerdekaan yang ternyata sulit untuk dihapuskan begitu saja. Ditinjau dari segi filosofis, bahwa tujuan penjara, adalah menjamin pengamanan narapidana, dan memberikan kesempatan kepada narapidana untuk direhabilitasi. Hakekat dan fungsi penjara, seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di dalam masyarakat.
Pidana penjara adalah bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan, bukan hanya dalam bentuk pidana penjara saja, tetapi juga dalam bentuk pengasingan, misalnya Napoleon Bonaparte ke kepulauan St Helena dan pulau Elba. Pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia. Pembuangan Syech Yusuf dari Makasar ke Sailan kemudian ke Afrika Selatan oleh VOC. Di Indonesia sistem pengasingan ini didasarkan pada hak istemewa Gubernur Jenderal (exorbitante) misalnya pengasingan Hatta dan Syahrir ke Boven Digul kemudian ke Bandara Naire. Pengasingan Soekarno ke Endeh, kemudian ke Bengkulu. Pada zaman kemerdekaan dikenal pembuangan orang-orang PKI, ke Pulau Buru sesudah pecah gerakan 30 september/ PKI.
Pidana penjara sebagai pidana yang ditakuti setelah pidana mati mengalami banyak perubahan dari model yang semula paling keras dan kejam tanpa perikemanusiaan sampai model yang paling ringan, longgar sesuai dengan tututan zaman, seperti pada abad ke 20. Model yang pertama kepenjaraan adalah sistem Pennesylvania, dengan memperaktekkan pembinaan terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang produktif. Penjara yang sangat terkenal dipraktikan pada sistem pennesylvania yaitu Walnut street jail yang dibangun pada tahun 1776, kemudian disusul Eastern state penintentiary yang mulai dipakai pada tahun 1829 yang berkembang keseluruh eropa. Konsep dasar The eastern state penitentiary dipolakan dan deprogram dengan cermat dan tepat. Kejahatan disebabkan oleh pengaruh lingkungan, misalnya para peminum, prostitusi, gelandangan, sehingga para terpidana dimasukan ke dalam sel terpisah untuk setian terpidana, dan hanya pada hari minggu terpidana boleh melihat terpidana lainnya dengan pengawasan yang sangat ketat.
Persoalan bagaimana caranya pidana penjara tersebut dijalankan, maka hal ini terutama menyangkut masalah stelsel dari pidana penjara. Pertama, adalah stelsel sel, pertama kali dilakukan di kota Philadelphia, di negara bagian Pensylvania Amerika Serikat. Karena itulah dinamakan Stelsel Pensylvania. Sel adalah kamar kecil untuk seorang. Jadi orang-orang terpenjara dipisahkan satu sama lain untuk menghindarkan penularan pengaruh jahat. Hukuman dijalankan dalam sebuah sel , dan hanya dapat berkomunikasi dengan penjaga penjara, dengan harapan agar insyaf dari segala dosanya, dan memperkokoh untuk terhindar dari pengaruh jahat. Kedua, adalah Auburn Stelsel, ini pun pertama kali dijalankan di Auburn (New York), karena itu maka dinamakan Stelsel Auburn. Kemunculan sistem ini pada tahun 1784-1855, dengan melaksanakan Theory of correctional treatment, dengan perubahan cara pembinaan terpidana. Memang system stelsel sel ini menimbulkan kesukaran-kesukaran, terutama dalam hal pemberian pekerjaan. Kebanyakan pekerjaan kerajinan hanya dapat dilaksanakan dalam bengkel-bengkel yang besat dengan tenaga-tenaga berpuluh-puluh orang bersama-sama. Karena pemberian pekerjaan dianggap salah satu daya upaya untuk memperbaiki akhlak terhukum, maka timbullah system campuran, yaitu: a. pada waktu malam ditutup sendirian. b. pada waktu siang bekerja bersama-sama. Pada waktu bekerja mereka dilarang bercakap-cakap mengenai hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Oleh karenanya maka system ini dinamakan pula “silent system”. Utrecht, mengemukakan bahwa system ini sangat sukar sekali untuk dipertahankan, karena dilarangnya berbicara antara para narapidana, dan bertentangan dengan tabiat manusia.
Ketiga, Stelsel Progressif yang timbul pada pertengahan abad ke-19 di Inggris, stelsel ini hampir sama dengan stelsel yang baru dibicarakan di atas, tetapi caranya yang lain, maka haruslah dikatakan sebagai suatu stelsel yang baru. Salah satu dari pokok pikirannya adalah supaya peralihan dari kemerdekaan kepada pidana penjara itu dirasakan betul-betul oleh terhukum, dan sebaliknya peralihan dari pidana penjara kepada pembebasan diadakan secara berangsur-angsur, sehingga terhukum dipersiapkan untuk mampu hidup dengan baik dalam masyarakat, Karena itulah menurut stelsel ini pidana penjara dimulai dengan suatu periode, dikurung dalam sel selama beberapa bulan. Periode ini disusul dengan periode bekerja bersama-sama disiang hari. Selama periode ini terhukum dapat melalui beberapa tindakan, berangsur-angsur semakin baik. Kemajuannya dalam tingkatan-tingkatan itu didapatnya dengan memperbaiki kelakuannya pula, pada akhirnya terpidana bisa dilepas dengan syarat. Keadaan dalam penjara-penjara dengan mengikuti system Pensylvania dan Auburn itu tidak memuaskan, keadaan tidak memuaskan ini merupakan dorongan akan terjadinya system baru. Di Inggris, orang lalu lalu berusaha untuk menghubungkan jurang antara sel dan bersama-sama dengan mengadakan system progresif tersebut. Kalau sebelumnya pidana sel adalah satu-satunya bentuk pelaksanaan dari pidana penjara, Sekarang menjadi dasar pelaksanaan system progresif. Urut-urutannya menjadi sel , bersama-sama lepas dengan bersyarat. Di dalamnya masih terdapat stelsel kelas, yang dibagi menjadi lima kelas, dan semuanya terikat pada Marksysteem.
Dalam kepustakaan hukum pidana yang menyangkut system penjara terdapat system Irlandia, berasal dari Marksistem yang diketemukan oleh Kolonel Angkatan laut Inggris Maconehie pada waktu perwira terebut menjadi pimpinan penjara (koloni perang yang terhukum) di pulau Nortfolk yang letaknya 1000 milm laut dari pantai Australia. Kemudian sesudah mengalami perubahan kecil, “mark system” ini terkenal dengan nama Sistem Irlandia (Irish system). Sistem Irlandia tersebut bersifat progresif, yaitu pada permulaan dijalani maka pidana penjara itu dijalankan secara keras. Tetapi kemudian, sesudah kelihatan bahwa terpidana berkelakuan baik, maka secara berangsur-angsur dujalankannya pidana penjara lebih diringankan. Maksudnya ialah “melatih” si terpidana menjadi seorang warga masyarakat yang baik. Mark System dan system Irlandia ini melahirkan “the Rise of the Reformatory’. Pada tahun 1787-1860 dipraktikan sistem Moconochi and the Norfolk experiment oleh Alexander Moconochie untuk menghentikan praktek-praktek yang kejam dalam penjara, sistem ini menerapkan Mark system yang memberikan insentif bagi terpidana yang berkelakuan baik dan memperkerjakan terpidana. Pelaksanaannya dianggap efektif untuk mempersiapkan terpidana kembali kemasyarakat yang bersangkutan. Wolter Crofton (1815-1897) sebagai direktur Irish prison administration sebagai salah satu pengikut Alexander Moconochi yang telah menerapkan dengan konsekwen pada The Elmira Reformotory, yang sangat mempengaruhi kepenjaraan di Amerika Serikat pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 yang akhirnya mempengaruhi kepenjaraan diseluruh dunia, dengan melaksanakan latihan kerja yang berguna untuk penghidupan terpidana, terhadap yang berkelakuan baik mendapatkan insentif dengan mengubah dari pengawasan maksimum menjadi pengawasan moderat dan diperkerjakan dipertanian atau diperindustrian yang sudah dipersiapkan.
Sesuai dengan usaha reformasi (perbaikan dari si terpidana) itu maka pidana penjara menurut sistem Irlandia tersebut dijalani melalui tiga tingkatan, yaitu. a). Tingkatan pertama (probation), si terpidana diasingkan dalam sel malam dan siang hari selama delapan atau Sembilan bulan satu tahun. Lamanya pengasingan di sel itu tergantung kepada kelakuan si terhukum. b). Tingkatan kedua (public work prison), si terhukum dipindahkan ke satu penjara lain dan penjara lai itu ia diwajibkan bekerja bersama dengan si terhukum lainnya. Biasanya si terhukum di dalam penjara dibagi dalam empat kelas. Si terhukum untuk pertama kali menjalani pidananya ditempatkan pada kelas terendah dan secara berangsur-angsur dipindahkan ke dalam kelas yang lebih tinggi sesudah ia memperoleh beberapa perlakuan yang lebih baik dikarenakan perbuatannya patut mendapat imbalan yang setimpal, dengan menggunakan sistem sesuai dengan “mark system”. c). Tingkatan ketiga (Ticket of leave), si terhukum dibebaskan dengan perjanjian dari kewajibannya untuk menjalani dari sisa waktu lamanya pidana. Ia diberi satu “ticket of leave”, tetapi selama masa sisa waktu lamanya pidananya itu ia masih di bawah pengawasan.
Sistem Elmira, merupakan system stelsel kepenjaraan, yang lahirnya sangat dipengaruhi oleh system Irlandia yang ada di Irlandia dan Inggris. Pada tahun 1876 di kota Elmira, di negara bagian Amerika Serikat New York, didirikan sebuah penjara bagi orang-orang terpidana yang umumnya tidak lebih dari 30 tahun. Penjara ini diberi nama reformatory, yaitu tempat untuk memperbaiki orang, menjadikannya kembali menjadi seorang warga masyarakat yang berguna. Sistem penjara di Elmira pada prinsipnya pidana penjara dijalankan melalui tiga tingkatan, tetapi dengan titik berat yang lebih besar lagi pada usaha untuk memperbaiki si terhukum tersebut. Kepada si terhukum diberikan pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai akibat diadakannya sistem tersebut, maka kemudian dalam keputusan hakim pidana tidak lagi ditentukan lamanya pidana penjara yang berangkutan. Lamanya terpidana di dalam penjara sampai kepadanya diberikan “parole”, semata-mata tergantung pada tingkah laku si terhukum itu sendiri di dalam penjara. Sistem Elmira tidak hanya dikenal secara luas di Amerika Serikat. Akan tetapi juga dikenal di Eropa Barat. Pada tahun 1902 didirikan satu “reformatory” di kota Borstal, yaitu suatu kota kecil yang letaknya dekat dengan kota London. Sistem yang diterapkan dipenjara Borstal adalah sebagai berikut: Lamanya pidana penjara ditetapkan oleh pengadilan, akan tetapi Menteri Kehakiman diberi wewenang untuk melepaskan dengan perjanjian kepada si terhukum. Misalnya si terhukum dipidana selama tiga tahun, Menteri Kehakiman dapat mempunyai wewenang untuk melepaskan si terhukum apabila ia telah menjalani pidana selama enam bulan, dengan suatu perjanjian, yaitu selama masa sisa pidana yang belum dijalani oleh si terhukum tidak perlu dijalani akan tetapi si terhukum ditempatkan di bawah pengawasan khusus.
Selama masih di bawah pengawasan tersebut, masih terdapat kemungkinan si terhukum diwajibkan menjalani sisa pidana, apabila ternyata bahwa perjanjian yang menjadi syarat lepas tidak terpenuhi. Perbedaan antara sistem Elmira dengan sistem Borstal, yaitu pada sistem Elmira pengadilan tidak lagi menetapkan lamanya pidana penjara yang bersangkutan, sedangkan dalam sistem Borstal pengadilan masih tetap menentukan lamanya pidana penjara yang bersangkutan. Akan tetapi di dalam praktek antara kedua sistem tersebut hasilnya sama. Sistem Borstal ini kemudian meluas di beberapa negara Eropa Barat. Sistem Borstal ini diterapkan pula di penjara khusus anak-anak di Tangerang yang didirikan pada tahun 1927. Tempat pendidikan Borstal untuk menampung anak-anak yang berumur 16-21 tahun yang memiliki kecerdaan terbatas dengan peralatan yang lengkap untuk latihan pendidikan, pengobatan. Salah satu sistem Bosrstal yang sangat terkenal di North Sea, dimana anak-anak dilatih kerja tanpa dituntut keahlian khusus, setiap Borstal hanya menampung paling banyak 200 anak-anak, berbeda dengan Elmira system yang dapat menampung 1500 anak-anak. Sistem ini kemudian diikuti di negara-negara Skandinavia dan Nederlands dan pengaruhnya yang besar setelah perang dunia ke dua, terutama di Amerka Serikat dan disyahkan pada Syistem Model Youth Corrections Act diformulasikan pada American Law Institute pada tahun 1940. Serta meluas di Great Britan untuk menampung terpidana berumur 16-21 tahun yang dipidana penjara lebih dari enam bulan, tetapi kurang dari tiga tahun. Terpidana anak-anak setiap sabtu sore diperkerjakan dengan pengawasan polisi, dan seluruh dunia terpengaruh pada sistem ini terutama untuk terpidana yang berusia muda dalam perkara besar.
Sistem selanjutnya adalah Sistem Osborne, yang pertama kali diketemukan oleh Thomas Mott Osborne, dua kali menjadi walikota Ausburn dan kemudain direktur penjara yang terkenal Sing-sing di Negara Bagian Amerika Serikat New York. Sistem ini memperkenalkan sistem “self government’ terhadap para napi di dalam penjara dengan diawasi oleh mandor-mandor atau pengawas yang diangkat dari para narapidana sendiri, dalam melakukan pekerjaan baik di dalam penajra maupun di luar penjara. Pidana pencabutan kemerdekaan yang terdiri dari pidana penjara dan pidana kurungan dilaksanakan di dalam penjara. Di antara para ahli hukum kebanyakan berpendapat bahwa pidana pencabutan kemerdekaan bukan berasal dari pandangan hidup borjuis liberalis-individualis. Telah diutarakan dalam buku “Politik Penjara Nasional” bahwa pidana hilang kemerdekaan adalah berasal pandangan hidup tersebut di atas, juga dapat dibuktikan dalam sejarah pertumbuhan seperti dapat dibaca dalam buku “Politik Penjara” kedua-duanya karangan R.A. Koesnoen dan dapat pula ditemukan dalam buku-buku asing tentang kepenjaraan yang semuanya akan membuktikan bahwa pidana hilang kemerdekaan adalah berasal dari pandangan hidup tersebut. Di samping bahwa pidana pencabutan kemerdekaan berasal dari pandangan hidup liberlisme di pandang dari sudut politik criminal sangat buruk hasilnya. Bambang Poernomo, mengemukakan, bahwa usaha penulisan yang bersifat kritik terhadap keburukan pidana penjara dan menghendaki agar diadakan pembaharuan pelaksanaan pidana penjara, dilakukan oleh para sarjana yang berorientasi terbuka yakni mengenal hukum dalam kaitannya dengan kenyataan masyarakat yang sebagian terbesar dating dari dunia barat. Disamping itu usaha pembaharuan pidana penjara juga datang dari lembaga internasional dan regional, yang pada dewasa ini sudah dilakukan sampai di wilayah Asia dan Amerika Latin. Sejarah evolusi pidana mencatat bentuk dan sifat pidana dari kelompok pidana mati, pidana siksa, dan pidana pengasingan, menjadi berobah karena pengaruh waktu dan tempat, atau yang terjadi karena faktor struktur sosial, dan faktor politik pemerintah negara. Kemungkinan terjadi bahwa pidana penjara merupakan bentuk evolusi atau modifikasi dari pidana pengasingan, karena pengaruh factor alam dan faktor sruktur sosial.
Bagaimana buruk hasilnya tersebut dijelaskan dalam buku “Politik Penjara Nasional” dan memang tidak satu bukupun di dunia ini yang pernah menerangkan bahwa sistem politik kriminal yang dijalankan dalam penjara adalah baik. Maka menjadi persoalan bagi kita bersama dalam menyusun sistem pidana di Indonesia sekarang yang berdasarkan Pancasila dan hendak mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Untuk menambah bahan penelitian tentang hidup kepenjaraan terutama di Indonesia, di bawah ini akan disajikan hasil penelitian Notosoesanto, yang dilakukan sewaktu beliau menjabat sebagai kepala Jawatan Kepenjaraan. Dalam uraian tersebut sejarah pertumbuhan kepenjaraan di Indonesia dibagi dalam tiga zaman: Pertama, Zaman Purbakala, Hindu dan Islam, dalam zaman ini belum ada pidana hilang kemerdekaan, jadi belum ada penjara. Ada juga orang-orang yang ditahan dalam suatu rumah atau ruang buat sementara waktu, akan tetapi belum dapat dikatakn seabgai pidana penjara, sebab orang-orang itu hanya ditahan untuk menunggu pemeriksaan dan keputusan hakim atau menunggu dilaksanakannya pidana mati atau pidana badan. Kedua. Zaman Kompeni Belanda, dalam sejarah urusan penjara terkenal nama “Spinhuis” dan “Rasphuis”. Yang pertama merupakan rumah tahanan bagi para wanita tidak susila pemalas kerja, peminum untuk memperbaiki dan diberi pekerjaan meraut kayu untuk dijadikan bahan cat. Cara penampungan yang demikian dengan maksud untuk memperbaiki para penghuninya dengan jalan pendidikan agama dan memberikan pekerjaan, kemudian menjadi contoh bagi penjara-penjara yang menjalankan pidana hilang kemerdekaan. Lain sekali keadaannya mengenai rumah-rumah tahanan yang demikian oleh Bangsa Belanda di Batavia pada zaman Kompeni. Rumah tahanan ada tiga macam: a. Bui (1602) tempatnya dibatas pemerintahan kota; b. Kettingkwartier, merupakan tempat buat orang-orang perantaian; c. Vrouwentuchthuis adalah tempat menampung orang-orang perempuan Bangsa Belanda yang karena melanggar kesusilaan (overspel).
Ketiga. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda. a) Tahun 1800 – 1816, Keadaanya tidak berbeda dengan zaman Kompeni, bui merupakan kamar kecil seperti kandang binatang. Perbaikan mulai dilakukan pada zaman Inggris/Raffles segera mencoba memperbaiki keadaan yang terlalu itu dan memerintahkan supaya di tiap-tiap tempat yang ada pengadilannya didirikan bui. b).Pada tahun 1819, Sesudah pemerintah kembali pada Belanda usaha Raffles diulangi oleh pemerintah Belanda. Orang-orang dibagi: i). Orang-orang yang dipidana kerja paksa dengan memakai rantai; ii). Orang-orang yang dipidana kerja paksa biasa dengan mendapat upah. c). Tahun 1854 – 1870, pada tahun 1856 diumumkan suatu pemberitahuan tentang keadaan rumah-rumah penjara di Hindia Belanda yang ditulis oleh Mr. A.J. Swart. Pemberitahuan ini berisi keterangan-keterangan tentang ketertiban, makanan, pakaian, kesehatan, keadaan tempat-tempat terpenjara bekerja serta macam pekerjaan mereka. (-) Ketertiban, makanan, pakaian, kesehatan terpenjara golongan Eropa baik; (-) Orang-orang kerja golongan Indonesia, baik.
Kesehatan kerja golongan Indonesia cukup. Keadaan penjara dan Kettingkwartien umumnya kurang baik, kebanyakan penjara terlalu penuh dan tidak ada pemindahan menurut kesalahannya. Pemberitahuan Mr. A.J. Swart tersebut pada tahun 1861 disusul oleh pemberitaan A.W. Rappard. Pemberitaan ini berbeda Mr. A.W. Rappard tidak begitu gembira dengan keadaan penjara di waktu itu. Keadaan penjara dan Kettingkwatier umumnya tidak mencukupi dalam segala-galanya, kurang ruang, penerangan, udara kurang suara, lebih-lebih Kettingkwatier bagi golongan Indonesia. Mr. Rappard menyesalkan terpenjara golongan Eropa tidak diberi pekerjaan, mereka hidup bermalas-malasan dalam penjara. Pemberitaan Mr. A.J. Swart dan Mr. A.W Rappard menimbulkan kritik Parlemen Nederland. Sebelumnya ada kritik, Gubernur Jenderal Sloet van de Beele pada tahun 1865 sudah memerintahkan Residen Rioew untuk meninjau penjara di Singapore supaya dapat dipergunakan sebagai contoh untuk memperbaiki penjara-penjara di Hindia Belanda. d) Tahun 1870 – 1905, hasil penyelidikan Residen Riouw ini tidak segera membawa perbaikan keadaan penjara. Mula-mula hanya menyebabkan perang noda belaka, tetapi akhirnya melahirkan peraturan untuk penjara-penjara di Hindia Belanda, yang dimuat dalam Stbl. 1871 No.78 (Tucht Reglemen van 1871). Peraturan ini dirancang oleh Departemen Justisi yang baru didirikan pada tahun 1870 dan diserahkan urusan penjara yang sebelumnya diurus oleh Pokrol Jenderal. Peraturan ini memerintahkan supaya dipisah-pisahkan: a). Golongan Indonesia dengan Golongan Eropa. b). Perempuan dengan laki-laki. c). Terpidana berat dengan terpidana lain-lainnya. Tiap penjara harus mengadakan daftar cacatan orang-orang yang ada dalam penjara dan dibagi dalam beberapa bagian menurut adanya golongan terpenjara. Kepala penjara dilarang, memasukkan atau mengurung orang jika tidak ada alasan yang sah. e). Tahun 1905 – 1918, Perubahan besar dalam urusan penjara dan perbaikan keadaan penjara baru dimulai pada tahun 1905. Beberapa penjara baru dimulai pada tahun 1905. Beberapa penjara yang luas dan sehat mulai didirikan, pegawai-pegawai yang cakap diangkat. Di penjara Glodog diadakan percobaan dengan cara memberikan pekerjaan dalam lingkungan pagar tembok penjara kepada beberapa narapidana kerja paksa.
Sehubungan dengan percobaan ini maka Stbl. 1871 No. 78 mendapat perubahan dan tambahan sedikit. Dalam jangka waktu tahun 1905 sampai 1918 didirikan penjara-penjara pusat biasanya sangat besar, untuk kira-kira 700 orang terpenjara, merupakan gabungan Huis van Bewaring (rumah penjara pidana berat), yang sukar untuk mengurusnya karena masing-masing golongan menghendaki cara perlakuan yang khusus. f.) Tahun 1918 – 1942, Masa ini mulai berlakunya “Reglemen Penjara Baru” (Gastichten Reglement) Stbl. 1917 No. 708, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918 berdasarkan Pasal 29 Wvs. Dalam masa ini pemerintah tidak berusaha mengadakan penjara-penjara pusat, akan tetapi mengadakan penjara-penjara istimewa untuk beberapa golongan terpenjara. Usaha untuk memperbaiki kepenjaraan di tengah-tengah mendapat gangguan yang tidak kecil, karena timbulnya Perang Dunia I. pada tahun 1919 di Jatinegara diadakan sebuah penjara istimewa, untuk orang dipidana penjara seumur hidup dan narapidana nakal. Pada tahun 1925 di Tanah Tinggi dekat Tangerang didirikan sebuah penjara untuk anak-anak di bawah umur 20 tahun. Tahun 1925 di Batavia dan di Surabaya diadakan “Clearing House” untuk mengumpulkan narapidana yang mendapat pidana lebih dari satu tahun untuk diselidiki dipilih lalu dikirim ke penjara lain sesuai dengan jiwa, watak dan kebutuhan narapidana terutama lapangan pekerjaan dalam penjara. Pada tahun 1925 di Penjara Cipinang dicoba mengadakan tempat tidur yang terpisah untuk narapidana, yang disebut “chambrela” yaitu krangkengan yang berupa sangkar Negara yang dibuat dari jeruji besi dan tiap-tiap kerangkeng untuk satu orang dengan maksud untuk mencegah perbuatan cabul. Dalam Stbl. 1927 jumlah penjara anak-anak ditambahkan dua buah lagi, yaitu Ambarawa dan Pamekasan. Tahun 1930
1. Mengubah pembagian narapidana laki-laki yang mendapat pidana lebih dari 1 (satu) tahun dalam 2 (dua) golongan, sesudah diselidiki lebh dulu di Clear-ing-house di Surabaya dan Glodog yaitu: a. golongan yang dipandang sudah untuk di didik baik. b. golongan yang dipandang sukar untuk di didik baik.
2. Mengadakan bagian semacam reformatory seperti di Elmira di Penjara Malang, Madiun, dan Sukamiskin, untuk golongan tersebut di atas.
3. Mengadakan psychopaten di Glodog.
4. Mengadakan sistem cellulaire (yang juga disebut sistem diam (silent system) pada siang hari berkerja bersama, sedangkan pada malam hari tidur di sel sendiri-sendiri. Terdapat di Pamekasan, Sukamiskin dan Tanah Tinggi.
5. Penjara untuk golongan Eropa di Semarang dipindah ke Sukamiskin.
6. Kursus-kursus untuk pegawai kepenjaraan.
7. Mengangkat seorang pegawai reklasering.
8. Mandiri dana reklasering.
Tahun 1931 (Penjara yang mempunyai kedudukan khusus):
1. Penjara Sukamiskin dijadikan penjara istimewa untuk semua golongan yang terpenjara dan berkedudukan dalam masyarakat (Bangsa Eropa dan Intelektual).
2. Penjara Sukamiskin diberi percetakan.
3. Di penjara Cipinang dilanjutkan percobaan dengan chambretta (Juga Khusus untuk terpidana Kelas III).
4. Bagian-bagian untuk orang-orang Komunis di penjara Padang dan Glodog (khusus orang terpidana psychopaten) dihapuskan dan dipindah ke Pamekasan.
5. Penjara untuk anak-anak di Pamekasan dihapuskan dan digunakan untuk orang-orang yang dituduh komunis dan penjara anak-anak ke Banyubiru dan Tangerang.
6. Mengadakan percobaan dengan ploeg-stukloon system (7 atau 8 orang bekerja bersama-sama dengan mendapat upah).
7. Penjara Khusus wanita di Bulu Semarang.
Dalam masyarakat yang makin modern akan ternyata bahwa pemerintah makin banyak turut campur secara aktif diberbagai urusan kehidupan masyarakat. Pemerintah mempunyai tugas menyeleksi untuk menetapkan pokok-pokok pikiran, dari nilai-nilai hukum yang terdapat di dalam masyarakat dan merumuskan peraturan-peraturannya melalui badan yang berwenang. Sesudah itu pemerintah masih memikirkan tentang daya guna dan hasil guna peraturan yang dibuat, agar supaya dapat mencapai cita-cita ketentraman dan kesejahteraan bagi masyarakat. Tugas inilah yang dinamakan politik hukum dari pemerintah. Politik kriminal yang menyangkut pelaksanaan pidana penjara dengan system pemasyarakatan yang bersipat mendidik dan lebih berperikemanusiaan. Selanjutnya ditingkatkan pula peninjauan kembali dan penyusunan peraturan hukum dan perundang-undangan yang lebih sesuai dengan perobahan sosial.
Suatu reorientasi dan re-evaluasi terhadap masalah pidana, dan pemidanaan, termasuk masalah kebijaksanaan dalam menetapkan pidana penjara merupakan suatu hal yang diperlukan sehubungan dengan perkembangan masyarakat dan meningkatnya kriminalitas di Indonesia dan di dunia Internasional. Kebijaksanaan menetapkan sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari salah satu tujuan untuk menekan dan menanggulangi masalah kejahatan, oleh karenanya dapat dikatakan dengan meningkatnya kejahatan merupakan indikasi tidak tepatnya kebijaksanaan pemidanaan yang selama ini ditempuh. Padahal gagasan pemasyrakatan yang pertama kali dicetuskan oleh Sahardjo pada tanggal 5 juli 1963, dan kemudian dinyatakan sebagai kebijaksanaan umum pemerintah dengan lahirnya sistem pemasyarakatan pada tanggal 27 April 1964, sebagai hasil dari konfrensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, dalam kenyataannya belum diikuti dengan kebijaksanaan legislatif dalam perundang-undangan di Indonesia.
1. Pidana Penjara dalam Perspektif Falsafah Pemidanaan.
Perlakuan narapidana berdasarkan perikemanusiaan dan pendekatan pelaksanaan pidana penjara tidak lepas dari cara-cara kehidupan dalam masyarakat, sesuai dengan rumusan Standard minimum rules for the treatment of prisioners, yang antara lain mengatur tentang pembinaan, perbaikan nasib, pekerjaan, pendidikan, rekreasi dan hubungan-hubungan sosial. Eksistensi dasar pembenaran ditetapkannya pidana penjara selam ini, tidak pernah dipersoalkan, yang pada umumnya dipersoalkan adalah mengenai berat ringannya ancaman pidana penjara dan sistem perumusanya dalam undang-undang. Tidak dipersoalkan eksistensi dan dasar pembenaran penjara yang berhubungan dengan adanya kebijaksanaan yang mempertahankan jenis-jenis pidana sebagaimana dalam pasal 10 KUHP, menurut UU.No.1 Tahun 1946. Tetapi menurut pertibangan kriminalisasi masih patutnya dipidana perbuatan tertentu, sehingga penggunaan sanksi pidana pada umumnyaq dan pidana penjara khususnya tetap bersipat selektif yang diorientasikan pada pola kebijaksanaan tertentu, yakni ditujukan terhadap perbuatan-perbuatan, pertama yang bertentangan dengan kesusilaan, agama dan moral Pancasila, Kedua yang membahayakan atau merugikan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, Ketiga, yang menghambat tercapainya pembangunan nasional. Dengan demikian maka pendekatan kebijaksanaan kriminalisasi sekaligus kebijaksanaan penetapan pidana penjara selama ini, ditempuh melalui atau berorientasi pada nilai. Dengan melihat aspek-aspek tujuan pemidanaan yakni, bernuansa pada aspek perlindungan masyarakat, perlindungan individual. Sehingga dapat dilihat dari hasil hasil penelitian ilmiah, masih diperlukannya pidana penjara sebagai bagian dari prevensi umum dan khusus, dan tolak ukur penjeraan sebagai salah satu sarana nasional dalam menanggulangi kejahatan. Dari perkembangan kongres PBB ,mengenai prevention of crime and treatment of offenders. Pidana penjara masih tetap dapat dipertahankan hanya perlu dibatasi penggunaannya untuk tindak pidana tertentu, terutama yang menjadi perhatian adalah tentang resosialisai terpidana. Selanjutnya dilihat dari pemidanaan dalam masyarakat modern, pidana sebagai proses untuk merobah tingkah laku, maka pidana penjara masih dapat dipertahankan, dan dilihat dari perlunya upaya pengamanan masyarakat, pidana penjara, merupakan salah satu dari pemidanaa yang lebih manusia dibandingkan dengan tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.
Sebagai suatu kajian pidana penjara dalam berbagai pendekatan, maka selalu dikaitkan antara stelsel pidana penjara dengan hukum pidana dan filsafat, sebagai pembenarannya. Bambang Poernomo, mengemukakan, bahwa pertentangan pendapat apakah pidana itu, telah dimuali pada zaman keemasan paham sopisme, pengikutnya adalah Phitogaras, dengan memberikan isyarat bahwa tujuan pidana adalah harus memperhatikan keadaan masa datang dan usaha untuk mencegah agar seseorang atau orang yang lain sadar untuk tidak mengulangi kejahatannya lagi. Selanjtnya pertentangan antara teori preventif dan retributive dengan perkembangannya masing-masing. Dengan mengutip pandangan Rupert Cross, bahwa teori pemidanaan terletak pada dasar teori kemanfaatan agar berfaedah dan teori pembalasan (retributive), dengan titik berat pada usaha pencegahan pada masa mendatang, yakni Prevention, Deterrence, and reform, dengan perhatian pada pembalalasa yang ditujukan kepada kewajiban untuk memenuhi imbalan dari perbuatan yang telah dilakukan oleh penjahat yang bersangkutan, terdiri dari “vindication, fairness, dan proposinality.
Melalui bantuan kriminologi, sosiologi dan penologi mendorong kearah modernisasi hukum pidana dalam usahanya untuk ke luar dari belenggu kesulitan mencari landasan yang memuaskan untuk mempertahankan sanksi pidana, yakni berkisar pada tujuan pokok, yaitu melindungi kepentingan umum, mencegah serta mengendalikan kejahatan dan memperbaiki orang yang melanggar hukum pidana. Pandangan kriminologi mempertentangkan antara sikap memberikan pidana(punishment) terhadap perbuatan melanggar hukum pidana dalam masyarakat. Namun belum didapatkan kesepakatan untuk menentukan satu pilihan yang mana diantara bentuk-bentuk reaksi masyarakat tersebut cocok untuk mempertahankan hukum pidana dan memelihara ketertiban. Para ahli hukum pidana dan kriminologi pada kenyataannya telah berhasil menemukan kesatuan pendapat, mengenai hukuman yang disertai dengan cara-cara perbaikan bagi anak-anak dibawah umur yang melakukan kejahatan, terhadap orang dewasa yang keadaan jiwanya terganggu. Di dalam kepustakaan hukum pidana secara tradisional, sudah dikenal pembagian sanksi berupa pidana dan tindakan, dengan teori yang berbasiskan kemanfaatan. Sehingga dasar teori pidana dan kriminologi dan sosiologis, sangat tepat untuk menjadi landasan tentang pembaharuan pidana penjara. Dalam bahasa Penologi dikatakan cara-cara treatment menjadi pembenar untuk penerapan punishment, manakala tidak ada cara lain yang lebih baik.
Pada masyarakat Indonesia, peristiwa pelanggaran yang mengakibatkan derita pada orang lain, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tidak seimbang, penyelesaiannya sangat beraneka ragam, dimana tidak hanya dikenai hukum, tetapi juga ikutnya bertanggung jawab dari keluarga dan kerabatnya, sehingga harus dipertahankan keseimbangan hidup bermasyarakat, dengan memberikan hukum yang setimpal sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat di wilayah masing-masing, dengan memperlakukan, penyelesaian konflik memulihkan keseimbangan, dengan sanksi adat yang berfungsi sebagai sarana untuk mengembalikan rusaknya keseimbangan masyarakat adat.
Pelaksanaan pidana penjara, tercermin dalam pembaharuan hukum pidana sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo. Pertama, Pidana tetap menjadi pidana dan berorientasi kedepan melalui usaha kearah pemasyarakatan, sehingga tidak hanya sekedar pidana perampasan kemerdekaan akan tetapi mengandung upaya-upaya bersifat baru yang dirumuskan sepuluh butir prinsif pemasyarakatan. Kedua, Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai tujuan harus memperhatikan aspek perbuatan melanggar hukum dan aspek manusianya sekaligus menunjukkan dengan dasar teori pemidanaan, menganut asas pengimbangan atas perbuatan dan sekaligus memperlakukan narapidana sebagai manusia sekalipun telah melanggar hukum. Ketiga, Pengembangan pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan dengan segala kelemahannya, bukanlah untuk mencari jalan keluar dengan menghapuskan jenis pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana, disertai tehnik dan metode dalam rangka pembaharuan pidana yang bersifat universal. Keempat, Sistem pemasyarakatan sebagai proses melibatkan hubungan interrelasi, interaksi dan integritas antara komponen petugas, penegak hukum yang menyelenggarakan proses pembinaan, dan komponen masyarakat beserta budaya yang ada disekitarnya dengan segala potensinya untuk berperan serta membantu pembinaan sesuai dengan sepuluh prinsip pemasyarakatan. Kelima, Pemasyarakatan sebagai metode mempunyai tata cara yang direncanakan untuk menyelenggarakan pembinaan/bimbingan tertentu bagi kepentingan masyarakat dan individu narapidana yang bersangkutan melalui upaya-upaya remisi, assimilasi, integrasi, cuti- pre release treatment, lepas bersyarat, after care dan program pendidikan, latihan, ketrempilan yang realisasinya menjadi indikator dari pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Keenam, Upaya pembinaan terpidana, berupa remisi dan cuti, seharusnya dikembangkan lebih efektif, karena bukan sekedar pemberian kelonggaran pidana dengan kemurahan hati, melainkan sebagai indikator awal pembaharuan pidana penjara harus dimanfaatkan sedemikian rupa agar narapidana menyadari makna pembinaan melalui sistem pemasyarakatan. Ketujuh, Pokok pikiran pembaharuan pidana penjara yang diterapkan dengan sistem pemasyarakatan belum didukung oleh kekuatan hukum undang-undang.
Oleh karena itu bila dilihat dari RUU-KUHP Th 2008, maka jenis pidana terdiri dari pidana pokok, pidana penjara;pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda dan pidana kerja sosial. Adapun pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Sedangkan tujuan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 54. Tentang tujuan Pemidanaan yakni:
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Pasal 55
Pedoman Pemidanaan
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;
(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Pasal 56
Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan penghapus pidana, jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya alasan penghapus pidana tersebut.

Berkenaan dengan pidana penjara, telah diatur juga dalam RUU-KUHP, pasal 69.
(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.
(2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 ( lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
(3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhkan pidana penjara 15 (lima belas) tahun, maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut.
(4) Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.


Pasal 70
(1) Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang 10 (sepuluh) tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka sisa pidana tersebut dapat diubah menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan perubahan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 71
Dengan mempertimbangkan pasal 54 dan pasal 55, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut:
a. Terdakwa berusia dibawah 8 (delapan) tahun atau diatas 70 (tujuh puluh) tahun;
b. Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;
c. Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;
d. Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;
e. Terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;
f. Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
h. Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;
i. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;
j. Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluargannya;
k. Pembinaan yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa;
l. Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
m. Tindak pidana terjadi dikalangan keluarga; atau
n. Terjadi karena kealpaan.

Pasal 72
(1) Nara pidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari pidana penjara yang dijatuhkan, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang dari 9 (Sembilan) bulan dan berkelakuan baik dapat diberikan pembebasan bersyarat sebagi Klien Pemasyarakatan oleh Menteri yang bertanggungjawab dibidang hukum.
(2) Terpidana yang menjalani beberapa pidana penjara berturut-turut, jumlah pidananya dianggap sebagai 1 (satu) pidana.
(3) Dalam memberikan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan masa percobaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(4) Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum di jalani ditambah dengan 1 (satu) tahun.
(5) Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang ditahan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara lain, waktu tahanannya tidak diperhitungkan sebagai masa percobaan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintahan.

Pasal 73
(1) Syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3) adalah:
a. Klien Pemasyarakatan tidak akan melakukan tindak pidana; dan
b. Klien Pemasyarakatan harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa menguragi kemerdekaan beragama dan berpolitik.
(2) Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir b dapat diubah, dihapus, atau diadakan syarat baru, yang semata-mata bertujuan membina terpidana.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 74
(1) Pembebasan bersyarat tidak dapat ditarik kembali setelah melampaui 3 (tiga) bulan terhitung sejak saat habisnya masa percobaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika sebelum waktu 3 (tiga) bulan, Klien Pemasyarakatan dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Jangka waktu antara saat mulai menjalani pembebasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai menjalani pidana.

Pasal 75
(1) Keputusan pembebasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab dibidang hukum setelah mendapat pertimbangan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan dan hakim pengawas
(2) Jika terjadi pelanggaran terhadap salah satu syarat, maka Balai Pemasyarakatan memberitahukan hal tersebut kepada hakim pengawas.
(3) Pencabutan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetepkan oleh Menteri yang bertanggungjawab dibidang hukum atas usul hakim pengawas.
(4) Jika Klien Pemasyarakatan melanggar syarat-syarat yang diberikan, maka hakim pengawas dapat mengusulkan kepada Menteri yang bertanggungjawab dibidang hukum agar pembebasan bersyarat dicabut.
(5) Jika hakim pengawas mengusulkan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka hakim pengawas dapat memberi perintah kepada polisi agar Klien Pemasyarakatan ditahan dan hal tersebut diberitahukan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum.
(6) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) paling lama 60 (enam puluh) hari.
(7) Jika penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusul dengan penghentian sementara waktu atau pencabutan pembebasan bersyarat, maka Klien Pemasyarakatan dianggap meneruskan menjalani pidana sejak saat ditahan.
(8) Selama masa percobaan, pengawasan, dan pembinaan Klien Pemasyarakatan dilakukan Balai Pemasyarakatan Direktorat Jendral Pemasyarakatan.

2. Pro dan Kontra Terhadap Pelaksanaan Pidana Penjara
Usaha-usaha penenggulangan kejahatan telah banyak dilakukan dengan berbagai cara, namun hasilnya masih belum memuaskan. Salah satu penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun usaha ini masih sering dipersoalkan. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana untuk mengatasi masalah sosial, bukan hanya merupakan problem sosial tetapi merupakan masalah kebijaksanaan. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia. Sehingga ada suatu pandangan bahwa pelaku kejahatan tidak perlu dikenakan pidana, karena pidana merupakan peninggalan kebiadaban kita masa lalu yang seharusnya dihindari. Pandangan itu didasarkan pada pidana adalah tindakan perlakuan yang kejam dan menderitakan. Hal ini dikemukakan oleh suatu gerakan pembaharuan hukum pidana di Eropah Kontinental dan Inggris terutama justru merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana. Atas dasar pandangan itulah, kiranya terdapat pendapat bahwa teori retributive atau teori pembalasan dalam hal pemidanaan merupakan “a relic of barbarism”.
Dasar pemikiran lainnya ialah adanya paham determinisme, yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang abnormal. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. Karena seorang penjahat adalah jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan mental. Maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki. Pandangan determinisme inilah yang mendasari dalam aliran positif pada kriminologi dengan tokohnya antara lain Lambroso, Garopolo dan Ferri. Menurut Alf Ross, pandangan inilah yang kemudian berlanjut pada gerakan modern. Ide penghapusan pidana kemudian dilontarkan oleh Fillipo Gramatica, tokoh ekstrim dari aliran Defence sociale, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern, pada tahun 1947 tulisan-tulisan dan ceramah-ceramahnya dipublikasikan, Menurutnya hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. Jadi frinsifnya ajaran Gramatica menolak konsepsi-konsepsi mengenai tinadak pidana, penjahat dan pidana.
Pandangan untuk menghapus pidana dan hukum pidana menurut Roeslan Saleh adalah keliru, masih perlunya hukum pidana karena;
1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tuuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan, seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangannya terletak pada nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing;
2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi terhukum, dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja;
3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada Penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.

Kritikan terhadap pidana penjara secara umum terbagi menjadi moderat dan ekstrim.Gerakan yang moderat pada intinya masih mempertahankan pidana penjara, namun penggunaannya dibatasi. Sedangkan yang ekstrim menghendaki hapusnya sama sekali pidana penjara. Gerakan ini (prison abolition) terlihat dengan adanya International Confrence On Prison Abolition (ICOPA), yang diselenggarakan pertama kali pada bulan Mei 1983 di Toronto Kanada, yang ke 2 pada tanggal 24-27 Juni 1985 di Amsterdam dan ke 3 pada tahun 1987 di Montreal Kanada, terakhir inilah “prison abolition” dirubah menjadi “penal abolition”. Terhadap pidana penjara para ahli hukum cenderung meminimalisasi penggunaannya, hal ini terlihat pada minimalisasi penggunaan pidana penjara dewasa ini, berbagai upaya dilakukan sebagai salah satu sarana utama sifat represif dari hukum pidana, kecenderungan ini terlihat pada berbagai sistem hukum negara-negara di dunia, khususnya pada sistem hukum anglo saxon dan sistem hukum eropa continental, serta mengamati kongres PBB ke 2 (1972) di London, yang membatasi penggunaan pidana penjara jangka pendek.
Pandangan moderat terhadap pidana penjara, dapat dikelompokan menjadi tiga, yakni dari sudut “strafmodus, yaitu melihat dari sudut pelaksanaan pidana penjara, dari sudut sistem pembinaan dan kelembagaan. Dari sudut “strafmaat”, melihat dari sudut lamanya pidana penjara, khususnya ingin membatasi atau mengurangi penggunaan pidana penjara pendek. Dari sudut “strafsoot” ditujukan terhadap penggunaan atau penjatuhan pidana penjara dilihat sebagai jenis pidana, yaitu adanya kecenderungan untuk mengurangi atau membatasi penjatuhan pidana penjara secara limitative. Tentang rekomendasi kongres ke II PBB, mengenai :The prevention of crime and the treatment offenders (1960) menyatakan; “Kongres mengakui pidana penjara pendek berbahaya bagi pelanggar, karena dapat terkontiminasi, tetapi dalam hal tertentu masih diperlukan bila dilihat dari segi keadilan.Praktek secara menyeluruh penjara pendek, hanya dapat mengurangi jumlah penggunaannya. Pengurangan berangsur-angsur dengan penggunaan bentuk-bentuk pengganti/alternatif (pidana bersyarat, Pengawasan, denda, tindakan-tindakan lainnya yang tidak mengandung perampasan kemerdekaan. Dalam hal pidana penjara tidak dapat dihindari, maka pelaksanaannya harus terpisah, dari penjatuhan penjara jangka panjang, dan pembinaannya harus bersifat konstruktif, pribadi dan dalam lembaga terbuka”.
Selanjut dikemukakan pandangan Wolf Middendorf. Mengemukakan bahwa “ Dalam penelitian mengenai efektivitas treatment terhadap anak untuk pidana penjara jangka pendek, untuk kelompok anak yang berusia sama terhadap penjara jangka panjang, maka hasilnya adalah sama. Pidana pendek di bawah 6 bulan tidak mempunyai reputasi yang baik. Dibanyak negara penjara pendek untuk kasus mabuk dalam mengendarai kendaraan. Seharusnya hanya digunakan untuk kejahatan kerah putih, karena pidana denda sering tidak berpengaruh. Di Nederland penjara pendek dilaksanakan dalam lembaga yang minim pengamanannya dan hasilnya memadai. Narapidana pidara penjara pendek harus terpisah dengan pidana penjara jangka panjang, narapidana penjara pendek dikirim ke lembaga “open camp”, disana diperkerjakan untuk kepentingan masyarakat.
Johannes Andenaes, mengemukakan, “Walaupun telah menjadi dogma di dalam penology, bahwa pidana penjara pendek merupakan pemecahan yang buruk karena tidak memberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan rehabilitasi, tetapi sedikit bukti bahwa pidana penjara yang lama memberikan hasil yang lebih baik dari pada penjara pendek”. Pada tulisan lain dikemukakan, ‘bahwa hamper 100 (seratus) tahun telah dipikirkan suatu tujuan pembaharuan pidana untuk menghindari pidana penjara pendek, tidak memberikan kemungkinan untuk merehabilitasi pelaku, tetapi cukup untuk mencapnya dengan stigma penjara dan menetapkan kontak-kontak yang tidak menyenangkan, ide ini berpengaruh terhadap hukum Inggris dan Jerman yang membatasi penjara jangka pendek. Penelitian terhadap pengaruh bermacam-macam sanksi menunjukan bahwa lamanya pidana penjara panjang atau pendek tidak membuat perbedaan untuk success rate. Bahwa usaha-usaha edukatif dari petugas penjara mempunyai pengaruh yang sangat lemah dibandingkan dengan saling pengaruh dari para narapidana, karenanya makin banyak penjara disediakan bagi residivis, masyarakat penjara cenderung semakin penuh dengan sikap-sikap jahat. .
Selanjutnya S.R.Brody, menyatakan bahwa lamanya waktu yang dijalani di dalam penjara, tampaknya tidak berpengaruh pada adanya penghukuman kembali(reconviction), tidak ada bukti bahwa pidana custodial/ penjara yang lama, membawa hasil yang lebih baik dari pada penjara jangka pendek. Pendapat senada tentang pidana penjara pendek ialah Sir Rupert Cross. Mengemukakan terdapat alasan yang bersipat humanistis untuk memastikan menjamin, bahwa pidana jangka pendek, sesuai untuk kebutuhan terpidana, dan menyebabkan penghargaan bagi sarana-saran lain dari penjara, yaitu dalam rangka untuk meminimalkan terpidana dari keluarganya, dan keinginan untuk memperbaiki, narapidana dengan mengurangi kepadatan lembaga pemasyarakatan. Pidana pokok menurutnya tidak evektif sebagai sarana pencegahan.
Seiring dengan itu K.Poklewski-Koziell, menyatakan, bahwa pidana penjara pendek bukan sama sekali tidak perlu atau tidak penting, tetapi dengan mengikuti ahli penology, bahwa tidak dapat dicapai, penjara merupakan suatu tindakan yang perlu untuk mengenakan goncangan/kejutan kejiwaan yang diperlukan, serta berdasarkan pada hasil rekomendasi PBB ke 2 di London 1960. Selanjutnya Manuel Lovez –Rey, mengemukakan, dengan waktu terbatas meniadakan prospek-prospek rehabilitasi, akan menjadikan populasi penjara sehari antara 1,5- 2 juta dan diantaranya sekitar 1,3 juta kurang dari enam bulan dan dalam banyak hal kurang dari tiga bulan. Senada dengan itu adalah pandangan Cristiansen dan Bernsten, hasil penelitiannya di Denmark terhadap narapidana jangka pendek, bahwa penjara jangka pendek akan efektif bila dilakukan dalam keadaan khusus, untuk tipe-tipe pelanggar tertentu, dan digunakan dalam langkah awal dalam proses resosialisasi.
Menurut R.M.Jackson, pidana penjara termasuk jenis pidana yang relatif kurang efektif, berdasarkan hasil study perbandingan efektivitas pidana penjara, bahwa angka rata-rata residivis, bagi yang pertama kali melakukan tindak pidana berbanding terbalik dengan usia pelaku, pada anak-anak mencapai 50%, untuk mereka yang pernah dipidana berusia 21 tahun ke bawah, mencapai 70%, residivis, lebih tinggi daripada yang bukan residivis setelah dijatuhi pidana penjara daripada pidana lainnya. Sehingga pidana penjara mempunyai atau menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan, akibat itu adalah terampasnya kehidupan seksual yang normal dari seseorang, sehingga mengakibatkan hubungan homoseksualitas dan masturbasi dikalangan terpidana. Lebih dari itu adalah pengaruh sosial dan ekonomi dari kehidupan keluarganya, serta stigma dan degredasi atau penurunan derajat dan harga diri manusia. Kritik yang lebih jauh adalah dalam pidana penjara, membawa pengaruh lebih jahat, terutama terhadap anak-anak atau para remaja, sehingga sering dikatakan bahwa rumah penjara adalah perguruan tingg kejahatan atau pabrik kejahatan.
Keberhasilan pidana penjara sebagai sarana untuk reformasi adalah sangat kecil, walaupun hal ini sangat sulit ditentukan secara tepat. Malahan ditegaskan, bahwa sesungguhnya tidaklah diketahui apakah residivis itu menurun disebabkan oleh rumah-rumah penjara yang telah mengembangkan metode pembinaan secara individual. Cara- cara pembinaan dan program-program rehabilitasi saat ini sangat kecil pengaruhnya terhadap residivis . Pengalaman penjara demikian membahayakan sehingga merusak atau menghalangi secara serius kemampuan terpidana untuk mulai lagi ke keadaan patuh pada hukum setelah keluar dari penjara.
Menurut Richard Posner, dilihat dari segi ekonomi pidana denda mengandung nilai yang tidak ditemukan pada pidana penjara, sehingga dilihat dari segi kekayaan negara dengan memperbanyak transaksi-transaksi melalui pidana penjara, maka lebih menguntungkan dibandingkan dengan pidana penjara. Biaya-biaya sosial pidana penjara lebih besar. Adanya kecenderungan menurunnya penggunaan atau penerapan pidana penjara terlihat di Belanda, menurut Pompe, dalam praktek pengadilan terlihat ketidaksukaan yang semakin besar terhadap pidana perampasan kemerdekaan dan suatu kesukaan yang semakin besar terhadap pidana denda. Adapun usaha untuk memperbaiki pelaksanaan pidana penjara dengan adanya standard minimum rules (SMR) yang semula dirancang oleh The International Penal and Penetentiary Commission (IPPC).
Bilamana diikuti hasil penelitian David J Cooke, Pamela J Baldwin dan Jaqueline Howison. Maka dapat diketahui mengapa terjadi kejahatan dan akibatnya dalam penjara, dengan pengaruh alkohol, narkotika dan psikotrapika, perilaku kekerasan disebabkan oleh budaya, atau untuk mendapatkan sesuatu, atau karena emosional.
Bertolak dari kritik-kritik negatif seperti di kemukakan di atas, maka dirasakan perlu untuk melakukan reorientasi, re-evaluasi dan reformasi terhadap politik kriminal, khususnya dalam menggunakan pidana penjara. Pertanyaan sentral yang sangat mendasar ialah, apakah masih perlu dan cukup bijaksana untuk tetap mempertahankan pidana penjara sebagai salah satu sarana. Dengan perkataan lain, apakah kebijaksanaan legislatif dalam menetapkan pidana penjara selama ini mempunyai dasar pembenaran yang cukup beralasan dan telah sesuai dengan kecenderungan untuk membatasi penggunaannya?
Peninjauan dan penilaian kembali terhadap masalah pidana dan pemidanaan, termasuk kebijaksanaan dalam menetapkan pidana penjara, merupakan suatu hal yang wajar dan memang diperlukan. Hal ini merupakan sesuatu yang melekat (inherent) dengan sifat dan hakekat kejahatan itu sendiri yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Telah dikemukakan pada sub A bahwa di mana-mana telah terjadi perkembangan kriminalitas yang meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sejarah menunjukkan bahwa berubah dan berkembangnya kejahatan, diikuti pula dengan brubah dan berkembangnya pidana itu sendiri. Sehubungan dengan hal ini, S. Balakrishnan mengemukakan: “Hukum pidana sedang berubah dan memang seharusnya memerlukan perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat. Perubahan ini tidak hanya mengenai perbuatan apa yang merupakan atau dinyatakan sebagai kejahatan, tetapi juga mengenai apa yang seharusnya dijadikan pidana untuk suatu kejahatan, karena gagasan-gagasan mengenai pidana juga telah berubah sesuai dengan perubahan-perubahan itu sendiri, terutama mengenai pandangan hidup tentang moral dan kemasyarakatan”.
Kewajaran untuk melakukan peninjauan kembali terhadap kebijaksanaan pidana selama ini, dapat pula dilihat dari sudut penegakan hukum, khususnya dari sudut mekanisme penanggulangan kejahatan. Kebijaksanaan legislatif atau kebijaksanaan perundang-undangan mengenai pidana, dilihat secara fungsional merupakan bagian dari mekanisme penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu, meningkatnya kejahatan dapat dilihat sebagai suatu petunjuk tidak tepatnya lagi kebijaksanaan legislatif yang ditempuh. Sehubungan dengan hal ini W. Clifford menyatakan: “meningkatnya kejahatan telah cukup untuk menarik perhatian pada tidak efesiennya struktur peradilan pidana yang sekarang ada sebagai suatu mekanisme pencegahan kejahatan”. Demikian pula Manuel Lopez-Rey, mengungkapkan, bahwa kondisi suatu sistem pidana yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat merupakan faktor yang mendukung meningkatnya kejahatan. “sistem pidana saat ini tidak cocok dengan perkembangan masyarakat sekarang dan masa yang akan datang; yaitu pada umumnya telah usang dan jelas tidak adil; dan bahwa secara keseluruhan hal itu merupakan faktor yang menunjang peningkatan kejahatan”. Adanya hubungan antara peningkatan kejahatan dengan tidak tepatnya kebijaksanaan pidana dalam perundang-undangan, terlihat pula dari pandangan John Kaplan yang dihubungkan dengan pendapat Edward M. Kennedy. Pada waktu membicarakan “Legislative specification of penalties”, John Kaplan mengungkapkan.
“Salah satu aspek yang paling kacau balau dari peraturan-peraturan yang paling berhubungan dengan pemidanaan ialah kondisi dari KUHP itu sendiri. Secara mudah dapat ditunjukkan bahwa dikebanyakan negara sanksi-sanksi yang tersedia untuk delik-delik yang berbeda, sama sekali tanpa suatu dasar atau landasan yang rasional. Inilah yang pada gilirannya merupakan salah satu pendukung utama adanya perbedaan perlakuan terhadap para pelanggar yang kesalahannya sebanding”

Dengan demikian apabila kebijaksanaan pemidanaan yang tertuang dalam KUHP tidak terancam dengan baik, menurut John Kaplan dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana. akibat yang timbul dari adanya disparitas pidana yang mencolok ini. Menurut Edward M. Kennedy ialah: (a) dapat memelihara tumbuhnya atau berkembangnya perasaan sinis masyarakat terhadap sistem pidana yang ada; (b) gagal dalam mencegah terjadinya kejahatan; (c) mendorong aktivitas (meningkatnya) kejahatan; dan (d) merintangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap para pelanggar.
Kurang baiknya kondisi undang-undang sebagai salah satu faktor timbulnya kejahatan dikemukakan oleh Sahetapy. Namun di samping itu, adanya faktor lain konsekuen dan sikap atau tindak tunduk dari para penegak hukum. Demikian Wolf Middensorf menyatakan bahwa keseluruhan efektivitas peradilan pidana bergantung pada tiga faktor yang saling berkaitan. Ketiga faktor yang dikemukakannya ialah: adanya undang-undang yang baik (quick legislation); pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement); dan pemidanaan yang layak atau sekedarnya dan seragam (moderate and uniform senctencing). Urgensi untuk melakukan peninjauan kembali terhadap kebijaksanaan perundang-undangan pidana sehubungan dengan perkembangan masyarakat dan meningkatnya kriminalitas, juga menjadi topik, pembicaraan dalam forum internasional yaitu dalam Kongres PBB mengenai prevention of crime and The Treatment of Offenders.
4. Pidana Penjara dan Pidana Kurungan.
Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua fungsi, pertama, sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan. Yaitu delik-delik kulpa dan beberapa delik-delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (pasal 396 KUHP) pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara. Contoh tersebut sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, sedangkan yang ke dua adalah sebagai cutodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran. Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran, maka pidana kurungan menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan ditempat kerja negara.
Menurut Roeslan Saleh, pidana kurungan hanya untuk kejahatan-kejahatan culpoos, dan sering alternatif dengan pidana penjara, juga pada pelanggaran-pelanggaran berat. Beberapa pidana pokok sering secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama, alternatif ini berarti, bahwa Hakim dapat menjatuhkan hanya satu diantara pidana pokok yang diancamkan itu. Menurut KUHP , tidak ada kemungkinan bagi Hakim menjatuhkan pidana penjara atau kurungan secara kumulatif dengan denda. Jadi pidana penjara atau kurungan dan denda tidaklah mungkin, dalam perkara-perkara perbuatan pidana ekonomi. Di negara lain sudah dimungkinkan, walaupun dalam pidana bersyarat, yaitu disamping pidana bersyarat ditimpakan pula pidana denda yang tidak bersyarat. Bilamana denda yang diancamkan terhadap kejahatan, biasanya ini alternatif, dengan pidana penjara,(pasal 167,281,310,351,362) kurungan (pasal231, ayat (4)) atau pidana dan kurungan atau kedua-duanya. (pasal 188, 483).
Pada delik dolus tidak ada pidana kurungan, kecuali pasal tentang unsur kesengajaan dan culpa seperti pasal 483 dan 484 KUHP. Contoh yang paling tepat, terhadap pidana penjara pada delik culpa adalah pasal 359 KUHP. Dengan melihat pendeknya jangka waktu pidana kurungan, maka dapat disimpulkan bahwa pembuat undang-undang, memandang pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara. Lebih tegas lagi diketahui pada pasal 69 (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urut-urutannya menurut pasal 10 KUHP, yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga, dibawah pidana mati dan pidana penjara. Delik-delik yang dipandang ringan seperti delik kulpa dan pelanggaran diancamkan dengan pidana kurunga. Perbedaan lainnya dengan pidana penjara, ialah bahwa dalam pelaksanaan pidana, dimana terpidana kurungan tidak dapat dipindahkan ketempat lain di luar tempat tinggalnya ketika sedang dieksekusi, tanpa kemauannya sendiri. Pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana kurungan lebih ringan daripada terpidana penjara (Pasal 19) KUHP.
Adapun pelaksanaan pidana penjara dan kurungan itu diatur dalam Pasal 32 KUHP, ayat (1) “Pidana penjara dan pidana kurungan itu masing-masing berlaku mulai mengenai terpidana yang ada dalam tahanan sementara, pada hari keputusan hakim tidak dapat diubah lagi, dan mengenai terpidana yang lain, pada hari keputusan hakim dijalankan”; ayat (2) “jika dengan keputusan hakim bersama-sama dijatuhkan pidana penjara dan pidana kurungan sedang terpidana sudah dalam tahanan sementara, karena semua perbuatan itu atau karena satu dari perbuatan itu, dan keputusan untuk segala pidana mendapat ketetapan bersama-sama waktunya, maka pidana penjara mulai dijalankan pada waktu itu juga dan pidana kurungan segera mulai dijalankan pada waktu habis pidana penjara.” KUHAP menentukan bahwa waktu terpidana ditahan diperhitungkan sepenuhnya pada pidana yang dijatuhkan (Pasal 22 ayat (4) KUHAP). Ini berbeda dengan ketentuan di dalam Pasal 33 yang mengatakan, : “ dikurangkan segenapnya atau sebagiannya dari pidana denda.”
Menurut Pasal 31 ayat (2), jika dijatuhkan pidana denda dan denda itu tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan. Pengecualian dari ketentuan itu terdapat dalam Undang-Undang tentang Zona Eksklusif, tidak ada ketentuan tentang pidana kurungan pengganti denda, karena Konferensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS III) melarang pidana badan di ZEE. Suatu ketentuan khusus untuk orang Indonesia/tercantum di dalam Pasal 20 KUHAP jo. Sbld 1925 No. 28, bahwa hakim di dalam keputusannya boleh menentukan bahwa jaksa boleh mengizinkan kepada terpidana penjara dan kurungan yang paling lama satu bulan untuk tinggal bebas di luar penjara setelah selesai jam kerja. Terpidana harus melaporkan diri di tempat bekerja yang ditentukan, dan kalau lalai ia harus menjalani pidananya dalam penjara. Lamanya pekerjaan itu ialah Sembilan jam bagi terpidana penjara dan delapan jam bagi terpidana kurungan (Pasal 62 Gr). Hanya kalau mereka bekerja melebihi yang telah ditentukan itu, mereka mendapat bayaran yang sebagian diperuntukkan bagi makanan dan selebihnya bagi terpidana jika ia lepas (Pasal 62, 96 – 97 Gr).
Perbedaan lebih lanjut antara pidana kurungan dengan pidana penjara ialah pada pidana kurungan terpidana dapat memperbaiki nasib dengan biaya sendiri menurut ketentuan yang berlaku (dalam hal ini Pasal 93 dan seterusnya Gr). Ini biasa disebut pistole. Istilah ini berasal dari bahasa Perancis yang merupakan nama mata uang Perancis dahulu. Pompe, berbeda dengan pengarang yang lain menyebut satu perbedaan lagi yang tidak disebut oleh pengarang tersebut, yaitu pada kurungan, tidak kemungkinan pelepasan bersyarat seperti pada pidana penjara .Orang sering menyebut bahwa pidana kurungan itu bertujuan menakutkan (afschrikking) bukan untuk perbaikan. Sebenarnya terpidana kurungan harus diberi tempat tersendiri, biasanya di rumah tahanan, di mana sering ditempatkan pula orang-orang yang disandera. Keadaan di Indonesia masih menuju ke arah pembangunan rumah-rumah tahanan negara (Rutan) sebagaimana ditentukan oleh KUHAP. Untuk sementara, rumah-rumah penjara yang ada masih juga dipakai sebagai rumah tahanan negara dimaksud.
Roeslan Saleh, mengemukakan bahwa jarang sekali hakim di Indonesia menjatuhkan pidana kurungan kecuali terhadap pelaku delik pengemisan (Pasal 504 KUHP). seringkali terjadi apabila di suatu kota akan diadakan keramaian dan dikhawatirkan akan banyak terjadi pencurian dan pencopetan, maka orang-orang yang mengemis dan bergelandangan itu digaruk. terhadap pengemis (Pasal 504 KUHP) sering ditangkap pada waktu akan diadakan keramaian, tetapi juga pada waktu akan tibanya tamu-tamu asing di Indonesia. Apakah ini tidak bertujuan untuk menyembunyikan kemiskinan dan kejorokan rakyat Indonesia?. Menurut RUU KUHP tahun 2008, pidana Tutupan diatur dalam Pasal 76 yakni ayat (1): “Orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan”; ayat (2) : “Pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati”; ayat (3) : ”Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku, jika cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara”.

1 komentar:

  1. terimakasih Prof. Syaiful. saya terbantu atas refrensi dari bpk. saya sekarang lagi penelitian disertasi ttg kepenjaraan. (hormat saya Hambali yusuf, dosen FH UM Palembang)

    BalasHapus